IV : Roda Mulai Berputar


Hari belum menunjukkan tanda-tanda ingin berganti jadi kuputuskan untuk menghabiskan waktuku di sini. Tempat yang menarik perhatianku saat kulewati bersama Hana tadi. Hamparan rumput hijau ini sudah layaknya beludru hijau lebar yang lembut, haruskah orang-orang itu masih memakai tikar sebagai alas duduknya?

Aku berjalan mengelilingi lahan hijau ini sembari melihat-lihat. Bunga-bunga indah yang aku tak tahu namanya disusun dan ditata dengan rapi. Tempat ini bersih. Meskipun banyak orang di sini, namun tak begitu dengan sampahnya. Aku sampai tak sadar kalau sudah memutari lahan ini sebanyak hampir tiga kali.

Kuhentikan langkahku di dekat pohon paling besar di sini. Matahari mulai tergelincir dari titik tertinggi-nya yang mungkin karenanya jumlah orang di lahan ini mulai berkurang pun begitu dengan orang di tempat berteduh ini.

Aku duduk bersandar di batang pohon sambil tetap menggenggam pedang pemberian Deli yang kuletakkan di sampingku. Angin berhembus dengan ramah menghilangkan gerah tubuh. Tempat ini sungguh nyaman. Benar-benar sebuah sensasi yang tidak kutemukan di penginapan. Kupejamkan mataku mencoba menikmati bunyi desiran daun, hembusan angin, dan aroma rumput segar.

Kurasakan seseorang menepuk-nepuk pipiku. Kubuka mataku dan terkejut aku dibuatnya. Wajah seseorang tengah berada sangat dekat dengan wajahku. "Ah, bangun juga," ucap orang itu. Dia mundur selangkah kemudian duduk tanpa melepaskan tatapannya dariku. "Kukira kau sekarat," ucap orang itu lagi.

Ada apa dengan orang ini? Dasar, dengan entengnya dia mengganggu kenyamanan orang lain. Aku kan hanya ingin bersantai di bawah pohon sebentar. Eh, woy! Ternyata hari sudah gelap. Jadi aku tertidur di sini!? Pasti orang ini mengira kalau aku gelandangan. Yah, memang tidak salah juga, sih.

"Maaf, niatku hanya ingin duduk sebentar di sini. Tak kusangka bisa sampai ketiduran," ucapku sambil memaksakan diri untuk tersenyum.

Laki-laki di hadapanku ini memetik setangkai rumput terpanjang yang ada di dekatnya. Kemudian, ujungnya ia masukkan ke mulutnya. Dia tampak menikmati rumput itu dengan memainkannya di mulutnya. "Jadi, hanya ketiduran, ya? Maaf juga sudah membangunkanmu," ucapnya

"Oh, tidak apa-apa. Aku malah berterimakasih atas itu," balasku dengan cepat. Laki-laki itu akhirnya melepaskan tatapannya dariku. Meskipun aku sudah berniat untuk menjaga permintaan Hana, yakni dengan menatap langsung mata lawan bicara, tetap saja melakukannya terlalu lama belum mampu aku rasanya.

Laki-laki itu berbalik lalu merebahkan dirinya. Tangannya dilipat di belakang kepalanya sebagai bantalan. Dia masih menikmati rumput yang ada di mulutnya itu. Kuberanikan diri untuk bertanya, "Kau sendiri, apa yang kau lakukan di lahan ini pada malam hari?"

"Lahan? Lucu juga kau menyebutnya seperti itu," ucapnya yang tak terdengar sebagai jawaban dari pertanyaanku.

Laki-laki itu memejamkan matanya. Dia lalu kembali berbicara, "Karena pengetahuanmu tentang tempat ini kurang, biar kuberitahukan kepadamu. Tempat ini disebut taman kota, kau pastinya tahu taman, kan? Bunga dan pohon yang ditata di satu tempat. Plus kupu-kupu di dalamnya."

Aku menganggukkan kepalaku setelah mendengar penjelasan laki-laki itu.

Keadaan hening sesaat. Terdengar olehku suara jangkrik yang saling bersahutan.

"Tak kusangka ada orang di tempat santai kesukaanku di waktu seperti ini," Laki-laki itu kembali berbicara. Ternyata dia datang ke sini untuk bersantai, sama sepertiku.

"Dan apa yang kau lakukan dengan pedang itu?" tanyanya. Dia memiring-kan badannya ke samping kanan dengan tangan kanan sebagai bantalan kepalanya.

Aku terlonjak kaget. Bagaimana dia bisa tahu kalau ini pedang? Ah, bisa saja saat aku ketiduran tadi dia memegangnya juga karena penasaran. Namun, tetap saja fakta bahwa dia mengetahui benda yang kupegang ini mengganggu benakku. Ada baiknya kutanyakan kepadanya. "Darimana kau tahu kalau ini pedang?" tanyaku kepada laki-laki itu.

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Mungkin sesuatu yang disebut insting? Pedang yang kau bawa itu sepertinya juga bukan pedang biasa," jawabnya.

Bukan pedang biasa. Sebetulnya, aku juga masih memikirkan maksud perkataan Deli saat memberikan pedang ini kepadaku.

"Seakan pedang ini hidup, begitu?" ucapku mengonfirmasi.

Laki-Laki itu terdiam. Setelah cukup lama aku mendengarkan bunyi jangkrik dan bahkan sekarang ditambah bunyi burung hantu, dia mengeluarkan suaranya lagi.

"Aku tidak berkata seperti itu, tapi yah... justru sebenarnya ucapanmu barusan yang membuatku tertarik." Laki-Laki itu mengambil posisi duduk kemudian menatapku dengan tatapan yang terasa dingin. Sedikit bergidik aku dibuatnya.

"Atas dasar apa kau berkata demikian?" Dia balik menanyaiku dengan suara yang seakan memberikan tekanan kepadaku. Aku kebingungan, sulit menemukan jawaban untuk kuucapkan.

"Kapten memerintahkanku untuk mencarimu. Hari ini jadwalmu membayar makan malam, katanya." Seseorang yang tak kusadari kehadirannya berbicara kepada Laki-Laki itu dengan volume suara yang cukup lirih.

"Oh, tidak..." Wajahnya seketika berubah hampa. Sambil tersenyum ia berkata kepadaku untuk terakhir kalinya sebelum dia pergi berlari, "Kurasa kita akan bertemu kembali, tidak lama lagi."

Ah, ternyata dia tidak bisa berlari terlalu jauh. Sosok yang tadi tiba di sampingnya, langsung mengejar dan menyeret Laki-Laki itu bersamanya. Tampak dia melawan dan menolak untuk dibawa. Namun, kelihatannya itu semua sia-sia. Dia tidak bisa melepaskan diri.

Syukurlah hal semacam itu bisa terjadi. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus menjawabnya. Kini, aku telah beranjak dari tempatku duduk.

Baru saja kusadari, ternyata ada beberapa titik cahaya yang menerangi taman ini. Cahaya-cahaya itu masing-masing terletak di sebuah benda bening berbentuk bola yang ada di ujung tiang.

Kuputuskan untuk kembali ke penginapan. Untunglah aku masih mengingat jalan pulang. Setelah berjalan lurus hingga sampai ke pertigaan, kuambil jalur kanan.

Jalan kota di malam hari bisa dikatakan sepi. Tidak ada lalu lalang kereta iguana dan hanya ada beberapa orang di jalanan. Cahaya matahari kini digantikan oleh cahaya remang kekuningan di tiap bangunan.

Sepanjang perjalananku kembali kugunakan untuk merenung. Aku mungkin kurang memikirkannya dengan lebih serius bahwa aku memiliki hutang yang sangat besar terhadap Arga dan Hana. Semoga aku dapat menemukan cara untuk membalasnya segera. Paling tidak aku ingin berguna untuk mereka.

Tak terlalu lama perjalananku dari taman menuju penginapan. Aku telah berada di pintu depan sekarang. Kubuka pintunya perlahan. Aku tidak ingin menimbulkan suara berisik dengan derit pintu ini.

Di meja penerima tamu, telihat Paman Pemilik Penginapan tengah tertidur. Aku berjalan dengan sangat hati-hati, dengan harapan aku tidak membangunkan Paman ini. Langkah demi langkah, akhirnya sampai juga aku di dalam kamar.

Kurebahkan badan ini ke kasur. Kuangkat pedang pemberian Deli yang masih terbungkus oleh kain lalu kuamati betul. Jujur, sebenarnya ingin sekali kubuka kain ini untuk melihat isinya. Namun, entah mengapa hati kecilku menolaknya. Kurasa ini belum saatnya.

Kuletakkan pedang ini di meja. Namun, setelah kupikir-pikir kembali sepertinya lebih baik meletakkannya di sampingku. Untuk berjaga-jaga saja. Jangan sampai pedang ini diambil oleh seseorang tanpa sepengetahuanku.

Jadilah aku sekarang tidur bersama dengan hadiah dari Deli di sampingku. Kutarik selimut untuk menutupi badanku lalu tidur dengan nyenyak setelahnya.

***

Aku bangun lebih awal hari ini. Mungkin karena aku sudah tidur di taman sesiangan kemarin. Cahaya matahari tepat muncul saat aku membuka jendela. Lebih awal pun keramaian masih sama seperti kemarin pagi setelah aku bangun.

Kurenggangkan badanku untuk melemaskan otot-ototku yang rasanya kaku. Kemudian, kurapikan kasur tempatku tidur.

Kulihat pedangku masih berada pada tempatnya. Jika aku harus bepergian lagi sambil membawa benda ini, kupikir dengan mengikatkannya ke badanku akan lebih efisien. Mungkin setelah ini akan kutanyakan ke Paman Pemilik Penginapan tentang sejumlah tali atau kain panjang.

Tok tok tok tok tok tok tok... Suara ketukan dari pintu tiba-tiba terdengar dan tak menunjukkan tanda-tanda mau berhenti.

"Masuk! Pintunya tidak kukunci," ucapku keras. Suara ketukan pintu seketika berhenti digantikan oleh derit pintu tua yang terbuka. Arga yang bertanggung jawab atas keributan di pagi hari ini.

Arga berjalan layaknya manusia biasa saat mendekatiku. Ia mencincing sebuah tas kertas di tangan kanannya.

"Kukira kau masih tertidur. Awal juga kau bangun," Arga meletakkan tas kertas bawaannya di meja dekat kasurku.

Aku tertawa sekenaku. Bingung bagaimana harus menjawab dan kurasa sekalian menertawakan diriku sendiri yang ketiduran di tempat umum kemarin.

Tanpa komando dariku, perutku mengeluarkan suara indahnya. Arga yang mendengarnya jadi tertawa terbahak-bahak. Tak ada hal lain yang kulakukan kecuali memaksakan bibir yang kelu ini untuk tersenyum dalam menghadapi tawa Arga. Arga menghentikan tawanya setelah mendengar umpatan dari penghuni kamar sebelah yang merasa terganggu.

Seakan tidak terjadi apa-apa, Arga mengambil sebuah apel dari tas kertas di meja lalu memberikannya kepadaku.

"Maafkan aku karena lupa memberimu uang untuk makan siang kemarin." Arga mengucapkannya sambil tersenyum tanpa rasa penyesalan. "Untuk sekarang tahan dulu dengan apel itu. Setelah hari cukup siang, barulah kita pergi mencari makanan untukmu," tambahnya.

Aku duduk di tepi kasurku sambil mulai menggerogoti apel di tanganku. Kupikir Hana akan datang dan membawakan roti lagi untukku seperti kemarin dan kemarinnya lagi. "Di mana Hana?" tanyaku kepada Arga.

Arga yang sedang duduk di kursi dekat meja dan juga sedang makan apel tidak lekas menjawabnya. Dia seolah-olah melupakan sesuatu dan sedang mengingatnya.

"Oh, Hana bilang dia ada urusan pagi ini." Arga kembali menyantap apelnya setelah berhenti sesaat. Di sela-sela makannya ia masih sempat berkata, "Tenang saja, dia sudah memaafkanmu, bukan? Kurasa dia hanya sedikit malu untuk menemuimu setelah apa yang terjadi."

Yah, akan lebih mudah jika memang seperti itu.

Tiba-tiba Arga memegangi perutnya. Dari wajahnya, dia tampak kesakitan. Aku segera mendekatinya untuk melihat keadaannya dengan lebih jelas.

"Rasa ini.." Arga sedikit kesulitan melanjutkan ucapannya. Napasnya tidak beraturan.

"Rasa ini, kembali lagi. Sungguh menyiksa, sama seperti sebelum-sebelumnya." Arga terjatuh dari tempatnya duduk dan bergelung di lantai. Dengan susah payah, dia berdiri sambil memegangi perutnya.

"Aku sudah tidak tahan lagi! Aku harus melepaskan semuanya!" seru Arga. Dia mendorongku dengan keras hingga aku terjatuh di kasur lalu berlari keluar dari kamarku.

Sesaat terlintas di benakku tentang makna dari ucapannya barusan dan itu sungguh membuatku khawatir. Dia tidak mungkin bermaksud untuk menyudahi hidupnya, kan? Pemikiran itu membuatku berlari menuju pintu untuk mencari sosok Arga, tapi ternyata dugaanku salah kaprah.

Dari lorong yang baru saja dilewatinya, terdengar suara batuk-batuk dan teriakan jijik. Rupanya dia hanya sakit perut biasa.

Kuputuskan untuk mengabaikan Arga dan perutnya. Dasar konyol.

Kubawa pedangku dan kuambil jalan memutar menghindari lorong yang telah dilewati Arga untuk dapat sampai ke bawah.

Di bawah, seperti biasa Paman Pemilik Penginapan telah berada di meja penerima tamu. Beliau sedang menggosok barang-barang keramiknya.

Kusampaikan maksudku kepada Paman tentang tali yang kuperlukan untuk mempermudah membawa benda ini. Beliau kemudian membawaku menuju ruangan yang disebutnya sebagai gudang.

Beliau masuk ke dalam gudang dengan sebatang lilin menyala yang diletakkan di atas nampan kecil yang dipegang dengan tangan kanan, sedangkan aku menunggu di luar.

Sambil menunggu, kuamati bagian dalam gudang dari sini. Tak banyak yang dapat kulihat karena cahaya belum mampu menjamah ke dalam sepagi ini. Ada dua rak dan sepertinya sebuah meja yang menjadi tujuan Paman Pemilik Penginapan. Kalau mataku tidak salah, dua rak itu dipenuhi oleh benda-benda yang mungkin terbuat dari keramik. Jadi, mengoleksi benda semacam itu adalah hobinya, ya.

Beliau akhirnya keluar setelah cukup lama berkutat dengan sesuatu yang tidak kuketahui. "Saya tidak tahu apakah ini sesuai keinginan Tuan." Beliau menyerahkan dua helai kain yang berwarna merah dan ungu. Beliau mengatakan bahwa kain-kain ini adalah syal milik putranya yang kini tengah merantau.

Mendapatkan benda penting semacam ini lagi membuatku merasa tidak enak. Namun, tak mungkin juga aku menolaknya. "Terima kasih, paman! Aku akan mengembalikannya saat sudah punya penggantinya," ucapku sambil menundukkan badan.

Beliau tertawa mendengar ucapanku. Katanya, benda ini sekarang telah menjadi milikku. Aku kembali mengucapkan terima kasih kepada Beliau. Tentang penggunaan kain ini akan kudiskusikan dengan Arga nanti.

Kami pun berjalan kembali ke ruang depan. Sambil menunggu Arga, aku berbincang-bincang dengan Paman Pemilik Penginapan tentang keramik-keramiknya.

Beliau menyebutkan bahwa pada awalnya sama sekali tidak memiliki rasa ketertarikan dengan benda semacam itu malahan dia tidak menyukainya karena rentan pecah. Yang mampu mengubah semua itu dari diri Beliau adalah istrinya yang merupakan seorang putri dari pengerajin keramik.

Belum lagi kutanyakan tentang keberadaan istrinya, Beliau telah mengatakannya terlebih dahulu bahwa istrinya meninggal beberapa tahun yang lalu. Aku merasa bersalah ingin menanyakan tentang itu kepada Beliau. Namun, sepertinya beliau tidak terbawa emosi atau mungkin tidak ingin aku merasakan kesedihannya juga.

Paman Pemilik Penginapan mengalihkan topik pembicaraan. "Tuan sendiri, darimana asal tuan dan ada urusan apa di kota ini?" tanya Beliau kepadaku.

Aku agak risih dipanggil dengan sebutan tuan oleh seseorang yang derajatnya lebih tinggi dari pengangguran sepertiku ini.

"Tolong jangan menyebutku tuan, Paman. Namaku Rein, panggil saja aku Rein," ucapku.

Paman Pemilik Penginapan tersenyum. "Sebagai seorang pelanggan seharusnya hal tersebut wajar saja. Tapi, yah kalau anda lebih berkenan dengan demikian maka akan saya lakukan. Untuk selanjutnya, bagaimana kalau Rein memanggil saya Fram saja?"

Aku menolak untuk melakukannya tanpa menggunakan kata paman di depan. Beliau tertawa kecil mendengar penolakanku.

Kemudian, kuceritakan kepada Paman Fram secara singkat mengenai diriku yang amnesia ini. Tentang Arga dan Hana yang sudah menolongku dan juga tentang keinginanku untuk membalas kebaikan mereka.

Beliau menyimak dengan baik tanpa memberikan komentar yang mungkin dirasanya tidak perlu. Sekalian saja kutanyakan kepadanya tentang pekerjaan yang sekiranya cocok untukku.

"Pekerjaan, ya?" Paman Fram bergumam pelan. "Coba lihat di papan sebelah sana. Terkadang ada orang yang menempelkan kertas permintaan atau lowongan pekerjaan di sana. Saya rasa ada yang menempelkan kertas baru di sana pagi ini." ucap Paman Fram.

Aku mendekati papan yang dimaksud Paman Fram. Ada sebuah kertas yang kelihatan baru di antara kertas lain yang sudah lusuh. Seleksi Pasukan Keamanan Kerajaan, tertulis dengan besar di bagian atasnya. Kubaca kertas itu dengan seksama.

Tak lama berselang, terdengar suara langkah kaki dari tangga. Itu adalah Arga yang kini berjalan mendekatiku. Kelihatannya dia sudah jauh lebih baik daripada tadi.

"Hei, kenapa kau tidak bilang kalau mau keluar dari kamarmu," ucap Arga.

Kutatap mata Arga lekat-lekat. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya menungguku berbuat sesuatu.

"Arga, aku akan menjadi Pasukan Kerajaan!" seruku mantap.

Arga melongo seakan tidak mempercayai ucapanku barusan. Kemudian dia berteriak histeris. "Apaaaaaa!?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top