BAB 1

Sudah hampir tiga minggu aku tidak mendapat kabar apapun darinya, padahal biasanya hampir setiap hari dia menghubungiku, entah sekedar menanyakan kesehatanku atau menyatakan kerinduan. Sms mesra yang sering membuat hatiku melayang-layang tidak pernah absen menyapa.

Aku tidak bisa menghubungi ponselnya, karena selalu dalam keadaan tidak aktif. Sms yang kukirimkan juga tidak pernah dibalasnya, membuatku semakin cemas dari hari ke hari. Ini tidak biasanya terjadi.

Aku rindu padanya. Akhir-akhir ini aku kerap bermimpi buruk, dan kebanyakan dari mimpiku berakhir dengan aku terbangun bersimbah air mata. Aku sering menangis dalam tidur, karena dalm mimpi-mimpiku, dia selalu meninggalkan aku sendiri dalam gelap. Aku sungguh tidak mengerti apa arti semua itu. Aku hanya takut dan kesepian.

"Win, kok melamun? Kamu sakit?" tegur Indri, teman dekatku yang kebetulan kini satu ruangan denganku, karena ruangannya sendiri sedang di renovasi.

"Nggak apa-apa Dri, hanya sedikit mengantuk."

Indri menarik kursi ke depan meja kerjaku. Tatapannya tajam menyelidik, sampai aku terpaksa pura-pura sibuk membereskan kertas-kertas kerja karena tidak enak. "Kenapa Win? Mimpi itu lagi?"

"Entahlah, aku sendiri tidak mengerti, kenapa sudah hampir seminggu ini aku selalu bermimpi buruk tentangnya, ditambah dia juga sudah lama tidak menghubungi aku. Membuatku cemas."

Indri menghela nafas berat, "Kamu membuat dirimu sendiri menderita, sekaligus membuat orang yang kamu cintai berada dalam dilema tak berujung. Sampai kapan kamu akan bertahan dalam keadaan seperti ini Win?"

"Aku tidak tahu Dri. Aku tidak mau memikirkan itu, karena aku sangat mencintainya, dan dengan keyakinan dia juga mencintaiku, aku bisa menjalani semua."

Indri tidak menjawab, hanya menatapku dengan sorot mata seperti seorang ibu menyesali anak gadisnya yang nekat memilih pacar yang tidak sesuai dengan kriteria. Aku sendiri pada akhirnya hanya bisa membuang pandang ke jendela yang terbuka lebar, menghembuskan angin yang terik.

$$$$$

Perkenalanku dengan Ferdi berawal dari masa orientasi mahasiswa baru atau ospek di kampus kami. Waktu itu, sebagai mahasiswa baru yang berasal dari daerah, aku banyak melakukan kesalahan karena masalah bahasa yang tidak kumengerti. Hanya Ferdi yang tidak pernah memarahiku. Dia terlalu pelit mengumbar kata-kata untuk marah, karena tatapannya saja sudah bisa membuat kami, para mahasiswa baru, gemetar.

Ferdi adalah salah satu senior yang terkenal paling misterius. Sikapnya dingin dan pendiam. Banyak teman-teman seangkatanku jatuh cinta padanya. Sayangnya, Ferdi sudah mempunyai pacar. Gadis yang beruntung itu adalah teman satu angkatannya, dari jurusan yang berbeda. Kabarnya mereka sudah mulai berpacaran dari awal masa kuliah.

Gadis itu bernama Kania. Dia adalah gadis yang menarik dan kenes. Wajahnya cantik, ditambah dengan kulitnya yang putih bersih dan perawakannya yang mungil, membuat banyak lelaki yang menyukainya, walaupun pada akhirnya mereka juga tidak bisa melakukan apa-apa karena Kania sudah bersama Ferdi. Mereka adalah pasangan yang serasi. Di mana ada Kania, di situ pasti ada Ferdi atau sebaliknya.

Aku sendiri tidak pernah menyangka kalau pada akhirnya aku bisa mendapat kesempatan untuk mengenal Ferdi lebih dekat. Saat itu datang setelah hampir satu bulan aku menjalani masa kuliah.

"Wina, sepertinya kita harus segera mencari tempat kost yang dekat dengan kampus. Aku capek kalau tiap hari harus naik bis seperti ini. Lagipula tidak enak kalau aku terus-menerus menumpang di rumah Tante," ujar Lidya pada suatu hari, ketika kami sedang dalam perjalanan menuju kampus. Bis kota yang kami tumpangi penuh sesak.

Aku dan Lidya bertemu karena kebetulan. Waktu itu, di hari ketiga ospek, aku dan Lidya hampir bertabrakan di pintu bis kota ketika hendak turun setelah seharian menjalani kegiatan di kampus. Kami saling berpandangan dan sama-sama mengulum senyum melihat setelan kami yang lusuh dan tidak karuan. Ternyata rumah tantenya dan rumah pakdeku hanya berbeda satu blok. Sejak itu kami selalu bersama-sama, walaupun kami tidak satu jurusan di kampus.

"Kalau begitu, besok saja kita cari di sekitar kampus, sepulang kuliah. Gimana?"

"Nah, itu baru sip!"

Jadilah hari ini kami memasuki setiap tempat kost, kalau-kalau ada tempat yang sesuai dengan selera dan budget kami. Orang tuaku sudah setuju dengan keinginanku untuk kost mengingat jarak yang harus kutempuh cukup jauh dan memakan waktu kalau aku tetap tinggal di rumah Pakde, kakak ibuku.

"Permisi..." suara Lidya pasti akan membuat orang yang berada di dalam rumah itu kaget, karena kerasnya. Aku mencubit pinggangnya sedikit, agar Lidya mengurangi volume suaranya.

"Nggak ada orangnya Mbak. Mau cari siapa?" sebuah suara yang kurasa familiar menyapa dari arah belakang. Aku dan Lidya membalikkan badan bersamaan. Ferdi, memandangi kami. Aroma sabun mandi yang segar menguar dari tubuhnya.

"Eh..., Mas Ferdi?" tegurku spontan.

Ferdi melepaskan topinya, "Kamu Wina yang angkatan baru itu 'kan? Kamu sedang apa disini?"

"Iya Mas, aku Wina. Aku mau mencari tempat kost, tapi kalau bisa tempat kostnya yang khusus perempuan. Mas Ferdi kost disini?"

"Tapi kalau disini ada kamar kosong juga kita mau kok Mas," ujar Lidya centil.

Ferdi tertawa, "Wah, disini khusus untuk laki-laki. Coba kuingat-ingat dulu...ehm..., oya, di dekat koperasi di belakang kampus, ada tempat kost khusus perempuan yang lumayan bagus dan nggak terlalu mahal, coba kalian lihat."

"Di mana ya? Kita sudah keliling tapi nggak ada tempat seperti itu dari tadi."

"Begini saja, besok pulang kuliah kalian akan aku antar kesana, kebetulan aku juga harus kesana, tempat kost temanku dekat dengan tempat yang kumaksud. Gimana?"

Lidya kelihatan sangat senang, sampai aku merasa malu sendiri. Akhirnya kami setuju dengan tawaran Ferdi. Di dalam bis sore itu, tidak habis-habisnya Lidya membicarakan Ferdi. Aku tidak menanggapi kata-katanya, karena aku sendiri sedang sibuk membayangkan kembali senyum Ferdi.

$$$$$

Aku melihat Kania lewat di depan kantin dengan wajah memerah. Di pojok luar kantin Ferdi memandanginya. Matanya tampak gusar. Kelihatannya mereka baru saja bertengkar. Aku yang berniat menagih janjinya untuk mengantar ke tempat kost yang kemarin dikatakannya, jadi ragu-tagu.

"Win, gimana? Kamu jadi mencari tempat kost?" tiba-tiba saja Ferdi sudah berada di depanku. Raut wajahnya tenang dan datar. Aku merasa pipiku merona.

"Kalau tidak mengganggu acara Mas Ferdi?"

"Ya sudah, tunggu apa lagi? Oya, temanmu yang kemarin mana?"

"Lidya? Katanya ada dosen yang mendadak memundurkan jadwal kuliah, jadi dia tidak bisa ikut. Katanya sih dia ikut pilihanku saja."

Ferdi membawaku ke tempat parkir untuk mengambil motor. Aku sempat jengah ketika Ferdi memberikan helmnya padaku, "Kebetulan kalau begitu, jadi kita bisa naik motor. Tadinya aku berniat menyimpan motorku di sini dan kita naik angkutan umum karena nggak mungkin naik motor bertiga."

Aku tidak berani berpegangan padanya, walaupun Ferdi menjalankan motornya cukup cepat. Untunglah tempat yang dimaksud tidak terlalu jauh. Setelah melihat-lihat, aku yang merasa cocok langsung menemui pemilik tempat kost itu dan memberikan uang muka untuk dua kamar. Aku yakin Lidya juga akan menyukai tempat ini.

"Kapan rencananya kalian akan menempati kamar itu?" tanya Ferdi, setelah aku menyelesaikan urusan administrasi dengan pemilik kost. Ferdi mengajakku ke kantin kecil di belakang tempat kost itu untuk minum.

"Aku usahakan secepatnya, karena sebenarnya barang-barangku juga tidak terlalu banyak. Oya, kok Mas Ferdi bisa tahu ada tempat kost senyaman itu di sini?"

"Dulu aku sempat berkeliling juga ke daerah ini, mencarikan tempat untuk Kania. Hanya waktu itu Kania merasa kurang cocok karena terlalu jauh dengan tempat kostku."

Aku terdiam mendengar ceritanya. Sungguh, aku merasa marah pada diriku sendiri karena tiba-tiba hatiku panas mendengar Ferdi menyebut nama Kania. Untuk menutupi perasaan tidak karuan, aku berpura-pura sibuk mengaduk juice mangga yang kupesan. Ferdi sendiri seperti sibuk dengan pikirannya, tidak memperhatikan tingkahku.

Kami menghabiskan juice yang mendadak terasa hambar untukku kemudian Ferdi mengantarku ke terminal bis. Aku memandangi sosoknya yang semakin menjauh dari dalam bis. Hatiku terasa menggelenyar aneh, setiap kali mengingatnya. Aku sungguh kalut.

$$$$$

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top