BAB 10
Aku berhitung, melingkari angka-angka pada kalender, dan memastikan hari ini adalah hari ke dua puluh delapan Ferdi menghilang. Aku putus asa, tidak pernah bisa berbicara dengannya. Padahal, ada banyak hal yang harus kukatakan padanya.
Tadi malam ayah memanggilku. "Win, Ayah mau bicara, duduklah."
Aku meletakkan kopi yang baru kubuat untuknya. "Ada apa Yah, tumben?"
"Begini Win, tadi siang Irawan mengatakan pada ayah bahwa dia tertarik padamu. Dia menyukaimu dan ingin meminangmu menjadi istrinya."
Aku terkejut bukan kepalang. Walaupun setelah aku mengantarnya mencari rumah kontrakan tempo hari, dia sempat beberapa kali datang ke rumah dan mengobrol denganku, tak terlintas sedikitpun dalam pikiranku bahwa dia menyukai aku.
"Serius Yah?" tanyaku tidak yakin.
"Masa soal seperti itu dijadikan olok-olok Win?" ayah malah balik bertanya. "Walaupun ayah menyukai Irawan, namun ayah tetap harus bertanya dulu kepadamu, karena keputusan akhir tetap ada di tanganmu. Bagaimana menurutmu?"
"Apa aku harus memberi keputusan sekarang juga?"
Ayah tertawa kecil, sambil mengambil gelas berisi kopi. "Tentu saja tidak! Semuanya harus kamu petimbangkan masak-masak Wina. Kalau boleh, Ayah hanya ingin memberikan sedikit referensi. Irawan itu laki-laki yang baik, selain itu dia juga sudah cukup mapan dan bertanggung jawab. Usiamu sudah cukup untuk berumah tangga, jadi tidak ada salahnya kamu mempertimbangkan Irawan sebagai calon suamimu."
"Ayah, tolong beri aku waktu untuk memikirkannya ya?"
"Pikirkanlah baik-baik nak, sudah waktunya kamu memikirkan dirimu sendiri," Ayah berdiri dari kursi, masih menating gelas kopinya yang tinggal separuh. "Ayah akan sangat senang kalau kamu mau menerima maksud Irawan meminangmu, karena walaupun duda, tapi dia laki-laki bebas tanpa ikatan, bukan suami orang."
Wajahku seperti terbakar mendengar ucapan ayah. Aku tidak tahu apakah ucapan itu dimaksudkan untuk menyindirku atau menasehatiku. Selama ini aku selalu menjaga rahasia hubunganku dengan Ferdi, apalagi almarhumah ibu sempat memintaku untuk menjaga agar ayah tidak mengetahui hal itu. Aku berpaling dan melihat ayah sedang menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Aku merasa bagai duduk di atas bara.
$$$$$
Hari ketigapuluh satu ponselku berbunyi melagukan lagu khusus yang kugunakan untuk panggilan dari Ferdi. Aku hampir melompat dari tempat tidur untuk meraih ponsel yang terletak di atas meja rias.
"Mas?"
Suara Ferdi terdengar jauh, "Wina, apa kabar? Kamu baik-baik saja?"
Aku merajuk manja, "Mas Ferdi kemana saja? Aku hampir gila menunggu kabar darimu. Berkali-kali aku mencoba menghubungi nomor ponselmu, tapi selalu tidak aktif. Sms yang kukirim juga tidak pernah kamu balas. Ada apa sih mas?"
Selama tiga detik tidak terdengar apapun, sampai aku mengira ponselku mati. Sebelum aku sempat mengatakan apapun, suara Ferdi terdengar lagi, serak dan bergetar.
"Wina, aku harus bicara serius tentang hubungan kita," ujar Ferdi pelan. "Aku memutuskan untuk membebaskanmu dari kehidupanku, kali ini untuk selamanya, dan aku berjanji tidak akan pernah lagi mengusikmu."
"Mas Ferdi bicara apa sih? Ada apa mas? Tolong beri aku penjelasan!"
"Wina, tidak lama setelah kamu mengirimkan sms yang mengatakan bahwa kita akan menikah, aku mendapati bukti bahwa Kania berselingkuh dengan teman sekantornya."
"Apa?"
"Aku marah besar, merasa terhina. Aku bahkan sampai memukulinya karena emosi. Aku merasa harga diriku diinjak-injak olehnya. Yang lebih membuatku marah lagi, dia pergi begitu saja meninggalkan rumah, meninggalkan kedua anaknya."
"Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Anak-anakmu bagaimana?"
"Aku mencari Kania kemana-mana, sedangkan anak-anak kutitipkan pada ibu Kania. Kami semua panik, karena Kania hilang tanpa kabar. Sampai dua minggu yang lalu aku berhasil melacaknya berada ke Medan. Aku menjemput dan membawanya pulang. Satu hal yang kurasakan ketika melihatnya adalah, aku lega karena dia selamat dan kusadari kalau selama dia pergi aku merindukannya."
"Syukurlah kalau dia bisa ditemukan dalam keadaan selamat."
"Wina, setelah dia kembali ke rumah, kami memutuskan untuk bicara, menyelesaikan masalah yang terjadi. Dia berkeras minta cerai, bahkan dia merelakan anak-anak kubawa, karena katanya dia sudah tidak tahan hidup bersamaku," Ferdi menarik nafas sejenak. "Dia berselingkuh dengan sengaja, agar aku mau menceraikan dia. Menurut Kania, selama ini aku tidak mau menceraikannya karena semua orang akan menimpakan kesalahan padaku kalau kami bercerai, tapi kalau dia berselingkuh, aku akan bebas dari tudingan karena jelas-jelas dia yang bersalah."
"Mas, bagaimana mungkin dia berpikir sampai sejauh itu?"
"Dia merelakan bercerai denganku sebab dia tidak ingin laki-laki yang dicintainya terus-menerus melakukan kesalahan. Dia ingin bercerai denganku karena ingin memberiku kesempatan untuk menikahimu. Dia berpikir, kalau dia melakukan kesalahan maka aku akan mudah menceraikannya."
Air mataku menetes satu persatu. Aku menyesali kebodohanku mengirimkan sms itu kepada Kania. Aku tidak pernah mengira sms itu membuat Kania berpikir dan melakukan hal yang begitu nekat.
"Maafkan aku Mas, aku menyesal karena mengirimkan sms seperti itu pada Kania, sampai dia nekat melakukan hal itu. Aku emosi waktu itu."
"Aku mengerti Win, semua ini terjadi karena kesalahanku. Baru sekarang aku menyadari, Kania hanya ingin membalas dendam padaku. Menurutnya, apa yang dilakukannya selama dua bulan terakhir sudah cukup sebanding dengan apa yang kulakukan padanya selama delapan tahun kami bersama. Dia tidak punya keberatan apa-apa lagi, sampai hatinya sudah begitu yakin untuk bercerai denganku."
"Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang?"
"Wina, aku mohon pengertianmu," suara Ferdi berubah semakin pelan dan dalam. "Kepergian Kania membuatku semakin sadar bahwa ternyata aku mencintainya lebih besar dari yang selama ini kukira. Aku membutuhkannya, karena ketika dia pergi, aku merasa sebagian dari diriku kosong. Aku tidak bisa memisahkan anak-anakku dari ibunya dan aku juga tidak bisa berpisah dari mereka. Kamu mengerti maksudku Win?"
"Aku...aku mengerti Mas, aku mengerti maksudmu."
"Aku pernah melakukan apa yang seharusnya tidak kulakukan terhadapmu, dan untuk itu aku minta maaf padamu, aku sungguh-sungguh minta maaf."
"Mas," aku memotong ucapannya, "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Apapun yang pernah terjadi di antara kita, itu semua kulakukan dengan ikhlas, tanpa paksaan. Aku hanya ingin menunjukkan rasa cintaku padamu, dan aku merelakannya."
"Kali ini, aku membuat janji baru dengan Kania. Kami akan memulai kembali kehidupan cinta di antara kami berdua dari awal, memulainya dengan bersih, hanya kami berdua dan anak-anak. Aku sadar, seharusnya dari dulu aku mengambil keputusan ini."
"Kamu yakin dengan keputusanmu sekarang ini?"
"Insya Allah aku yakin Win. Walaupun pada akhirnya Kania ikhlas membiarkan aku menikahimu, aku tidak ingin lagi menyakitinya. Selama ini sudah terlalu banyak sakit hati yang dialaminya. Aku terlalu bodoh karena menutup mata terhadap hal itu, dengan dalih sebagai laki-laki aku berhak melakukan apapun."
"Jadi ini akhirnya Mas, akhir dari segala yang sudah kita rangkai sejak dulu? aku tidak punya pilihan lain 'kan Mas, selain harus ikhlas menerimanya?"
"Wina, ini yang terbaik untukmu. Aku tidak mungkin terus membelenggu dirimu pada keadaan tidak menentu seperti selama ini. Masih panjang jalan yang bisa kamu tempuh. Aku menyayangimu, dan akan selalu menyayangimu, tapi kita mempunyai jalan yang sangat berbeda. Aku berharap kamu akan menemukan pendamping yang akan membuatmu menjadi orang nomor satu dalam kehidupannya, karena kamu berhak untuk itu. Aku tidak bisa memberikan itu padamu, karena sekarang aku baru sadar, Kania dan anak-anak adalah hal yang paling penting dalam hidupku."
"Mas, aku tahu, saat seperti ini pasti akan tiba juga pada akhirnya. Aku hanya tidak menyangka akan secepat ini datangnya, dan dengan jalan panjang yang rumit begini. Aku sungguh merasa tidak siap."
Aku mendengar Ferdi menghela nafas, berat dan sesak. "Wina, jangan pernah kamu mengira aku siap, tapi pada dasarnya kita memang tidak akan pernah siap untuk ini. Kita selalu berusaha menihilkan kenyataan sampai akhirnya kemyataan yang memaksa kita untuk bangun dari mimpi."
Semua yang dikatakan Ferdi membuat duniaku seakan runtuh. Tidak ada harapan yang dapat kutuai kini, meskipun hanya sebiji sawi. Aku harus menghilang, bukan hanya menjauh dari kehidupan Ferdi, karena menjauh saja ternyata tidak cukup.
"Mas, kalau itu keputusanmu, aku akan menerimanya dengan ikhlas. Aku mencintaimu dan rasa cintaku terlalu besar hingga aku sendiri takut menghadapinya. Tapi kamu harus tahu, untuk kebahagiaanmu, aku berani melakukan apapun, bahkan kalau itu berarti aku harus kehilanganmu."
"Wina, maafkan aku karena tidak pernah bisa mengambil sikap. Maafkan aku."
"Jangan pernah meminta maaf padaku, tapi minta maaflah pada Kania dan anak-anakmu, sampaikan juga salam maafku pada mereka. Aku doakan kalian akan selalu bahagia. Aku akan baik-baik saja, kamu harus yakin padaku".
"Aku tahu kamu akan menemukan yang terbaik, dan kamu juga perlu tahu bahwa aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu. Aku bersyukur Tuhan menghadirkan kamu dalam hidupku."
Aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa tentang Irawan. Tidak ada gunanya lagi. Semua di antara kami sebenarnya sudah berakhir sejak Ferdi menemukan Kania di Medan dalam pelariannya. Sejak Ferdi merasakan arti seorang Kania dalam kehidupannya selama ini, dalam kehilangannya. Aku sangat sadar, Ferdi dan Kania selalu saling mencintai, dalam keadaan apapun.
Percakapan kami yang terakhir ini ditutup dengan keheningan selama lebih dari lima menit, sampai akhirnya Ferdi mematikan ponselnya. Sekarang aku mengerti arti dari mimpi-mimpi buruk yang aku alami beberapa hari belakangan ini. Aku menatap ponselku dengan linangan air mata yang tidak bisa berhenti mengalir, sampai pipiku terasa panas. Aku melemparkan ponsel itu ke dinding kamar, meninggalkan bunyi berderak memilukan kemudian jatuh tanpa bentuk ke lantai. Seperti hatiku.
$$$$$
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top