1. Nasib Roy
Rosyid Qurtuby—yang sehari-hari minta dipanggil Roy—terlena dalam imajinasi. Tubuhnya tenggelam dalam sofa besar di ruang tengah ibu kosnya yang lengang. Nyaman sekali berada di tempat ini. Hati nuraninya sudah dibungkam kuat-kuat. Siapa yang butuh hati nurani? Ia butuh jaminan hidup. Sudah pasti, uanglah sarananya.
"Roy, minum dulu, yuk!" ajak Lis, ibu kos muda yang bodinya menggetarkan pria mana saja.
Lis itu kutilang. Kuning, tinggi, dan langsing. Pinggulnya, oh! Entah harus digambarkan bagaimana. Yang pasti, Roy berkhayal bisa mendaratkan tangan di sana.
"Apa ini, Mbak?" tanya Roy seraya mengambil gelas dari tangan Lis. Minuman dingin berwarna kuning kecokelatan itu diamati sejenak.
"Coba tebak, Rooooy," ucap Lis. Ia sengaja memberi tekanan pada nama Roy. Rasanya lucu saja menyebut pemuda culun ini dengan panggilan mentereng.
Semenjak lulus SMK dan merantau, Rosyid membuat nama panggilan sendiri. Ia memilih Roy untuk menggantikan nama julukan Sor. Sial sekali memang. Nama pemberian dukun itu sudah membuat masa kecilnya serasa neraka karena menjadi bahan tertawaan teman-teman.
"Mbok jangan main tebak-tebakan. Hatiku jadi deg-degan," balas Roy, manja-manja.
"Itu beras kencur dikasih es batu," jawab Lis. "Ayo dicoba!"
Lis mendudukkan diri di samping Roy. Harum parfum janda beranak satu itu langsung menyerbu penghidu kekasihnya. Lis menyeruput beras kencur sedikit-sedikit dan meneguknya perlahan. Bibir bulat kemerahan itu segera menyita perhatian Roy. Bahkan jantung Roy seperti dikuasai, ikut-ikutan berdenyut keras mengikuti setiap tegukan.
Lis menoleh. Senyumnya terkembang saat mendapati mata polos yang tertegun. Telunjuk lentiknya bergerak, lalu menekan bibir tebal Roy.
"Ayo minuuum!" ucapnya dengan intonasi yang memuat hati lelaki geregetan maksimal.
Roy tersipu malu. "Eh, iya. Kok sampai lupa kalau harus minum. Soalnya kalau aku ... ehm ... kalau aku sudah telanjur lihat Mbak Lis dari dekat gini, otak ini langsung mogok, lho."
Tawa Lis meletup. Roy memang begini, malu-malu tapi rayuannya receh. Ditimpuknya pipi tembem lelaki itu. Timpukan sayang dan manja, tentu saja. "Halaaaaah! Habis ini minta berapa?"
"Loh, kok minta berapa, to? Memangnya aku ini mau minta apa, to, Mbak?" tanya Roy. Mata bulat yang menyorot tanpa dosa itu mengedip beberapa kali.
Lis geregetan. Gelas beras kencur diletakkan di meja, lalu tangan halusnya meremas kedua pipi Roy. "Hiiiiiih! Orang kok terlalu banget nggemesi!"
Roy menangkap tangan Lis agar tidak semakin barbar meremas pipinya. Pedas juga. Biarpun pedasnya itu pedas cinta, tapi kalau nanti membekas merah pasti memalukan. Kualitas wajahnya sudah pas-pasan. Bulat, pipi tembem, kumis sporadis alias tumbuh sesukanya tak teratur, hidung boleh dibilang biasa saja. Kalau wajah apa adanya ini jadi luar biasa akibat lebam cubitan, tidak lucu sama sekali.
"Bilang, butuh berapa? Aku sudah hafal. Kalau kamu mulai muji-muji, pasti ujung-ujungnya aku buka dompet," ucap Lis.
"Eh, siapa bilang aku mau minta duit?" elak Roy. Ia tidak mau melepas cengkeraman pada kedua pergelangan tangan Lis.
Wanita itu langsung manyun. "Uwuwuuu! Jadi sudah nggak butuh duit. Ya sudah, kebeneran!"
"E-eh! Kok batal? Kalau mau sedekah itu harus ikhlas, Mbak, jangan setengah-setengah. Nggak baik, lho, buat di akhirat," ucap Roy, perlahan dan sok memelas seperti biasa.
"Ya sudah, tunggu sebentar." Lis bangkit, lalu mengambil dompet dari kamar. Sambil masih berdiri di ambang pintu, dibukanya benda itu. "Butuh piro?" (Perlu berapa?)
Roy meringis malu-malu. "Ya tadi kan aku sudah bilang, kalau setengah-setengah itu nggak baik. Kalau bisa sedompet-dompetnya sekalian," jawabnya kalem.
"Ooooo! Sedompetnya gundhulmu!" rutuk Lis. Namun jujur, ia tidak bisa marah pada kekasih berondong ini. Dikeluarkannya lima lembar uang berwarna biru. "Nih!" (kepalamu - Jawa)
"Wah, makasih banget, Mbak!" Roy dengan girang menerima uang itu dan langsung disimpan di saku celana.
"Tapi nggak gratis lho, ya!" Lis berkacak pinggang. Matanya yang besar berkilau terang benderang.
Roy menelan ludah. Kalau sudah begini, jangan-jangan sebentar lagi ....
"Aaaaaaa!" Roy memekik saat Lis menjatuhkan diri di pangkuannya. Belum sempat mengeluh, bibirnya langsung dikunci oleh ciuman sang janda cantik. Roy kalang kabut, tidak tahu bagaimana cara menjauhkan makhluk cantik itu dari badannya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu mata Roy menangkap bayangan seseorang di ambang batas ruang tamu dan ruang tengah. Orang itu melangkah cepat ke arah mereka. Roy berusaha merenggang dari tubuh Lis, namun terlambat.
Orang itu menarik rambut Lis hingga perempuan itu jatuh ke lantai disertai jerit kesakitan. Mulut Roy yang baru terbuka untuk meneriakkan kekagetan segera terkatup kembali karena sebuah bogem mentah membungkamnya. Ia tak sempat bersuara saat pukulan kedua mendarat di perut.
Dunia seketika membeku. Segala yang terang benderang berubah menjadi gelap. Roy ambruk tak sadarkan diri dengan darah mengucur dari mulut.
☘☘☘
Fura publish ulang Roy.
Cerita ini paliiiiing bikin Fura hepi selama proses riset dan menuangkannya. Ngakak terus aja bawaannya.
Semoga bisa menghibur Sobat semua.
Kisah lengkap ada di Karya Karsa dan KBM.
Nikmati paket murah meriah di Karya Karsa. Beneran, murah banget.
Roy akan up sampai tamat di Wattpad. Jadwal sewaktu-waktu, karena itu masukkan library. 😊😊😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top