G


Aku mulai membersihkan rumah baru kami. Ditemani oleh seorang pekerja rumah tangga paruh waktu yang dibayar oleh mas Gun. Rumah ini cukup besar. Berlantai dua.  Lokasinya disudut sehingga tanahnya lebih luas. Aku menata ulang beberapa ruangan. Mas Gun memesan  perabotan rumah tangga baru. Sisanya hanya tinggal dipindah saja.

Dapurnya cukup terang, menghadap halaman belakang. Mas Gun juga membelikan kitchen set baru. Peralatan dapurnya sangat modern. Aku tidak pernah membayangkan kalau akan memasak ditempat seperti ini.

Teringat saat beberapa kali ikut mas Ben ke kota. Rumahnya lebih luas dari ini. Saat itu aku diijinkan ikut memilih perabotan yang sesiai dengan seleraku. Aku sangat bersemangat membantu waktu itu. Tapi sayang, bukan aku yang menempati. Ada orang lain yang lebih berhak sekarang.

Kutepis pemikiran yang tiba tiba hadir itu. Aku tidak boleh mengingat masa lalu lagi. Sudahlah, ini takdirku. Bersuamikan seorang pemusik. Suka atau tidak, ia yang mendampingiku. Kususun  kembali peralatan makan yang kubawa dari rumah tadi. Saat semua sudah pada tempatnya, barulah aku keluar dari Area dapur.

Meja makan baru  sudah datang. Lebih besar dari yang lama. Sofa tamu juga. Kutatap foto kami didinding saat menikah kembali. Kugigit bibirku. Rasa sesak itu datang lagi. Apa salahku sebenarnya? Sehingga ini terjadi?

Hampir tiga bulan sejak kami menikah. Aku tetap belum bisa mencintai mas Gun. Meski aku tidak membencinya. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Sesulit inikah merubah hati? Kapan aku bisa lepas dari semua kenangan masa lalu?

***

SEKILAS BENUA

Aku tiba di Jakarta. Besok pagi seminar akan dimulai. Sengaja menginap di hotel yang berbeda dengan lokasi. Karena saat dijalan, staff rumah sakit mengatakan kalau Alena menanyakan hotel tempatku menginap. Ia tak menyerah. Sama juga denganku.

Malam ini, dengan menggunakan mobil rental, aku menuju kediaman Gunung. Bukan untuk bertemu, tapi hanya melihat dari jauh kondisi Nandhitaku. Aku tidak ingin membuat keributan. Hanya saja hatiku tidak tenang sejak beberapa hari yang lalu. Seakan akan, aku benar benar akan kehilangan Aninku. Semoga ini tidak akan terjadi.

***

Gunung

Hari ini kami resmi pindah. Aku baru saja mengunci pintu depan. Kemudian berjalan memasuki kamar kami. Aroma segar langsung menyapa. Nandhita masih membereskan pakaian yang berantakan diatas tempat tidur untuk dimasukkan kedalam lemari. Daster merah membuatnya sangat seksi. Mungkin tak sadar, saat bagian bawah pakaiannya sudah tidak pada tempatnya. Menampakkan setengah dari paha mulusnya. Kadang hal hal sederhana ternyata malah bisa membangkitkan gairah secara berlebihan.

Aku mendekati kemudian duduk disampingnya. Meraih beberapa kain yang ada disekitarnya. Meletakkan disembarang tempat. Ia menatapku heran.

"Kenapa mas?"

"Kamu cantik." Godaku.

Nandhita hanya menggeleng sambil tersenyum. Kemudian  berdiri dan melanjutkan pekerjaannya. Memasukkan pakaian ke dalam lemari. Tak lama semua selesai. Giliran aku yang bangkit mematikan lampu utama. Membiarkan lampu tidur menerangi kamar. Agar suasana lebih romantis.

Saat ia duduk disampungku, kuraih wajahnya agar menghadap padaku. Kutatap bola mata bening itu. Aku menginginkannya malam ini! Aku tak  bisa menahan lagi.

"Boleh Nin?" Bisikku saat wajah kami semakin mendekat. Deru nafasku terdengar bagaikan singa kelaparan. Aku sudah terlalu lama menahan. Ia mengangguk pelan. Kuraih tengkuknya, dengan cepat kukuasai bibirnya. Ia benar benar pasrah! Dan aku segera tenggelam untuk menuntaskan hasrat yang selama ini kupendam.

***

Sekilas Benua

Aku baru saja tertidur, saat seolah mendengar teriakan lemah Anin. Lebih deperti teriakan minta tolong.

"Mas Ben."

Dia kenapa? Apa yang terjadi?

***

Nandhita

Aku menangis saat mas Gun membanting pintu dengan kasar. Aku yang salah, karena memancing amarahnya. Saat tadi ia hampir klimaks, aku yang sebenarnya belum siap tiba tiba menyebut nama mas Benua. Aku benar benar merasa kesakitan, saat mas Gun menumbukku berkali kali. Rasanya sangat perih dibagian intiku. Aku menangis, namun mas Gun tidak memedulikan tangisanku. Ia tenggelam dalam hasratnya. Berkali kali aku minta ia menghentikan kegiatannya. Tapi tak sekalipun ia mendengarkan permintaanku.

Bagaimana mungkin aku menolak suamiku sendiri? Jelas aku tidak boleh. Kuterima semua perlakuannya. Apa memang seperti itukah hubungan suami istri? Aku sama sekali tidak menikmatinya. Sebagaimana mas Gun yang mendesahkan namaku berkali kali.

Ditengah rasa panik, sakit dan takutku. Aku menyebut nama mas Benua. Seolah hanya dia yang bisa menolongku. Bukan sengaja, hanya refleks saja.  Ya Tuhan, itu adalah kesalahan terbesarku. Seharusnya aku bisa menahan diri. Aku seorang istri, tidak pantas mengatakan itu didepan suami. Apapun yang terjadi seharusnya aku bisa menahan rasa sakit dan lukaku. Dan benar saja, Mas Gunung  langsung menghentikan aktifitasnya.

Aku menangis, ia yang sudah menolongku juga keluargaku. Menyelamatkan nama baik kami. Lalu inikah balasan yang kuberikan? Perlahan kuraih pakaianku yang berserakan. Mencoba memakainya satu persatu. Meski sangat sakit dibagian intiku hampir tak tertahankan, aku mencoba melangkah keluar.

Kulihat pintu menuju taman belakang terbuka. Mas Gun duduk disana sambil merokok. Kudekati dia,

"Ngapain kamu kesini?" Tanyanya dengan nada kasar. Matanya menatapku tajam.

Aku hanya diam, dan tetap berdiri. Wajar kalau ia sangat marah. Kemarahan pasti menguasai pikiran. Berkali kali ia menghembuskan asap rokok dari bibirnya.

"Sekuat apapun aku berusaha menyenangkanmu, dalam hatimu tetap yang ada hanya nama Benua. Sebrengsek apapun dia, tetap ia adalah laki laki yang kamu puja. Aku bukan apa apa untukmu."

Bukan seperti itu, dia salah. Tadi aku hanya merasa sakit. Tidak lebih.

"Aku minta maaf mas, aku salah."

"Aku tidak langsung meminta hakku bukan karena tidak punya nafsu. Tapi memberimu kesempatan untuk bisa beradaptasi agar bisa menerimaku. Tapi ternyata apa? Lebih baik aku membayar perempuan diluar sana. Maka dengan bahagia mereka akan meneriakkan namaku!"

Kata kata itu menghantamku bagai palu yang keras. Aku sudah gagal sebagai istri.

"Lalu mau kamu apa sekarang? Kita bercerai dan aku mengembalikan kamu pada pak Hadi?"

Aku menggeleng  cepat.  "Jangan mas, tolong." Bisikku dengan suara lemah.

"Lalu? Apa maumu?" Teriaknya lagi sambil mencengkeram daguku.

"Aku minta maaf mas. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku janji." Hanya itu yang bisa kukatakan. Berharap ia tidak akan menepati kata katanya.

Cerai? Jadi janda? Apa yang akan dikatakan orang padaku? Aku kembali diam dan menangis. Menunggu kalimat selanjutnya. Atau paling tidak hukuman apa yang akan diberikannya untukku.

"Jangan menangis, airmatamu seperti air mata  buaya. Jangan harap membuatku merasa kasihan. Tidak akan pernah." Ujarnya ketus kemudian malah meninggalkan aku sendirian. Tak lama kudengar suara motornya keluar dari pekarangan.

Sekitar dua jam kemudian ia kembali. Tanpa menyapaku ia langsung masuk ke kamar. Lama aku duduk di ruang makan. Tidak berani menyapa. Sampai akhirnya waktu sudah hampir subuh. Kulangkahkan kakiku perlahan menuju kamar. Rasanya sangat tidak nyaman. Ternyata mas Gunung tidak tidur. Melainkan merokok.

"Sholat subuh dulu mas." Ajakku.

"Kamu saja duluan," jawabnya seperti biasa.

Aku diam dan segera memasuki kamar mandi.

***

Gunung

Aku marah, kecewa, entah kalimat apalagi yang cocok untukku. Aku benar benar merasa terhina. Bayangkan, saat aku hampir klimaks, ia menyebut nama masku! Seketika aku melepaskan penyatuan kami. Kepalaku pusing. Kutatap ia dengan murka.
Namun tak mampu mengeluarkan satu kalimatpun dari mulutku.

Entah darimana dan sejak kapan sifat posesifku terhadapnya muncul. Aku tidak suka ia menyebut nama lain didepanku. Apalagi nama mas Ben! Apa tidak ada waktu lain ia menywbut nama itu? Haruskah saat aku hampir sampai pada puncak gairahku? Nandhita, aku kecewa!
.
.
.

Keesokan harinya  aku dikejutkan oleh datangnya mas Benua ke rumah. Satu masalah belum selesai. Masalah lain sudah muncul dihadapanku. Beruntung ia tidak tahu kalau aku dan Nandhita sudah pindah. Sehingga mereka tak perlu bertemu. Tampilannya masih seperti dulu. Rapi dan wangi. Kucoba menerka apa yang membuat Nandhita tidak bisa melupakannya.

Meski kami bagai musuh yang siap bertarung. Tapi jelas mas Ben terlihat jauh lebih tenang. Ada luka didalam tatapannya. Aku berteriak dalam hati. Aku akan menambah luka itu sekarang. Agar ia menyadari, meski selama ini ia selalu menang. Tapi kali ini piala itu jatuh padaku.

Kutatap wajah masku yang terlihat penuh harap. Seketika kebencianku muncul. Wajarkan? Kalau aku cemburu? Apa? Cemburu? Benarkah? Tidak, aku tidak cemburu. Aku tidak sedang jatuh cinta. Siapa Nandhita? Hanya anak pak Hadi yang harus kuselamatkan nama baiknya.

"Bagaimana kabar Anin?" Tanya masku dengan nada hati hati.

"Baik."

"Kamu yakin?"

"Jelas, aku suaminya. Tiap malam kami tidur bersama!" Balasku.

Aku puas menatap mata mas Ben yang terkejut.

"Tapi perasaanku mengatakan ia sedang menangis." Masku terus mendesak.

"Jangan percaya perasaan mas, apalagi terhadap istri orang. Untung ngomongnya sama aku. Kalau sama orang, bisa habis mas! Rasakan saja apa yang dirasakan Alena. Nggak perlu memikirkan istriku. Karena sudah ada aku yang mengurus.."

Mas Ben menatapku tak percaya. Kami kembali  saling diam, sampai kemudian ia pamit dan mengatakan sesuatu yang menohokku. Sambil menatap kejauhan ia berkata.

"Anin sangat perasa. Berkatalah yang lembutlah padanya. Jangan seperti kamu selama ini. Grasa grusu nggak tentu. Ia tidak suka membagikan perasaannya. Kamulah yang harus lebih peka. Jangan berkata kasar, itu akan menyakitinya."

"Aku tidak perlu penjelasan mas untuk tahu bagaimana sifat istriku. Tiga bulan menikahinya sudah membuatku mengerti dia."

Setelah lama menatapku tanpa berkata apapun lagi, akhirnya mas Ben pamit. Kutatap ia sampai ujung jalan. Aku merasa lega ketika mobilnya berbelok. Karena berhasil menggagalkan pertemuan mereka. Tapi sampai kapan?
.
.
.
Malam harinya aku sengaja pulang larut. Namun seperti biasa Nandhita menungguku disofa ruang tamu. Aku melewatinya sambil diam. Ia mengekoriku dari belakang.

"Makan dulu mas."

"Aku mandi dulu." Jawabku singkat.

Kumasuki kamar dengan perasaan hampa.  Sprei sudah diganti. Padahal sebenarnya aku lebih suka kalau tidak diganti. Suka melihat darah yang berceceran semalam. Paling tidak, ada kebanggaan. Baru kali ini aku meniduri perawan. Meski tidak sampai klimaks.

Aku segera mandi, namun memilih tidur. kepalaku pusing, kalian tahu kan kenapa? Membayangkan kejadian tadi malam membuatku masih marah. Tidak peduli pada tawaran Dhita untuk makan.  Karena sengaja makan nasi goreng tadi di studio.

Kudengar suara pintu dibuka. Langkahnya lebih pelan dari biasa. Nandhita tidak berani mengganggu. Kupejamkan mata sambil memunggunginya. Entah apa yang ia lakukan. Yang pasti aku tidak mau diganggu.

Sayang, mataku tak bisa terpejam. Kubalikkan tubuh dan menatap punggungnya disisi lajn ranjang. Ternyata kami masih musuhan. Nafasnya teratur, namun aku tahu kalau ia tidak tidur.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

20 jan 20

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top