I
NANDHITA
Aku tengah membereskan koper mas Gunung. Sudah hampir jam sebelas malam sekarang. Katanya kami akan berangkat besok pagi. Perlahan semua selesai. Aku juga sudah membereskan koperku. Memilih beberapa pakaian yang kira kira oantas untuk kupakai. Tidak mungkin aku memakai daster saat menginap di hotel.
Kurebahkan tubuh diranjang. Cukup letih seharian ini. Selain membersihkan kulkas juga mengecek jendela dan pintu. Rencana kami akan pergi seminggu. Ini adalah pertama kali kami pergi bersama.
Hari ini juga bertepatan dengan hari ulang tahunku. Tapi tampaknya mas Gun tidak ingat, atau malah tidak tahu. Berbeda kebiasaan beberapa tahun terakhir. Kali ini aku sendirian. Mau merayakannya juga malu.
Kalau di rumah ibu akan membuat tumpeng. Tanda selametan kami sekeluarga. Setelah bapak memimpin doa dan memberikan wejangan. Lalu kami makan bersama. Beberapa kali juga mas Ben ikut.
Kupejamkan mataku, hati kecilku berkata, mas Ben tengah bersedih. Kami tak pernah lagi berhubungan. Aku tidak tahu dia bagaimana. Semenjak ponselku ditahan ibu. Saat ini aku tengah belajar untuk ikhlas.
Aku juga tidak berusaha membuka aplikasi sosial mediaku. Meski hanya untuk menemukan kabar terbarunya. Aku takut kalau mas Gunung tahu. Biarlah sakit ini kutelan sendiri.
Terdengar pintu depan dibuka. Mas Gun sudah pulang ternyata. Tidak terdengar suara kendaraan. Berarti mobil diparkir di rumah studio. Tak lama suara pintu kamar kami yang terdengar dibuka. Kutatap mas Gun dengan tidak percaya. Ia membawa sebuah kue ulang tahun kecil dengan lilin berusia dua puluh empat diatasnya. Sambil bernyanyi sendirian.
"Tahu darimana?" Tanyaku setelah meniup lilin.
"Waktu mau pulang, ibu menghubungiku. Katanya titip belikan kamu kue. Maaf aku nggak tahu. Jadi ngasihnya terlambat."
"Nggak apa apa. Terima kasih ya mas" Jawabku.
"Kuenya mau dimakan sekarang Dit?"
"Mas mau?"
"Boleh, ini enak lho. Kue kesukaanku."
Aku tersenyum dan segera kubawa kue itu keluar. Mas Gun mengikutiku dari belakang. Kuberikan sepotong padanya. Benar saja, dalam sekejap kue itu sudah habis dan kembali ia menyodorkan piring. Aku kembali memberinya. Setelah selesai, ia memelukku.
"Selamat ulang tahun ya. Mas sayang sama kamu."
Aku mengangguk, aku tahu ada ketulusan dalam suaranya.
***
Ikut mas Gun show, benar benar merusak suasana hatiku. Apalagi Karmila selalu menempel padanya. Belum lagi para fans perempuan yang seolah tak peduli kalau pujaan mereka sudah menikah. Bukan aku cemburu, tapi rasanya jengah melihat sikap mereka. Entah karena aku tidak terbiasa.
Seperti tadi malam, mungkin Karmila tidak tahu kalau aku ikut. Tanpa mengetuk ia memasuki kamar kami yang memang sedikit terbuka. Memang disini ada beberapa orang selain kami. Seperti manajer dan dua orang asisten mas Gun. Dengan santai perempuan itu mencium pipi suamiku. Setelah lama barulah ia berkata.
"Aiiih, teh Nandhita ikut? Sugan teh mas Gun sendirian?"
Aku hanya bisa tersenyum. Beruntung tak lama mas Gun berkata.
"Maaf Mila, saya dan Nandhita mau tidur. Besok saja kita bertemu lagi saat latihan."
Dengan cemberut akhirnya perempuan itu keluar. Aku hanya menatap tak percaya. Ada ya yang seperti itu. Bisikku dalam hati. Mas Gun mendudukkanku didepan cermin. Setelah kami hanya tinggal berdua. Kemudian menatap wajahku dari pantulan kaca.
"Maaf atas kejadian barusan."
"Apa kalau aku nggak ada dia akan tidur disini?"
"Kalau dulu ya, tapi sekarang enggak lagi. Kan aku sudah menikah. Dulu aku boleh brengsek. Terlalu brengsek malah. Karena itu wajar kalau mas Benua nggak percaya padaku."
"Kok jadi ngomongin mas Benua?" Tanyaku. Ia seperti menyimpan sesuatu.
"Aku berbeda jauh dengannya. Bagai bumi dan langit. Aku tahu dia pria yang baik. Pendidikannya juga tinggi. Pergaulannya apalagi. Yang jelas dia tipe suami idaman. Tidak seperti aku."
"Tapi dia menghianati aku mas."
"Jujur aku nggak yakin. Bisa saja itu konspirasi ibu. Aku mengenal ibuku."
"Hush.. nggak boleh ngomong gitu tentang ibu."
Mas Gun kemudian menarikku keatas kasur. Sampai kami berdua rebahan.
"Kamu tahu? Aku hampir tidak oercaya saat mas Ben mengatakan bahwa akan menikah dengan kamu. Meski tahu bahwa kalian sudah lama pacaran. Karena pasti sangat sulit menaklukkan ibu. Kalian pasti sudah berjuang keras. Karena ibu takkan mudah menyerah.
Aku juga tahu kalau masku sangat mencintai kamu. Dan pasti ada sesuatu dalam diri kamu yang membuat ia sanggup berjuang sampai mendapat restu ibu. Hanya saja aku tidak pernah membayangkan kalau pada hari itu pernikahan kalian justru gagal."
"Mungkin sudah takdir mas."
"Dhit?"
"Ya?"
"Kalau ternyata Alena tidak hamil, dan mas Ben menceraikannya. Apa kamu akan kembali padanya?"
Aku terdiam, tidak mampu menjawab. Atau sebenarnya tidak tahu jawabanku apa. Akhirnya aku memilih jujur.
"Nggak tahu mas. Tapi aku nggak akan melupakan pesan bapak dan ibu."
"Aku bukan laki laki yang layak dipertahankan ya Dhit?"
"Mas marah dengan jawabanku?"
Mas Gun hanya menggeleng. kemudian meraih bantal dan menutup kepalanya. Kami memang sudha memesan extra bantal untuknya. Karena paling tidak ia butuh tiga bantal untuk tidur.
Sampai esok paginya, mas Gun tetap tidak menjawab pertanyaanku. Dan ia sedikit menjauh. Tapi aku tetap berusaha beraikap biasa. Kami sarapan di restoran hotel. Ini pétama kali aku melalukan ini. Sebelumnya akubtidak oernah menginap dihotel besar. Ada banyak makanan. Aku mengambil yang aku suka saja. Sesuai pesan mas Gun. Aku tidak ingin mempermalukannya. Kami duduk satu meja dengan timnya. Sampai kemudian kembali Karmila datang. Kali ini ia memakai gaun yang sangat ketat berbahan kaos berwarna kuning. Payudaranya hampir tumpah keluar.
Aku hanya memalingkan wajah saat matanya menatapku tak suka. Sambil berusaha menikmati sarapanku. Dengan sengaja ia menarik satu kursi untuk duduk dimeja kami. Kulirik mas Gun namun sikapnya biasa saja.
"Kang Gun, kita latihan jam berapa dengan band?" Tanyanya.
"Setelah sarapan, coba tanya manajer kamu, dapat giliran jam berapa?"
"Lho, kan aku bareng kang Gun?"
"Duet kita cuma satu lagu. Sisanya aku solo dua lagu."
"Saya sudah minta supaya jadwal kita didekatkan. Kita barenga ya mas?" Balas Karmila.
Kulihat mas Gun mengangguk.
"Kamu di hotel saja ya Dhit. Nanti capek." Ucap mas Gun sambil menatapku.
Menimbulkan senyum lebar pada wajah Karmila. Dan tatapan aneh dari timnya. Aku tidak membantah, kebetulan sarapanku selesai. Aku minta ijin untuk kembali ke kamar.
Ada rasa sesak saat diperlakukan seperti itu di depan umum. Tapi siapa aku? Kutatap tampilanku dikaca. Jelas tidak sebanding dengan oenampilan Karmila atau artis lain yang juga menginap di hotel ini. Aku terlalu sederhana untuk kalangan mereka. Dan bisa saja mas Gun malu kalau orang tahu aku adalah istrinya.
Tidak tahu mau berbuat apalagi, kusibak kain Gordyn. Agar bisa menatap jalanan yang jauh dibawah sana dengan jelas. Ingin sebenarnya aku berkeliling kota ini. Naik becak atau angkot. Tapi aku belum meminta ijin. Kalau telfon sekarang, aku takut mas Gun merasa dimata matai. Akhirnya aku memilih menutup seluruh jendela dan menonton tivi.
***
Gunung
Kumasuki kamar dengan perasaan kesal karena sudah cukup lama mengetuk pintu. Nandhita yang membuka pintu terlihat seperti baru bangun tidur.
"Maaf mas, aku ketiduran." Ucapnya.
"Lain kali jangan tidur terlalu nyenyak kalau siang. Apalagi aku sedang diluar. Aku malu waktu tadi rekanku menatap sambil tertawa." Ucapku kasar.
Aku memang sedikit emosi. Sudah lelah dari pagi. Giliran mau masuk kamar malah terkunci. Padahal jadwal istirahatku sangat terbatas. Hampir swpuluh menit tadi aku diluar. Selain kesal juga malu pada tamu yang kebetulan lewat. Apalagi teman temanku yang menatapku sambil tertawa kecil.
Nandhita hanya menunduk. Tidak berani membalas tatapanku. Dengan kasar kulempar tubuhku ke tempat tidur. Kucoba memejamkan mata. Tapi sayang sudah tidak bisa. Sementara ia hanya duduk di sofa.
"Apa aku mengganggu mas Gun?" Tanyanya.
"Kamu bisa nggak diam sebentar? Aku capek Nandhita, aku ngantuk! Aku sedang tidak ingin mendengar suara apapun." Teriakku.
Nandhita akhirnya diam. Wajahnya memerah dan matanya mulai berkaca kaca. Aku sudah terlalu lelah untuk meladeninya. Nantilah pikirku.
Menjelang sore aku bangun dengan tubuh lebih segar. Kudapati Nandhita tengah meringkuk disofa. Kubiarkan saja. Bergegas aku mandi dan berganti pakaian. Kukenakan kemeja berwarna hitam lengan panjang. Kulipat sampai siku. Kemudian celana jeans dan sepatu yang nyaman untuk beraktifitas dipanggung.
Nandhita sudah bangun.
"Aku mungkin pulang tengah malam. Biar aku bawa keycardnya. Nanti kamu pinjam punya hotel kalau kamu mau menyalakan lampu."
Nandhita kembali diam. Masih dengan perasaan kesal aku melangkah keluar kamar. Dan segera turun kebawah.
.
.
.
Acara konser perdana cukup sukses. Penampilanku bersama Karmila mendapat sambutan hangat. Tidak sia sia kami membangun chemistry selama ini. Selesai acara aku bersama beberapa grup fans di daerah mengobrol bersama. Disebuah cafe kecil. Membicarakan berbagai hal menarik. Layaknya fans dan pujaannya.
Cukup lama kami disana sehingga hampir tengah malam baru aku kembali ke hotel. Aku terkejut mendapati kamar dalam kondisi gelap. Hanya jendela kamar yang terbuka. Sehingga ada sedikit cahaya yang berasal dari lampu jalan. Segera kunyalakan lampu dengan menempelkan keycard. Kudapati Nandhita tengah duduk meringkuk didekat jendela.
"Kamu ngapain disitu?" Tanyaku.
Ia diam, namun tangisnya semakin kuat terdengar.
"Nandhita... Aku nanya. Ngapain kamu gelap gelapan duduk disitu? Lampu kamar bukannya dinyalain?"
Kudekati dan kuangkat wajahnya. Matanya terlihat sembab.
"Apa kamu nggak takut gelap gelapan gini?"
Ia hanya mengangguk.
"Lalu?"
"..."
"Kamu nggak jadi minjam keycard ?"
"..."
"Aku nggak tahu harus meminjam dimana mas." Jawabnya diantara tangis yang kian keras.
Kuremas rambutku seketika. Rasanya aku butuh sesuatu yang bisa menenangkan isi kepala dalam menghadapi istriku.
"Kamu nggak pernah nginap dihotel?"
Ia menggeleng.
CUKUP SUDAH!
***
Happy reading,
Maaf untuk typo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top