BAB 9
Ferdi tidak pernah menyinggung masalah sms itu, bahkan semua pembicaraan kami tidak pernah sedikitpun menyinggung nama Kania. Aku sedikit lega karena itu berarti Kania tidak mempersoalkan hal itu lebih lanjut. Walaupun heran, tapi aku tidak ingin membuat masalah baru dengan membicarakan hal itu dengan Ferdi.
Pada suatu hari ayah mengajak seorang temannya mengajar dan memperkenalkannya padaku. Seorang duda tanpa anak, istrinya meninggal dua tahun setelah mereka menikah karena kanker rahim. Usianya hanya terpaut enam tahun di atas usiaku. Dia adalah wakil kepala sekolah yang baru dipindah tugaskan dari Palangkaraya.
Namanya Irawan, cukup tampan dan sikapnya santun terpelajar. Aku menemaninya mengobrol sementara ayah berada di kamar berganti baju. Pembicaraan ringan seperti layaknya dua orang yang baru saling mengenal. Ayah kelihatan sumringah sekali ketika beliau keluar dari kamar, sudah memakai kaos oblong dan sarung.
"Nak Irawan ini baru dipindahkan dari Palangkaraya, dan langsung diangkat menjadi wakil kepala sekolah karena prestasinya yang luar biasa," puji ayah. Irawan hanya tersenyum simpul.
"Bisa saja Pak Arman ini, kebetulan saja saya beruntung mendapat kesempatan untuk berbagi ilmu."
"Win, Pak Irawan sedang mencari rumah yang bisa dikontrak, supaya lebih leluasa, karena selama menunggu surat pengangkatan resmi Pak Irawan tinggal bersama kakaknya yang sudah berkeluarga. Kamu bisa membantunya?"
Aku teringat rumah saudara sepupunya Indri yang pernah diiklankan di papan pengumuman kantorku. Kalau tidak salah, alamatnya dekat dengan sekolah tempat ayah dan Irawan mengajar.
"Kalau besok saya minta tolong Wina untuk mengantarkan saya pada pemilik rumah itu, bagaimana?" tanya Irawan ketika aku menceritakan hal itu.
"Boleh saja, tapi mungkin setelah saya pulang kantor, karena tidak enak rasanya kalau saya harus minta ijin keluar pada jam kerja."
"Tidak apa-apa, saya mengerti. Kalau begitu, tidak apa-apa saya menjemput Wina di kantor, supaya kita bisa langsung melihat rumah itu?"
Aku menyanggupi untuk mengantarnya melihat rumah kontrakan itu sepulang kerja besok. Aku berpikir tidak ada salahnya menolong orang yang sedang membutuhkan.
$$$$$
Tampaknya Irawan puas dengan rumah yang kami lihat. Walaupun tidak terlalu besar, tapi rumah itu kelihatan terawat dan nyaman. Ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi di dalamnya, selain ruang tamu, ruang makan yang bersatu dengan dapur dan tempat mencuci yang terpisah di bagian belakang. Ada taman kecil yang asri di bagian depan rumah.
Kami langsung menemui pemiliknya dan Irawan memberikan uang muka. Bagiku, ini seperti de javu, ketika dua belas tahun yang lalu aku mengalami hal yang sama dengan Ferdi. Hanya bedanya kali ini aku yang menolong Irawan.
Kerinduanku pada Ferdi mengusik pikiran. Tiga hari yang lalu Ferdi mengirimkan sms singkat, mengabarkan kesibukannya memulai usaha baru di bidang pemintalan benang, sekaligus meminta maaf kalau dia tidak bisa terlalu sering menghubungi aku.
"Win, kamu mau langsung pulang atau ...?" tegur Irawan.
Aku tersentak dari lamunan tentang Ferdi. "Oh maaf. Kalau urusan Bapak sudah selesai, mungkin sebaiknya kita langsung pulang saja, aku khawatir ayah cemas menunggu aku pulang."
"Boleh aku meminta sesuatu padamu Win?" tanya Irawan hati-hati.
"Ya?"
"Tolong panggil aku Irawan, atau Iwan saja. Usia kita tidak terlalu jauh berbeda, risih rasanya mendengar sebutan 'bapak' diluar sekolah, aku jadi merasa tua."
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Melihat penampilannya sore ini ketika dia menjemputku di kantor memang rasanya tidak cocok di panggil bapak. T-shirt biru tua bertuliskan 'ADIDAS' yang dilapisi jaket kulit dan dipadu celana jeans yang warna birunya hampir pudar membuat Irawan kelihatan seperti mahasiswa ketimbang seorang wakil kepala sekolah.
Indri sempat heran ketika aku meminta alamat sepupunya yang memasang iklan rumah kontrakan. Dia mengira aku yang akan mengontrak rumah itu. Aku memperkenalkan Indri pada Irawan, agar dia tidak terus mendesakku dengan komentar-komentar nyinyir, karena melihat aku dijemput Irawan.
"Baiklah...Iwan," kataku spontan. Irawan tersenyum dan kemudian memberikan helm padaku. Ayah sudah menunggu di teras ketika kami sampai di rumah. Aku langsung masuk ke dalam kamar untuk berganti baju, sedangkan Irawan mengobrol dengan ayah.
"Irawan sudah pulang yah?" tanyaku ketika tak lama kemudian aku keluar dari kamar. Ayah menurunkan koran yang sedang dibacanya.
"Baru saja. Tidak enak kalau terlalu malam katanya," ayah menepuk kursi di sebelahnya menyuruhku duduk. "Dia itu pemuda yang baik."
"Kelihatannya memang begitu Yah. Untunglah dia langsung menyukai rumah yang kutunjukkan tadi, jadi urusannya bisa cepat selesai, malah katanya dia mau mulai beres-beres untuk pindah besok."
Ayah mengangguk-angguk. Aku melihat dahinya berkerut-kerut, seperti ada sesuatu yang yang sedang dipikirkannya. Malam semakin larut. Aku merindukan kehadiran Ferdi.
$$$$$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top