BAB 5
Aku mengambil pekerjaan sebagai staf personalia di sebuah perusahaan tambang batu bara yang lumayan bonafid. Pertimbanganku, selain jaraknya yang dekat dengan rumah, hanya perlu sepuluh sampai limabelas menit dengan angkutan umum, gaji yang ditawarkan juga cukup menarik.
Ucapan selamat dari Ferdi datang melalui sms sehari sebelum aku mulai bekerja. Rasa sakit yang kurasakan sebelumnya akibat balasan sms yang ditulis Kania seolah menguap begitu saja ketika kata-kata manis Ferdi kubaca. Tampaknya Ferdi sama sekali tidak tahu tentang sms berupa puisi yang kukirimkan dan sms bernada pedas yang dikirimkan Kania untukku. Dia sama sekali tidak menyinggung soal itu.
Aku meneleponnya langsung setelah kuketahui saat itu dia sedang berada di kantornya. "Mas, bagaimana usaha kargomu? Semuanya lancar?"
"Sedang sepi Win, bahkan beberapa klien sempat mengulur pembayaran, sampai akhirnya aku terpaksa meminjam perhiasan Kania untuk dijual dan dijadikan penutup hutang usaha sementara waktu."
"Kania masih bekerja?"
"Ya, dan kurasa untuk sementara ini itu yang terbaik untuk kami. Minimal untuk kebutuhan sehari-hari bisa diatasi dari gaji yang didapatnya, sedangkan aku memikirkan hal-hal lain yang lebih besar. Alika sudah semakin besar dan sebentar lagi masuk sekolah."
Aku membayangkan seorang gadis cilik yang cantik. Kulitnya putih seperti ibunya, tapi yang bisa kulihat dari foto yang diperlihatkan Ferdi sebelum aku pulang, Alika mirip sekali dengan Ferdi.
"Besok aku mulai bekerja Mas, di perusahaan batu bara yang waktu itu kuceritakan."
"Moga-moga kamu betah ya Win, apalagi perusahaan itu juga cukup bagus reputasinya dalam memperhatikan kesejahteraan karyawan. Oya, bagaimana kabar ibu?"
"Masih begitu-begitu juga, belum banyak perubahan. Untung saja ibu tidak pernah sulit untuk mengikuti perintah dokter. Ibu masih memaksakan untuk makan walaupun kadang-kadang mual dan muntah. Minimal kondisi tubuhnya tidak menurun."
"Sabarlah Win, aku yakin suatu saat ibu akan sembuh, apalagi sudah ada kamu yang merawatnya sekarang."
"Itulah sebabnya aku mengambil pekerjaan ini, karena kantornya dekat dengan rumahku. Mungkin sewaktu-waktu ada sesuatu terjadi pada ibu, aku bisa cepat pulang."
"Win, aku rindu sekali padamu."
Hatiku berbunga-bunga mendengar pernyataan Ferdi. Selanjutnya kami berbicara tentang perasaan masing-masing, cukup lama sampai ketika selesai pembicaraan pulsaku habis, padahal baru kubeli tiga jam sebelumnya. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri, merasa seperti ABG yang baru merasakan cinta.
"Kamu bicara dengan siapa Win? Kok senyum-senyum sendiri?" tegur ibu, yang masuk ke ruang tamu sambil membawa gelas berisi susu.
"Teman bu, di Jakarta."
"Teman?" ibu mengerling, "Semesra itu pembicaraanmu dengan seorang teman? Ayolah nak, kamu tidak bisa membohongi ibu, pasti dia teman istimewa 'kan? Siapa namanya?"
Aku tersipu-sipu, "Namanya Ferdi, dia kakak kelas waktu kuliah. Sekarang dia bekerja di Jakarta."
"Syukurlah kalau kamu sudah menemukan orang yang cocok untukmu Win, ibu berharap dia bisa memberikan kebahagiaan untukmu. Sesekali undanglah dia untuk bertemu ayah dan ibu."
Aku terdiam, tidak bisa mengatakan apa-apa. Bu, aku berharap lebih jauh dari apa yang ibu harapkan, hanya saja aku tidak yakin semua itu akan terwujud. Aku tidak ingin berharap terlalu tinggi. Cinta Ferdi saat ini cukup bagiku.
$$$$$
Suasana kantor yang nyaman, dengan teman-teman kerja yang ramah dan atasan yang penuh perhatian, membuatku betah menjalani pekerjaan. Aku segera akrab dengan Indri, seorang staf di bagian keuangan. Dia baru menikah dengan seorang laki-laki yang dikenalnya sejak kecil. Sifatnya yang periang dan ceplas-ceplos membuatku merasa senang berlama-lama mengobrol dengannya.
Reaksi Indri ketika pertama kali keceritakan tentang Ferdi adalah bingung. Dia bahkan menganggapku gila, karena bersedia dijadikan wanita kedua. Aku hanya bisa mengatakan bahwa rasa cintaku terhadap Ferdi mengalahkan ego untuk memiliki dirinya secara utuh.
"Lalu bagaimana dengan istrinya? Apa dia tahu suaminya berhubungan denganmu sampai sekarang?"
"Aku yakin dia tahu, bahkan dia pernah mengirim sms bernada pedas kepadaku, karena waktu aku menghubungi Ferdi, ponselnya sedang berada di tangan istrinya."
"Win, aku tidak ingin berpihak pada siapapun, karena ini bukan hal yang mudah untuk dinilai sepihak. Baik kamu, Ferdi, maupun istrinya, masing-masing punya pertimbangan sendiri untuk menjalani hidup. Yang pasti, kalau aku jadi kamu, aku akan melepaskan diri dari segitiga ini sesegera mungkin, sebelum semua berubah jadi semakin ruwet.
"Maksudmu, aku harus putus dari Ferdi?"
Indri mengangkat bahu, "Entah apa namanya, putus atau bahkan kamu minta Ferdi untuk mengambilmu sebagai istri kedua, itu juga sebuah penyelesaian 'kan?"
"Istri kedua? Bagaimana mungkin Dri?"
"Kenapa tidak mungkin? Kalian saling mencintai dan sebagai laki-laki, Ferdi punya hak untuk mempunyai lebih dari satu istri. Atau kamu lebih suka menjalani kehidupan tanpa status seperti sekarang? Kamu tidak bisa membuka hatimu untuk laki-laki lain karena terhalang cintamu pada Ferdi, tapi kamu juga tidak bisa meraihnya secara utuh karena dia punya istri? Itu nggak fair buat kalian bertiga!"
"Istrinya tidak akan bisa menerima kalau Ferdi menikahi aku."
"Itu hanya masalah pilihan. Kalau istrinya tidak setuju Ferdi menikahimu, berarti dia yang harus pergi dari kehidupan suaminya. Kalau kamu yang tidak mau dijadikan istri kedua, itu berarti kamu yang harus melepaskan Ferdi, so simple!"
"Mengapa kamu bisa berpendapat begitu Dri? Apa pertimbanganmu?"
Hening sejenak. Indri menghela nafas sebelum menjawab, "Aku seorang istri, dan sudah pasti aku tidak rela kalau suamiku mendua, tapi aku juga tidak bisa menyalahkan kamu, karena aku tahu cinta bisa mengalahkan segala rintangan. It's complicated. Dalam hal ini mungkin aku lebih menyalahkan Ferdi yang tidak tegas mengambil sikap."
Pembicaraan kami di saat makan siang itu membuatku berpikir. Aku mencoba menempatkan diriku di posisi Kania. Apakah aku akan rela bila suamiku mempunyai wanita lain, bila suamiku hanya memberikan separuh hatinya kepadaku dan memberikan separuhnya pada wanita lain? Dan sebutan apa yang pantas untukku, wanita simpanan? Aku tidak menerima apapun dari Ferdi, yang biasanya didapat seorang wanita yang dijadikan simpanan. Istri kedua? Aku tidak pernah mengucapkan janji perkawinan yang bisa memberikan status istri, yang kedua sekalipun. Lalu apa aku ini?
$$$$$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top