C

Selesai semua sarapan, aku keluar rumah. Menuju warung yu irah. Beberapa orang tampak membuka tenda dan membereskan kursi. Ternyata cepat juga mereka bekerja.  Beruntung suasana warung  cukup sepi. Buru buru aku membeli sayur dan ikan untuk hari ini.

"Apa kamu baik baik saja?" Tanya yu Irah

"Iya yu." Jawabku singkat.

"Aku ikut sedih dengan kejadian kemarin pagi. Tapi katanya kamu sudah menikah dengan Gunung?"

Berita apapun cepat sekali tersebar di kampungku.  Aku hanya mengangguk. Kemudian buru buru membayar belanjaanku. Sepanjang jalan pulang, hampir semua mata menatapku. Aku tidak berani membalas tatapan mereka. Aku malu dan sedih.

Saat sampai di rumah, semua hampir kembali seperti semula. Tinggal melepas kain kain penutup dinding. Kuletakkan belanjaanku diamben belakang dapur.

"Nan, ini antar teh manis untuk yang kerja di depan. Kasihan mereka pasti haus." Perintah ibuku.  Aku kembali menurut. Kulihat mas Gunung ikut membantu. Penampilannya sangat berbeda dengan para tukang yang ada. Beberapa kali mereka tampak foto bersama. Bahkan salah seorang menayangkan siaran langsung. Laki laki itu hanya tertawa.

Siang hari  semua pekerjaan membereskan tenda dan pelaminan selesai, saat makan siang mas Gunung berkata.

"Sore ini saya harus pulang ke Jakarta pak."

Bapakku terdiam seketika. Entah sengaja atau tidak, beliau menatap wajahku.

"Saya minta ijin membawa Nandhita kesana." Lanjut mas Gunung. Seperti mengerti kegelisahan dalam mata bapak.

Aku menunduk. Tidak menyangka akan secepat ini. Gunung melanjutkan kalimatnya.

"Bapak jangan takut, saya akan memperlakukan Nandhita dengan baik. Meski pernikahan kami seperti ini, saya akan tetap mengingat janji saya pada bapak."

Kali ini bapak dan ibuku terlihat  tersenyum. Mereka mengangguk bersamaan. Ibu mengelus punggungku. Seakan mengerti kegelisahan yang kualami.

"Habis ini kamu siap siap. Kita akan berangkat sebelum maghrib." Kalimat pelan itu serasa sebuah perintah.

Selesai makan aku membenahi isi koperku. Memasukkan pakaian yang kuanggap layak satu persatu. Aku tidak pernah ke Jakarta. Paling jauh ke kota kabupaten. Tempatku menimba ilmu. Tak lama ibu masuk sambil membawa sebuah bungkusan.

"Sudah selesai?" Tanya ibu.

"Hampir bu." Jawabku.

Kemudian ibu duduk disisi ranjang sambil sesekali ikut membenahi pakaianku.

"Ini, hadiah untukmu dan Gunung." Ujar ibu sambil menyerahkan  benda ditangannya.

"Terima kasih bu." Jawabku tanpa membuka. Tidak sopan rasanya.

"Kamu hati hati disana, jangan lupa makan. Maaf kalau kamu merasa terpaksa menikah dengan Gunung. Semalam bapak sama ibu nggak tahu mau bagaimana lagi."

"Ibu nggak perlu minta maaf."

"Ibu tahu kamu tidak mencintai Gunung. Tapi apapun yang terjadi, kamu harus menghormati dia sebagai suami. Layani dengan baik. Kamu tahukan tugas seorang istri? Mendampingi suami, menyiapkan makannya bahkan kamu harus melayani di tempat tidur."

Aku mengangguk lemah, sayang untuk yang terakhir rasanya aku sangat belum siap. Bagaimana bisa? Aku sama sekali tidak mencintainya. Meski tadi malam aku sudah mengijinkan. Tapi itu hanya dibibir, bukan dari hatiku. Kemudian aku duduk didekat ibu.

"Mungkin kamu tidak mengenal Gunung. Tapi bapakmu mengenal dia dengan baik sedari kecil. Karena itu dia diijinkan untuk menikahimu. Meski terkesan kasar, Gunung itu laki laki yang  baik.  Jaga tingkah laku dan tutur katamu disana ya nduk. Kalau nanti ada apa apa hubungi kami. Kalau ada masalah jangan kamu pendam sendiri.

Lupakan masa lalumu, cintamu pada  Benua mungkin belum hilang. Tapi ingatlah, dia  bukan jodohmu. Dia ditakdirkan untuk perempuan lain. Gununglah yang sekarang memilikimu. Sayangi dia, jangan permalukan kami dengan sikapmu disana. Tunjukkan kalau kami sudah mendidikmu dengan baik."

Aku hanya diam dan menutup mata. Tak sadar airmataku sudah tumpah. Ibu benar dan aku harus  berusaha melupakan cintaku.

***

Sekilas Benua

Aku duduk ditepi ranjang. Dadaku masih sakit kena tendangan kaki Gunung adikku. Tapi jangan tanya, hatiku. Jauh lebih sakit dan hancur. Apa salahku? Aku tidak pernah melakukan itu. Apalagi tidur dengan perempuan lain. Aku menjaga tubuh juga hatiku hanya untuk Anin. Panggilan keaayanganku padanya.

Tak percaya kalau ini sampai terjadi. Aku harus melepas Anin untuk Gunung. Selama ini ternyata aku hanya menjaga jodoh adikku. Tahu begitu sudah dari dulu aku merusaknya. Kuremas rambutku membayangkan tatapan adikku.

Bagaimana kabar Anin hari ini? Ponselnya tak pernah aktif dari semalam. Apa dia masih marah? Atau saat ini adikku sedang menikmati tubuhnya. Bagaimana ia sekarang? Aku cemas memikirkannya.

"Belum tidur mas?" Tanya Alena dengan penuh keramahan. Aku muak mendengar panggilan yang tiba tiba berubah itu. Perempuan ular!

Kutepiskan tangannya yang menyentuh pahaku..

"Jangan ngambek dong." Ucapnya sambil melepaskan selimut.

Kutatap tubuh yang mengenakan lingerie berwarna ungu itu. Bukan bernafsu, aku malah muak! Didekatinya aku, digesekannya dadanya pada lenganku. Amarahku semakin memuncak.

"Kamu mau ngapain? Mau menggodaku? Asal kamu tahu, aku tak akan tergoda. Sampai kapanpun!"

"Mas yakin?" Tanyanya dengan suara mendesah!

"Aku selalu yakin dengan apa yang kukatakan, jangan panggil aku Benua kalau aku tidak bisa membuktikan ucapanku!"

Selesai mengucapkan kalimat tersebut, aku berdiri dan beranjak keluar kamar! Aku akan diam diam membuktikan, kalau dia tidak hamil anakku. Atau kalaupun hamil, akan kupastikan kalau itu bukan benihku. Karena aku tidak pernah sembarangan menabur benih. Hanya Anin yang boleh mengandung anakku.

***

Gunung

Kuangkat koper milik Nandhita. Tampaknya ia sudah siap. Meski aku yakin pada awalnya ia mempersiapkan semua untuk pergi bersama mas Benua. Sayang takdir membawanya menikah denganku. Perempuan yang baru kemarin menjadi istriku itu pamit pada orangtuanya. Ada pelukan juga derai airmata.

Padaku pak Hadi kembali mengingatkan. "Bapak titip Nandhita, kalau kamu misal nanti tidak berkenan dengan sikapnya. Jangan sakiti dia.  Bicaralah dan kembalikan dia pada bapak dengan baik baik. Bapak tidak akan menyalahkan kamu." Ucap pria yang sangat kuhormati itu.

"Saya akan menjaganya pak. Berdoa saja supaya kami langgeng." Balasku singkat.

Kami pergi diiringi tatapan penasaran dari hampir seluruh warga desa. Mereka menyempatkan diri menatap mobilku. Mungkin bertanya dalam hati, apakah Nandhita ikut. Aku tertawa miris. Aku suka dengan rasa penasaran mereka. Beruntung kaca mobilku sangat gelap. Jelas aku akan membawa istriku. Tidak ada alasan untuk meninggalkannya disini. Aku tidak ingin ia dan keluarganya mengalami rasa malu untuk kedua kali.

"Kita nggak mampir ke orangtua elo Gun?" Tanya mas Parmo.

"Nggak usah langsung aja." Jawabku.  Tak ada alasan juga kenapa aku harus mampir.

Kulirik Nandhita dibelakang. Ia menatap hamparan sawah yang membentang. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Kami seperti dua orang yang tak saling mengenal.  Mobil bergerak semakin cepat. Apalagi saat kami sudah keluar dari jalan desa.

"Kita makan malam di Sari Rasa ya mas." Perintahku.

"Oke." Jawab Parmo Singkat.

Kembali kulirik Nandhita dibelakang. Ia memejamkan mata. Baru kusadari alisnya tebal dan bentuknya sangat bagus. Pantas mas Benua mengejarnya pikirku. Kulepas bantal leherku saat melihat posisinya tidak nyaman.

"Nan...nan." panggilku

"Ya mas?" Jawabnya sambil membuka mata.

"Kamu pakai bantal leher ini. Nanti sakit kalau tidurmu begitu." Ucapku.

Ia hanya mengangguk dan menurut. Perjalanan masih sangat panjang. Beruntung interior mobil ini sudah kuubah senyaman mungkin. Karena aku sering beristirahat disini.
.
.
.

Akhirnya kami tiba di Jakarta pukul lima pagi. Aku langsung membawanya ke rumahku. Meski tidak tergolong luas, namun cukuplah untuk kami berdua. Ada tiga kamar disini. Satu kugunakan sebagai kamar tidur, yang satu sebagai gudang perlengkapanku, dan satu lagi sebagai studio.

Kutarik koper milik Nandhita. Ia tampak mengikuti langkahku dengan ragu. Kubuka pintu kamar dan mempersilahkannya masuk.

"Ini kamar kita." Ucapku.

Ia tampak kaget dan menatap keseisi ruangan. Memang hampir tidak ada barang barang didalam. Tempat tidurkupun hanya sebuah kasur berukuran king size. Tanpa headboard. Tampaknya aku harus membeli lemari baru untuknya. Namun, pertanyaannya yang justru membuatku sedikit kaget.

"Apa kita akan tidur sekamar?"

"Ya, kita sudah menikah secara sah kan? Tidak ada alasan kamu harus tidur di kamar lain."

"Apa mas nggak keberatan?"

"Sama sekali enggak, malah aku suka." Jawabku jujur. Siapa yang tidak suka tidur bersama perempuan dengan lekuk tubuh mirip Kim Kadarshian? Aku baru teringat, bentuk tubuh mereka tidak jauh berbeda. Nandhita tinggal dipoles sedikit saja. Namun kupastikan aku tidak akan merubah apapun darinya. Hanya aku yang akan menikmatinya. Aku takkan berbagi.

Nandhita tertunduk dengan wajah memerah.

"Kamu istirahat dulu. Aku mau ke ruang kerjaku sebentar. Oh ya bolehkah aku memanggilmu Dhita?"

Ia hanya mengangguk.

Siangnya, saat aku masih berada di studio, Nandhita mengetuk pintu.

"Aku mau nanya, kalau mau belanja sayur dimana?" Tanyanya setelah kupersilahkan masuk.

Aku baru sadar bahwa sudah betul betul menikah sekarang.

"Besok kita akan belanja ke supermarket."

"Sekarang kita makan apa? Nggak ada apa apa dikulkas."

Aku menepuk keningku.

"Kamu belum makan?" Tanyaku.

"Sudah, makan roti yang dibeli semalam."

Ya Tuhan, aku sudah menelantarkan anak orang.  Baru sadar kalau kulkasku kosong. Hanya berisi minuman dingin dan tak pernah ada bahan makanan disana. Bergegas aku bangkit.

"Kita makan diluar dan belanja sekarang."

Nandhita menurut, ia mengekoriku. Kuambil kunci mobil dan kami segera keluar. Saat makan di sebuah restoran. Aku mengeluarkan sebuah kartu dari dompetku.

"Kamu bisa pakai Atm?" Tanyaku.

"Bisa."

"Ini untuk kamu. Aku akan transfer setiap minggu. Gunakan untuk kebutuhan rumah. Kalau kurang kamu boleh  bilang padaku. Siapa tahu aku bisa nambahin."

Ia memasukkan kartu itu ke dompetnya yang saat kulirik hanya berisi beberapa lembar uang lima puluh ribu dan sepuluh ribuan. Aku tiba tiba sadar, ia bukan orang berada. Mungkin hanya itu uang yang dia miliki. Tapi anehnya ia tidak meminta.

"Satu lagi, kalau kamu mau keluar, beri tahu aku sebelumnya. Supaya mas Parmo mengantar kamu. Kamu kan baru di Jakarta. Aku sebenarnya punya dua mobil. Hanya saja yang satu kurentalkan. Kamu bisa pakai itu. Bisa menyetir?" Tanyaku lagi.

"Enggak mas." Jawabnya sambil tertunduk. Wajah putihnya memerah. Membuatnya cantik sekali.

"Kalau mau, kamu bisa belajar nyetir. Tapi kalau enggak juga nggak apa apa."

Nandhita tidak menjawab lagi. Dalam perjalanan menuju supermarket aku kembali menarik uang tunai. Menyerahkan sebagian padanya. Ia tampak terkejut.

"Ini banyak sekali mas."

"Nanti waktu belanja kamu yang bayar. Aku hanya bantu dorong  saja." Jawabku. Aku tidak mau mengambil alih tugasnya sebagai ibu rumah tangga.

Saat kami berada disana, aku mengikutinya belanja. Kuakui ia sangat telaten. Memeriksa tanggal kadaluarsa bahan makanan.  Juga dalam menentukan kesegaran sayur, buah dan ikan. Bumbu juga tak luput dari perhatiannya. Tak butuh waktu lama, empat puluh menit semua selesai. Aku tersenyum, karena dia sangat berbeda dengan ibuku.

Saat akan membayar dikasir, beberapa orang mengenaliku. Seperti biasa mereka meminta foto bersama. Nandhita perlahan mundur. Membiarkan aku berswafoto dengan fansku. Menunggu disamping mobil dengan sabar. Saat aku datang ia hanya tersenyum. Membantuku memasukkan belanjaan tanpa banyak bicara.

Saat itulah aku menyadari, bahwa ia adalah paket komplit seorang istri. Pantas masku begitu marah dan memperjuangkannya selama lima tahun. Tapi kenapa ada perempuan lain? Aku tak juga menemukan jawabannya sampai sekarang..

***

Happy reading

Maaf untuk typo

150120

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top