BAB 7
Aku dan Ferdi masih terus berhubungan setelah kejadian itu. Kami tidak pernah lagi membahas tentang keadaan rumah tangganya dengan Kania. Walaupun beberapa kali secara sepintas lalu Ferdi mengatakan terjadinya masalah serupa, namun kelihatannya Ferdi sudah lebih banyak belajar cara untuk mengatasi kemarahan Kania.
Walaupun kadang kala perasaan bersalah menderaku, namun aku tetap bertahan pada keadaanku sekarang. Pernah sekali waktu, ketika pertengkaran antara Ferdi dan Kania terjadi lagi, kali ini jauh lebih hebat karena Kania sudah benar-benar pulang ke rumah orang tuanya membawa Alika, Ferdi menjatuhkan talak pada istrinya itu.
Orang tua Kania meminta agar Ferdi berpikir jernih sebelum memutuskan. Walaupun Kania sendiri sudah ikhlas menerima keputusan Ferdi, karena dia tidak tahan dengan keadaan rumah tangganya yang terus dibayang-bayangi olehku, orang tua Kania tidak mau menerima begitu saja keputusan Ferdi. Mereka merasa harus mempertahankan hak Kania sebagai istri, apalagi dengan adanya Alika.
Pada akhirnya Ferdi menarik kembali keputusannya itu dan bahkan sempat berjanji untuk tidak lagi berhubungan denganku, demi untuk meredakan suasana yang sedang panas. Meskipun demikian, hubungan antara aku dan Ferdi tetap berjalan seperti biasa, walaupun aku dapat merasakan sedikit perubahan sikap Ferdi. Dia seperti memberi jarak terhadapku.
Aku tidak pernah mendahului menghubunginya karena takut akan terjadi masalah. Ketika Ferdi mengirimkan sms menanyakan keadaanku setelah lima hari absent, aku memberanikan diri meneleponnya.
"Mas, aku kangen sekali, sudah lama kita tidak ngobrol seperti ini," sambutku setelah mendengar suaranya.
"Aku juga kangen Win, tapi situasiku disini tidak memungkinkan aku untuk sering-sering menghubungi kamu," aku mendengar gemerisik ponselnya sejenak sebelum suara Ferdi yang bergetar terdengar lagi. Aku dapat menangkap nada gembira di dalamnya. "Kania hamil Win, sudah hampir dua bulan."
Ponselku hampir terlepas dari tangan. Dalam hati aku memaki diri sendiri, menyadari kebodohanku. Tentu saja Kania bisa hamil lagi, bukankah dia dan Ferdi adalah sepasang suami istri yang sah?
"Selamat ya Mas, aku ikut gembira mendengarnya."
"Maafkan aku Win, sebenarnya aku tidak bermaksud membuatmu sebal dengan berita ini, tapi aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri dengan mengatakan aku tidak gembira mengetahui kehamilan Kania."
"Tidak apa-apa, Mas, aku mengerti kok! Mana ada laki-laki yang tidak bahagia mengetahui kehamilan istrinya? Aku doakan semoga Kania dan bayinya sehat."
Secara tidak langsung aku tahu, berbagai pertengkaran yang dilalui Ferdi, malah membuat rumah tangga mereka semakin kokoh. Kania jadi lebih menyadari posisinya sebagai istri yang sah, sedangkan aku sama sekali tidak punya kekuatan apa-apa.
Kehamilan kedua Kania akan membuat Ferdi semakin berat melepaskan dirinya, bahkan seandainya Kania memaksa sekalipun. Ferdi adalah laki-laki yang sangat menjaga harga diri dan tanggung jawabnya.
Mungkin benar apa yang pernah dikatakan Indri, pilihanku hanya dua, pergi untuk selamanya dari kehidupan Ferdi, atau masuk sekalian sebagai istri kedua Ferdi. Entah setan mana yang mempengaruhiku begitu kuat, secara spontan aku nyatakan keinginanku itu pada Ferdi.
"Wina, kalau memang aku harus mengambilmu sebagai istri kedua, aku tetap ingin mendapat restu yang ikhlas dari Kania, karena walau bagimanapun berhaknya aku, tanpa keikhlasan dari Kania, aku tidak yakin kita bisa bahagia."
"Aku tahu Mas. Aku hanya ingin Mas Ferdi tahu, kalau memang aku harus menjadi istri keduamu supaya bisa tetap bersamamu, aku siap, kapanpun Kania siap menerimaku."
Aku tidak tahu mengapa aku sampai berani mengatakan hal seperti itu. Rasa takut kehilangan Ferdi mengalahkan akal sehatku, mengalahkan raasa takut terhadap kemarahan orang tuaku bila suatu saat mereka mengetahui keadaan ini. Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidup Ferdi seutuhnya.
$$$$$
Ferdi menelepon aku pagi ini, mengatakan bahwa saat ini dirinya sudah berada di kamar penginapan yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantorku. Rasanya aku ingin tertawa sekeras-kerasnya, tidak menyangka sama sekali dengan hal yang dikatakannya.
Dengan beralasan harus menyelesaikan pekerjaan yang harus dilaporkan hari Senin, aku pamit pada orang tuaku untuk lembur di kantor. Hari ini hari Sabtu, biasanya aku libur karena waktu kerjaku hanya sampai hari Jum'at.
Ferdi membuka pintu kamar penginapan, tersenyum lebar. Tak sampai satu detik kemudian kami sudah berpelukan begitu erat. Terlalu banyak kerinduan yang mendera, sampai terasa sesak menyumpal dada. Aku memuaskan diri mereguk kehangatan berada dalam pelukannya, meresapi harum tubuhnya yang khas, yang selama ini hanya bisa aku khayalkan sebagai pengobat rindu.
"Berapa lama Mas berada disini?" tanyaku sambil mempermainkan kancing kemejanya. Kami berbaring sambil tetap berpelukan, tidak rela saling melepas.
"Besok sore aku sudah harus kembali ke Jakarta, Win. Nanti siang aku ada janji dengan calon klien, pemilik pabrik tekstil terbesar di kota ini. Setelah itu kita bisa menghabiskan waktu bersama-sama sampai besok, sebelum aku pulang."
Aku bersyukur untuk waktu sangat singkat yang bisa kulalui bersamanya, meskipun tidak yakin bisa menghabiskan membantuku menguras kerinduan yang aku rasakan setelah lebih dari dua tahun berpisah.
Sempat merasa sangat berdosa pada ibu karena membohonginya, aku beralasan akan menginap di rumah Indri, karena suaminya sedang keluar kota dan Indri memintaku menemaninya. Malam itu aku dan Ferdi memuaskan diri saling melepaskan segala perasaan yang lama terpendam.
Keesokan harinya, aku mengantar Ferdi ke bandara. Aku menangis dalam pelukannya ketika panggilan untuk Ferdi menaiki pesawat terdengar. Aku tidak mau bertanya kapan aku bisa bertemu lagi dengannya, karena firasatku mengatakan saat seperti ini adalah yang terakhir bagi kami. Ferdi menciumi wajahku berkali-kali, matanya berkaca-kaca. Hanya karena dirinya laki-laki, Ferdi lebih menahan perasaan.
"Wina, maafkan aku, aku tidak bisa membuatmu bahagia. Aku hanya mengambil keuntungan darimu, tanpa bisa memutuskan apapun. Maafkan aku."
Aku menaruh telunjuk di atas bibirnya, "Jangan Mas, jangan pernah berpikir seperti itu. Aku mencintaimu dengan tulus, tidak berharap apa-apa darimu. Aku cukup puas dengan keyakinan bahwa kamu juga mencintai aku, walaupun kita mungkin belum bisa bersatu. Aku percaya, untuk cinta, selalu ada jalan yang terbaik untuk ditempuh."
Aku memandangi pesawat yang ditumpangi Ferdi sampai lenyap di balik awan. Aku tahu, Ferdi pulang membawa cintanya padaku, seperti dia juga menitipkan cintanya untukku. Apa yang kami lalui bersama semalam sudah cukup membuat hatiku bahagia.
$$$$$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top