Ketika Orang Dewasa Sakit Demam

Sudah empat harian aku sakit demam saat bulan November kemarin.

Biasanya, aku sakit demam hanya satu atau dua hari saja. Namun kala itu sepulang kerja pada hari Jumat, aku merasakan suhu tubuhku naik dan kepalaku pusing. Akhirnya, aku pun langsung berbaring di atas kasur setelah selesai mengganti baju untuk kerja dengan piyama.

Saat berbaring, aku berpikir mengapa aku bisa sakit. Maksudku, mengapa bisa-bisanya aku sakit demam saat pekerjaanku menumpuk? Mungkin saja karena sekitar dua minggu ini aku selalu lembur dan sempat mengerjakan pekerjaan yang di luar jobdesk-ku. Apalagi cuaca akhir tahun 2024 sedang tidak bagus. Seringkali cuaca panas tiba-tiba berubah jadi hujan secara mendadak tanpa 'pemberitahuan' sebelumnya.

"Mohon bantuannya, ya."

Aku masih mengingat ucapan pelanggan di balai uji tempatku bekerja saat dia mengantarkan sepuluh sampel saat diuji. Dia nampak memohon karena mendadak dimintai data hasil pengujian oleh dosen pembimbingnya. Dalam hati aku kesal. Kenapa enggak dari dulu dianterin sampelnya ke sini biar aku juga enggak buru-buru ngerjainnya? pikirku saat itu.

Mungkin saja dia punya kendala yang tak bisa diceritakan. Lagipula dengan ini aku juga bisa membantunya bak pahlawan. Aku ingin hidup seperti air yang mengalirkan kebajikan untuk kehidupan banyak orang. Walaupun aku harus terlambat makan dan jadi sakit seperti ini, aku malah punya sedikit obsesi aneh seperti itu. Obsesi yang tidak banyak orang tahu.

Aku sendirian di rumah dengan sakit demam yang menyebalkan ini. Oleh karena itu aku harus mengurus diriku sendiri. Aku mengompres sendiri dahiku dengan kapas yang dibasahi air hangat karena tidak punya kain lap bersih, walaupun aku kurang tahu itu akan berguna atau tidak. Orang tuaku jauh di luar kota, jadi mereka hanya menanyakan kabarku tiap pagi, siang dan sore pada hari Sabtu untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Ya, aku baik-baik saja. Aku sudah dewasa. Ditelpon saja saat sedang sakit aku sudah senang.

"Ya, Cherry udah makan. Udah minum obat juga. Iya, sekarang lagi mau tidur siang. Waalaikumussalam."

Setelah menutup telepon, aku pun meletakkan ponselku di sebelah bantal. Sengaja kuhidupkan suaranya walaupun biasanya tak kuhidupkan karena terkadang ada saja orang yang menelpon di luar hari dan jam kerja. Aku hidupkan suaranya karena khawatir orang tuaku akan menelpon lagi sorenya dan aku tidak mengangkat telepon.

Sebelum terlelap dalam mimpi, aku berpikir bahwa aku menyesal sudah tumbuh dewasa. Saat masih kecil, kita selalu diurus dengan baik sewaktu sakit. Bahkan ayah atau ibu kita rela menggerus obat tablet dan melarutkannya dalam air karena kita saat itu belum bisa minum obat tablet. Ayah atau ibu kita selalu sibuk memanaskan air untuk kita mandi air hangat saat kita sakit, menyuapi makan dan menaruh kompres dingin atau hangat di atas dahi. Terkadang pula menyanyikan lagu, membacakan cerita atau menyampaikan cerita sambil mengusap-usap kepala kita.

Alih-alih berempati atau ikut merenungkan kehidupan orang dewasa yang hanya bisa mengurus diri sendiri saat sedang sakit, orang-orang di tempatku bekerja pasti malah akan berkata seperti ini.

"Kamu mau diurusin waktu lagi sakit? Kalau gitu carilah suami."

"Lagi sakit, terus sendirian? Umurmu udah 23, mau tunggu apa lagi? Enak kalau udah nikah, ada yang ngurusin kalau lagi sakit."

Bagiku, umur 23 masihlah umur anak-anak. Bisa-bisanya mereka menyuruh anak-anak untuk menikah, sialan. Aku bisa membayangkan alih-alih diurus suami saat sakit, suamiku justru malah asyik bermain game Mobile Legend sepanjang hari saat weekend dan aku tetap mengurus pekerjaan rumah. Malah aku yang sibuk mengurus dia saat dia sakit, tahu sendiri bagaimana kalau pria sedang sakit demam, 'kan?

Oh, anak kecil yang terjebak dalam kehidupan dewasa ini harus beranjak dulu untuk memanaskan air.

Aku mau mandi sebentar, tubuhku agak lengket karena sedari pagi belum mandi. Setidaknya walaupun sedang sakit demam, sisihkan waktu untuk mandi. Mungkin kita akan jadi seperti kucing yang tak tahan dengan air saat mandi, tetapi kita harus tetap mandi. Rencananya aku akan tidur lagi setelah mandi.

Tidak ada yang membacakanku cerita sebelum tidur. Jadi, aku membaca cerita sendiri via ponselku. Aku membaca cerita yang kukarang sendiri.

Setelah membaca cerita, justru sakitku malah bertambah parah. Entah apakah ada penelitian yang menghubungkan efek radiasi ponsel dengan bertambah parahnya demam atau tidak, tetapi mungkin ibu kita benar adanya. Saat kita sakit demam, mungkin ibu kita akan cenderung menyalahkan ponsel sebagai penyebabnya. Ibu kita mungkin akan berteriak, "HAPE TERUS!"

Namun entahlah. Aku pun lanjut menonton Youtube. Aku menonton berbagai video acak.

"Waduh waduh waduh untung saya di tengah, karena dua orang di sebelah saya penuh dengan amarah."

"Konsonan langit yang akan menjadi sebuah takdir cinta kita. Secara sinaran ultrafeng yang mulai diaungi oleh greenday akan menjadi cranberries cinta kita menjadi nyata. Aku sudah mempersembahkan terjun dari helikopter untuk kamu, Sayang!"

"One look, give 'em whiplash~ beat drop with a big flash~ jipjunghae, jom deo think fast, iyu neon ihae mot hae, uh."

"Wae ijeya, know I did that, uh~ Day one, know I been bad, uh~ Don't stop, heundeullin chae, murihaedo can't touch that. Can't touch that."

"Under pressure, body sweating, can you focus?"

Aku tertawa saat melihat seorang gadis centil sedang bergaya lalu hak sepatu mewahnya diambil oleh temannya yang berambut merah muda, kemudian gadis centil itu jadi terjatuh dan tak bangkit lagi dalam video yang kutonton.

Setelah selesai menonton berbagai video, aku membuka aplikasi X. Aku pun kembali menonton video yang muncul di linimasa.

"Mas Anies, Mas Anies. Sorry, ye."

Saat sakit demam dan berbaring sambil bermain ponsel, kita tidak akan sadar kalau kita sedang sakit. Hal itu karena pikiran kita terfokus pada konten yang kita lihat. Baru setelah selesai bermain ponsel, kita akan sadar bahwa sebenarnya kita sedang sakit demam. Justru malah jadi lebih parah.

Tak lama setelah itu, aku pun tidur. Besok adalah hari Minggu, dan lusa adalah hari Senin. Semoga hari Senin aku sudah sembuh agar bisa menyelesaikan pekerjaanku, menolong orang itu.

***

Pada hari Minggu, sakitku justru bertambah parah.

Akhirnya aku memesan mie karena aku sedang ingin makan mie, lalu memakannya dengan nasi. Aku ingat saat melihat linimasa X, ada foto seseorang yang sedang makan dimsum dengan nasi. Apa-apaan? pikirku. Bisa-bisanya makanan favoritku dimakan dengan cara aneh seperti itu!

Lagi-lagi aku memanaskan air terlebih dahulu untuk mandi. Setelah makan, minum obat yang kubeli pada hari Sabtu itu dan mandi, aku kembali berbaring. Sebelum terbawa ke alam mimpi, ibuku menelpon.

"Ya, Cherry udah makan. Udah mandi juga. Abis ini mau tidur siang. Ya, waalaikumussalam."

Aku pun terlelap, akan tetapi tak lama setelah itu ponselku berbunyi.

"Aish, sialan," umpatku sambil mengerang.

Tertera nomor asing yang menelponku. Saat aku cek di aplikasi pelacak, rupanya itu nomor penipu. Bisa-bisanya penipu itu mengganggu proses kesembuhanku. Besok aku harus kerja, lho.

Teman kuliahku tiba-tiba mengirimkan pesan chat. Dia bercerita soal serial boys love yang akan tayang bulan Desember akhir. Aku juga penasaran dengan ceritanya, akan tetapi melihat para pemerannya aku agak tidak selera. Walaupun begitu, aku masih tetap penasaran. Jangan salah paham, aku bukan tipe orang yang suka menonton hal-hal seperti itu. Teman kuliahku-lah yang sudah meracuniku.

Setelah asyik berbalas pesan chat dengan temanku, aku pun bersiap untuk tidur. Suhu tubuhku sudah semakin meningkat, kepalaku juga bertambah pusing dan ditambah lagi kerongkonganku sakit. Aku masih tidak sembuh-sembuh juga dari hari Jumat, benar-benar aneh.

"PAKET!"

Kenapa pula harus di saat kayak gini, pikirku kesal.

Aku mengenakan kerudung, lalu pergi meninggalkan kamar dengan pandangan berkunang-kunang. Langkahku sempoyongan, untung saja tak sampai pingsan.

"Atas nama Cherry?" tanya kurir paket setelah aku membuka pintu rumah.

"Iya," jawabku.

"Ini paketnya."

"Makasih, Bang."

Setelah mengunci pintu rumah dan menaruh paket sembarangan di dalam rumah, aku pun kembali ke kamar untuk tidur.

Namun saat nyaris menjumpai bunga tidurku, tiba-tiba saja ponselku berbunyi.

"Argh!" Aku mengerang kesal. Kalau itu pelanggan yang menelpon pada hari selain hari kerja, aku tidak masalah. Aku bisa mengabaikannya dan biasanya pelanggan akan kembali menghubungi pada hari kerja. Namun kalau itu penipu, rasanya aku ingin mengejarnya sampai ke lubang api neraka!

Sialan, ternyata penipu lagi.

Jangan ada yang telpon lagi kecuali kalau mau mastiin aku masih hidup atau enggak, batinku.

Aku pun tidur. Namun otakku seketika kepikiran alur lanjutan cerita novelku. Oleh sebab itu, aku langsung menulis lanjutan novelku di ponsel agar tidak lupa.

Rupanya, aku menulis sampai berjam-jam lamanya. Bahkan saat malam, aku malah tidur larut malam. Aku mengantuk, tetapi otakku berisik. Padahal besok kerja.

***

Pada hari Senin, aku sudah benar-benar tidak bisa berharap lagi.

Aku masih sakit. Kuhitung-hitung, sudah empat hari aku sakit demam. Bahkan untuk bangkit dari tempat tidur pun aku sulit. Akhirnya, aku membuka roomchat-ku dengan atasan di aplikasi Whatsapp. Aku mau izin sakit.

Namun setelah kupikir-pikir, aku harus menyelesaikan pekerjaanku hari ini juga. Ada orang yang butuh pertolonganku.

Aku pun berpikir.

Suasana hening.

Aish, persetan dengan sakit. Terabas saja, lah!

***
END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top