BAB 4
Ayah memintaku pulang setelah wisuda. Keadaan ibu memburuk, penyakit ginjalnya semakin hari semakin menggerogoti kesehatannya. Ayah meminta aku untuk mengurus ibu, karena kedua kakakku laki-laki dan sudah berkeluarga, sementara adik perempuan masih duduk di bangku SMP.
Kehidupan kami yang sederhana membuat ayah harus mencari tambahan nafkah sebagai penterjemah honorer untuk biaya perawatan ibu yang cukup mahal. Gajinya sebagai seorang guru, tidak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. Untunglah kuliahku sudah selesai sekarang, sehingga uang yang tadinya digunakan sebagai biaya kuliah bisa dialihkan untuk perawatan ibu.
Aku menangis dalam pelukan Ferdi ketika dua malam sebelum aku pulang dia datang ke tempat kostku. Kami masih sering bertemu diam-diam, walaupun tidak sesering sebelum Ferdi menikah, apalagi karena Ferdi tinggal di daerah lain setelah anaknya lahir. Seorang bayi perempuan yang diberi nama Alika.
"Aku tidak ingin berpisah denganmu, Mas," isakku di dadanya.
"Wina, aku juga tidak ingin kehilanganmu, tapi kamu tetap harus pulang. Ibumu sedang sakit dan dia membutuhkanmu di sisinya. Wina, dengar," Ferdi mengangkat wajahku dan mengusap air mata di pipiku, "Kita akan tetap berhubungan walaupun kamu kembali ke rumah. Aku hanya minta kamu menjaga dirimu baik-baik dan mengingat janjimu padaku waktu itu."
"Mas, jangan membuatku tambah sedih dengan mengingatkan hal itu sekarang! Aku hanya ingin bersamamu, aku tidak ingin orang lain dalam hidupku!"
"Sst...kalau kamu mencintaiku, kamu harus berusaha untuk mendapatkan yang terbaik bagi hidupmu. Aku baru akan benar-benar bahagia bila aku melihatmu bahagia."
"Tapi aku bahagia bersamamu mas!"
Ferdi mengelus kepalaku, bibirnya tersenyum. "Belum Wina, kamu tidak akan merasakan kebahagiaan sejati denganku, karena aku tidak bisa menjadi milikmu sepenuhnya."
Aku tidak ingin membantah kata-katanya, aku tidak ingin berdebat dengannya. Saat ini aku hanya ingin menikmati kebersamaan dengannya. Aku ingin meresapi pelukannya yang begitu hangat. Aku ingin menghayati ciuman-ciumannya yang manis. Aku menyerahkan segala yang kumiliki untuknya malam itu, dengan seluruh kepasrahan dan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan begitu lengkap seumur hidupku. Aku tahu, aku mencintainya dengan begitu dalam sampai aku melayang di antara taburan bintang dan goresan warna pelangi yang indah.
$$$$$
Ibu menggapai tanganku. Aku membantunya duduk di tempat tidur, ditopang bantal untuk bersandar. "Ibu mau makan sekarang?"
"Nanti saja Win, ibu belum lapar," ibu mengatur nafasnya sejenak. "Bagimana nak, kamu sudah mencoba melamar pekerjaan? Bagaimana hasilnya?"
"Sudah ada beberapa panggilan, tapi semua baru tahap awal. Aku tidak ingin terlalu terburu-buru, karena aku berharap bisa mendapat pekerjaan yang benar-benar cocok untukku. Selain gaji besar, tentunya."
"Ibu doakan kamu Win, semoga semua keinginanmu tercapai. Ibu hanya berharap kamu mendapatkan yang terbaik, pekerjaan, jodoh, dan kehidupanmu di masa depan."
Kata-kata ibu membuatku kangen pada Ferdi. Entah apa yang sedang dilakukannya saat ini. Apakah dia sedang mengingat aku seperti yang kulakukan sekarang? Terakhir dia menghubungiku lewat ponsel tiga hari yang lalu. Setelah melepas rindu, dia bercerita bahwa sekarang dia dan keluarganya pindah ke Jakarta, karena Kania mendapat pekerjaan yang cukup menjanjikan disana. Ferdi sendiri memutuskan untuk membuka usaha sendiri di bidang kargo.
Malam ini aku memutuskan untuk mengirimkan pusi yang pernah kubuat untuknya dulu melalui sms. Aku yakin, Ferdi akan senang membaca kembali puisi itu, mengingatkan kami pada kenangan semasa kami masih bersama.
Aku mencintaimu terlalu dalam, sampai aku tidak bisa bernafas karena hangat pelukanmu membelenggu. Aku mencintaimu terlalu hebat, sampai aku tidak bisa bergerak karena denyar ciumanmu membuatku lemah. Aku mencintaimu terlalu kuat, sampai aku tidak bisa membuka mata karena panas sentuhanmu membuatku terbakar.
Aku terbangun dari tidur ketika ponselku berbunyi. Aku yakin, pasti Ferdi sudah membaca pesanku dan memberikan balasan. Dalam keadaan mengantuk aku membuka menu sms, berharap-harap cemas akan balasan yang akan kubaca.
Tolong, jauhi suamiku, sudah terlalu jauh kamu merusak kehidupan kami selama ini. Tidakkah kamu malu pada dirimu sendiri, berlaku seperti perempuan jalang yang kerjanya hanya bisa mengganggu suami orang? Bagaimana rasanya bila kamu merasakan hal itu terjadi pada dirimu sendiri? Jangan ganggu keluarga kami, karena kami tidak pernah mengusikmu.
Akumenatap baris tulisan di layar ponselku tergugu. Tanpa terasa air mata jatuhmenetesi pipiku. Duh Tuhan, begitu sakit yang kurasakan. Kania pasti membacasms yang kukirimkan ke ponsel Ferdi dan langsung membalasnya. Perasaanku campuraduk, sedih, malu dan kesal. Benarkah aku seperti yang disebut Kania, perempuan jalang?
$$$$$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top