Bertahan Hidup di Kedinginan Alpen
"Tinggalkan aku, Adam," bisik Erick dengan kaki menendang-nendang kekosongan udara, "Kau masih sehat, punya masa depan, setidaknya kau harus selamat."
Adam tetap kukuh tak berpaling pandang pada padang salju di depan atau sekadar berpikir untuk menjatuhkan beban hampir setara dirinya. Ia tetap berjalan membedong sahabatnya dengan selimut tebal meski sahabatnya memberontak. Tangan kanannya menyeret Carrier, sementara tangan kiri menancapkan tracking pole sebagai tumpuan.
"Kubilang lepaskan aku!"
Rahang Adam mengeras, barisan giginya gemeretak menahan dingin serta kecamuk dalam dadanya. Lelaki itu menggeleng dan menoleh, "Kau gila? Kau justru membunuh nuraniku dengan meninggalkanmu. Cukup diam, biarkan Tuhan yang mengatur semua ini."
Erick seketika terdiam, badannya gemetar, lingkaran tangannya semakin erat pada leher sahabatnya itu. Tak lama kemudian, air matanya meleleh menuruni pipi dan lekas menguap. Entah berapa lama lagi mereka bertahan pada daerah bervegetasi rendah ini, tanpa peta, dan menyesali keinginan melihat sunset pada langit Prancis yang manis dari Pegunungan Alpen, atau sekadar melihat tumbuhan Edelweis tertimbun salju. Hanya mengandalkan kompas dan insting, Adam akan menuntun Erick dalam kesesatan atau jalan pulang.
***
Waktu yang telah dilalui seperti mengikis berlian dengan berlian lain. Setiap serbuknya bisa saja lenyap tertiup angin. Ratusan langkah kaki Adam lalui dan kini ia seperti putus asa memandang beberapa barisan tanaman evergreen di depan. Segalanya terlihat kelabu: antara langit dan juga daratan terlihat seperti fatamorgana tanpa ujung. Angin bertiup menampar wajah dan menggoyahkan pijakan sampai tubuh Adam terhuyung-huyung kemudian jatuh menimpa tanah berlapis salju.
Rasa panas menghantam tubuh bagian kirinya sepersekian detik kemudian tergantikan oleh sengatan dingin yang terhantar oleh kristal salju di tanah. Giginya bergetar menahan rasa dingin yang menusuk dari segala penjuru. Hanya hangat yang bersumber dari punggung belakangnya. Adam mengeratkan tali bedongannya itu dan meringkuk sejenak. Ia seperti dibohongi oleh insting dan kompasnya yang mungkin rusak. Tidak ada lagi penuntun selain daratan yang lebih landai dari tempat sebelumnya.
"Erick, kau masih bangun?" tanya Adam setengah berteriak melawan deburan hujan salju yang deras, "Jika iya, eratkan peganganmu."
Adam masih merasakan tanda kehidupan temannya itu. Namun, pegangan erat yang melemah merupakan salah satu pertanda kehidupan dan harapan yang patut diperjuangkan. Debaran jantung yang nyaris tidak terasa terhalang oleh jaket dan mantel dari bahan Gore-Tax.
Adam segera bangkit dan berjalan tanpa arah pasti. Jejak kaki segera pudar oleh salju yang turun. Matahari bersembunyi di balik awan. Tak ada burung gagak Alpen melintas di langit menuju dataran rendah Swiss, negaranya. Adam mengedarkan pandangannya dan melihat beberapa ikat tali ada di ujung pepohonan pinus. Lelaki itu bergidik, "Simbol SOS!"
Dari arah jam satu, Adam melihat gundukan salju yang lebih tinggi dan lebar dengan lubang gelap. Gua tanpa nama itu menjadi tujuannya saat ini. Adam mengeratkan selimut yang mengikat sahabatnya. Sementara itu tangan kanannya terasa kebas membawa Carrier empat puluhan liter. Mata hijau Adam terfokus pada terowongan itu hingga tanpa sadar kaki kirinya menyandung gundukan keras.
"Aduh!" pekik Adam, "Sialan, ah, punggungku---" ia menahan segala sumpah serapah yang siap keluar begitu saja agar Erick tidak mendengar pun makhluk lain jikalau ada. Termasuk sesuatu yang ia sandung itu.
Sebuah punukan aneh yang ingin Adam abaikan, tetapi sibakan dari sandungan itu membuatnya bertanya-tanya. Tangannya membuka gundukan keras berwarna pale kebiruan.
"Astaga, demi Allah selamatkan kami dari marabahaya."
Adam tunggang langgang berlari menuju gua di depan. Matanya tidak salah lihat, daging beku, lutut, atau apalah itu yang tak lain merupakan wujud dari mayat manusia yang terawetkan oleh alam.
Adam terengah-engah, ia membuka resleting Carrier dan mengambil beberapa peralatan.
"Ini lebih dari cukup." Adam terhenti melihat mulut gua gelap yang menyimpan begitu banyak kegelapan, "Bismillah."
Adam meletakkan Carrier-nya di luar, tangan kanannya membawa matras, lembaran aluminium foil, gas torch, dan senter. Ia memastikan gua ini aman dari makhluk reptil berbahaya. Setelah dirasa aman, Adam menggelar matras dan aluminium foil yang lebih lebar dari matras.
"Di sini jauh lebih hangat ya, Rick?"
Tidak ada respon suara, tetapi Adam dapat merasakan tangan Erick bergerak. Meski responnya sederhana, Adam dapat menghembuskan napas lega sejenak.
Adam jongkok dan perlahan melepas simpul dari selimut yang kaku nyaris membeku. Tubuh Erick perlahan menggapai aluminium foil dan tergeletak di sana. Adam mengambil selimut basah itu dan mengelap bagian yang basah dengan handuk. Sahabatnya terlentang dengan perut naik turun perlahan. Ia segera memeluk tubuh sahabatnya itu. Ia hanya ingin sahabatnya selamat. Perayaan kelulusan di Gymnasium seharusnya membawa kebahagiaan dengan melihat puncak Pegunungan Alpen bersama sahabat karibnya yang berteman sejak Primarschule. Pertempuran setelah ujian masuk perkuliahan dan mereka yang akan berpisah dalam waktu yang lama diharapkan tidak selamanya. Tidak selama ketika maut memisahkan.
Adam segera membungkus badan Erick dengan alumium foil dan mengambil Carrier-nya di luar. Lelaki itu juga memasang cermin menghadap ke langit dan menyala-matikan senter dalam satu menit.
Adam kembali lagi ke gua dan mendekati telinga Erick, "Erick, dengarkan aku," bisiknya pelan, ada yang pernah berkata bahwa stimulus positif dapat merangsang penyembuhan, "bertahanlah," ucapnya dengan berat, "sebentar lagi kita akan sampai." Pejaman dari mata Erick menipu kenyataan, sejatinya Adam bahkan tidak tahu mereka sampai dimana. Ini sangat berbeda dari rute awal, tetapi Kembali menaiki jalan curam lagi adalah pilihan yang lebih menantang. Adam berharap Erick terpengaruh oleh kata-katanya.
Adam menyalakan api berbekal gas tourch portabel yang disulut pada ranting-ranting kecil yang ia bawa dari atas. Ia memanaskan berberapa liter air pada botol dan salju dengan panci sebagai air minum dan penghangat. Setiap bara api yang terkikis dan menjadi abu membuat hatinya berdenyut. Pikirannya terus beralih dari peruntungan hingga kemungkinan negatif. Tidak ada yang konyol dari pendakian ini. Hanya saja, badai itulah yang meluluhlantakkan rombongan pada posko tempatnya berkemah di jalur pendakian Pegunungan Alpen.
Derap rintik salju di luar mengingatkannya pada salju yang menipu. Rasa lebih hangat yang sedikit kurang wajar membuat Adam dan rombongannya lebih tenang. Hanya saja, Tuan Jean sebagai pemandu wisata ikut terlena dan tak sengaja terlelap sejenak ketika bergantian shift jaga dengan temannya yang sedang ikut menikmati coklat panas sejenak untuk memulihkan energi. Ketika mengamati langit dan keluar dari tenda, Tuan Jean baru menyadari bahwa kemungkinan dan risiko dari pendakian akan segera terjadi.
Angin bertiup sedikit dari arah berlawanan dan saling tubruk, terlebih gaduh dan memporakporandakan perkemahan ini. Beberapa pendaki keluar memastikan api unggun tidak menyalak ke arah yang tak diinginkan atau setidaknya tidak padam. Hanya saja mereka dikejutkan oleh langit yang terlihat kelabu ketika pukul sepuluh pagi dan lama-lama semakin pekat nyaris temaram seperti senja di musim salju.
Adam menelan salivanya serat. Maut seolah ada di depan mata. Ia beberapa kali mendaki dan ini adalah keputusan nekat yang dilakukan olehnya bersama Erick dalam menaklukan Alpen di berbagai musim. Ini adalah pertama kali di musim ini dan ia tidak ingin menjadi terakhir. Ketika salju mulai turun seperti hujan anak panah. Angin bertiup kencang. Pemandangan sekitar terlihat gelap tanpa aba-aba. Para pendaki berniat mengambil sekop dan memakai mantel. Hanya saja angin yang sangat kencang membuat semua berlarian tanpa arah pasti. Hanya satu yang terlintas dalam benak Adam, lari. Ia tidak begitu mendengar aba-aba ketika peluit ditiup sebagai peringatan atau lolongan teriakan pada langit dan semesta untuk menunda proses berkabung. Adam dan Erick berlari memisah dari rombongan, sampai badan Erick gemetar dan tubuhnya tak sanggup lagi menopang dirinya. Mantel yang mereka berdua kenakan hanya melindungi dari salju, tetapi tidak dengan rasa dingin yang membeku.
Adam mengusap air matanya. Ia tidak bisa mencegah gelombang memori buruk dan kemungkinan terpuruk berada di pikirannya. Andai mereka tetap di sana patuh pada pemandu, apakah mereka baik-baik saja? Atau hanya akan tinggal nama? Adam menggeleng, ini adalah takdir Yang Kuasa. Harapan yang sedikit ini terus menerus tergerus oleh jarum jam arlojinya yang berdenting. Mengapa waktu tidak sekalian membeku dan memutar balik sehingga mereka tidak mendaki.
Adam membuka pembungkus aluminium foil dan mengganti kaus kaki lembab Erick dan celana yang basah pada ujungnya. Air yang telah dihangatkan ia tuang ke botol mineral kecil dan dicampur beberapa dengan salju agar tidak terlalu panas. Ia letakkan botol-botol itu pada ketiak, leher, telinga, dan selangkangan Erick.
"Maafkan aku, Rick. Kuharap ini membuatmu lebih baik."
Adam melihat jam tangan yang ditautkan pada tali yang mengalung pada leher bersama dengan peluit, ia sudah melewatkan ibadahnya dhuhur dan menggantinya bersama dengan ashar. Selepasnya, ia mengangkat kedua tangan dan memanjatkan harapan atas kejadian yang mereka alami. Air mata Adam berjatuhan membayangkan maut menerpanya. Ia berjanji akan mengadakan syukuran pada kaum dhuafa ketika mereka berdua selamat.
Adam melirik dan mendekati Erick, ia mengecek suhu badan yang mendingin, pipinya masih memerah. Hipotermia yang sudah parah tidak akan bertahan lama. Ia pernah mendengar itu. Berapa lama waktu akan mereka lalui? Erick telah diterima di jurusan keguruan, bagaimana ia mengatakan pada kedua orang tua dan saudaranya bahwa---Adam tidak bisa menahan diri, badannya bergetar hebat di saat bersamaan karena dingin maupun teriakan dalam pikiran---anaknya telah pergi untuk selamanya.
Adam mengelus kepala Erick yang sebagian tertutup oleh Beanie. Ia menyadari bahwa daun telinga kiri Erick membiru, ia mengulurkan tangan dan memanjangkan topi Erick sehingga menutupi surai pirang kecoklatan dan juga telinga yang membiru. Adam memposisikan diri berada di bagian paling luar. Ia melihat api unggun dadakan yang tidak sebesar semula, semakin menyusut dan abunya bertambah. Tidak ada ranting kayu lagi. Batu pun basah dan dingin di luar hanya akan memadamkan api tersebut. Dalam kegamangan yang tiada ujung, ia akhirnya memeluk tubuh Erick dan membisikkan, "Kita pasti bisa selamat sobat, maafkan aku telah mengajakmu kemari," bisik Adam pilu dengan menyeka air matanya, "maafkan segala kesalahanku," ucapannya tertahan, "akan kusampaikan segalanya pada orang tuamu dan kuterima hukuman sebagai gantinya. Aku menyayangimu, sobat. Terima kasih atas segala kebaikanmu."
Adam memeluk erat tubuh Erick dengan erat bersama isak tangis yang sekuat tenaga ia tahan. Tangisnya tetap pecah, tetapi Adam tidak ingin saat-saat terakhir bersama sahabatnya diisi dengan kesedihan dan duka yang mendalam. Pengalaman melihat hamparan awan di Puncak Pegunungan Alpen, warna putih menyelimuti langit Swiss, atau jika beruntung mereka dapat melihat langit jingga yang bertengger di langit Prancis akhirnya mereka redam dalam benak masing-masing.
Air mata Erick menetes, kemudian Adam lekas mengusap anakan air mata itu.
'Tidakkah ini semua terlalu cepat, Ya Allah?' batin Adam bersama rasa sesak yang membuncah di dadanya.
Beberapa detik setelah Adam membatin, ia mendengar suara anjing menggonggong. Mata hijau Adam membelalak, sebuah gonggongan anjing? Ia membalikkan badan dan mendapati salju tidak sederas beberapa jam lalu. Ia bangkit dan berjalan menunduk. Terlihat di seberang seseorang mempersiapkan kegiatan ski. Anjing berjenis pemburu putihnya diikat pada sebuah pohon pinus.
"Tolong!" teriak Adam kencang bersama dengan lambaian tangan, ia kemudian meniup peluitnya dengan tiupan patah-patah tiga kali, tiga kali dengan lebih panjang, dan tiga kali patah-patah berulang-ulang. Lelaki itu sayup-sayup mendengar kode tersebut dan menoleh. Ia segera menghampiri Adam dengan ski-nya.
"Tuan tolong saya, teman saya." Leher Adam tercekat, ia tidak sanggup berkata sedikitpun.
"Hipotermia?"
Adam mengangguk.
Mereka tidak banyak berkata-kata, tetapi lelaki itu bersama dengan Adam membopong Erick. Dalam perjalanan, hanya terdapat debaran jantung dan gonggongan dari anjing putih Labrador Retriever. Sampai pada pemukiman pedesaan, ia segera meminta tolong pada salah satu wanita di rumahnya untuk menelpon ambulan.
Adam sangat cemas, sudah banyak waktu berlalu, ia berharap Erick dapat bertahan dan tidak kesulitan setelahnya.
Sembari menunggu ambulan, Adam diberi seduhan teh herbal panas.
"Aku cukup khawatir dengan keadaan temanmu, tapi semoga saja belum terlambat," ucap Tuan itu.
Adam mengangguk, ia tidak bisa berpikir, hanya bisa mengucapkan terima kasih yang sedari tadi ia lantunkan sepanjang perjalanan.
Masih satu teguk, ambulan sudah datang. Keduanya masuk ke dalam ambulan untuk mendampingi Erick. Erick mendapat perawatan intensif. Terdapat Frostbite pada daun telinganya.
"Nak Adam, kamu sudah berusaha dan kuat menghadapi keadaan mencekam," ucap Tuan Antonie sebagai penenang.
Tuan Antonie berbahasa Inggris mahir meski dari wilayah Jerman. Adam sangat bersyukur bertemu dengan orang sepeduli Tuan Antonie yang kerap melakukan ski setelah beberapa kali mendapati sinyal darurat. Ia kerap melakukan ski setelah badai untuk memastikan adanya manusia dengan anjingnya.
Laporan telah dibuat, hanya beberapa yang selamat dari kejadian maut itu. Orang tua Adam dan Erick datang tergesa-gesa dan saling mengkhawatirkan. Adam mendapat perawatan untuk memulihkan tenaganya, kemudian meminta pada Ayah Ibunya untuk menemui Erick dan kedua orang tuanya. Ia bersujud meminta maaf atas tindakannya, tetapi orang tua Erick justru berterima kasih.
"Erick Fox sudah dewasa, Nak, keputusan menyetujuimu adalah keputusannya. Itu bukan sepenuhnya kesalahanmu. Yang penting kalian berdua selamat," ucap Ibu Erick.
Adam menyalami Tuan dan Nyonya Fox kemudian berpelukan. Waktu terus berlalu sejak kejadian tidak mengenakkan tersebut. Langit terlihat lebih biru, banyak salju yang sudah mencair. Bunga bermekaran, banyak tunas yang bermunculan. Adam dan Erick bertemu kembali dengan pemandangan dengan penuh syukur. Mereka saling sapa dan membagikan bingkisan pasta yang mereka masak kepada kaum dhuafa di sekitar taman. Melihat senyuman dari orang-orang di sekitar membuat hati Adam maupun Erick turut menghangat.
"Adam, bolehkah antarkan aku pada Tuan Antonie? Aku berhutang terima kasih," ucap Erick sembari melihat pemandangan di taman.
Adam menggangguk, "Tentu, minggu depan kalau kamu mau."
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top