III : Hadiah Keberanian
Sebuah pagi yang cerah, bahkan di kota seramai ini pun. Dari jendela kamar penginapanku ini, sudah nampak hingar bingar orang-orang di Kota Logoria ini. Ya, Logoria. Kota pusat dari kerajaan manusia, Therinnor, yang dinamai sesuai dengan nama kastil yang ada di dalamnya. Kesibukan dimulai lebih awal di kota ini.
Kuputuskan untuk memandangi gerobak-gerobak yang berlalu lalang di jalan depan penginapan ini melalui jendela kamarku. Lebih seru kurasa daripada hanya melihat pohon-pohon seperti kemarin. Banyak kadal dan gerobak dengan model yang berbeda-beda. Menurutku ada beberapa yang terlalu bagus untuk disebut gerobak. Mungkin mulai saat ini aku akan menyebutnya kereta iguana saja. Iguana? Apa itu? Entahlah, kedengarannya keren jadi mari pakai itu.
Beberapa saat telah berlalu. Dalam diam sambil mengamati jalanan, teringat kembali aku akan hari yang kulalui kemarin. Menyenangkan juga melelahkan dalam satu waktu. Untung saja Arga tiba di bar pada saat yang tepat. Pembicaraanku dan Hana langsung saja terhenti. Dia mengajak kami untuk kembali berkeliling kota sambil menceritakan keadaan Kakek yang berhasil kuselamatkan.
Perjalanan kami berakhir di depan Kastil Logoria. Kastil pertama yang kulihat, seingatku. Sayang, aku tidak terlalu memperhatikannya karena kelelahan. Arga dengan pengertian-nya menyewakan kamar untukku di penginapan ini. Katanya, aku harus mengunjungi Kakek yang kuselamat-kan itu jadi dengan tidur di penginapan akan lebih menghemat waktu dan energi.
Tok tok tok. Sepertinya seseorang mengetuk pintuku. “Tunggu,” ucapku. Aku berjalan meninggalkan jendela, menuju pintu. Kugeser balok kayu kecil yang berfungsi sebagai pengunci pintu ini lalu kubuka pintunya.
Seorang perempuan berambut biru laut dengan kaos lengan pendek lavender dan rok pendek merah, Hana. Menurutku ia tampak lebih cocok dengan rok daripada celana panjang seperti kemarin. Tapi, kalau bicara tentang Hana pakaian apapun akan tetap cocok jika ia yang memakainya. “Selamat pagi, Rein,” sapanya. “Pagi,” jawabku tak lupa disertai seulas senyum.
Belum ada pergerakan yang kami lakukan setelah saling mengucap selamat pagi. Untuk kesekian kalinya, selalu ada momen canggung saat aku bersama Hana.
Beberapa saat telah berlalu dan kupaksakan juga diriku untuk menembus kelambu canggung ini. “Um, mau masuk dulu?” tanyaku. Hana menjawabnya dengan anggukan kecil.
Aku berjalan mendekati kasur lalu merapikannya untuk menyibukkan diri. Kulihat Hana meletakkan tas kertas yang sepertinya berisi dua potong roti di meja kecil dekat kasurku. Hana duduk di kursi yang ada tepat di sebelah meja. “Bagaimana keadaanmu? Sudah baikan?” tanya Hana.
Kasur telah selesai kubereskan dan kini aku duduk di tepiannya dengan kedua tangan menopang badanku di belakang. “Badanku kurasa tidak ada masalah, tapi ingatanku rasanya belum ada kemajuan,” jawabku. Masih kupandangi lantai di depanku, menunggu Hana berbicara lagi. “Semoga ingatanmu dapat segera pulih,” ucap Hana.
“Belum sarapan, kan? Kubawakan roti untukmu. Kali ini ada dua,” Hana menyodorkan sepotong roti kepadaku. Saat ingin kuambil roti itu, Hana menariknya kembali. “Kau ingat, kan? Apa permintaanku kemarin?” tanya Hana dengan suara yang menakutkan.
Jadi dia sungguh-sungguh dengan itu? Mungkin lebih baik kuutarakan saja tentang masalahku, “Tentang itu, entah kenapa rasanya tidak bisa.” Kujeda sebentar ucapanku, menyusun kata-kata untuk kuucapkan selanjutnya, “Sepertinya, ada sesuatu tidak mengenakkan tentang itu pada diriku yang dulu. Aku kesulitan melakukannya terutama kepada perempuan.”
Kurasakan Hana berjalan mendekatiku. Kaki dengan alas berwarna putih yang menutupi jari-jarinya itu ada di hadapanku sekarang. Tiba-tiba Hana mengangkat wajahku. Ia berkata, “Pokoknya mulai sekarang kau harus memandang wajah lawan bicaramu, segala bentuk penolakan tidak diterima!” bentak Hana dengan suara yang untuk sesaat menurutku lucu.
Kini, mataku bertemu dengan mata Hana. Detak jantungku serasa terhenti sesaat. Menatapnya seperti ini seakan membawakan kembali hal yang rasanya penting bagiku. Cukup lama kami hanya saling bertatapan seperti ini. Wajah Hana mulai kelihatan memerah. Ia lalu memasukkan satu potong roti secara paksa ke mulutku dengan tangan kanannya.
Roti ini panas! Kurasa yang satu ini benar-benar baru dikeluar-kan dari panggangan! Namun, walaupun panas tetap kupaksakan diri untuk mengunyah dan langsung menelannya dengan cepat.
Hana jadi bertingkah aneh. Ia memakan rotinya dengan ganas lalu berjalan keluar kamar setelah menyuruhku untuk segera turun ke bawah menemuinya di luar penginapan ini.
Lidahku terasa kebas. Meskipun begitu, aku tak mau membuat Hana menunggu terlalu lama. Aku segera turun untuk keluar dari penginapan ini setelah membasuh wajahku di kamar kecil, tak lupa kusempatkan diri untuk menyapa paman pemilik tempat ini. Beliau orang yang ramah.
Di luar Hana sudah menunggu tak jauh di samping pintu keluar, ia sedang membetulkan ikat rambutnya saat aku tiba. Hana segera menyelesaikannya saat menyadari keberadaanku. Kemudian ia berjalan ke arah selatan dan menyuruhku untuk mengikutinya. Tidak ada percakapan apapun di antara kami. Aku jadi merasa bersalah, mungkin Hana marah kepadaku. Saat waktunya tepat nanti aku akan meminta maaf. Setelah beberapa waktu berlalu nanti semoga saja Hana jadi lebih tenang.
Kami terus berjalan ke Selatan selama beberapa saat. Jalanan masih ramai oleh lalu lalang kereta iguana seperti yang kulihat dari jendela tadi. Saat kami tiba di pertigaan, Hana mengambil jalan menuju barat dan aku mengikutinya tanpa menanyakan apapun.
Mataku dikejutkan dengan keberadaan lahan yang indah di depan. Di tepi-tepi jalan, tanah bukan ditutupi dengan lantai yang disusun dari batu, melainkan rumput hijau yang tampak segar. Terdapat sebuah pohon besar di tengah-tengah lahan sebelah kanan jalan dan banyak bunga-bungaan yang ditata di sudut-sudut tertentu. Ada banyak orang juga di sini. Mereka duduk-duduk di kursi yang ada, menggelar tikar sambil makan bersama, berlarian dan berkejaran, hal-hal menyenangkan sejenis itu. Sangat disayangkan ternyata tujuan kami bukanlah tempat ini.
Hana menghentikan langkahnya saat kami tiba di sebuah pondok kayu yang cukup besar. Ia lalu masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa banyak tanya juga aku masuk setelahnya. Di dalam kulihat ada Arga yang sedang memakan apel. “Yo,” sapanya.
Arga memberiku sebuah apel. Hana menolak saat Arga menawarkan apel kepadanya. Barusan Hana bilang kalau ia mau ke kamar kecil sebentar. Kini kami berdua duduk di kursi panjang yang ada di sini sambil memakan apel masing-masing.
Selama beberapa saat yang terdengar hanyalah bunyi gigitan apel yang sesekali keluar dari mulut kami. “Jadi, apa yang terjadi? Hana marah padamu?” tanya Arga tanpa berhenti mengunyah apelnya. Aku mengangguk pelan, mengiyakan. “Kau pikir sekarang dia membenciku?” tanyaku.
Arga tertawa setelah mendengar pertanyaanku. “Tidak, tidak. Anak itu menyukaimu. Kemarin saja, ia sangat bersemangat saat kami mengantarmu berkeliling kota,” jawab Arga dengan senyuman lebar di wajahnya. Aku menghela napas panjang. Semoga saja yang diucapkan Arga memang benar. “Minta maaf saja padanya setulus mungkin, dia orang yang mudah luluh,” ucap Arga. Kuucapkan terima kasih pada Arga atas saran yang diberikannya.
Hana akhirnya selesai dengan urusannya di kamar kecil. Ia berjalan mendekat ke tempatku duduk. Segera kuhabiskan apel yang ada di tanganku. “Kakek itu tidak apa-apa, kan?” tanya Hana kepada Arga.
Arga bangun dari tempatnya duduk lalu melempar sisa apelnya ke tempat sampah. Dia nampak begitu bangga saat lemparannya tepat sasaran. “Dari awal dia memang tidak mendapat luka fisik yang serius. Hanya pernapasan yang terganggu karena terlalu banyak menghirup asap dan beberapa luka bakar ringan,” jawab Arga.
Aku turut senang mendengar berita itu. Arga kemudian mengajak kami untuk pergi ke kamar tempat Kakek dirawat. Sebelum menyusul Arga dan Hana yang sudah terlebih dulu berjalan, kulempar sisa apel yang ada di tanganku ini ke tempat sampah. Yeah! Tepat sasaran. Sebuah kemampuan yang mengerikan daripada seorang Rein!
Kini, aku telah berjalan di belakang Hana menuju kamar kakek kemarin. Sepertinya tempat ini semacam rumah sakit. Beberapa kamar yang kulewati tampak dihuni orang yang kurang sehat. Kenapa kemarin aku tidak dirawat di sini, ya?
Kurang lebih kami sudah melewati sepuluh kamar yang letaknya berhadapan lima dengan lima. Arga berhenti sejenak di kamar ketiga di sebelah kanan lorong tempat kami berada. Angka delapan terukir di pintu kayunya. Setelah mengetuk pintu dan mengucap permisi, Arga masuk ke dalamnya.
Ruangan ini tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Ada dua pot kecil berisi bunga yang berwarna kuning di jendela yang terbuka. Sebuah kasur berada di tepi tengah ruangan dengan sebuah meja kecil dan sebuah kursi di sampingnya. Di atas meja terdapat sepiring apel yang telah dikupas dan dipotong-potong.
“Kakek Deleli, ini dia penyelamatmu tempo hari,” ucap Arga kepada kakek yang tengah duduk di kasur.
Kakek itu kini memandangiku. Rambutnya yang sepanjang bahu agak berantakan. Warnanya keputihan senada dengan jenggot dan kumisnya. Dia menyuruhku untuk mendekat.
Aku berjalan mendekatinya. Tak kusangka, Kakek ini langsung menarikku dan memelukku dengan kuat. “Makasih, ya! Mu anak yang pembrani! Hahahaha!” seru Kakek ini sambil tertawa keras-keras.
Pelukannya sungguh kuat, sesak napasku dibuatnya. “Aku.. tak bisa..” rintihku dengan susah payah.
Kakek ini langsung melepaskan dekapannya saat menyadari keadaanku. Dia mengucap maaf sambil tertawa saat aku terbatuk-batuk karenanya. “Oh, lupa kukenalkan diri! Namaku Deleli Dolsete, dwarve pandai besi. Mu namanya siapa?” tanyanya kepadaku.
“Aku Rein, bocah yang tidak jelas,” jawabku. Kakek Deleli kembali tertawa sambil menepuk-nepuk punggungku dengan keras. Orang ini cukup bar-bar.
“Mu lucu juga ya! Skali lagi makasih karna sudah menyelamatkanku,” ucapnya.
Aku menggeleng pelan. Kukatakan padanya itu bukanlah hal yang besar dan siapa pun tentunya akan menolong orang lain yang membutuhkan. Namun, kelihatannya dia tidak setuju dengan ucapanku dan kurasa dia terlalu berlebihan memujiku.
Hana maju selangkah mendekati Kakek Deleli. “Permisi, izinkan saya bertanya. Kira-kira apa penyebab kebakaran di rumah Kakek Deleli?” tanya Hana kepada si Kakek.
Kakek Deleli mengerutkan dahinya lalu berkata, “Panggil Aku Deli, tak perlu mu tambah kakek di depan.” Hana tersenyum mengiyakan.
Deli memulai ceritanya kemudian. Dia belum bangun dari tidurnya kala itu karena malam sebelumnya dia tidur cukup larut. Deli terbangun saat mendengar bunyi kayu penyangga atap yang mulai berjatuhan. Hal yang pertama Deli lakukan adalah mengamankan barang yang dibilangnya sangat penting melebihi nyawanya. Dia terjebak di kamar karena memang pintu kamarnya sudah sebagian terbakar dan tertutup oleh balok kayu.
Aku menerobos tempat-tempat semacam itu kemarin makannya pakaianku rusak.
Deli menduga rumahnya dibakar. Dia yakin betul bahwa tidak ada api yang menyala di malam sebelumnya dan terlebih lagi dia mencium aroma minyak.
Saat ditanya oleh Hana tentang adakah orang yang membenci Deli, dia diam beberapa saat. Tak lama kemudian dia sepertinya berhasil mengingatnya. Katanya ada seseorang yang mungkin membencinya karena dia tidak memberi restu untuk menikahi putrinya.
Kulihat Hana dan Arga mengangguk-angguk pelan setelah mendengarkan cerita Deli.
Hana dan Arga keluar dari sini setelah meminta izin untuk undur diri. Deli menahanku saat aku ingin menyusul mereka keluar. Ada urusan penting denganku katanya. Sekarang, aku sedang duduk di kursi sambil menerka-nerka urusan penting apa yang dimaksudnya.
Deli mengambil benda panjang yang ditutup kain yang ternyata sedari tadi diletakkan di balik selimut yang menutupi kakinya. Aku jadi teringat, itu adalah benda yang dibawanya saat kebakaran kemarin. Deli memegang pedang secara horizontal dengan kedua tangannya lalu menyodorkan-nya kepadaku.
Aku kurang memahami apa maksudnya hingga dia berkata, “Simpanlah ini, Bocah Rein.”
Lagi-lagi dia mengejutkanku. Jika benar benda itu yang dibawanya kemarin, bukankah itu adalah benda yang sangat penting bahkan melebihi nyawanya sendiri? “Ini barang yang sangat penting untukmu, kan? Mana boleh aku menyimpannya,” tolakku.
Deli tetap bersikeras menyodorkan benda itu. “Boleh! Ini pedang buatan kakek buyutku yang diwaris turun-temurun. Tapi, cuma nak laki yang boleh menyimpan. Aku tak ada putra dan skarang kuanggap Mu putraku! Simpan dan kalo perlu gunakan baik mungkin,” ucapnya dengan logat yang terasa asing di telinga.
Rasanya cukup berat, diberi kepercayaan untuk menyimpan barang yang sangat berarti bagi seseorang. Namun, tetap kuterima pedang ini karena kelihatannya penolakan tak mampu melawan sifat keras kepalanya.
“Pedangnya hidup dan Aku yakin dia bakal lindungi Bocah Rein,” ucapnya lagi kali ini disertai senyuman.
Aku tidak tahu apa maksudnya tapi pasti itu adalah hal yang baik. Kubungkukkan badanku sambil memegang pedang ini secara horizontal dengan kedua tanganku. “Akan kujaga dengan segenap jiwa, Ayah!” seruku.
Deli tertawa keras sambil menepuk-nepuk punggungku dengan keras juga seperti tadi. Kali ini, meskipun sakit aku ikut tertawa bersamanya.
Aku undur diri setelah mengucap salam kepada Deli. Dia lagi-lagi memelukku dengan kuat lalu memintaku untuk datang berkunjung ke rumahnya saat rumahnya telah selesai diperbaiki. Untuk sementara dia akan tinggal di sini. Dia pun melepasku dan tersenyum lebar kepadaku sampai aku menutup pintu kamarnya.
Aku berjalan menuju pintu masuk tempat di mana Aku dan Hana bertemu Arga tadi. Di sana kelihatannya mereka sedang terlibat pembicaraan yang serius.
Saat aku tiba di tempat mereka, Arga berkata, “Maaf Rein, kami ada sedikit urusan setelah ini.” Dia terlihat sedikit terkejut setelah menyadari keberadaan benda yang kubawa ini. Langsung kujelaskan saja padanya secara singkat tentang pedang ini. Arga mengangguk tanda mengerti lalu dia berseru dengan semangat sambil berjalan menuju pintu, “Biarkan aku melihatnya besok, ya!” Aku hanya tersenyum sekenaku.
Kulihat Hana berjalan mengikuti Arga tanpa mengatakan apapun kepadaku. Mungkin, inilah saat yang tepat untuk meminta maaf. “Hana!” seruku.
Hana berhenti di tempat. Kutunggu ia untuk menghadap ke arahku. Setelah beberapa saat kutunggu, Hana menolehkan kepalanya ke belakang menatapku.
Kali ini, kupaksakan benar diriku untuk menatap matanya. Hana tampak terganggu dengan itu. “Apa?” tanya Hana agak gugup.
Kubungkukkan badanku sambil berteriak, “Maaf karena aku sudah membuatmu marah!” Aku menunggu sambil mengharapkan jawaban Hana. Namun, jawaban yang kuharapkan tak kunjung kudengar.
Kutegakkan kembali badanku dan saat itulah kudapatkan jawaban untukku. Hana tersenyum, sama seperti senyum-senyum lain yang selalu ia tunjukkan kepadaku.
Setelahnya Hana berjalan keluar menyusul Arga. Di tempatnya, Arga dengan senyum anehnya sedang menunggu Hana.
Kulihat Hana menarik Arga dengan lengan kanannya di leher Arga. “Kalau kau sudah lelah kembali saja ke penginapan, ya! Aku sudah membayarnya untuk beberapa malam ke depan! Woy, Hana hentikan!” teriak Arga.
Mereka sudah tak tampak lagi dari pengelihatanku, meninggalkanku yang tersenyum sendirian seperti orang kurang waras.
*******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top