BAB 3
Ujian akhir sudah selesai hampir seminggu yang lalu, dan sampai menjelang liburan akhir semester aku belum pernah bertemu lagi dengan Ferdi. Rasa rinduku begitu membuncah, sampai ketika aku melihat tubuhnya berdiri di depan pintu kamar kost hari ini, spontan aku memeluknya tanpa malu-malu.
Ferdi mengecup kedua pipiku, dan aku dapat merasakan kerinduan yang sama besarnya lewat sentuhan tangannya. Aku mengajaknya duduk di atas karpet. Dia mengeluarkan sebatang coklat favoritku dari dalam saku jaket.
"Kamu baik-baik saja Win? Bagaimana ujianmu? Lancar?"
"Ya begitulah Mas, yang jelas aku optimis bisa mengambil mata kuliah lebih banyak semester depan. Mas Ferdi sendiri bagaimana? Kenapa aku jarang sekali melihatmu di kampus?"
Ferdi menghela nafas. "Win, ada sesuatu yang harus aku katakan padamu!"
"Apa?" tanyaku sambil membuka kertas pembungkus coklat.
"Kania sudah tahu tentang hubungan kita!"
Kata-kata Ferdi menyambarku seperti petir. Walaupun aku tahu suatu saat hal seperti ini akan terjadi, namun aku tetap merasa tidak siap. Coklat di tanganku terjatuh ke atas karpet dan aku mendiamkannya.
Ferdi bercerita, bahwa ketika terakhir kali kami bertemu, dia baru saja bertengkar dengan Kania soal hubungan kami. Kania marah besar dan sangat emosional. Ferdi kewalahan membujuknya. Itulah sebabnya dia memutuskan untuk tidak menemuiku sementara waktu, karena dia ingin membereskan masalahnya dulu dengan Kania.
"Bagaimana Kania sekarang?"
"Dia mendiamkan aku. Sikapnya jadi sangat dingin dan sinis padaku. Aku tidak tahu bagaimana caranya membuat dia kembali melunak."
"Aku harus bagaimana Mas?"
"Kamu tidak harus melakukan apapun Win, ini semua adalah tanggung jawabku. Mungkin pada akhirnya aku akan berpisah dengan Kania, karena aku yakin dia pasti sakit hati padaku."
"Aku mendoakan Kania, semoga, kalaupun dia harus melepaskanmu, dia akan mendapatkan pengganti laki-laki sepertimu."
Ferdi menatapku. Ada kesedihan mengintip di sudut bola matanya. "Aku tidak berharap seperti itu untuknya. Aku berharap lebih jauh dari itu. Kania adalah perempuan yang baik, bukan hanya setia, tapi dia juga kuat dan mandiri. Walaupun kadang-kadang keras kepala dan sulit diatur, tapi jauh di dasar hatinya, Kania adalah orang yang lembut dan penuh perhatian."
Aku menelan semua kata-katanya bersamaan dengan rasa sesak yang menggumpal di dalam dada. Aku yakin, Ferdi mencintai Kania lebih dari yang selama ini disadarinya. Aku memang dari awal memyadari bahwa posisiku berada di antara mereka adalah kesalahan, namun aku juga tidak ingin melepaskan Ferdi. Entah ini kebodohan atau apalah namanya, tetap saja aku merasakan hatiku seperti diremas mendengar kata-kata Ferdi barusan.
"Mas, besok liburan sudah dimulai. Aku pikir, mungkin sebaiknya aku pulang dulu, sampai keadaan mereda dan lebih tenang. Aku tidak ingin membuatmu bingung dengan situasi yang harus kamu hadapi dengan Kania sekarang."
"Mungkin memang itu yang terbaik Win, karena aku juga tidak mau Kania melampiaskan kemarahannya kepadamu. Hal itu bisa terjadi kalau kamu ada disini. Aku tahu sifat Kania dan tidak ingin dia kehilangan kendali kepadamu."
Malam itu kami saling melepas rindu sekaligus perpisahan. Masa liburan satu bulan kuharap bisa meredakan keadaan. Aku hanya berharap Kania bisa menerima keadaan ini seperti aku. Walaupun mungkin pada akhirnya Kania akan melepaskan Ferdi karena pengkhianatan kami, namun aku merasa sedih karena akulah penyebab kehancuran hatinya.
$$$$$
Aku menghabiskan liburan bersama keluargaku di rumah. Sambil menahan diri untuk tidak menghubungi Ferdi, aku merenda harapan kebersamaan kami di masa selanjutnya akan lebih leluasa. Aku tidak tahu bagaimana keadaan Ferdi, tapi aku yakin dia bisa mengatasi keadaan apapun. Aku mempercayainya seperti aku percaya pada diriku sendiri.
Kamar tempat kostku lembab dan berbau debu ketika aku kembali dari liburan. Kuliah semester baru akan dimulai lima hari lagi. Aku memutuskan untuk kembali lebih awal karena ingin mendekorasi ulang kamar kostku. Selain itu aku juga berharap bisa bertemu dengan Ferdi sebelum kembali ke kampus.
Mas, aku baru sampai ke tempat kost. Aku kangen sekali padamu. Bagaimana kabarmu selama ini? Aku berharap kamu bisa menyelesaikan masalahmu dengan dia, karena aku sudah tidak sabar ingin bertemu denganmu.
Aku mengirim pesan singkat itu ke ponsel Ferdi, berharap dia akan datang menemuiku malam ini. Aku membereskan kamar sambil bersiul-siul sendiri, menghibur perasaan sepi yang terasa begitu lekat di sekelilingku. Lidya belum kembali dari liburannya di rumah. Teman-teman kostku yang lain juga belum terlihat, mungkin masih betah di rumah setelah berbulan-bulan terkungkung dalam rutinitas kampus.
Aku baru separuh jalan mencoba dekorasi baru kamarku ketika seseorang mengetuk pintu kamar. Jantungku melonjak, mendendangkan nama Ferdi ke telingaku. Aku bergegas membuka pintu dan terhenyak.
"Hai Win, apa kabar?" Kania melangkah masuk ke dalam kamar, tanpa aku bisa menahan langkahnya. Tanpa disuruh dia duduk di kursi belajarku. Aku menutup pintu dengan perasaan tidak karuan.
"Mbak Kania?"
Kania menatapku tajam. Sinar matanya menusuk langsung ke jantung. Aku menghela nafas pelan, mencoba menenangkan detak jantungku sendiri, berharap Kania tidak mendengar nafasku yang berat atau melihat tanganku yang sedikit gemetar.
"Wina, mari kita bicara terbuka sebagai sesama perempuan," ujar Kania pelan. Tiap kata dalam ucapannya diuraikan dengan nada tajam. "Aku tidak mau menengok ke belakang, dan aku tidak ingin tahu bagaimana awalnya kamu bisa bersama Ferdi. Satu hal yang sekarang ingin aku pinta darimu adalah, tolong tinggalkan Ferdi!"
Rasanya setiap tulang dari tubuhku berubah menjadi karet. Aku duduk di atas tempat tidurku, supaya tidak terjatuh. Kania tidak lepas menatapku. Matanya menyimpan kemarahan dan luka. Semua yang bisa kumaklumi pada saat seperti ini.
"Maaf Mbak, tapi aku tidak bisa. Aku mencintai Ferdi, dan aku bisa menerima keadaan apapun asalkan tetap bersamanya. Aku berharap mbak juga bisa begitu, sampai kemudian semuanya ditentukan oleh waktu."
Kania tersenyum sinis. "Kalau begitu, sekarang adalah waktunya! Kamu bilang kalau seharusnya aku bisa menerima keadaan ini, seperti kamu juga begitu, karena kita berdua sama-sama mencintai Ferdi?"
Aku hanya bisa mengangguk. Pikiranku melayang kemana-mana, mencoba mencerna hal ini. Bukankah seharusnya aku sudah menyiapkan diri untuk menghadapi hal seperti ini? Bukankah ini adalah kemungkinan terburuk yang pasti akan datang?
"Wina, kamu harus tahu, aku bisa menerimanya, tapi aku yakin anak di dalam kandunganku ini tidak akan memafkan ayahnya kalau dia kelak lahir dan mengetahui pengkhianatan ini."
Seribu lebah berdengung di dalam kepalaku, membuat kata-kata Kania berubah menjadi alunan tidak bernada yang menyakitkan telinga. "Mbak Kania ha...mil?"
"Ya! Sudah berjalan dua bulan sekarang. Ferdi tidak perlu bertanya siapa ayahnya. Dia tahu pasti selama ini hanya dialah satu-satunya laki-laki dalam kehidupanku. Aku sangat mencintainya sampai aku menyerahkan segalanya hanya untuk Ferdi."
"Mas Ferdi sudah tahu?"
"Dia yang mengantarku ke dokter kandungan ketika aku merasa jadwal haidku sangat terlambat."
Lidahku kelu, tak mampu lagi mengeluarkan kata-kata. Keheningan yang menusuk membuatku menggigil. Kania mengelus perutnya, merasakan benih laki-laki yang dicintainya mulai tumbuh di dalam dirinya. laki-laki yang sama dengan yang kucintai.
$$$$$
Ferdi datang ke tempat kostku tiga hari kemudian. Wajahnya pucat dan kelihatan tirus. Sedikit rasa bersalah menyelinap di dalam hatiku. Kalau tidak ada aku hadir dalam kehidupannya, mungkin dia tidak perlu merasakan kebingungan seperti sekarang.
Aku menyambut kedatangannya dengan senyum paling manis yang bisa kubentuk di bibirku. Suasana menjadi agak canggung. Aku mencoba mencairkan ketegangan dengan memeluknya hangat, sekaligus melepaskan rasa rinduku sendiri.
"Wina, aku tidak tahu harus berkata apa padamu. Sms yang kamu kirim dibaca oleh Kania, karena saat itu dia yang memegang ponselku. Dia sudah menunggumu menghubungi aku. Dia ingin bertemu langsung denganmu."
"Tidak apa-apa Mas, aku bisa mengerti. kalau aku berada dalam posisinya, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama."
"Dia tidak melakukan apa-apa yang menyakitimu 'kan?"
"Tidak Mas, tidak! Kania tidak akan melakukan hal yang akan menjatuhkan martabatnya sendiri. Dia cukup bersahabat, untuk situasinya sekarang."
Ferdi terdiam. Suaranya berat ketika akhirnya dia berkata, "Aku akan menikah Win. Kania mengandung anakku. Aku tidak bisa memungkiri hal itu, karena sejak awal masa pacaran Kania tidak pernah berhubungan dengan laki-laki lain selain aku. Dia sangat setia dan aku yakin anak dalam kandungannya adalah anakku."
Dua malam berturut-turut aku tidak dapat memejamkan mata, mencoba mencerna keadaan yang tengah kuhadapi saat ini. Aku tahu pada akhirnya Ferdi akan mengambil keputusan seperti itu, karena situasi tidak lagi memihak padaku. Kehamilan Kania bahkan sudah terjadi sebelum dia mengetahui hubunganku dengan Ferdi. Hanya suatu kebetulan kehamilan itu diketahui ketika hubungan rahasiaku mulai tercium.
"Mas," aku mengambil tangan Ferdi yang terasa dingin dan menggenggamnya erat, "Menikahlah, itu kewajibanmu terhadap Kania dan calon anaknya. Aku ikhlas, karena aku tidak mau laki-laki yang kucintai menjadi orang yang tidak bertanggung jawab. Aku juga tahu, kamu menyayangi Kania, bahkan mungkin lebih dari yang selama ini kamu sadari. Kamu selalu memujinya, kamu selalu membicarakan semua yang baik tentangnya, dan itu sudah cukup membuktikan bagaimana perasaanmu terhadapnya."
"Wina, kamu sadar apa yang kamu katakan?" Ferdi mengguncang lenganku. "Kalau aku menikah, kita harus berpisah. Aku tidak ingin membuatmu terluka lebih dalam lagi. Aku mencintaimu Win, aku tidak ingin kehilanganmu. Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa menjadi begitu egois?"
"Mas, kamu harus menikahi Kania, tapi bukan berarti kita harus berpisah?"
Ferdi menatapku tidak mengerti. Aku menatap langsung ke dalam matanya, berharap suaraku terdengar yakin, seperti seribu keyakinan yang telah kutanamkan di dalam hati dan pikiranku sebelumnya.
"Kita akan tetap saling memiliki seperti sekarang. Tidak akan ada yang berubah diantara kita. Kamu adalah seorang laki-laki, yang bahkan setelah menikah diijinkan untuk memiliki lebih dari satu istri, jadi kenapa kita harus berpisah sekarang?"
"Ap...apa?"
"Mas, aku merestuimu menikah dengan Kania, tapi kalau boleh aku memohon agar kamu juga tidak meninggalkan aku. Aku mencintaimu, dalam keadaan apapun, tidak peduli kamu siapa dan bagaimana. Kamu mengerti maksudku?"
Ferdi memelukku erat sekali. Nafasnya berat tertahan, seperti ada batu yang menindih dadanya. Lama kami berpelukan seperti itu, sampai kemudian Ferdi melepas pelukannya dan memegang kedua pundakku.
"Wina, sebesar apapun cinta yang kurasakan padamu, aku tetap harus rasional. Kalau suatu saat kelak kamu menemukan orang yang jauh lebih baik dariku, kamu harus bisa membuka hatimu untuk orang itu. Kamu harus melangkah ke depan, mendapatkan yang terbaik, walaupun itu artinya harus berpisah denganku."
Aku menutup mulut Ferdi dengan jari telunjuk, "Sst..jangan berkata begitu."
Ferdi menepiskan jariku. Matanya tampak bersungguh-sungguh. "Berjanjilah padaku! Aku minta kamu berjanji padaku untuk apa yang aku katakan tadi!"
"Ak...aku berjanji, Mas," aku mengucapkan hal itu dengan perasaan tidak karuan. Ferdi mencintaiku dan dia menginginkan yang terbaik untukku. Hal itu justru membuatku bertambah yakin, dia adalah laki-laki yang terbaik untukku.
Setelah Ferdi pulang, aku merebahkan diri ke atas tempat tidur, menangis sampai mataku terasa perih dan kering.
$$$$$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top