BAB 6
Sudah empat hari aku tidak mendengar kabar apapun dari Ferdi. Terakhir kali kudengar kabar darinya, dia sedang sibuk mengurus klien baru, sebuah perusahaan tekstil yang sedang berkembang. Aku berdoa supaya dia bisa memajukan usahanya.
Kesehatan ibu mulai membaik, mungkin karena beliau tidak memanjakan diri dan berkeinginan kuat untuk sembuh. Hal itu membuatku sedikit lebih santai, karena tidak harus selalu was-was setiap kali akan berangkat ke kantor. Adikku yang bungsu juga sedikit-sedikit mulai belajar merawat ibu, apalagi sekarang dia sedang libur sekolah.
Pernah suatu kali ibu menanyakan tentang Ferdi dengan nada sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya pacaran jarak jauh Win?"
Aku tersipu, "Yah...mau bagaimana lagi, Mas Ferdi juga sibuk dengan pekerjaannya, aku tidak bisa terlalu banyak menuntut."
"Mungkin kalau ibu tidak sakit dan kamu harus pulang, sekarang kamu tidak perlu berjauhan dengannya. Kamu bisa mencari kerja di Jakarta dan selalu bersama dengannya sampai waktunya tiba untuk kalian menikah."
Aku meraih tangan ibu yang mulai keriput. Pada usianya yang baru menjelang lima puluh tahun, kulit ibu sudah menjadi tua karena pengaruh obat-obatan yang harus rutin diminum semenjak sakit.
"Bu, aku tidak mau ibu berkata seperti itu lagi, ya? Aku ada disini bukan karena ibu sedang sakit, tapi karena itu memang yang terbaik untukku. Hubunganku dengan Mas Ferdi baik-baik saja, sekalipun kami berjauhan. Aku percaya padanya seperti dia juga menyimpan kepercayaan besar padaku, dan itu cukup untuk kami."
"Mungkin ada baiknya kalau kalian cepat menikah, nak. Apalagi yang kalian tunggu? Tidak baik berlama-lama pacaran, apalagi kalau dipisahkan oleh jarak seperti ini. Kalian berdua sudah bekerja dan umur kamu sudah lebih dari cukup untuk membina rumah tangga. Apa kalian sudah pernah membicarakan rencana untuk menikah?"
Wajahku rasanya tidak berdarah, pasti pias memucat. Kata-kata ibu membuatku seperti ditampar. Sebagai seorang ibu, beliau pasti mencemaskan keadaan putrinya yang sudah menjelang usia matang untuk menikah, namun belum pernah membawa seorangpun laki-laki yang kemudian dikenalkan sebagai kekasihnya.
Ada keinginan dalam hatiku untuk menceritakan keadaan sebenarnya hubunganku dengan Ferdi, namun sebuah bisikan kecil jauh di sudut hatiku melarang untuk melakukan itu. Aku yakin, tidak ada seorang ibu manapun yang rela melihat putrinya menjadi istri kedua atau wanita simpanan seorang laki-laki, apalagi dengan keadaaanku yang sebenarnya tidak termasuk ke dalam dua kategori itu.
Aku tidak ingin menambah kesusahan ibu yang sampai kini masih harus bergelut melawan penyakit ginjalnya. Biarlah semua ini aku atasi dengan caraku sendiri. Aku hanya memeluk ibu sekedar membuatnya tenang dan secara tidak langsung menyatakan bahwa 'aku baik-baik saja'.
$$$$$
Ferdi menelepon ponselku malam itu. Suaranya lesu dan menyiratkan susah hati yang sedang dialaminya. Setelah saling menyatakan rasa rindu di hati masing-masing, aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Mas, ada apa? Tidak biasanya Mas Ferdi begini lesu? Mas Ferdi sakit?"
Ferdi tidak segera menjawab, aku mendengar helaan nafasnya yang berat. "Aku bertengkar hebat dengan Kania. Dia membuka ponselku dan menemukan nomormu yang sering kuhubungi. Beberapa sms yang belum sempat kuhapus juga sempat dibacanya. Aku marah besar karena kelancangannya, tapi dia jauh lebih marah."
"Lalu?"
"Kania minta cerai Win. Dia bahkan sudah mengadukan hal ini pada orang tuaku. Kemarin dia nekat membereskan semua pakaian miliknya dan Alika, dia mau pulang ke rumah orang tuanya di Cirebon, untung saja bisa kucegah. Aku takut terjadi apa-apa pada mereka berdua bila kubiarkan."
Aku terdiam. Berbagai pemikiran berseliweran dalam benakku, namun tak satupun dapat aku ungkapkan. Saat ini aku merasa Ferdi butuh dukungan untuk mengambil sikap, apapun itu.
"Bagaimana keadaan Kania dan Alika sekarang? Mereka baik-baik saja?"
"Kania mendiamkan aku, walaupun dia tetap melayaniku seperti biasa. Itulah hal yang kukagumi darinya, semarah apapun dia tetap melakukan kewajibannya sebagai istri dengan baik. Alika juga ikut-ikutan marah karena dia melihat ibunya sering menangis kalau tidak ada aku. Alika bilang aku jahat karena membuat ibunya sedih."
"Mas, bagaimana tentang permintaan cerainya?" aku bertanya hati-hati. Sejujurnya, aku melihat setitik harapan dari keadaan ini. Aku berpikir, seandainya aku berkaca sekarang, mungkin aku dapat melihat tanduk di kepalaku.
"Aku tidak bisa menceraikan Kania, dia tidak melakukan apapun yang salah terhadapku. Bagaimana dengan Alika? Apa pendapatnya tentang aku kelak bila pada akhirnya dia bisa mengerti, ayahnya menceraikan ibunya karena ada wanita lain dalam kehidupan ayahnya? Walau bagaimanapun juga, mereka berharga untukku."
Tuhan, perih yang amat dalam menggores tajam ke dalam hatiku. Apakah memang Ferdi tidak ditakdirkan untuk menjadi milikku, bahkan pada saat ada sedikit celah untuk kami bisa bersatu, dia tidak mau melihat kemungkinan itu bisa terwujud.
Selanjutnya aku hanya mendengarkan saja keluh kesahnya, memberikan kata-kata hiburan yang sebenarnya kutujukan pada diriku sendiri. Malam itu aku tidur dengan berurai airmata.
$$$$$
Indri menegurku dengan sikapnya yang kritis keesokan harinya. Walaupun aku sudah mencoba dengan segala trik make-up yang aku tahu untuk menutupi sembab di mataku, nampaknya hal itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap Indri.
Akhirnya aku menceritakan juga pada Indri pembicaraanku dengan Ferdi malam sebelumnya. Sebisa mungkin aku berusaha menahan air mata yang rasanya tidak bisa kukendalikan, agar tidak menetes jatuh.
"Win, itu hanyalah sebagian kecil dari akibat yang harus kamu terima. Kamu tidak bisa menghindarinya. Sekarang semuanya kembali padamu, apakah kamu mau terus begini, atau kamu ingin perubahan yang nyata? Minimal kamu sendiri yang menentukan sikap, bila Ferdi tidak bisa melakukan itu."
"Masalahnya Dri, aku bingung dengan keputusan Ferdi. Dia tidak mau menceraikan Kania, padahal Kania sendiri yang meminta untuk bercerai. Kania sudah merelakan berpisah dengan suaminya, daripada dia sakit hati diduakan denganku."
"Wina, tidak perlu bingung! Aku mengerti kenapa Ferdi tidak mau menceraikan istrinya. Aku melihat Ferdi adalah laki-laki yang baik. Sudah terlalu banyak hal yang dilaluinya bersama Kania, bahkan sebelum kamu hadir dalam kehidupannya, apalagi dengan adanya seorang anak di antara mereka. Dia tidak bisa begitu saja melepaskan perempuan yang sudah menanamkan arti begitu dalam di hidupnya tanpa rasa bersalah."
"Ferdi mencintai Kania, dan dia lebih lagi mencintai Alika."
"Bagus kalau kamu menyadari itu. Mereka berharga buat Ferdi, walaupun bukan berarti kamu tidak berarti apapun untuknya. Ini dilemma besar untuk Ferdi sendiri, dan terus terang aku kasihan padanya."
Diam-diam aku mengakui kebenaran semua kata-kata Indri. Sejak pertama kali aku mulai berhubungan dengan Ferdi, tidak pernah sekalipun Ferdi mengatakan hal kurang baik atau menceritakan kekurangan Kania. Aku sadar hal itu bukan saja karena Ferdi adalah seorang laki-laki yang baik, tapi lebih karena Ferdi memang mencintai Kania. Kalau aku tidak hadir di antara mereka, mungkin cinta mereka akan semakin kuat, apalagi dengan hadirnya Alika kini.
"Aku harus bagaimana Dri? Apa yang harus kulakukan?"
"Jangan melakukan apapun, karena ini bukan tanggung jawabmu. Kamu juga sebenarnya korban disini, akibat sikap Ferdi yang tidak tegas. Aku yakin, kalau Ferdi memintamu untuk menjadi istri keduanya, kamu pasti akan menerima. Masalah istrinya setuju atau tidak, itu bukan urusanmu. Kalau Ferdi memutuskan untuk berhenti berhubungan denganmu, kamu juga tidak punya hak untuk menolak, karena posisimu dengan Kania tidak sebanding."
"Ferdi juga pernah mengatakan secara tidak sengaja, mungkin saat itu ucapannya itu terlontar tanpa disadari, bahwa Kania dan Alika baginya tidak bisa dibandingkan dengan apapun."
"Nah! Aku yakin, dia pasti pernah menyarankan kamu untuk untuk mulai membuka diri terhadap laki-laki lain, karena kemungkinan kalian untuk bersama sekarang jauh lebih kecil dari sebelum dia menikahi Kania."
"Ya, bahkan kemarin dia sempat mengatakan kembali hal seperti itu."
Indri hanya mengangguk-angguk. Kelihatannya Indri ingin memberikan kesempatan padaku untuk memikirkan kembali kata-kata Ferdi itu. Sungguh aku merasa seperti orang buta, meraba-raba bentuk dalam gelap, meskipun di sekelilingku terang benderang.
$$$$$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top