B
Kumasuki kamar pengantin yang tadinya akan menjadi milik mas Benua. Disana Nandhita sudah duduk sambil tertunduk. Sesekali masih menyeka airmatanya. Apa dia tidak capek harus menangis sepanjang hari? Ia mengangkat wajah saat aku mendekat.
"Sudah malam. Mas mau mandi?" Tanyanya lembut disela isaknya. Entah tulus atau karena sungkan. Aku tak tahu! Kebayanya sudah diganti dengan sebuah daster berwarna hijau tua. Menunjukkan kulitnya yang bersih.
Aku mengangguk tanpa menjawab apa apa.
"Baju mas dimana?"
Teringat akan ranselku di mobil. Aku kembali keluar sambil mengambil tas ranselku. Kemudian membawa ke kamar.
"Sorry aku lupa bawa handuk."
Perempuan yang hari ini resmi menjadi istriku itu membuka lemarinya lalu menyerahkan selembar handuk.
"Mas pakai ini saja."
"Kamar mandinya dimana?" Tanyaku.
"Dibelakang." Jawabnya singkat.
Kuambil pakaian dari dalam ransel. Kemudian bergegas kebagian belakang rumah. Beberapa orang yang berpapasan denganku mengangguk dengan hormat. Sesaat setelah membuka pakaian, pintu kamar mandi diketuk. Suara Nandhita memanggilku.
"Mas?"
"Ya?"
"Ini peralatan mandinya."
Aku membuka sedikit pintu. Ya peralatan mandiku tertinggal di kamar tadi. Dari dulu aku memang hampir tidak pernah menggunakan kamar mandi umum untuk mandi. Tampak tangannya yang putih menyerahkan sebuah tas kecil. Kuterima saja tanpa banyak tanya. Selesai mandi tubuhku terasa segar. Kemudian kami makan bersama. Dimeja makan hanya ada telur dadar, ikan asin, sayur rebus serta sambal. Mengingatkanku akan masa kecil saat masih sering makan disini.
"Maaf mas Gunung, makannya cuma ini. Makanan untuk pesta tadi pagi, sudah keburu ibu berikan sama keluarga yang datang. Besok baru ibu belanja."
"Nggak apa apa bu. Ini malah lebih enak. Sudah lama saya nggak makan masakan ibu." Jawabku sambil berusaha tersenyum.
Kami kemudian makan dalam diam. Dirumah ini semua makan dengan menggunakan tangan. Awalnya aku ditawari menggunakan sendok. Namun kutolak halus. Aku harus menyesuaikan diri.
Selesai makan aku pamit ke kamar. Nandhita masih membantu ibunya membereskan meja makan. Kurebahkan tubuhku pada kasur yang sedikit keras. Lagi pula ranjang ini terlalu kecil untukku. Aku lelah dan mengantuk. Tak lama istriku masuk dan menutup pintu.
Ia tampak bingung, akhirnya memilih duduk didepan meja rias.
"Kamu mau disitu sampai pagi?" Tanyaku.
Ia menggeleng.
"Sini tidur." Perintahku sambil menepuk bagian kosong yang berdekatan dengan dinding.
Dengan ragu ia mendekat dan naik ke ranjang. Kemudian tidur sambil menghadap ke dinding. Aku mengambil selimut dan menutup tubuhnya sampai pinggang. Jangan kalian kira aku tidak bernafsu. Nandhita sangat cantik. Ia memenuhi semua syarat untuk menjadi perempuan yang akan memuaskanku. Kulitnya bersih dan putih, payudaranya cukup besar. Rambutnya hitam dan panjang. Bokongnya bulat agak besar. Apalagi betisnya. Bisa kubayangkan kalau ia membuka pahanya didepanku. Benar benar tipikal mas Benua.
Kugelengkan kepala, berusaha meredam nafsu. Aku menjadi gelisah, antara keinginan melepaskan nafsu, atau menahannya sampai batas waktu yang tidak jelas. Lama kami saling diam. Sampai akhirnya Nandhita membalikkan tubuhnya. Bagian dada dasternya sedikit turun, membuat mataku segera melanglang buana kesana. Untung jemariku masih bisa kutahan.
"Mas."
"Ya," jawabku dengan suara serak.
Lama kami kembali terdiam. Sampai akhirnya dengan suara pelan ia berkata lagi.
"Kalau mas menginginkan aku melaksanakan tugas sebagai istri. Silahkan. Aku akan melayani mas Gunung." Ucapnya diiring airmata.
Aku menghembuskan nafas kasar.
"Aku tidak mau menjadi pemerkosa. Aku akan melakukannya kalau kamu siap." Ucapku seketika.
Kemudian aku berdiri dan meninggalkannya didalam kamar sendirian. Bukan apa apa, aku benar benar takut menjadi pemerkosa!
***
NANDHITA POV
Aku bangun pagi seperti biasa. Tidurku tidak nyenyak. Bagaimana bisa? Dalam dua puluh empat jam, hidupku benar benar berputar. Kemarin pukul empat pagi, aku dibangunkan oleh ibu. Karena perias manten sudah datang. Aku segera mandi. Kedatangannya kusambut dengan bahagia.
Selama dirias aku hanya duduk diam. Berkali kali ia memuji kecantikanku. Dan mengucapkan syukur karena aku benar benar menuruti perkataannya. Termasuk puasa mutih. Aku ingin tampil cantik dihari pernikahanku untuk mas Benua. Laki laki yang sudah lima tahun jadi kekasihku.
Meski pada awalnya jalinan cinta ini kami lakukan dengan diam diam. Aku tahu, bu Pratikno sangat berhati hati memilih menantu. Bahkan seantero kampung tahu, kalau ia sangat ingin bermenantukan orang kota. Aku pernah menyerah, tapi kekasihku tidak. Ia bersikeras mengatakan akan membujuk ibunya.
Mas Benua harus berusaha mati matian untuk mendapatkan restu ibunya. Dua tahun kami menanti. Sampai akhirnya restu itu berhasil kami dapatkan tiga bulan lalu. Kukira itu adalah awal kebahagiaan kami. Tapi aku salah.
Kemarin saat akan melaksanakan akad nikah tiba tiba seorang perempuan cantik datang sambil menangis. Berteriak agar semua dihentikan. Aku yang sudah duduk disamping mas Benua kaget. Perempuan itu mengaku hamil. Mas Benua diam, ibunyalah yang langsung menghampiri. Bahkan bertanya baik baik. Bayangkan sakitnya hatiku. Denganku ibu bahkan tidak mau bertegur sapa.
Setelah dijelaskan, ibu mas Benua segera berdiri menghampiriku. Masih kuingat kata kata pedas yang diucapkan dengan lembut dari lidahnya.
"Bagaimana ini? Dokter Alena adalah salah seorang dokter di rumah sakit milik Benua. Pamannya yang sekarang jadi bupati kita. Aku nggak mungkin mempermalukan mereka. Nandhita, apa kamu tega membiarkan cucuku lahir tanpa punya ayah?"
"Bu, aku nggak pernah menghamili siapapun" kudengar teriakan mas Benua.
"Lha, buktinya Alena bilang kalau dia hamil anakmu. Kalian kan sering keluar bareng?"
"Keluar bareng bukan berarti aku melakukan hal yang nggak pantas. Alena, tolong katakan bahwa ini nggak benar. Kita tidak pernah melakukan apa apa Alena.!" Teriak mas Benua lagi.
Aku merasa duniaku berputar. Apalagi kemudian datang dua orangtua berpakaian bagus memasuki rumah kami. Yang tanpa basa basi berkata.
"Benua, kalau kamu tidak menikahi Alena sekarang juga. Kami akan melaporkan kamu ke polisi. Karena tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan kamu."
"Silahkan, saya tidak pernah menghamili siapapun!" Mas Benua tetap berusaha bertahan.
Sampai akhirnya perempuan bernama Alena itu mengeluarkan beberapa lembar foto dari tasnya. Kami semua terkejut. Itu bukan gambar yang pantas untuk ditunjukkan dimuka umum. Ada mas Benua tanpa busana dengan perempuan itu. Tangisku semakin kuat. Ibu memelukku dari belakang. Kenapa begini? Jeritku dalam hati.
"Benua, kamu boleh menikahi Nandhita sekarang. Tapi setelah ini kamu harus menikahi Alena dirumah kita. Kamu Nandhita, harus bersedia dimadu. Tidak mungkin aku menbiarkan cucuku lahir menjadi anak haram."
Kalimat itu bagaikan tamparan untukku. Dimadu? Sedikitpun aku tak pernah membayangkan. Aku berlari menuju kamar. Diiringi teriakan mas Benua.
"Anin, tolong jangan percaya."
Tapi aku memilih tidak menjawab. Aku sudah dikhianati. Dan aku tidak bersedia dimadu!
.
.
.
Suasana rumah terlihat mulai sunyi. Kuketuk pintu kamar ibu. Tanpa menunggu jawaban aku masuk. Disana kedua orangtuaku tengah menangis sambil menatap setumpuk uang.
"Ini uang darimana?" Tanyaku. Aku tahu keluarga kami cukup miskin untuk punya uang sebanyak ini.
"Dari bu Pratikno, ganti rugi pengeluaran kita." Jawab bapak pelan.
"Bapak terima?" Tanyaku.
"Enggak, tapi ditinggal begitu saja. Mereka orang berkuasa, kita nggak mungkin mempermalukan mereka. Nanti bapak suruh kakakmu Nania untuk mengembalikan."
Aku berlari menuju kamarku lagi. Betapa rendah kami dimata mereka. Aku yang salah sudah mencoreng wajah kedua orangtuaku. Seandainya aku menolak lamaran kekasihkuboada waktu itu. Ini tak akan terjadi. Bu Pratikno benar, aku tidak tahu diri berharapkan punya suami kaya. Meski jujur aku mencintai mas Benua bukan karena kekayaannya.
Siangnya, bapak dan ibu memasuki kamarku. Aku masih belum berganti pakaian. Rasanya pikiranku kosong. Membayangkan rasa malu keluargaku. Bagaimana kami bisa keluar rumah dengan kepala tegak besok? Kubayangkan wajah wajah yang sinis memandang kami. Nandhita, anak guru SD. Ibunya cuma buruh tani ngimpi jadi mantune orang kaya.
"Nin." Sapa bapak sambil mengusap bahuku.
"Ya pak."
"Gunung datang."
Aku tahu, Gunung adalah adik mas Benua. Laki laki yang saat kecil dulu sering main kerumah.
"Dia ingin menikahi kamu."
"Jangan pak, ini bukan saatnya untuk bicara pernikahan." Tolakku. Ya aku harus tetap berpikir waras.
"Dia bilang, dia yang akan bertanggung jawab atas masalah ini."
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak sanggup melihat wajah bapak dan ibu. Ibu menangis lagi, bapak hanya menarik nafas dalam.
"Apa kamu mau menikah dengannya? Supaya kamu bisa keluar dari kampung kita. Bapak mengenalnya sejak kecil. Dan yakin dia akan menghormati kamu."
"Tapi pak..."
"Kalau kamu sayang sama bapak. Dengarkan bapak sekali ini. Kamu akan dipandang rendah oleh banyak orang disini. Bapak nggak mau kamu jadi bahan omongan orang. Gunung sudah memintamu pada bapak dengan baik baik."
Kutatap wajah bapak, begitu beratkah bebannya? Tapi Gunung? Aku tidak punya pilihan.
***
Kulirik pria yang duduk disebelahku. Dengan tegas ia mengucapkan ikrar untukku. Akhirnya aku menikah. Ditanggal yang sama. Hanya saja dengan pria yang berbeda!
Aku tidak mampu lagi berpikir jernih semua terlalu cepat. Kucium punggung tangan yang penuh gambar aneh itu. Aku memejamkan mata, bukan waktunya untuk bertanya.
.
.
.
Mas Gunung masih tertidur nyenyak setelah aku selesai sholat subuh. Aku tidak berani membangunkannya. Pelan aku keluar dari kamar. Ibu tampak sedang menjerang air dan memasak nasi.
"Sudah bangun Nan?"
"Sudah bu."
"Kamu potongin tempenya. Buat mendoan saja."
Aku mengangguk. Perlahan duduk dan melaksanakan tugasku. Tak lama semua selesai. Sepiring tempe mendoan dan segelas kopi untuk mas Gunung sudah selesai.
"Bangunkan suamimu, suruh mandi lalu sarapan."
Aku menurut. Beruntung mas Ginung sudah bangun.
"Mandi dulu mas, habis itu sarapan."
Ia hanya mengangguk.
"Itu Parmo supir saya kamu suruh masuk aja. Dia tidur di mobil tadi malam."
"Mas Parmo sudah bangun mas. Tadi malam tidur rame rame di ruang tamu."
Kulihat ada reaksi terkejut pada wajahnya. Namun, kembali laki laki itu diam. Dan meraih handuk yang tergantung dibalik pintu.
****
Happy reading
Maaf untuk typo
130119
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top