E
Malam sudah sangat larut saat aku pulang. Tubuhku lelah karena baru saja manggung di sebuah acara. Aku terkejut saat melihat Nandhita masih menunggu sambil terkantuk di ruang tamu.
"Kamu ngapain disini?" Tanyaku heran bercampur marah dan penasaran.
"Nungguin mas." Jawabnya pelan.
"Aku nggak usah kamu tungguin. Kalau manggung aku biasa pulang jam segini. Kadang malah nggak pulang."
"Tapi tadi mas nggak ngomong. Aku takut ketiduran dan mas nggak bisa masuk. Karena nggak bisa menghubungi mas Gun."
"Ponsel kamu mana?" Tanyaku heran.
"Diambil sama ibu. Aku nggak bawa kesini."
Ya Tuhan, dan aku sama sekali tidak tahu istriku tidak punya ponsel?
"Besok kita beli sama sama. Aku punya kunci master rumah ini Dhita. Jadi kamu jangan khawatir, aku akan tetap bisa masuk. Kalaupun nggak, aku bisa tidur di mobil."
Ia hanya menunduk sambil memilin ujung dasternya.
"Ayo ke kamar." Ajakku.
Kembali ia menurut, mengekoriku dari belakang. Namun saat aku membuka kaos ia beranjak keluar.
"Mau kemana?"
"Ambil air hangat. Supaya mas nggak masuk angin."
Nandhita, kenapa kamu keibuan sekali? Kubiarkan ia keluar. Sementara aku masuk ke kamar mandi. Seluruh tubuhku bau rokok. Saat keluar aku mencium aroma lain, jahe! Nandhita sudah menghidangkan segelas wedang jahe di gelas.
"Kamu buat sendiri?" Tanyaku sambil menyeruput minumanku. Rasanya manis, pedas dan segar.
"Iya, aku biasa buat wedang jahe kalau musim hujan."
"Ada roti? Aku suka minum wedang sambil nyelupin roti atau biskuit."
Ia beranjak lagi, namun kali ini aku menarik tangannya. "Lain kali saja. Ini sudah malam. Kamu istirahat." Perintahku.
Ia menurut lagi. Kemudian merebahkan tubuh disisi lain kasur. Kudekati ia, kemudian kukecup keningnya.
"Selamat malam, selamat tidur." Bisikku. Kemudian mematikan lampu.
Entah dia sudah terlelap atau belum. Kudekati kembali. Kupeluk pinggangnya. Sampai akhirnya kami sama sama tertidur.
.
.
.
Pagi hari, aku bangun sudah pukul delapan. Matahari bersinar terik, namun jendela kamar belum dibuka. Dhita memang tidak pernah mau mengganggu tidurku. Karena aku kerap bekerja sampai larut malam. Dan tidak pernah tidur siang. Bagiku kualitas tidurlah yang harus dijaga. Biar sebentar asalkan nyenyak.
Kusibak selimut yang menutupi bagian bawah tubuhku. Tanpa mengenakan apapun aku keluar kamar. Nandhita sedang mengepel. Ia sangat rajin. Seluruh ruangan bersih dibuatnya. Mengenakan daster biru elektrik bermotif batik. Ia tak menyadari kehadiranku.
Hampir saja bokong bulatnya menabrak tubuhku karena berjalan mundur.
"Mas sudah bangun?" Teriaknya kaget.
"Sudah, kamu buat sarapan apa?" Tanyaku sambil menyenderkan tubuh di pintu.
"Mie goreng."
"Aku mandi dulu, kamu siapkan ya?" Ucapku.
Aku mandi dengan cepat. Selain karena memang sudah lapar. Beberapa hari ini semenjak ada Dhita hidupku jauh lebih teratur. Terutama jadwal makan dan meal time. Aku tidak lagi mengandalkan kopi, teh atau snacks untuk mengganjal perutku. Nandhita melakukan tugasnya sebagi istri dengan baik.
Selesai mandi tanpa mengenakan kaos aku memasuki ruang makan. Sepiring mie goreng dan segelas teh hangat sudah ada disana.
"Kok cuma satu? Kamu nggak makan?"
"Aku sudah mas."
"Besok besok kalau sarapan tunggu aku. Bangunkan saja, aku nggak apa apa kok."
"Iya mas. Maaf."
"Nggak apa apa, nggak usah minta maaf. Sini duduk temani aku makan."
Nandhita kemudian duduk di depanku. Masakannya selalu enak. Kutatap wajahnya yang tertunduk. Jujur aku tidak suka dengan sikapnya itu. Seolah olah aku adalah majikan dirumah ini.
"Kamu, kalau lagi didekatku jangan nunduk begitu. Aku nggak suka." Ujarku.
Perlahan ia mendongakkan kepala, matanya tampak mulai berkaca. Shit! Apa ada yang salah dengan kalimatku?
"Kenapa malah menangis?" Teriakku.
"Maaf, aku belum bisa seperti yang mas Gun inginkan." Ucapnya pelan.
Aku meletakkan sendok dengan cepat. Kesal juga rasanya melihat tingkahnya. Apa aku salah?
"Nandhita, kamu dengar aku. Sikap kamu tadi membuat kamu seperti pembantuku. Ingat, kamu istriku! Kita sejajar! Tidak ada yang lebih rendah atau tinggi! Kita partner hidup."
Nandhita mulai terisak. Kugelengkan kepala. Rasanya tiba tiba nafsu makanku hilang sudah.
.
.
.
Sampai siang kami hanya saling diam. Namun saat keluar studio kulihat meja makan sudah terisi dengan menu makan siang. Ada sayur lodeh, tempe goreng, dan orak arik telur. Ada sambal juga! Seketika perutku kembali lapar. Akibat sarapan yang hanya sedikit tadi pagi.
"Makan dulu mas." Ajaknya.
Aku menurut. Membiarkan ia melayaniku seperti biasa. Kembali ia tertunduk. Rasanya aku memang harus menahan rasa kesalku.
"Nin, coba lihat aku?"
Ia menatapku penuh tanya.
"Kenapa sulit sekali meminta kamu untuk menatap lawan bicaramu?"
Lama ia terdiam sampai akhirnya berkata.
"Bapak dan ibu melarang kami menatap wajah orang yang lebih tinggi derajatnya kalau sedang bicara. Nggak sopan mas."
Kutatap wajahnya. Otakku mencoba mencari kalimat yang paling santun yang aku bisa. Aku baru sadar, ia tumbuh dilingkungan yang menanamkan nilai seperti itu. Beda denganku yang lebih bebas.
"Dhita, aku sudah bilang tadi kan kalau kita suami istri. Posisi kita sejajar. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Kita sama sama punya kekurangan dan kelebihan.
Karena kita tidak pacaran, kita harus mulai mengenal kebiasaan masing masing. Maaf aku sudah membentak kamu. Aku memang sedikit pemarah. Kadang bukan karena aku benar benar marah. Tapi nada suaraku yang seperti itu. Mulai sekarang jangan takut untuk menatapku."
"Iya mas." Jawabnya. Kali ini sudah berani memandangku. Fiuh, kurang cantik apa kamu Nandhita?
"Habis ini, kamu ke ruang kerjaku. Kita pilih ponselmu."
***
Nandhita
Aku memasuki ruang kerja mas Gunung. Tidak ada matahari terlihat disini. Semua tertutup rapat. Dindingnya bergambar abstrak.
"Sini." Perintahnya sambil menepuk kursi disebelahnya.
Kulihat ia tengah membuka sebuah toko online yang menjual ponsel.
"Kamu pilih." Perintahnya lagi.
Kutatap satu persatu sambil melihat harganya. Bukan apa, semua tampak mahal. Bahkan yang termurahpun sama dengan uang kostku selama enam bulan waktu kuliah dulu.
Dibagian paling bawah, aku menemukan yang sesuai dengan keinginanku. Harganya hanya satu juta lebih.
"Yang ini saja mas." Jawabku.
Matanya memicing seperti tak percaya.
"Nggak, kamu pilih yang lain saja. Kameranya kurang bagus. RAMnya juga kecil."
"Mas yang pilihkan saja," jawabku akhirnya karena malas berdebat. Aku pasti kalah pada akhirnya.
Mas gunung kembali kelayar awal. Kemudian mengklik salah satu gambar.
"Ini saja ya?" Ujarnya. Menunjukkan sebuah ponsel dengan logo apel yang sudah digigit.
"Apa nggak kemahalan mas?" Tanyaku. Melihat harga yang tertera. Jantungku segera berdebar tak karuan. Dua belas juta lebih hanya untuk sebuah ponsel? Ini jelas berlebihan.
Namun mas Gun tidak menjawab. Kemudian berkali kali mengklik entah kolom apa saja.
"Nanti sore akan diantar. Beserta kartu baru kamu. Kebetulan ownernya temanku di klub motor. Kamu ada mau beli yang lain?"
Aku menggeleng. "Sudah cukup mas." Jawabku.
Ia kemudian menatapku dan mengangkat wajahku.
"Kamu cantik, kamu istriku. Aku akan memberikan yang terbaik yang aku bisa. Toh bukan tiap bulan kamu beli ponsel. Lagi pula kamu bisa menggunakannya untuk hobby kamu. Jangan selalu bertanya harga. Kita berbicara tentang kualitas disini."
Aku hanya bisa menarik nafas dalam.
"Apa aku boleh meminta hadiah karena sudah membelikanmu ponsel?"
"Hadiah apa?" Tanyaku.
Ia diam, namun mendekatkan wajahnya. Ia mencium bibirku. Kali ini lebih lama dari yang kemarin. Apa ia membayar ciuman ini dengan sebuah ponsel? Tanyaku dalam hati.
***
Gunung
Pernikahan kami akhirnya sah dimata hukum. Itu sangat membuatku lega. Kali ini Nandhita mengenakan kebaya putih yang kubelikan. Dihadiri oleh kedua mertuaku. Bapak sendiri yang kembali menikahkan putrinya. Istriku yang memang cantik bertambah cantik. Ditangan riasan yang tepat. Apalagi kebaya itu membentuk tubuhnya dengan sempurna. Dan sedikit senyum sudah menghias wajahnya.
Akad nikah dilaksanakan di rumah kami. Setelah selesai aku mengadakan syukuran kecil kecilan mengundang tim manajemen. Juga tetangga dekat. Tidak ada perayaan berlebihan. Yang pasti kami sudah mengenakan cincin pernikahan. Aku lega karena sudah menunaikan tanggung jawabku sebagai laki laki.
Bapak dan bu Ratna tampak bahagia. Meski Nandhita masih menunjukan wajah lukanya. Tapi aku yakin, perlahan ia akan menerima kenyataan ini. Kulihat dari sikapnya padaku yang sudah mulai berubah. Meski belum terlalu dekat. Komunikasi kami jauh lebih baik.
Besoknya, aku mengajak keluarga Nandhita jalan jalan ke berbagai tempat. Sebenarnya ini adalah ucapan terima kasihku pada pak Hadi. Kalau bukan karenanya aku tak akan menjadi seperti sekarang.
Kuingat, dulu saat ingin membentuk band. Aku bercerita padanya bagaimana ayah dan ibuku menetang keras. Kuingat satu nasehat beliau. Kamu mau jadi apapun boleh. Yang penting jangan macam macam. Jangan minum minuman keras, jangan pakai narkoba. Jangan suka ribut dengan orang. Cintai apa yang kamu kerjakan. Dan berdoalah supaya apa yang kamu cita citakan berhasil.
Kata kata itu kuingat sampai sekarang. Meski tidak semua bisa kulaksanakan karena pergaulanku. Tapi minimal, aku tidak pernah terjerumus terlalu dalam. Kecuali dalam hal seks. Sebelum menikahi Nandhita aku sudah memiliki partner. Meski masih mengingat untuk menggunakan pengaman.
Telfon dari mas Ben tak pernah kuangkat lagi. Kuanggap sebagai angin lalu. Nandhita sendiri kubelikan ponsel baru. Dengan pesan, aku tidak mau melihatnya kembali berhubungan dengan mas Ben. Ia hanya mengangguk.
***
Nandhita
Siang ini, aku sedang membersihkan rumah. Orang tuaku sudah kembali tadi pagi. Hanya tiga hari mereka disini. Saat bel berbunyi. Kubuka pintu dan melihat ada dua orang tamu yang berdiri diluar gerbang. Salah satunya berpakaian sangat ketat dan terbuka dengan rambut merah menyala menatapku aneh. Rasanya aku pernah melihatnya. Tapi dimana?
"Siang, apa mas Gunung ada dirumah?" Tanyanya dengan logat sunda yang sangat kental.
"Ada mbak." Jawabku.
"Tolong bukain pintunya. Bilang Karmila Janda seksi mau ketemu."
Ah ya aku ingat sekarang. Dia Karmila, penyanyi dangdut yang ngetop dengan lagu Janda seksi. Aku segera membuka pagar. Karena memang mas Gun sudah berpesan bahwa akan ada tamu.
Perempuan itu menatapku dari atas kebawah.
"Kamu siapa?"
"Istrinya mas Gunung" jawabku. Entah kenapa aku menjawab seperti itu. Rasanya posisiku sangat tidak aman saat berdekatan dengannya.
Perempuan dengan kaos ketat dan belahan dada yang terlihat jelas itu tertawa, "Yang bener? Mas Gun sudah menikah?" Nadanya terdengar tak percaya.
Aku hanya diam, tidak tahu mau menjawab apa. Perempuan bersepatu sangat tinggi itu memasuki rumah. Seakan sudah mengenal seluk beluk tempat ini, ia melenggang ke ruang kerja mas Gun. Sementara yang berpakaian seperti laki laki mengikuti dari belakang. Aku hanya diam dan melanjutkan pekerjaan. Entah apa yang mereka lakukan didalam sana. Tapi aku tak suka melihatnya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo.
18 jan 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top