Aroma Hujan di Rerumputan

Budy, dengan seragam abu-abu yang kusut dan rambut yang selalu acak-acakan, adalah sosok yang tak terlihat di lautan siswa SMA Harapan Bangsa. Ia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku tentang astronomi, atau duduk di sudut kantin dengan buku catatan berisi coretan rumus matematika. Hidupnya bagaikan selembar kertas putih, polos dan tanpa warna. Ia tak punya teman dekat, hanya beberapa teman sekelas yang sebatas kenal wajah. Hari-harinya diisi dengan rutinitas yang membosankan, belajar, pulang, dan tidur. Namun, di balik kesunyiannya, Budy menyimpan sebuah bakat terpendam: mencuri gorengan tanpa ketahuan. Setiap sore, saat kantin ramai dengan siswa yang berdesakan, Budy dengan lihai mencuri gorengan pisang dan tahu isi dari etalase kantin. Ia melakukannya dengan sigap, tanpa disadari oleh penjual, dan selalu berhasil membawa pulang beberapa gorengan sebagai santapan malamnya.

Suatu hari, di tengah hiruk pikuk siswa yang berlarian menuju kelas, seorang siswi baru muncul. Namanya Tasya, dengan rambut panjang yang diikat pita merah dan senyum manis yang mampu membuat jantung siapapun berdebar. Tasya adalah gadis ceria dan periang, langsung menarik perhatian seluruh siswa, termasuk Budy.

"Hai, aku Tasya! Senang bertemu kalian semua," sapa Tasya dengan suara merdu yang membuat semua siswa terdiam.

Budy hanya bisa diam, matanya terpaku pada Tasya yang sedang berbincang dengan teman-temannya. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sebuah getaran yang membuat hatinya berdesir.

"Hei, kamu kok diem aja? Nama kamu siapa?" tanya Tasya, mendekati Budy.

"Budy," jawabnya gugup, "Budy Pratama."

"Oh, Budy! Kamu punya teman nggak?"

Budy menggeleng pelan.

"Wah, kasihan. Nanti kamu temenan sama aku ya!" ujar Tasya, "Aku suka banget ngobrol sama orang-orang baru."

Sejak saat itu, hidup Budy berubah. Tasya selalu mengajaknya ngobrol, bercanda, dan bahkan mengajaknya untuk makan siang bersama. Budy merasa hidupnya dipenuhi warna, seolah-olah Tasya telah melukis langitnya yang tadinya kosong dengan warna-warna cerah.

"Budy, kamu tau nggak? Aku punya ide," ujar Tasya suatu sore, sambil menyeringai.

"Ide apa?" tanya Budy penasaran.

"Kita lomba mencuri barang termahal di sekolah!" kata Tasya dengan semangat.

"Hah? Mencuri?" Budy tercengang.

"Iya, mencuri! Akan aku buktikan kemampuan mencuriku!"

Budy terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Oke, aku mau!"

Keesokan harinya, Budy dan Tasya mulai menjalankan misi mereka. Mereka berkeliling sekolah, mencari barang termahal yang bisa mereka curi.

"Tasya, kayaknya jam tangan Pak Kepala Sekolah yang paling mahal," kata Budy, sambil menunjuk jam tangan emas di meja Pak Kepala Sekolah.

"Wah, kalo itu mah, susah banget dicuri. Pak Kepala Sekolah kan selalu waspada," jawab Tasya.

"Gimana kalo kita curi kunci jawaban Ujian Nasional? Itu kan mahal dan rahasia," usul Budy.

"Ah, itu mah nggak seru. Kita harus cari barang yang lebih menantang!" kata Tasya.

Mereka akhirnya memutuskan untuk mencuri ponsel iPhone yang dipajang di ruang guru. iPhone itu adalah hadiah dari siswa kelas 12 untuk guru mereka, dan dikabarkan seharga jutaan rupiah.

"Oke, rencananya gini. Kamu pura-pura ngobrol sama Bu Guru, lalu kamu pura-pura jatuh pingsan. Pas Bu Guru lagi panik, aku langsung ambil iPhone itu," jelas Tasya.

"Hah? Aku pura-pura pingsan?" Budy merasa ragu.

"Iya, jangan takut! Aku jamin, Bu Guru pasti panik. Dia kan baik banget," kata Tasya.

Budy akhirnya setuju. Ia masuk ke ruang guru dan pura-pura ngobrol dengan Bu Guru. Kemudian, ia pura-pura jatuh pingsan. Bu Guru panik dan langsung menghampiri Budy.

"Budy, kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya Bu Guru, khawatir.

"A..aku..pusing.." kata Budy, sambil menahan napas.

"Kamu harus ke UKS, Ibu panggil Pak Guru dulu," kata Bu Guru, sambil berlari keluar.

Saat Bu Guru keluar, Tasya langsung masuk ke ruang guru dan mengambil iPhone. Ia berlari keluar sambil tertawa.

"Hore! Aku menang!" teriak Tasya, sambil berlari ke arah Budy.

Budy langsung terbangun, terkejut melihat Tasya yang sedang memegang iPhone.

"Hah? Kamu berhasil?" tanya Budy, terkejut.

"Iya, aku berhasil! Aku menang! Kamu hebat, Budy! Kamu berhasil mengalihkan perhatian Bu Guru!" kata Tasya, sambil tertawa.

Budy hanya bisa tersenyum. Ia merasa bahagia melihat Tasya yang begitu ceria. Kehadiran Tasya dalam hidupnya, bagaikan secercah cahaya yang menerangi kehidupannya yang selama ini gelap dan hampa. Mentari perlahan merangkak turun di ufuk barat, menyapa langit dengan warna jingga yang lembut. Cahaya senja menyinari halaman SMA Harapan Bangsa, menyelimuti bangunan kokoh dengan nuansa hangat. Debu-debu halus beterbangan tertiup angin sepoi-sepoi, menari-nari di antara pepohonan rindang yang menjulang tinggi. Di bawah rindangnya pohon beringin tua, Budy dan Tasya duduk berdampingan di bangku kayu. Mereka menikmati suasana senja yang menenangkan. Udara sejuk berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering.

"Tasya, aku sebenarnya ingin ngomong sesuatu sama kamu," ujar Budy, matanya menatap langit senja yang mulai berubah warna menjadi jingga kemerahan.

Tasya menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. "Apa itu, Budy?" tanyanya, matanya berbinar-binar.

Budy menghela napas panjang, "Sebenarnya, aku sangat berterima kasih sama kamu. Kamu mau jadi sahabatku. Aku ... aku selama ini kesepian, Tasya. Nggak punya teman. Aku selalu merasa sendiri."

Tasya terdiam sejenak, hatinya tersentuh mendengar pengakuan Budy. Ia tahu, Budy memang anak yang pendiam dan pemalu. Selama ini, ia selalu melihat Budy duduk sendirian di pojok kelas, membaca buku.

"Aku juga senang punya sahabat kayak kamu, Budy," jawab Tasya, suaranya lembut. "Kamu baik, pengertian, dan selalu bisa membuatku tertawa."

Budy tersenyum tipis, "Aku juga senang bisa membuat kamu tertawa, Tasya."

"Kamu tahu, Budy, hidup itu seperti cuaca," ujar Tasya, matanya menatap langit senja yang semakin gelap. "Kadang hujan, kadang panas.

Kadang cerah, kadang mendung. Tapi, semua itu akan berlalu. Yang penting, kita harus bisa menikmati setiap momennya."

Budy mengangguk, memahami analogi Tasya. "Kamu benar, Tasya. Kita harus bisa menikmati setiap momennya, baik suka maupun duka."

"Ya, Budy," sahut Tasya. "Kita harus saling mendukung dan menyemangati satu sama lain. Karena persahabatan itu seperti pelangi, indah dan penuh warna. Tapi sayangnya di masa kini pelangi itu disalahartikan."

Budy terdiam, merenungkan ucapan Tasya. "Tasya," panggil Budy, suaranya sedikit bergetar.

"Ya?" jawab Tasya, matanya menatap Budy dengan penuh perhatian.

"Aku... aku sebenarnya...," Budy terbata-bata, gugup.

Tasya tersenyum lembut, "Tenang saja, Budy. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan."

"Aku... aku takut kehilangan kamu, Tasya," ujar Budy, suaranya terdengar pelan.

Tasya terdiam, matanya membulat. Ia tidak menyangka Budy akan mengatakan itu. Ia merasa jantungnya berdebar kencang.

"Budy," jawab Tasya, suaranya sedikit gemetar. "Aku ...."

"Aku mengerti kalau kamu nggak suka sama aku," potong Budy, suaranya terdengar sedih. "Aku memang nggak punya apa-apa. Aku hanya anak biasa yang pendiam dan pemalu."

"Bukan begitu, Budy," ujar Tasya, matanya berkaca-kaca. "Kenapa kamu tidak ingin kehilangan aku?"

"Aku takut ... aku terlalu muda untuk memahami dunia orang dewasa yang sengsara ini .... Berjanjilah jangan menghilang ya?"

Tasya mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak akan hilang. Buktinya aku masih ada dihadapanmu!"

Budy tersenyum lebar, hatinya dipenuhi rasa bahagia. Ia tidak menyangka perasaannya dibalas oleh Tasya. Ia merasa seperti sedang melayang di awan. Mereka berdua terdiam, saling menatap dengan penuh kasih sayang. Senja semakin gelap, langit dipenuhi bintang-bintang yang berkelap-kelip. Suara jangkrik bergema di udara, menambah suasana romantis. Di bawah rindangnya pohon beringin tua, Budy dan Tasya saling berpegangan tangan, merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Mereka berdua menyadari bahwa persahabatan mereka telah berubah menjadi sesuatu yang lebih istimewa. Senja di SMA Harapan Bangsa semakin meredup, tetapi hati Budy dan Tasya dipenuhi cahaya kebahagiaan. Mereka berdua telah menemukan cinta di antara teman-teman mereka, di bawah langit senja yang indah.

Mentari pagi menyinari Pulau Dewata dengan hangat. SMA Harapan Bangsa, penuh dengan gelak tawa dan sorak sorai, bersiap memulai petualangan karya wisata ke Bali. Di antara keramaian, Budy dan Tasya, dua sahabat yang saling mencintai, tampak paling bersemangat. Mata mereka berbinar-binar, penuh harap akan hari-hari indah yang menanti.

"Tasya, aku nggak sabar lihat GWK!" seru Budy, matanya berbinar-binar.

"Aku juga, Budy! Nanti kita foto bareng di sana ya?" jawab Tasya, senyumnya merekah.

"Nanti kita foto di depan patung Garuda Wisnu Kencana, biar keren," sahut Budy.

Sepanjang perjalanan, mereka bercanda dan bernyanyi bersama teman-teman. Suasana bus dipenuhi dengan gelak tawa dan keceriaan. Budy dan Tasya saling berpegangan tangan, merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Hari pertama di Bali, mereka mengunjungi Garuda Wisnu Kencana. Keduanya takjub dengan keindahan patung raksasa yang menjulang tinggi di atas bukit. Mereka berfoto bersama, mengabadikan momen bahagia di tempat wisata ikonik Bali. Hari berikutnya, mereka mengunjungi Museum Geopark Batur. Budy dan Tasya mempelajari tentang sejarah dan keindahan alam Gunung Batur. Mereka takjub dengan koleksi batuan vulkanik dan fosil yang dipajang di museum.

"Tasya, aku baru tahu kalau Gunung Batur itu gunung berapi yang masih aktif," ujar Budy, matanya berbinar-binar.

"Iya, Budy. Gunung Batur itu salah satu gunung berapi yang paling aktif di Indonesia," jawab Tasya.

Malam hari, mereka menikmati keindahan sunset di Pantai Kuta. Budy dan Tasya duduk berdampingan di tepi pantai, menikmati semilir angin laut dan deburan ombak. Mereka saling bercerita tentang impian dan cita-cita mereka. "Tasya, sebenarnya aku punya satu keinginan yang belum terwujud ," ujar Budy, matanya menatap Tasya dengan penuh kasih sayang.

"Benarkah? Apa itu?," jawab Tasya, matanya berbinar-binar.

"Aku ingin bertemu dengan Ayahku. Sudah lama aku tidak berkomunikasi dengannya seperti orang mati. Dia ada tapi keberadaannya tidak pernah terasa bagiku."

"Suatu saat nanti keinginanmu itu pasti terwujud! Aku jamin!" ujar Tasya merangkul pundak Budy.

Kebahagiaan mereka seakan tak berujung. Namun, takdir berkata lain. Malam itu, saat bus yang mereka tumpangi hendak menuju penginapan, tragedi terjadi. Rem bus blong dan bus menghantam pembatas jalan. "Aaaa!" jeritan para siswa dan guru memenuhi udara. Kejadian itu begitu cepat. Budy dan Tasya terhempas ke dalam bus, tubuh mereka terluka. Semua siswa dan guru segera dievakuasi ke rumah sakit terdekat. Budy mengalami hipotensi dan gegar otak. Ia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi perban. Budy terdiam,

hatinya dipenuhi rasa cemas. Ia berharap Tasya baik-baik saja. Namun, hari-hari berganti, tak ada kabar tentang Tasya. Seminggu setelah kejadian itu, Budy masih belum bisa bertemu Tasya. Ia merasa sangat kesepian, tanpa sahabatnya itu.

"Tasya... Tasya di mana? Apa dia masih hidup?" tanya Budy, matanya berkaca-kaca.

Budy mencoba menghubungi Tasya melalui telepon tetapi tak ada jawaban. Ia merasa putus asa. Entah apa yang terjadi padanya. Seminggu kemudian, Budy dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Ia merasa sangat lelah dan kesepian. Ia merindukan Tasya, sahabatnya yang selalu ada untuknya. Karya wisata yang seharusnya menjadi momen indah, berubah menjadi tragedi yang memilukan. Di bawah langit senja yang berwarna jingga kemerahan, Budy terbaring lemas di ranjang rumah sakit, diiringi oleh tangisan pilu yang menggema di ruangan itu. Seorang perempuan memasuki ruang rawat inap dengan rambut terurai panjang.

"Tasya!"

"Budy, aku minta maaf. Aku tak bisa melawan takdir."

"Apa maksudmu?"

"Dengar, Budy. Aku tidak akan berada di sisimu lagi. Tapi aku akan selalu mendengarkan segala ceritamu bersama aroma hujan di rerumputan basah. Dan yang pasti, keinginanmu akan segera terwujud."

Budy hendak meraih lengan Tasya tetapi sosok berpakaian putih itu hilang seketika.

"Tidak! Tasya!"

Perawat dan beberapa petugas medis membuka kamar rawat inap dan terkejut ketika mendapati Budy jatuh dari ranjang pasien dan tergeletak lemas di lantai. Mereka segera melakukan pemulihan dan pemasangan selang infus.

Kabar kematian Tasya mengagetkan seisi sekolah SMA Harapan Bangsa. Kecelakaan bus karya wisata di Bali rupanya memakan satu korban jiwa. Budy begitu kehilangan ketika ia dihadapkan pada kenyataan. Ia kemudian segera menjalani proses perawatan pemulihan kondisi psikis dan fisik dimana ia mengalami gangguan tidur. Budy memerlukan beberapa hari untuk bisa sembuh.

Hari ini tepatnya awal Desember, hujan turun begitu deras mengiringi perjalanan jenazah Tasya ke liang lahat. Orang-orang kompak berpakaian serba hitam dan membawa payung untuk berlindung dari derasnya hujan yang masih berlangsung sejak semalam. Pagi itu matahari seolah enggan menampakkan diri dengan bersembunyi di balik awan. Suasana begitu sunyi dan syahdu bersama dengan suara tangisan dari pihak keluarga. Namun, Budy tidak ingin air matanya jatuh begitu saja. Ia percaya, tangisan dan kepedihan itu hanya akan mempersulit jalan roh manusia untuk bersatu dengan Sang Pencipta. Maka dari itu kepergian seseorang hendaknya disikapi dengan lapang dada dan penuh makna seperti awal pertemuan. Seusai meletakkan sekuntum bunga marigold, Budy mengamati suasana pemakaman yang begitu syahdu. Rerumputan bergoyang kala angin dari timur meniup lembut pelipisnya bersama hujan yang masih menyisakan rintik-rintik. Ia masih ingat bahwa Tasya pernah berpesan padanya bahwa meski ia tak mampu membalas tetapi ia akan senantiasa mendengarkan.

"Jangan cari aku lagi. Aku sudah bahagia di sini. Kapan-kapan kita bertemu kembali."

Ketika hendak meninggalkan area pemakaman, seorang pria dengan setelan jas hitam keluar dari mobil APV. Ia berjalan tegap dengan membawa payung seraya tersenyum manis ke arah Budy. Ia hampir tak dapat berkata-kata ketika melihat sosok pria tinggi besar itu. Ya, dia mengenalinya. Secara tidak langsung, Tasya telah mempertemukan mereka berdua setelah sekian lama.

"Kamu masih benci sama Ayah, Budy?"

"Masih."

Mereka berdua berpelukan erat-erat bersama aroma hujan deras dan rerumputan yang bergoyang yang menjadi saksi pertemuan mereka setelah melewati ribuan purnama. Budy berbisik dalam hati dan ia meyakini bahwa Tasya kini sedang tersenyum di luar dimensi sana.

"Tasya, aku bahagia mengukir memori indah bersamamu yaitu momen ketika kita mencuri barang mahal di sekolah. Tetapi kini aku jauh lebih bahagia karena kamu telah mencuri hatiku!"

Di dunia yang berbeda, mereka berdua akan selalu bersama, dalam sebuah ikatan cinta yang tak terpisahkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top