Fatal

Lama Muklis menatap langit-langit kamar. Matanya tidak menangkap cecak yang sedang merayap menjauhi lampu, melainkan rupa ibu, bapak, nenek, kakek, dan buyut. Wajah mereka berjejer, memamerkan ringis diikuti senyum, serentak pula mereka mengangguk seolah minta Muklis ikut. Muklis tersentak dan memiringkan posisi tidur. Ditatapnya Nur--istrinya--yang turut melamun.

"Mereka datang, Bu."

Nur menoleh. Sekarang macam paranormal si Muklis, pikirnya. "Enggak mungkin. Mereka baru aku kabari tadi siang."

"Bukan anak-anak kita, tapi itu ...." Telunjuk Muklis tegak mengarah ke lampu. "Mereka semua jenguk aku," suaranya bergetar, "Mau jemput aku kali, ya?"

Nur mendengkus. Belakangan, sering dia dengar ucapan Muklis yang mengarah ke malaikat Izrail. Dia lantas memiringkan badan, berhadapan dengan tubuh sekal Muklis. "Mau coba latihan sakratulmaut, Pak?"

"Ayo." Sudah siap si Muklis.

****

Baru kali ini Muklis rasa akan lewat. Banyak yang sudah memberi saran, tentang apa yang harus diminum atau tempat yang patut dikunjungi. Namun, tak kunjung jua dijumpa sembuh. Dia merasa bobot badan kian menurun, pun fungsi indra pengecap yang tak lagi merasa. Acap kali disambut pagi perutnya bergejolak; memuntahkan apa yang sedang diproses lambung. Telinganya jadi sering berdenging dan daun bertulis namanya di Sidratulmuntaha yang tengah bergoyang kuat menjadi bunga tidur kala terlelap.

Muklis risau hati. Sebulan lalu masih gagah dia mengendarai motor berkeliling kampung. Berkumpul bersama kawan-kawan di warung kopi desa sebelah. Sempat juga dia berkenalan dengan seorang janda. Sekarang, jangankan naik motor, jalan ke kamar mandi saja butuh dipapah. Belum dia timang cucu, belum mencecap manis uang hasil jual tanah, belum menjelajah Indonesia sebagaimana mimpi masa lajangnya, dan belum mengucap selamat tinggal pada Ayu, jika benar sebentar lagi akan dijemput Izrail. Usianya pun masih tergolong muda, 56 tahun. Tidak pantaslah foto dia terpampang di buku Yasin.

"Makan dulu, Pak." Nur memangku semangkuk bubur dan siap memberi suap pada Muklis.

Muklis melengos. Tidak nafsu dia. Saban hari hanya diberi bubur.

Nur mendengkus, tahu tabiat suaminya kalau sedang sakit. Perawakan Muklis memang tampak kokoh, masih mampu Muklis mengangkat galon air. Soal penampilan, Muklis juga masih terlihat menarik saat sehat; rambutnya disemir dan sering ditata pakai gel, rajin pakai minyak wangi, dan ada janggut yang dipelihara baik. Namun, jika sudah kena masuk angin, amblas semua. Umur Muklis seolah mengerucut. Tak ubahnya dia seperti bocah.

Nur sudah terbiasa menghadapi Muklis yang berubah menjadi anak kecil, tetapi kali ini-boleh dia katakan-adalah hal di luar kebiasaan. Rengek Muklis, biasanya, hanya terjadi tiga hari. Lepas itu, setelah selesai punggung dikerok dan angin keluar, Muklis kembali berkeliaran. Sekarang, meski sudah dikerok, dipijat, dan diurut Muklis tak kunjung membaik. Dibawa ke dokter pun, hanya diberi obat untuk mual. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kata si dokter. Tidak puas, mereka menyambangi rumah sakit besar, meminta pemeriksaan lengkap. Hasilnya? Tidak ada penyakit kronis yang menggerogoti kesehatan Muklis.

Merujuk pada arahan tetangga, Nur pernah membawa Muklis ke seorang kiai, meminta doa di sana, dan pulang membawa lima botol besar air. Sambil dirapal doa, Nur baluri sekujur tubuh Muklis dengan air tersebut. Muklis juga meminum air berisi doa itu dengan harapan bisa sembuh. Nasib tak baik, sampai kini Muklis masih bersandar di tempat tidur.

"Harus makan, Pak, biar bisa minum obat."

Muklis yang semula bersandar memilih merebahkan tubuh daripada menelan bubur. Nur, mau tak mau, meletakkan bubur di meja dan membantu Muklis agar bisa nyaman tiduran.

"Masih pusing?" Nur mengusap kening Muklis. Dirasa tidak panas. Muklis menggeleng. "Mual?" tanyanya lagi. Muklis mengangguk.

Tangan Nur cekatan mengoles perut Muklis dengan balsam. Sekonyong-konyong Muklis menutup mulut dan hidungnya. Aroma balsam sudah sering dia hirup dari remaja, bukan masalah jika bau khas itu kuat mengudara di sekitar mereka. Namun, sejak sakit balsam bagai bau mesin mobil yang bikin dia mabuk. Meski kliyengan, tetap dia biarkan Nur mengusap pelan perutnya.

Hangat yang mulai menjalar buat Muklis mendesah. Ditutupinya hidung dengan ujung selimut dan matanya tak kedip menatap Nur yang masih serius mengolesi balsam. Hatinya yang dari kemarin-kemarin sudah ditindih beban terasa semakin berat. Bagaimana kalau besok atau malah malam ini namanya diumumkan lewat pengeras masjid?

Seperti yang pernah Muklis tonton di media sosial, ketika arwah baru dilepas dari raga, dia tetap bisa melihat yang ditinggal seolah itu adalah mimpi. Apa Nur akan meraung seperti saat mereka kehilangan si Baron, kucing kesayangan? Apa Nur akan pingsan? Berapa lama Nur akan berkabung? Apakah Nur akan menikah lagi? Tapi, dengan siapa? Seumur-umur pernikahan mereka, Nur selalu jadi istri yang manut. Tidak seperti dia yang suka melancong, Nur lebih demen berdiam di rumah. Bahkan untuk menengok anak-anak mereka saja, Nur memilih dijenguki.

Nur yang penurut.
Nur yang baik.
Nur yang salihah, yang rajin mengaji sendiri di rumah.

Muklis tahu, dalam batin Nur pasti pernah istrinya itu mengutuk. Dia bukan pria yang suka meninggalkan jejak di jalan lurus. Nafsu buasnya susah dikendalikan. Jadi, sering bersama kawan-kawan dia jajan. Terakhir desah, keringat, dan cairan laknatnya keluar di warung kopi desa sebelah.

Jantung Muklis bergemuruh. Sebagai lelaki pantang bagi Muklis menangis, tetapi sulit menahan air mata. Secara fisik Nur memang sudah tidak menarik. Rambutnya sudah tidak lagi lebat dan hitam. Kulitnya terlihat kisut, terutama di bagian punggung tangan. Bokongnya tidak bahenol seperti kala perawan. Pernah terlintas dalam pikiran Muklis untuk menceraikan Nur agar gairah rumah tangga kembali hidup.

Hari ini, Muklis bersyukur memilih bungkam, tidak membiarkan talak digerakkan lidah. Namun, dia sadar kalau harus mencecarkan apa yang sudah terjadi. Izrail sering digambarkan datang mendadak, tidak disangka-sangka. Tentu akan susah baginya meminta maaf saat jasad sudah tidak bernyawa. Maka, digenggam kuat tangan Nur yang masih mengoleskan balsam. Diajaknya tatap mereka agar bertemu.

"Aku mau cerita, Bu."

Muklis lontarkan semua. Disertai tangis. Diikuti maaf yang terselip apik dalam ceritanya. Nur tentu menyimak. Sakit hati pula. Namun, apa yang mau Nur tuntut? Melihat Muklis terbaring seperti ini malah menghadirkan iba alih-alih marah. Bukan sepuluh tahun mereka menjadi suami-istri. Sudah Tiga puluh tahun lebih dan cukup bagi Nur menerima semua baik-bobrok Muklis. Termasuk hubungan Muklis di desa sebelah.

"Tidak apa-apa, Pak." Nur menyeka air mata. Tangis Muklis turut mengundang kesedihannya. "Aku juga sudah tahu. Dinding setiap rumah selalu menjadi telinga dan mataku juga di mana-mana."

Muklis tidak dapat berkata untuk membalas.

"Sekarang istirahat dulu."

Nur merapikan baju Muklis dan menyelimuti tubuh Muklis. Dia berangsur pelan keluar kamar sembari membawa mangkuk yang masih utuh diisi bubur dan hati yang perlahan hancur.

Bukannya Nur tidak tahu tindak-tanduk Muklis, tetapi dia menahan diri. Telinganya ingin mendengar langsung pengakuan Muklis. Tanpa perantara yang mungkin bisa mendatangkan lebih banyak prasangka. Tak apa, Nur berusaha menguatkan diri. Dari awal menikah, sering dia hidu aroma lain. Meski begitu, Nur tidak pernah bertanya langsung. Dia biarkan Muklis melakukan apa yang dimau. Lalu, aroma asing itu menghilang. Sangat lama hingga aroma yang lebih kuat kembali merangsek hidungnya. Itu terus berlanjut sampai Muklis jatuh sakit dan baru terbuka sekarang.

Nur merasa tidak adil. Kenapa Muklis mengaku ketika sakit? Nur jadi tidak bisa memukul atau menjambak Muklis. Dia beranjak ke ruang tengah, berniat menonton televisi agar pikirannya sedikit teralih, tetapi ponselnya berbunyi. Setelah mengatur napas dan sambil duduk dia menyahut panggilan. Anak pertamanya mengabarkan pesawat tertunda. Mereka yang dinanti kemungkinan akan sampai malam. Nur mengatakan, tidak apa-apa.

Obrolan mereka bergulir. Mula-mula seputar keadaan anak-anaknya di tanah rantau. Si sulung bersama suami baru menjalani program hamil dan si bungsu yang melanjutkan pendidikan di tempat kakaknya mengajar tengah bersiap menghadapi ujian. Kemudian, sampailah mereka pada Muklis. Nur tidak dapat menahan isak tangis. Yang anak-anaknya tahu, ibu mereka sedih tentang kondisi bapak. Yang Nur rasakan, jauh lebih sakit. Bukan sekali, berkali-kali ternyata si Muklis melakukan hal bejat itu di warung kopi desa sebelah. Namun, biar dia simpan sendiri perihal kelakuan Muklis. Anak-anak cukup tahu sosok Muklis yang acuh tak acuh, tapi setia dan sayang keluarga. Mau bagaimana pun, Nur harus fokus pada kesembuhan Muklis. Soal memaafkan, mungkin bisa didatangkan seiring berjalan waktu.

"Bu, apa keluhan Bapak hanya sebatas itu?"

"Iya." Nur berdeham. "Cium minyak wangi saja mual."

Memang semalam Nur hanya mengabarkan anak-anak untuk pulang. Tak dijelaskan kondisi Muklis lebih rinci. Lagi pula, pikirannya sudah kalut. Tak biasa Muklis minta anak-anak kumpul kala sakit.

Yang di seberang turut berdeham. "Bu ...."

Mereka kembali dalam percakapan yang tidak hanya harus didengar Nur, tetapi kudu disimak. Nur sempat menolak saran si sulung. Namun, paksaan itu membuka pikiran baru. Segera setelah sambungan terputus, Nur menitipkan Muklis yang tengah tertidur pada tetangga sebelah rumah, sedang dia melajukan motor ke bidan desa; mengikuti saran si sulung.

Lepas azan zuhur, Nur sudah kembali duduk bersandar di ruang tengah. Tatapannya mengarah ke layar hitam televisi, tetapi pikirannya mengajak ke beberapa hari lalu; awal hari Muklis sakit. Sulit bagi Nur untuk mengambil napas. Terlalu banyak sesak yang bisa menjadi isak, akan tetapi Nur tahan.

Pantas saja Muklis muntah-muntah di pagi hari.
Tubuh Muklis menjadi lemas.
Tidak kuat menghirup aroma parfum sendiri.
Terkadang meminta makanan yang aneh.

Nur pikir, Muklis terkena masalah lambung. Karena itu, dia selalu menyajikan bubur. Meski sering Muklis meminta mangga mengkal ditaburi garam untuk dimakan, Nur selalu menahan diri untuk menuruti. Takut dia lambung Muklis semakin menjadi.

Nur mengusap wajah. Tangisnya pecah. Membayangkan si sulung yang tengah berjuang punya momongan, malah akan ketambahan adik, membuat Nur terisak. Dia membekap mulut. Setengah jam dia menenangkan diri dan mulai masuk kamar.

Muklis masih terlelap. Pelan, Nur mengambil tas dan segera diisi dompet serta perhiasan yang dia punya. Sebelum kembali mengunci pintu, dia sempatkan menulis pesan. Selembar kertas itu dia timpa bersama kunci cadangan rumah mereka dan tiga buah test pack.

Memang seharusnya tadi Nur pukul dan menjambak Muklis.

Muklis terbangun karena dorongan ke kamar mandi. Perlahan dia bersandar. Suaranya tak henti memanggil Nur. Namun, tidak juga Nur muncul. Dia mendesah. Tidak biasanya Nur keluar tanpa menunggu dia bangun. Saat menumpukan telapak tangan di meja, Muklis baru menyadari ada secarik kertas. Dibacanya pesan itu dan gemetar seluruh badan.

Selamat, Pak, kamu bakal punya anak baru dari Ayu, janda yang punya warung kopi di desa sebelah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top