II : Hari yang Melelahkan
Api itu berkobar dan terus membesar membakar sebuah rumah tua kecil. Orang-orang nampak panik. Sebagian berlarian membawa air dan kain yang tampaknya telah dibasahi menuju rumah yang terbakar. Mereka berusaha keras untuk mematikan api. Namun, api tak kunjung padam.
Samar-samar terlihat olehku sebuah siluet yang bergerak di balik jendela. Bisa jadi itu adalah perabotan yang terbakar atau hanya kepulan asap. Namun, aku langsung berlari menerobos kumpulan orang demi masuk ke dalam kumpulan api karena aku sangat yakin bahwa yang kulihat tadi adalah seseorang yang terjebak di sana.
Di dalam sangatlah panas. Segeralah aku berlari sambil berteriak mencari seseorang yang kupikir terjebak di dalam sini.
Dalam saat-saat yang terasa lama aku berhasil juga menemukannya. Keadaannya sangat lemah, kupapah dia sambil mencari jalan keluar.
Bunyi gemeretak keras dari atas mengagetkanku. Sebuah balok kayu panjang dengan api yang menyelimutinya tepat akan menjatuhiku saat aku menengadahkan kepalaku. Sesaat terasa olehku panasnya sebelum melakukan kontak dengan wajahku.
Napasku tercekat. Kudapati diriku terduduk di kasur yang sama seperti kasurku kemarin. Semua itu agaknya hanyalah mimpi. Karenanya bajuku kini basah oleh peluh. Jantungku masih berdegup kencang karena sensasi mimpi tadi. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku sembari mengatur ulang pernapasanku.
Kuputuskan untuk beranjak dari kasurku setelah perasaanku cukup tenang. Badanku terasa aneh. Entah kenapa badanku seakan kurang tanggap dalam merespon keinginanku. Apakah memang dibutuhkan konsentrasi lebih untuk menggerakkan anggota tubuh sendiri? Kubuat diriku berjalan pelan memutari ruangan ini. Untunglah setelah beberapa menit kulakukan ini, badanku jadi terasa lebih baik. Mungkin tadi itu hanya efek dari tidur seharian.
Saat ini aku sedang berdiri di dekat jendela. Kusibak kain tipis yang menutupinya untuk memberi kesempatan pada cahaya yang repot-repot ingin masuk ke sini. Pemandangan di hadapanku adalah pohon-pohon rimbun sejauh mata memandang. Sejauh mataku pun tak jua terlalu jauh, pohon-pohon yang cukup besar langsung saja menutup pemandangan yang mungkin ada di baliknya. Beruntunglah cahaya matahari masih ada yang bisa singgah barang sebentar ke ruangan ini.
Terdengar suara ketukan dari pintu setelah cukup lama kupandangi pohon-pohon dari jendela yang kubuka. Seseorang dari balik pintu memanggil namaku, meminta izin untuk masuk. Ia pun masuk setelah aku menjawab panggilannya. Kualihkan pandanganku dari pohon-pohon ke tamuku yang baru datang. Sesuai dengan suara yang kudengar tadi, Hana lah orangnya.
Hana berjalan ke arahku dengan tas kertas berisi sepotong roti panjang yang diamit tangan kanannya. Dia tersenyum kepadaku, hal yang jauh lebih menyenangkan hati ini dibandingkan dengan menonton pohon-pohon tadi. Namun, tentu saja aku tak boleh menatapnya terlalu lama. "Sudah bangun daritadi, ya?" tanyanya.
Kujawab pertanyaan itu dengan anggukan pelan. Hana lantas menyodorkan tas kertas bawaaanya kepadaku. Kuambil tas itu darinya. Hangat, mungkin karena roti di dalamnya ini baru saja keluar dari panggangan. Hana menyuruhku untuk memakan roti ini. "Kak- maksudku, Hana sendiri sudah makan pagi ini?" tanyaku pada Hana. Sesekali kutatap wajahnya lalu kualihkan mataku ke objek lainnya.
"Belum, sih. Tapi, aku sudah terbiasa tidak makan pagi juga jadi kurasa tidak ada masalah," jawab Hana. Jadi orang yang menyuruhku sarapan tidak pernah melakukannya sendiri? Bukan masalah juga sebenarnya, tapi tetap saja kurang nyaman rasanya makan sendirian di hadapan orang terlebih lagi kalau orang itu yang memberiku makanan.
Entah dia terbiasa atau sedang menjaga pola makannya tidak masalah. Kuambil roti dari dalam tas kertas ini lalu kubagi jadi dua. Kuberikan satu bagian untuk Hana sedangkan sisanya untukku. "Makanlah, lagipula kau juga yang membelinya," ucapku.
Hana menerima rotinya. Saat tatapan mataku melewati wajahnya, sekilas kulihat senyum tipis timbul darinya. Keadaanpun jadi agak canggung saat kami berdua memakan roti masing-masing. Hampir aku lupa untuk mengucap kata terima kasih kepada Hana atas rotinya. Aku pun mengucapkannya seusai roti kami berdua telah habis dimakan, "Terima kasih atas makanannya." Hana membalas ucapanku dengan senyumannya lagi.
Kemudian adegan yang rasanya pernah kusaksikan kembali terulang. Arga muncul tiba-tiba di mulut pintu lalu dia berlari menghampiriku. Namun lagi-lagi larinya tak pernah sampai ke hadapanku karena tangan kokoh Hana yang melindungiku. Sambil memegangi perutnya lagi, Arga menggerutu lalu berjalan perlahan mendekatiku. "Sudah siap untuk ke kota?" tanya Arga lirih. Agaknya sambil menahan rasa sakit di perutnya.
Melihat tingkah mereka membuatku tersenyum geli. Saat Arga menanya-kan hal itu, hampir saja aku meng-iyakan kalau tidak teringat akan tubuhku yang terasa lengket ini. Aku perlu mandi. Kusampaikan niatanku pada Arga dan dia pun mengantarku ke kamar mandi yang tak jauh dari ruanganku saat ini.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke kota dengan berjalan kaki. Suasana di sini jauh lebih bising daripada suasana desa. Jalanan dipenuhi gerobak yang ditarik oleh hewan semacam kadal. Aneh, entah mengapa kurasa kadal biasa tidak akan pernah sampai sebesar itu.
Atas usulan Hana, kami berjalan menuju pusat perbelanjaan atau yang biasa disebut sebagai pasar utama. Hana mengatakan kepadaku bahwa kegiatan jual-beli barang di kota ini dipusatkan pada satu tempat dan tempat itulah pasar ini. Pasar utama dibagi menjadi tiga bagian, lebih jelasnya tiga jalur panjang yang antar jalurnya dibatasi oleh tembok beton. Para pedagang dari segala penjuru wilayah berkumpul di sini menjajakan barang dagangannya.
Hana dan Aku berjalan memasuki bagian dua atau jalur tengah. Bagian ini tidak lebih ramai dari bagian satu atau jalur kiri yang dituju Arga yang mana menjual makanan dan obat-obatan. Sepertinya barang yang dijual di bagian ini adalah pakaian dan persenjataan. Toko pakaian lebih banyak di sini daripada rumah-rumah pandai besi yang mengepu-lkan asap di ujung pasar sana.
Dengan berjalan di pasar ini menunjukkan bahwa mataku ternyata tidak salah, orang-orang di pasar ini tidak hanya manusia saja. Ada banyak makhluk-makhluk yang rasanya belum pernah kulihat sebelumnya, tapi mungkin hanya karena ingatanku yang rusak ini saja. Toh tidak ada yang kelihatan terganggu dengan semua ini. Jadi, bisa disimpulkan bahwa ini adalah hal yang biasa.
Hana memintaku untuk berhenti saat kami berada tepat di depan salah satu toko pakaian. Kami berdua pun masuk ke toko ini. Seorang wanita paruh baya tampak tersenyum lebar saat melihat kedatangan kami. Rupanya pemilik toko ini mengenal Hana dan mereka terlibat dalam pembicaraan yang penuh tawa.
Setelah beberapa saat berlalu, Ibu Pemilik Toko menghampiriku dan berkata, "Silahkan, Nak Rein pilih baju yang kamu suka." Sedikit bingung aku dibuatnya karena kupikir Hana lah yang akan membeli baju, tapi tetap kutanggapi ucapan Ibu itu dengan senyuman dan tawa kecil.
Hana menarik tanganku menuju ke salah satu rak pakaian. Dia sibuk melihat-lihat baju sambil bergumam sendiri. "Kupikir kau yang mau beli baju," ucapku padanya.
Dia menghentikan kesibukannya sejenak lalu tertawa masam ke arah-ku. "Kurasa Rein perlu baju yang lebih baik," ucap Hana. Memang sih, pakaian yang kupakai ini adalah pakaian lama. Setelah aku mandi tadi, Arga yang menyodorkan ini. Katanya milik kakeknya semasa muda dulu.
Hana menunjukkan dua baju yang ada ditangannya kepadaku. "Lengan panjang atau pendek?" tanyanya kepadaku. Kupilih baju dengan lengan panjang karena lebih efisien. Jika aku menginginkan baju dengan lengan pendek tinggal kugulung saja lengan-nya. "Warna kesukaan?" tanya Hana lagi. Aku mengangkat kedua bahuku sebagai jawaban yang mewakili kebingunganku.
Hana kemudian mulai menyodorkan baju lengan panjang dengan warna yang beragam di tangan kanan dan kirinya. Kuning dan hijau, Aku me-nolaknya karena terlalu mencolok. Merah muda dan putih, kutolak lagi karena terkesan feminim dan gampang kelihatan kotor. Merah dan hitam, aku cukup suka dengan kedua warna ini. "Menurutmu dari dua ini mana yang cocok untukku?" tanyaku kepada Hana. Hana sepertinya juga kebingungan lalu dia pun menyuruh-ku untuk mencoba baju-baju ini.
Aku masuk ke ruang kecil untuk mencoba pakaian. Ada sebuah cermin panjang di salah satu tembok ruangan. Kurasa baru pertama ini kulihat wajahku sendiri. Separah itukah ingatanku sampai melupakan wajah sendiri? Syukurlah wajahku seperti manusia pada umumnya. Kulit putih, dua mata, satu hidung, dua telinga, rambut berwarna merah cerah, kurasa tidak ada yang salah.
Cukup lama kuamati wajahku sendiri sampai lupa tujuan awalku masuk ke ruang ini. Aku pun segera moncoba baju-baju ini lalu mengamati penampilanku dengan masing-masing baju di cermin. Aku keluar dari sini setelah mengenakan baju milik kakek Arga kembali.
'Bagaimana?" tanya Hana antusias. Kurasa baju hitam pilihan yang tepat. Meskipun, sebenarnya aku sangat menyukai baju merah. Sayangnya warna merah sepertinya juga terlalu mencolok. Kuserahkan baju pilihanku kepada Hana yang menerimanya sambil tersenyum. Dia pun membawa baju itu ke hadapan Ibu Pemilik Toko.
Aku menarik napas lega. Kulihat Hana tengah berbincang lagi dengan Ibu itu. Terdengar olehku suara langkah kaki orang yang berlarian di luar. Aku pun keluar untuk melihat keadaan sekaligus mencari angin segar.
Saat aku berada di luar, barulah aku tahu. Asap hitam pekat mengepul di ujung pasar. Asap itu bukan berasal dari cerobong tungku penempaan besi. Melihat orang-orang yang berlari ke sana dengan panik dengan sebagian darinya membawa ember berisi air, kemungkinan besar itu adalah kebakaran. Kupacu kakiku menuju sumber keributan ini.
Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena kerumunan orang-orang ini, tapi kurang lebih aku tahu apa yang sedang terjadi di sini. Sebuah rumah kecil yang tampak tua tengah terbakar. Orang-orang datang silih berganti dengan ember air dan sebagian dengan kain yang telah dibasahi, tapi api tak kunjung padam. Dari kerumunan orang-orang ini sempat kudengar bahwa masih ada orang yang terjebak di sana.
Selama beberapa saat kupandangi rumah yang terbakar itu berharap apa yang dibicarakan orang-orang ini tidak benar. Sayang, mataku menangkap semacam siluet dari salah satu jendela yang dipasangi teralis besi. Tanpa sempat menduga-duga, kakiku melesat menuju rumah itu menembus kerumunan orang-orang ini.
Tahap pertama selesai, aku berhasil masuk ke dalam rumah ini meninggalkan teriakan dan celaan dari orang-orang di belakang. Di sini sangat panas. Aku harus segera menemukan penghuni rumah ini sebelum yang dihuninya ini terbakar habis. Dari sini masuk sedikit lalu belok kiri. Rasanya aku sudah pernah melakukan ini sebelumnya.
Aku bergegas memulai jalanku. Beberapa balok kayu penyangga atap telah jatuh dan menutupi sebagian jalan. Namun, aku tetap melewatinya menembus panasnya.
Akhirnya aku menemukannya! Seorang kakek dengan benda panjang yang dibungkus dengan kain di tangan kirinya. Kakek itu terbatuk-batuk, sepertinya karena terlalu banyak menghirup asap. Aku juga sebenarnya sudah tidak kuat menghadapi panas dan asap-asap yang menyesakkan ini jadi segera kuangkat badan Kakek sekenanya lalu berpacu dengan waktu mencari jalan keluar.
Pintu keluar sudah tampak di depan mata dan tinggal beberapa langkah lagi untuk mencapainya. Terdengar bunyi gemeretak keras yang membangkitkan sebuah rasa di ingatanku. Kali ini aku tidak menghentikan langkahku, tetapi mempercepatnya. Terdengar bunyi keras yang kalau tidak salah kayu penyangga atap yang berjatuhan di belakang saat aku melompat keluar.
Api belum padam, tetapi aku sudah berada di luar bersama dengan penghuninya yang telah pingsan. Orang-orang mendekat untuk menolong kakek ini. Aku merangkak keluar dari kerumunan untuk menghirup lebih banyak udara segar. Beberapa orang dari kerumunan juga mendekatiku untuk memberikan pujian dan tepukan di punggung.
"Rein!" Kudengar sebuah suara yang lumayan familiar di telingaku. Itu adalah suara Hana yang kulihat sedang berlari mendekat. Arga mengikuti di belakangnya dengan sekantong kertas penuh apel. Oh, dia menjatuhkan satu apelnya! Ah, dia kembali lagi untuk mengambilnya.
Waktu belum berlalu begitu lama setelah apinya padam. Petugas keamanan telah datang untuk membantu memadamkan api tersebut tadi.
Banyak orang yang membenarkan aksiku dan bahkan menyebutku sebagai sang penyelamat, tapi beda halnya dengan Hana. Setelah puas menanyai keadaanku, ia menyuruhku untuk duduk dengan kedua lututku lalu menceramahiku. Aku jadi merasa bersalah karena telah membuat Hana khawatir, meskipun aku telah menyelamatkan satu nyawa. "Kau benar-benar membuatku khawatir! Sebentar saja kutinggal kau sudah melakukan hal yang nekat!" katanya. Aku pun hanya mengiyakan ceramah dari Hana sambil menundukkan kepala sampai ia selesai.
Cukup lama Hana mengomeliku di hadapan banyak orang. Aku cukup kecewa mendapati Arga tidak ada di sisiku tadi untuk membelaku. Dia sibuk membantu mengurus kakek yang kuselamatkan tadi. Baju baru yang kupilih ditambah celana yang baru dibeli oleh Hana kini telah kukenakan. Tak terpikirkan sebelumnya olehku akan kemungkinan rusaknya pakaianku setelah masuk ke sarang api tadi. Untunglah, selain bajuku tidak ada kerusakan di badanku. Kini, Aku dan Hana telah berada di pasar bagian satu lebih tepatnya lagi di dalam salah satu bar. Hari sudah siang jadi Hana mengajakku untuk makan siang sambil menunggu Arga.
Hana menyuruhku untuk memilih makanan yang kumau. Aku tidak tahu bagaimana bentuk dari tiap nama makanan yang tertulis di daftar menu jadi kukatakan padanya untuk menyamakan pesananku dengan pesanannya.
Sambil menunggu hidangan kami datang, kuputuskan untuk mengucapkan terima kasih dan permintaan maaf atas kesembronoanku. "Um, Hana, terima kasih atas semua kebaikanmu dan maaf atas perbuatanku tadi," ucapku.
Kupandangi meja dalam keheningan sesaat, menunggu tanggapan Hana. Kudengar tawa kecil darinya dan ia juga berkata, "Sama-sama dan maaf juga kalau aku berlebihan tadi, aku benar-benar mengkhawatirkanmu." Aku dibuat terharu mendengarnya, senang rasanya ada orang yang benar-benar mempedulikanku.
Tak lama setelah itu, pesanan kami datang. Setangkup roti yang menutupi sayur-sayuran dan sepotong daging tipis serta segelas susu. Kuambil roti itu setelah melihat tangan Hana melakukannya terlebih dahulu. "Selamat makan," ucap Hana. Setelah aku mengatakan hal yang sama, mulailah kumakan roti ini. Rotinya terasa lebih lembut dari yang kumakan pagi ini. Sandwich? Nama makanan ini terlintas begitu saja dalam kepalaku.
Hana sepertinya telah menghabiskan hidangannya. Aku masih menikmati makanan ini, merasakan semua sensasi rasa yang mampu kurasakan. Hana tiba-tiba berkata, "Rein, aku punya satu permintaan untukmu."
Aku mendengarkannya masih sambil menikmati makanan ini. Kupandangi gelasnya yang sudah kosong, menunggu kelanjutan perkataannya. "Setelah ini, kau harus belajar untuk menatap mata lawan bicaramu," sambung Hana.
Tenggorokanku tercekat. Makanan yang baru saja kutelan rasanya menyangkut di sana. Apa maksudnya?
*******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top