I : Pemindahan


Dimana aku? Gelap. Atau mungkin kusebut hitam saja? Aku masih bisa melihat tanganku juga badanku.

Aku berjalan ke sembarang arah berharap dapat menemukan sesuatu. Berjalan dan terus berjalan meskipun sebenarnya aku sudah mengetahuinya bahwa tak mungkin ada sesuatu di sini. Namun, di luar dugaanku tampak secercah cahaya di depan. Kupacu langkahku untuk segera ke sana.

Sesuatu rasanya menarik tubuhku dari belakang. Tak ada yang bisa kulakukan, aku tak berdaya berteriak pun tak mengeluarkan suara. Tarikan ini semakin lama semakin cepat, semakin cepat dan lebih cepat hingga tubuhku membentur suatu bidang yang keras. Rasanya sungguh menyakitkan seakan seluruh tulang dalam tubuhku ini remuk dan meluruh seketika.


Saat kupikir semua penderitaan ini telah selesai, tubuhku kembali ditarik, dipaksa untuk menembus bidang ini. Tarikan ini terus memaksa tubuhku untuk mengikutinya tak peduli kerusakan macam apa yang kudapatkan. Kuharap aku bisa pingsan saat ini juga, tapi sayangnya aku tidak. Aku terus merasakan-nya, tiap sensasi menyiksa dari semua ini. Entah berapa lama tubuhku beradu dengan bidang keras ini hingga akhirnya tubuhku mampu juga menembusnya. Kulihat lubang seukuran tubuhku di bidang tadi yang semakin lama semakin menjauh.

Tubuhku tiba-tiba terhenti. Rantai-rantai yang entah darimana datangnya melingkari sekujur tubuhku dengan kuatnya. Kali ini kupikir tulangku benar-benar remuk dan tubuhku tak lagi berbentuk, namun agaknya tidak demikian.

Keadaan jadi hening sesaat hingga kulihat kedatangan setitik cahaya dari celah rantai. Cahaya yang menghangatkan itu pecah menjadi titik-titik cahaya kecil lalu masuk ke celah-celah yang ada pada belitan rantai ini. Kehangatannya jauh melebihi perkiraanku. Cahaya itu rasanya membakar tubuhku. Kurasakan kesadaranku mulai memudar. Sebuah pertanyaan melintas sejenak dalam benakku. Inikah hukuman atas segala perbuatanku?

Aku berteriak melegakan tenggorokanku yang tertahan. Setelahnya mataku terbuka dan tidak ada lagi kegelapan. Napasku menderu, jantungku berdegup sangat kencang seakan ingin loncat dari tempatnya. Seseorang menggenggam tangan kananku. Kedua tangannya kurasakan begitu hangat, memberikan ketenangan pada jiwa yang menggila.

Melalui suaranya, ia menyuruhku untuk tenang dan menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Setelah aku mampu menguasai diriku, ia membantuku untuk duduk.

Barulah kupandangi rupanya yang elok. Sepasang mata berwarna biru laut itu menatap langsung ke mataku, tatapan yang menunjukkan kekhawatiran. Rambutnya pendek sewarna dengan matanya. Bibir tipis merah mudanya itu hendak mengeluarkan beberapa patah kata. "Kamu baik-baik saja? Badanmu masih sakit, ya?"

Pertanyaannya menghentakku mengembalikan kesadaranku yang tersita oleh paras wajahnya. Segera kuhindari tatapannya, baru teringat bahwa diriku tak terbiasa bertatapan mata terutama dengan lawan jenis. Kutujukan pandanganku ke arah selimut yang menutupi kakiku. "Ya, se-sepertinya begitu."

Keheningan meraja, pikiranku berantakan tak bisa menyusun kata-kata untuk diucapkan. Aku mengutuki diri ini yang tak bisa menguasai situasi. Yang kulakukan hanyalah terus dan terus menatapi selimut tipis putih dengan garis-garis berwarna kuning ini. Setelah sesaat yang terasa bagaikan selamanya, perempuan tadi beranjak dari tempatnya duduk. "Kurasa ada seseorang yang ingin menemuimu."

Pintu berderit dan mataku tertarik untuk melirik ke arahnya. Kudapati sesosok laki-laki sedang mengintip melalui celah pintu.

Setelah mendengar perkataan perempuan ini, dia membuka pintunya lalu berlari ke arahku. Tinggal beberapa langkah lagi baginya untuk menyambar tubuhku jika jalannya tidak diblok dengan tangan perempuan ini. Laki-laki itu terhenti seketika lalu mundur beberapa langkah untuk memegangi perutnya yang kesakitan.

"Apa yang kau lakukan, Hana!?" Sambil tetap memegangi perutnya, kali ini dengan melangkah perlahan, dia mendekatiku.

Perempuan yang kiranya bernama Hana itu bergeser beberapa langkah. Dengan tatapan sinisnya, ia menjawab, "Jangan sampai tingkahmu itu memperparah keadaannya, ya."

Suaranya lirih, tapi seakan sarat ancaman. Ternyata memang benar, jangan nilai sebuah buku dari sampulnya.

Laki-laki itu sedikit bergidik mendapati tatapan dan jawaban seperti itu. Namun, hal itu tidak menghentikan langkahnya untuk tetap mendekatiku. Sambil menahan rasa akibat menabrak tangan Hana di perutnya itu, dia tersenyum kepadaku. "Yo, baik-baik saja, kan?"

Kucoba untuk menatap wajah lawan bicaraku ini. Kubalas senyumannya dengan tersenyum sebisaku, entah seperti apa rupaku sekarang aku tidak terlalu peduli. "Cukup baik, kau sendiri bagaimana?" tanyaku balik.

Mendengar pertanyaanku dia tertawa cukup keras. Tawa nya terhenti saat agaknya dia merasakan kembali sakit di perutnya.

Setelah mengusap perutnya dan menarik napas kecil beberapa kali, barulah dia menjawab pertanyaanku, "Yah, aku sudah cukup terbiasa dengan hal semacam ini." Dia mendekatkan wajahnya ke telingaku lalu membisikkan sesuatu, "Berhati-hatilah dengan Hana, meskipun dari luar memang terlihat cantik, kau tentu tak mau tahu hal-hal jahat apa yang telah ia lakukan kepadaku. Karena itulah tak ada laki-laki yang mau mendekatinya."

Kupaksakan tersenyum dalam rangka menghargai bisikan laki-laki ini. Sekilas kulihat ada semacam aura kegelapan yang menyelimuti Hana. Tak mungkin dia juga dengar, kan? Sebelum terjadi pertengkaran kurasa ada beberapa hal yang harus kutanyakan terlebih dahulu.

Kuakui setelah bangun di kasur ini, aku merasa hampa. Aku tak tahu siapa diriku dan juga asal-usulku. Mungkin saja orang-orang ini tahu beberapa hal tentangku. "Maaf sebelumnya, dimana dan bagaimana aku bisa ada di sini, kak..." Oh, aku lupa menanyakan namanya.

"Arga, namaku Arga. Perempuan di sebelahku ini, Hana. Sebelumnya bolehkah kutahu namamu?" Laki-laki yang mengenalkan dirinya sebagai Arga ini tersenyum tipis kepadaku.

Pertanyaan yang sesungguhnya ingin kutanyakan padanya telah ia lontarkan terlebih dahulu. Kucoba untuk mencari jawaban atas pertanyaanya dengan menanyakannya pada diriku sendiri. Namun, sekuat apapun kucoba untuk mendapat informasi itu rasa nyeri dan pusing yang hebat mendera kepalaku. Kupegangi kepalaku kuat-kuat berharap dengan itu dapat meredam rasa sakitnya.

Kurasakan usapan pelan di punggungku. Samar-samar terdengar suara yang memerintahkanku untuk menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Kulakukan itu beberapa kali. Rasa sakit di kepalaku perlahan-lahan berkurang. Setelahnya kusadari bahwa Arga lah yang memegangi punggungku sedangkan suara yang samar kudengar tadi adalah suara Hana.

"Maaf, lagi-lagi aku merepotkan kalian. Bukannya aku tak mau memberitahukan namaku, tapi sayangnya aku tak bisa mengingat apa-apa. Asal-usulku bahkan namaku saja aku tak mampu mengingatnya," ucapku penuh sesal.

Arga berhenti mengusap punggungku. Dia mengacak rambutnya pelan. "Hilang ingatan, ya?" Arga berjalan perlahan menjauh dari kasurku. Setelah beberapa langkah jauhnya ia berbalik lalu menatapku. "Sebenarnya aku sudah tahu namamu, aku hanya ingin memastikannya saja." Arga kembali mendekat sambil berkata, "Namamu Rein, aku menemukanmu tak sadarkan diri di sekitar hutan lalu kubawa kau ke sini."

"Dari mana kau tahu nama itu?" tanya Hana. Sepertinya ia meragukan perkataan Arga, sama sepertiku.

Bukannya aku menganggap ucapan Arga sebagai bualan belaka, tapi keadaanku saat ini memang membuatku mempertanyakan dan meragukan kebenaran dari semua hal. Perasaan yang sangat mengganggu sekali.

"Soal itu, entah seseorang mengatakannya padaku atau kau sendiri yang kadang menggumamkannya saat sedang tak sadarkan diri, aku lupa. Tapi, soal kebenarannya aku sangat yakin," jawab Arga.

Sesaat dia tampak sedikit kebingungan saat menjawab, tapi sorot matanya benar-benar menunjukkan keyakinannya. Kulihat Hana sangat tidak puas mendengar jawaban Arga. Sepertinya dia memang tidak bisa mempercayai segala sesuatu dari Arga.

Rein, ya? Mendengar nama itu pun tak lantas membangkitkan sebuah kesan dalam ingatanku. Lagipula, percaya tak percaya kurasa tak akan ada masalah yang akan timbul dengan menggunakan nama itu. Setidaknya aku harus mempercayai keyakinan yang Arga tunjukkan kepadaku.

"Baiklah, jadi mulai sekarang panggil aku Rein. Salam kenal Kak Arga, Kak Hana." Kucoba untuk mengeluarkan senyum terbaikku.

Arga dan Hana juga tersenyum. Masih dengan senyumnya, Hana berkata padaku, "Setelah ini jangan terlalu mempercayai omongan orang itu, ya. Terakhir kali aku memakan masakannya yang dibilangnya enak, sisa hari itu kuhabiskan dengan muntah-muntah karena keracunan." Hana melempar lirikan sinisnya kepada Arga.

Arga tersenyum masam mendengar perkataan Hana. "Soal itu aku kan sudah minta maaf! Lagipula aku tak tahu kalau jamur yang kupakai itu jamur beracun," bantahnya. Arga kemudian kembali menatapku. "Oh iya, panggil saja aku Arga, kupikir umur kita tidak terpaut jauh," ucap Arga.

"Rein juga tak perlu menambahkan kak untukku, cukup Hana saja. Untuk Arga, kurasa kamu harus memanggilnya dengan sebutan paman. Meskipun penampilannya seperti itu, dia sebenarnya sudah sangat tua," ucap Hana. Kulihat dia melemparkan lirikan dan senyuman mengejek ke arah Arga.

Arga tampak menahan diri. Dia memaksakan dirinya tersenyum kepada Hana. "Kuanggap itu sebagai sebuah pujian." Arga meletakkan telapak tangan kanannya di kepala Hana lalu mengacak-acak rambutnya. Hana meringis dan memberontak.

Setelah selesai dengan kepala Hana, Arga kembali kepadaku. "Sebenarnya aku ingin mengajakmu keliling kota hari ini sekedar untuk memperbarui suasana hatimu atau mungkin kalau beruntung kau bisa mendapatkan sejumlah ingatanmu. Tapi, kurasa kunjungan ke kota bisa menunggu sampai esok."

Arga mengambil satu gelas kecil dan satu gelas sedang yang keduanya berisi air dari meja dekat kasurku. Dia menyodorkan gelas kecil di tangan kanannya kepadaku. "Minum obat ini dan istirahatlah saja dulu untuk hari ini."

Kuterima gelas itu lalu kuminum dalam satu tegukan yang cepat. Rasanya sungguh pahit. Arga kemudian menyodorkan gelas satunya, yang sepertinya berisi air tawar, kepadaku. Kuminum langsung untuk menghilangkan sensasi pahit di lidahku.

Setelah mengembalikan gelas ke tempatnya, Arga beranjak menuju pintu diikuti oleh Hana. Arga mengucapkan salam perpisahan, sampai jumpa esok, lalu dia keluar. Hana tersenyum sesaat ke arahku lalu keluar menyusul Arga. Senyumannya benar-benar menenangkan.

Mataku perlahan-lahan semakin terasa berat. Kuputuskan untuk merebahkan diri di kasur lagi. Kutatap langit-langit yang belum pernah kulihat ini. Langit-langit yang tersusun dari papan-papan kayu yang berwarna coklat cerah. Nampak olehku api berkobar, menari-nari di sana-sini. Tunggu dulu. Kenapa ada api!?

*******

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top