Something Blue
TW/CW: Attempt suicide
Dua menit sebelum kecelakaan, Theo sedang memikirkan istrinya.
Ia teringat akan ikal-ikal rambut Damaria yang tergerai di atas bantal pada suatu malam tiga tahun yang lalu. Punggungnya menghadap Theo. Tulang belikatnya menonjol bak pegunungan, dan Theo masih ingat ketika ia memandangi tonjolan itu sambil bertanya-tanya kapan terakhir kali mereka berhadapan wajah dengan wajah alih-alih wajah dengan punggung.
Mungkin sudah sejak setahun sebelumnya. Ketika mereka sudah mulai berhenti saling menyentuh, tidak lagi saling menatap, dan pada akhirnya, berhenti berbicara.
Seandainya malam itu Theo menyentuhnya, mungkin akhirnya akan berbeda. Mungkin Damaria akan terbangun. Mungkin mereka akan mengobrol banyak, menyingkapkan bom waktu yang terpendam dalam hati masing-masing. Mungkin juga, keesokan harinya, Theo akan menemukan Damaria masih berada di sebelahnya, bukannya malah ranjang yang dingin, lemari yang hampa, serta secarik surat perpisahan.
Kemudian, ia terpaksa berhenti berpikir karena sesuatu menyenggol motornya dari samping. Ia terjatuh, dan segalanya berubah gelap.
Ketika akhirnya ia terbangun, kepalanya pening. Langit-langit putih rumah sakit yang menaunginya lebih terlihat seperti langit-langit peti mati. Setiap tarikan napas seperti tusukan jarum pada paru-parunya. Sekujur tubuhnya dipenuhi rasa sakit, kecuali—anehnya—kedua kakinya.
Kedua orang tuanya, yang lelah dan bermata bengkak, ada di sisi ranjangnya. Seorang dokter berjas putih ada di sisi lainnya. Dokter itu menanyakan dan mengatakan banyak hal, tetapi yang bisa Theo tangkap dengan jelas hanya satu: “Anda mungkin tidak akan bisa berjalan lagi.”
Aku tidak akan bisa berjalan lagi.
Setelah kalimat itu diucapkan, barulah Theo menyadari bahwa bukan hanya kakinya yang mati rasa. Hatinya juga—meski mungkin memang sudah bertahun-tahun sejak hatinya mulai mengeras. Pernyataan itu hanya terasa seperti hentakan kecil pada dadanya.
Hari-hari setelahnya terasa buram, seakan-akan ia sedang duduk bergeming di dalam mobil, sementara dunia sekitarnya berlalu sekilas saja. Tidak ada tujuan, tidak ada arti, tidak ada yang penting.
Sampai pada suatu pagi, Theo terbangun dengan genggaman hangat pada tangannya.
“Ya, Bu, biar aku yang ngurus. Ibu pulang dulu aja sekarang, istirahat.” Suara lembut terdengar dari sampingnya.
Samar-samar terdengar suara lirih ibunya menyahut entah apa.
“Nggak, Bu. Justru Ibu yang butuh istirahat. Tidur di sini pasti nggak enak, ‘kan?”
Susah payah Theo menoleh kepada sumber suara itu.
Damaria tersenyum lembut, dengan cara yang mengingatkan Theo akan alasannya jatuh cinta berkali-kali pada perempuan itu.
“Hai,” katanya.
Terasa tidak benar, tetapi hati Theo mulai berbunga-bunga. Seperti baru saja menerima suntikan hidup ke dalam tubuhnya.
“Halo, Sayang.” Suara Theo masih serak, tetapi senyuman Damaria melebar, mendekati tawa. Matanya berkaca-kaca.
Damaria mengusap pelan puncak kepala Theo, persis di area bebas perban. Sentuhannya seringan bulu, dengan efek sedahsyat obat bius. Rasanya Theo tidak bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang realita. Keberadaan Damaria di sisinya sekarang mungkin lebih condong ke kemungkinan pertama.
Namun, elusan di kepalanya terasa nyata, sama nyatanya dengan genggaman hangat serta logam dingin cincin Damaria yang menyentuh punggung tangannya.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Theo.
Damaria tidak langsung menjawab. Dahinya membentuk kernyitan samar seolah kesakitan.
“Kamu keserempet, masuk ke kolong truk, pingsan berhari-hari.” Suara Damaria tercekat. “Masa aku nggak datang? Nggak harus datang ke pemakamanmu aja, aku udah sujud syukur.”
Hangat dan perih berpadu dalam hati Theo. Ia memejamkan matanya yang terasa panas. “Harus kayak gini dulu baru kamu mau pulang.”
Damaria menarik napas tajam, dan mengembuskannya perlahan. Ketika ia berbicara lagi, suaranya bergetar seakan menahan tangis. “Maaf, Theo.”
Maaf, Theo.
Kalimat yang sama untuk untuk mengakhiri suratnya tiga tahun yang lalu.
Theo mulai mual. Napasnya semakin sesak, dan itu tidak bagus, karena ia bahkan sudah kesulitan bernapas karena rusuknya yang patah. Ia memalingkan wajah. “Aku nggak mau lihat kamu sekarang.”
“Theo—”
“Ibu mana?”
“Ibu pulang. Kasihan, biar istirahat dulu di rumah.”
Theo mengeraskan suaranya. “Keluar.”
“Terus, kamu mau ditemenin siapa? Kamu nggak boleh sendirian di sini.”
“Siapa aja, yang penting bukan kamu.”
Hening sesaat. Sesaat kemudian, setelah menekan tombol untuk memanggil perawat dan menunggunya datang, Damaria langsung pergi tanpa mengatakan apa-apa.
Namun, keesokan harinya, hingga berminggu-minggu setelahnya, Damaria selalu hadir setiap pagi, dan setiap pagi pula Theo harus selalu mengusirnya. Acap kali wanita itu bersikeras tidak mau pergi dan memilih untuk duduk di pojok ruangan dalam diam. Tidak ada pembicaraan, tidak ada klarifikasi.
Theo tahu, mereka tidak bisa menghindar selamanya. Terutama ketika akhirnya ia diperbolehkan pulang, dan Damaria yang bertanggung jawab merawatnya.
“Kenapa kamu balik?” tanya Theo.
Damaria mengabaikannya. Ia meletakkan baskom berisi air hangat dan waslap di atas nakas. “Ayo, mandi dulu.”
“Kalau kamu aja ninggalin aku ketika aku sehat, lebih-lebih lagi sekarang.”
Embusan napas panjang lolos dari mulut Damaria. Pasti wanita itu juga lelah. Tidak mudah merawat pria pemarah. Apalagi pria pemarah yang tidak bisa melakukan apa-apa.
Dulu Theo punya kesabaran jauh lebih banyak, tetapi sekarang ia hanya ingin marah. Ia marah pada si supir mobil Avanza putih yang kabur setelah menyerempetnya. Ia marah pada si supir truk. Ia marah pada dokter. Ia marah pada ayah dan ibunya. Ia juga marah pada Damaria, tetapi yang terutama, ia marah pada dirinya sendiri.
Theo menepis tangan Damaria yang hendak melepas pakaiannya. “Kalau kamu balik cuma karena kasihan, mendingan nggak usah repot-repot. Ujung-ujungnya, kamu pasti bakal pergi lagi karena nggak tahan.”
Damaria menatapnya tajam.
“Kamu benci rumah ini,” kata Theo, merasakan sengatan pada hatinya saat Damaria mengalihkan pandangan, yang sama saja mengiakan. “Kolam renangnya udah kututup permanen, kalau kamu belum tahu.”
Mata Damaria memejam, seakan menahan sakit. Theo lebih suka seandainya wanita itu menangis atau menjerit. Dengan cara itu, paling tidak ia mengakui bahwa ia kesakitan.
Namun, Damaria memang selalu berjiwa pemberontak. Reaksinya pada segala sesuatu adalah perlawanan.
Ketika Theo memajang foto mendiang putri mereka, yang meninggal empat tahun lalu karena tenggelam di kolam renang rumah mereka, Damaria justru ingin membuang semuanya. Saat Theo suka mengenang bahwa dulu Yael begini dan begitu, Damaria justru membentak dan menyuruhnya diam. Kala Theo menolak untuk menjual rumah itu, Damaria memilih pergi.
“Kalau ….” Suara Damaria tercekat sejenak. “Kalau aku bilang, aku pulang karena ternyata aku nggak sanggup kehilangan kamu juga, kamu percaya?”
Theo menatapnya, dan dengan berat hati memutuskan bahwa Damaria berkata jujur. Damaria tidak pernah bisa menatap mata orang lain ketika mengakui sesuatu yang tidak ingin ia akui.
Tangan Damaria menyentuh tepi pakaian Theo. Theo menepisnya lagi.
“Kamu maunya diurus siapa?” Rahang Damaria berubah kaku. “Ibu? Ibumu udah ngurus kamu pas bayi, masih harus ngurus kamu pas gede juga?”
Dadanya seperti ditusuk; Theo tidak tahu itu karena rusuknya, atau jauh lebih dalam dari itu. Maka, ia hanya bergeming selama Damaria melepas pakaiannya, membersihkan kateter, dan membersihkan seluruh tubuhnya.
“Aduh.” Damaria berdecak. “Merah.”
Sentuhan samar menyapu tulang belikat Theo, yang terasa agak gatal. Ia mengenal keluhan itu. Perawat di rumah sakit mengeluhkan hal sama sebelum menegur Damaria, “Bu, paling nggak, setiap dua jam sekali, Bapak harus ganti posisi, ya. Bisa kena luka tekan kalau kelamaan berbaring di posisi yang sama.”
Namun, Damaria selalu lupa, dan Theo juga tidak menyalahkannya. Bagaimanapun, mereka semua baru pernah menghadapi situasi ini.
Theo hanya membenci gerutuan Damaria ketika ia mengobati luka tekan itu, sama besarnya dengan kebenciannya pada ketidakberdayaannya sendiri. Ia tidak pernah ingin menjadi alasan seseorang mengeluh. Kalau Damaria tidak suka dibebani, terlebih lagi Theo tidak suka menjadi beban.
“Aku sendiri aja,” kata Theo, sambil merebut sikat gigi dari Damaria. Ketika ia sudah kehilangan segalanya, memiliki satu atau dua hal kecil yang bisa ia kontrol terasa sangat berarti.
Malam harinya, ketika Damaria sudah berbaring di sebelahnya, dan napasnya berubah teratur, Theo mulai bergerak.
Di nakas, terletak tumpukan obat-obatannya yang harus diminum setiap hari. Ia tidak hafal keseluruhan obatnya, tetapi ia cukup tahu bahwa ia diresepkan obat pereda nyeri yang cukup berat. Dan, ia juga cukup tahu apa yang akan terjadi kalau ia meminumnya melebihi dosis seharusnya.
Theo bangkit duduk dengan susah payah. Rasa nyeri menyerangnya dari segala arah.
Sebentar lagi, pikirnya, rasa sakit itu akan hilang total.
Dadanya nyeri ketika ia memaksa tubuhnya beringsut mendekat ke nakas dan mengambil sebuah botol kecil berwarna kuning, labelnya bertuliskan “pereda nyeri”.
Damaria masih tertidur. Punggungnya menghadap Theo.
Theo membuka botol, langsung menuangkan beberapa butir sekaligus ke telapak tangannya.
Damaria berbalik badan, menampakkan wajahnya yang damai. Lalu, matanya membuka.
Theo membeku, hanya bisa membalas tatapan bingung Damaria, yang lalu berpindah ke pil di tangannya, lalu kembali ke wajahnya. Wanita itu bangkit duduk. Ia menepis tangan Theo. Pil-pil itu berhamburan ke ranjang dan lantai.
“Gila kamu, ya?” desis Damaria. “Kamu mau terjun bebas ke neraka?”
Bak minyak tersambar api, amarah Theo seketika tersulut.
“Kamu nggak berhak ngatur!” bentak Theo. “Bukan kamu yang nggak bisa jalan! Bukan kamu yang nggak bisa ngapa-ngapain! Bukan kamu yang jadi kepala keluarga nggak berguna!”
Dalam keremangan, ekspresi syok Damaria terlihat seakan ia baru saja ditampar. Napas Theo terengah, yang setiap tarikannya membuat paru-parunya seolah dicabik-cabik, tetapi ia tidak ingin berhenti.
“Bukan kamu yang pipis atau pup aja harus dicebokin! Bukan kamu yang harus dimandiin di kasur! Bukan kamu yang makan aja harus disuapin! Bukan kamu yang hidup cuma jadi beban!”
Damaria spontan memeluknya. “Theo.” Napasnya gemetar. “Udah, ya.”
Aliran panas air mata ikut menuruni pipi Theo.
“Buat apa aku hidup cuma di kasur? Cuma di kursi roda? Buat ngabis-ngabisin oksigen di bumi? Bikin repot keluarga?”
Damaria sudah terisak. Ia menggeleng-geleng. “Nggak ….”
“Bukan cuma kamu yang nggak tahan, Dam.” Kelelahan, Theo menimpakan seluruh beban tubuhnya pada Damaria. “Aku lebih nggak tahan lagi. Kamu cantik, pinter kerja, masih muda. Masa aku tega nuntut kamu buat ngurus aku seumur hidup? Kita cerai pun, kamu gampang kalau nikah lagi.”
“Kamu suamiku,” kata Damaria. “Titik.”
“Aku gagal melindungi Yael. Aku juga gagal mempertahankan kamu. Udah nggak ada yang tersisa di hidupku, Dam.” Theo memejamkan mata. “Udah sana, pergi aja kalau kamu nggak sanggup lihat mayatku. Biar Ayah Ibu aja yang ngubur aku nanti.”
Ketika air mata Theo sudah reda, justru Damaria yang masih tersedu-sedu. Menit demi menit berlalu, tapi pelukan Damaria tidak mengendur.
“Kamu inget,” bisik Damaria tiba-tiba, “pas aku kena Covid, saturasi oksigen cuma 84, dan rumah sakit lagi penuh semua?”
Theo mengangguk. Mana bisa ia melupakan salah satu dari sekian banyak momen mengerikan dalam hidupnya?
“Waktu itu, kita udah pasrah. Aku bahkan sampai bilang ke kamu, kalau aku mati, kamu jaga Yael baik-baik, ya.” Damaria tertawa kecil. “Tapi, ternyata kita dapet bantuan oksigen dari RT, dan puji Tuhan, aku bisa membaik.”
Theo terdiam.
Damaria melanjutkan, “Terus, kamu inget, pas kamu di-PHK? Tabungan kita habis, di rekening cuma sisa lima ribu. Kita bahkan nggak tahu besok mau makan apa.”
Tenggorokan Theo tercekat. Matanya kembali memanas.
“Tapi, siangnya, ada tetangga nganter nasi kotak karena anaknya ulang tahun. Besoknya, Papa Mama-ku datang berkunjung jauh-jauh dari Jogja, kita ditraktir, bahkan dikasih sangu sebelum pulang.”
Damaria menarik diri. Ia menyentuh lembut pipi Theo, mengarahkannya agar bisa menatap matanya.
“Kita nggak pernah tahu masa depan, Theo. Semenit ke depan pun enggak.”
Binar dalam mata Damaria begitu terang serupa lilin di tengah kegelapan.
“Percayakah kamu kalau masih ada hal baik tersisa bagi kita di masa depan? Percayakah kamu kalau, terlepas dari keadaan kita sekarang, akan ada waktunya ketika kita melihat ke belakang dan bersyukur karena kita nggak menyerah?”
Tangis Theo kembali pecah. Ia menangis, dan terus menangis hingga dadanya nyeri dan kepalanya pening. Damaria memeluknya lagi. Pipinya bersandar pada puncak kepala Theo.
“Aku nggak akan menyerah,” bisiknya. “Makanya, kamu juga nggak boleh menyerah.”
Theo masih membenci kondisinya sekarang. Ia juga masih membenci fakta bahwa ia akan merepotkan Damaria hingga seumur hidupnya. Akan tetapi, kini ia tahu bahwa beriringan dengan setiap hela dan embusan napas, selalu ada harapan yang menyertainya.
Tidur mereka tidak nyenyak setelah itu. Pagi harinya, mereka berdua bangun dengan mata bengkak, tetapi hati yang hangat.
“Rambutmu mulai panjang,” gumam Damaria saat memandikannya. “Kupotong, ya?”
Theo terdiam sejenak. “Boleh.”
Senyum Damaria perlahan terkembang, dan Theo seketika menyadari itulah pertama kalinya ia sungguh-sungguh ikhlas menerima bantuannya sejak lumpuh.
Damaria mendudukkannya di kursi roda dengan bantuan ART, lalu mendorongnya ke teras rumah. Angin sepoi-sepoi menyapu wajah Theo, melembutkan panas sinar matahari pada kulitnya.
Selagi Damaria mencukur rambutnya sambil bersenandung pelan, Theo memandangi pohon bambu air yang tumbuh liar di halaman. Bertahun-tahun yang lalu, Damaria mencabutnya sampai habis, tetapi pohon itu tidak pernah benar-benar musnah. Tujuh kali Damaria mencabutnya, tujuh kali pula pohon itu tumbuh kembali.
Sembari mengamatinya, Theo berpikir, rasanya pohon itu tidak pernah seindah ini sebelumnya.
Fin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top