[ 3 ] The Playboy

Siang yang cukup tenang di kelas X IPS 3, di mana waktu yang tersisa usai jam istirahat digunakan untuk bersantai. Seperti suasana kelas pada umumnya, murid perempuan akan berkumpul dengan gengnya. Membahas bermacam topik, atau sekadar berfoto ria. Sekolah ini melarang keras bagi siswinya untuk berdandan secara berlebihan.

Namun, tentu saja aturan ada untuk dilanggar. Gadis-gadis itu justru membawa alat make up lengkap, bahkan beberapa di antaranya sampai tidak bisa diketahui namanya. Sementara itu, murid laki-laki juga membentuk beberapa kelompok. Aaron berada di kelompok yang mana mereka menundukkan kepala dengan mata fokus pada layar ponsel. Ya, mereka bermain game.

"Gue juga mau main, dong," rengek bocah itu yang mulai bosan menjadi penonton.

Memang benar jika Aaron bergabung dengan kelompok para pecandu game. Namun, bocah itu sendiri tidak bisa bermain. Hanya sebagai penonton dari kelihaian kawan-kawannya. Tentu bukan berarti dia dikucilkan, hanya saja Aaron benar-benar payah dalam bermain.

"Han, gue pinjem hape lo, dong. Biar gue gantiin main," ujarnya lagi ketika tak kunjung mendapat respons.

"Jangan, Ron. Nanti gue kalah," sahut Hansa dengan mata tetap tertuju pada layar ponselnya.

"Pelit!" Aaron mendengkus kemudian berbalik dan kembali ke tempat duduknya.

Hansa memang selalu baik padanya, malah terlalu baik. Namun, satu hal yang membuat kepribadian cowok itu berubah menjadi menyebalkan. Yaitu ketika berhubungan dengan game. Hansa tidak akan membiarkan permainannya terganggu karena ada campur tangan dari Aaron.

Jika saja ponselnya tidak diawasi oleh Ardan, Aaron juga akan mengunduh game seperti yang Hansa mainkan. Namun, apa daya, Ardan akan selalu menghapusnya setiap tahu jika sang adik mengunduh aplikasi game di ponselnya. Alhasil Aaron hanya bisa pasrah dan mengemis tumpangan pada Hansa atau teman yang lain ketika ingin memainkan game.

"Aaron, Aaron!"

Gadis berhijab yang duduk di bangku paling depan barisan memanggil namanya. Berlari kecil, gadis itu mendekati Aaron kemudian memilih duduk di depan cowok itu.

"Lo udah nonton yang gue rekomendasiin kemarin, 'kan?" sergahnya begitu berhadapan dengan Aaron.

Wajah masam Aaron berubah cerah dalam seketika. "Udah, udah." Bocah itu mengangguk semangat.

"Tapi episodenya banyak banget, Fa. Udah kayak Oreo, ratusan. Gue marathon semaleman juga nggak bisa selesai. Nih, gue sampe punya kantung mata, padahal baru beres 35 episode," adunya sembari menunjukkan dua lingkaran hitam di bawah matanya.

Rifa terkekeh mendengar aduan itu. "Emang, belum lagi movie sama live action-nya, Ron. Karena gue sendiri juga belum selesai marathon," tuturnya kemudian.

"Lo juga, katanya genre komedi. Tapi gue nangis, tuh, pas lihat adegan kakek tua cari cinta pertamanya buat balikin tusuk konde atau apalah namanya. Meski agak ngakak, sih, pas ternyata cinta pertamanya itu ternyata si Nenek Otose. Tapi gue nangis pas kakeknya meninggal, hehe," papar Aaron menceritakan salah satu adegan dari anime yang ditontonnya.

Gadis di depannya menjentikkan jari. "Agak kaget juga kalo si Ayano ternyata Nenek Otose. Ditambah ngakak pas Gin-san dan yang lain nggak percaya. Tapi gue nangis juga pas lihat masa lalu si kakek dan gimana kisah pertemuan dia sama Ayano. Gila, sih, hahaha."

Di kelas, tak banyak temannya yang menyukai animasi Jepang. Bahkan Aaron kerap diejek dengan panggilan 'wibu' ketika mengutarakan kesukaannya terhadap anime. Namun, akhir-akhir ini dia tahu jika Rifa juga menyukai anime. Aaron jadi dekat dengan gadis itu dan saling membahas animasi kesukaan mereka.

Ketika sedang asyik berbincang dengan Rifa, tiba-tiba suasana kelas menjadi sedikit gaduh. Pemicunya adalah kedatangan sekelompok siswa dari kelas lain. Lebih tepatnya dari kelas sebelas yang ruang kelasnya berada di lantai dua.

Kedatangan mereka membuat beberapa siswi berbisik-bisik. Paras mereka yang tergolong tampan tentu menjadi hal yang paling mencolok. Namun, lain halnya dengan Aaron, alis bocah itu menukik tajam begitu tahu siapa yang datang.

"Keisha ... ada di mana?" tanya cowok berkalung salib yang berdiri di paling depan.

Tak ada yang memberi jawaban. Tentu saja, siapa yang akan menanggapi jika senior tiba-tiba datang menerobos ke ruang adik kelasnya? Mereka pun sungkan untuk sekadar menatap.

"Keisha nggak ada, dia pulang duluan." Namun, ketakutan itu tidak mempan pada Aaron.

"Balik aja sana ke kelas, bikin suasana jadi tegang aja," lanjut bocah itu tanpa ada sedikit pun binar ketakutan di matanya.

Mendapat pengusiran itu, sosok Rei yang awalnya berdiri di ambang pintu justru melangkah masuk dan duduk di salah satu kursi kosong di dekat Aaron. Tindakannya itu mendapat perhatian penghuni kelas. Namun, itu hanya sebentar, karena sebagian besar dari mereka sudah hafal dengan tabiat Rei.

"Idih ngapain malah duduk di sini?" sinis Aaron kesal akan keberadaan Rei.

Rei mengangkat bahu dan menjawab dengan santai, "Lah, kenapa? Gue mau duduk di sini sambil nunggu Keisha balik."

"Ya, 'kan udah gue bilang kalo Keisha udah pulang. Ngeyel banget, sih!"

"Suka-suka gue, dong. Emang ini sekolah punya bapak lo?" Cowok itu lantas melirik Rifa.

"Eh, bidadari surga, namanya siapa? Boleh kenalan nggak?" bisiknya pada Rifa.

Gadis itu hanya tersenyum canggung ketika pertanyaan itu dilontarkan padanya. Perbincangannya dengan Aaron jadi terputus karena cowok tinggi ini tiba-tiba duduk di samping Aaron dan seenak hati mencomot camilan di meja.

"Fa, jangan mau sama dia. Dia ini playboy kelas kakap. Cuman nambah dosa aja kalo lo mau sama dia," sergah Aaron kemudian mendorong kursi Rei menjauh. Namun, sia-sia, tenaga Rei jauh lebih besar darinya.

"Idih, iri lo? Pasti lo nggak pernah punya pacar, 'kan? Iya, 'kan?" Rei menaik-turunkan sebelah alisnya.

Entahlah, jika sudah bertemu dengan bocah cerewet ini, Rei selalu ingin mengganggunya. Apalagi ketika melihat reaksi marah yang diberikan, itu hanya membuatnya semakin gencar melakukan aksinya.

"Biarin, lagian pacaran itu haram. Gue terhindar dari dosa, deh," timpal Aaron tak mau kalah.

"Ucap si jomblo," sambung Rei yang sukses membuat wajah Aaron memerah.

Rei ingin melontarkan ejekannya lagi. Namun, kedatangan Hansa menginterupsi aksinya.

"Abang tadi cari Keisha, ya?" tanyanya begitu berdiri di samping Rei. Pertanyaan itu sukses mengalihkan perhatian ketiganya.

Rei mengangguk. "Iya, lo tau dia ada di mana?" Ia lantas beralih menatap Hansa.

"Dia anak PMR, lagi di UKS. Katanya ada anak yang pingsan, jadi dia yang ngurusin," balas Hansa, ia selalu tenang seperti biasa.

"Ah, pas banget," Rei tersenyum penuh semangat, "harus cepet-cepet disusul, nih."

"Oke, kalo gitu gue pergi dulu. Bye bye adek pungut," tukas Rei. Tak lupa ia mengacak rambut Aaron sebelum benar-benar melesat pergi.

"Argh! Jangan pegang kepala gue! Harus berapa kali gue bilang, sih?!" teriak Aaron dengan napas menderu. Hal itu mengundang atensi penghuni kelas.

"Ck ... itu orang kenapa, sih? Nggak tahu apa kalo ini bocah tantrum, yang repot sekelas?!" protes gadis berambut panjang yang duduk di bangku paling belakang.

Setelahnya, beberapa siswa juga ikut menggerutu. Sebab memang benar kata gadis itu, Aaron yang ngambek terkadang membuat pusing mereka. Sikapnya yang sudah menyebalkan, menjadi berkali-kali lipat lebih menyebalkan.

"Udah nggak usah ngambek. Bang Rei cuma bercanda, Ron. Nih, mending makan ini," ucap Hansa sembari menyodorkan biskuit cokelat ke hadapan Aaron.

Remaja itu melihat ketidakpuasan di wajah sahabatnya kemudian menghela napas. "Nih, gue tambahin. Mau apalagi?" tanyanya lantas meletakkan beberapa bungkus permen lagi.

"Udalah, Ron. Terima aja, bagi sama gue, ya?" timpal Rifa, gadis itu baru berani berbicara setelah Rei hengkang dari kelas.

Aaron menyodorkan permen dan biskuit ke depan gadis itu. "Ambil aja, gue juga nggak akan makan semuanya."

"Yuhu ... makasih." Dengan senang hati, gadis itu menyambar satu bungkus biskuit dan mulai menyantapnya.

Keduanya kembali melanjutkan perbincangan perihal animasi yang tadi sempat terhenti. Dan Hansa yang juga sudah berada di bangkunya pun menghela napas lega. Beruntung, ada Rifa yang bisa meringankan bebannya untuk membuat suasana hati Aaron membaik. Meski Hansa sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi hanya dengan melihat Aaron duduk tenang sudah cukup baginya.

🍄🍄🍄

Dinginnya embusan angin tak membuat bocah itu beranjak dari tempatnya berdiri. Ia justru memejamkan mata dan tampak menikmati setiap sentuhan lembut sang angin yang menerpa wajahnya. Berbeda dengan dirinya yang tampak ekspresif, kali ini hanya wajah datar yang anak itu tampilkan.

Bunyi pintu terbuka, dan kedatangan sosok pria berkemeja biru di belakangnya sama sekali tidak mengusik fokusnya. Seolah gelapnya malam lebih menarik daripada saudaranya sendiri.

"Kenapa kamu berdiri di situ? Kamu nggak belajar?" tegur pria itu kemudian berdiri sejajar dengan sang adik.

Bocah itu mengangguk samar. "Udah, kok," balasnya singkat tanpa menoleh.

"Nggak ada PR?"

Aaron menggeleng.

"Nggak gambar-gambar gitu?" Lagi, Ardan bertanya. Namun, lagi-lagi hanya gelengan yang ia dapat.

Pria itu merasa tak nyaman ketika adiknya yang banyak bicara sekarang tampak diam. Dalam hati ia menebak, pasti sesuatu hal mengusiknya.

"Ada masalah? Atau ada yang ganggu di sekolah? Cerita aja ke Abang, jangan dipendem sendiri," tukasnya dengan tangan bertengger di bahu kecil Aaron.

Anak itu kembali menggeleng. "Enggak ada, Bang. Aku cuma pengin lihat langit aja," jawabnya tanpa menoleh.

"Tuh, bintang-bintangnya kelihatan semua, nggak ada awan sama sekali," imbuhnya kemudian menunjuk ke arah langit.

Seperti yang remaja itu bilang, langit malam ini memang tampak cerah. Tak ada sejumput awan pun yang menutupinya. Jutaan bintang tampak bertaburan di angkasa, gemerlap dan indah.

"Bang," panggil bocah itu, kali ini ia menunduk dan jemarinya saling bertaut cemas.

"Iya?" Ardan yang langsung tanggap dengan kegelisahan sang adik lantas sepenuhnya memandang bocah itu.

"Aku kangen sama Papa Mama. Kangen banget, Bang," ungkapnya dengan suara bergetar.

"Aku kangen kue bikinan Mama, aku kangen Papa yang diem-diem suka taruh permen cokelat di laci mejaku karena aku ngambek. Aku suasana kangen keluarga kita dulu, tapi ... semua nggak bisa kembali." Suaranya semakin melemah di akhir kalimat, dan tanpa sadar bulir bening telah membasahi kedua pipinya.

Helaan napas pelan keluar dari mulut Ardan. Ia ulurkan tangan dan mengusap kepala sang adik dengan penuh kasih. Sekarang dia paham, alasan adiknya termenung di depan jendela dan tampak murung. Jangankan Aaron, dia yang jauh lebih dewasa pun masih sering merasa sesak setiap mengingat betapa cepat kedua orang tuanya pergi meninggalkan mereka.

Perlahan ia menarik tubuh kecil itu ke dalam dekapannya dan berujar, "Abang juga kangen, Ron. Saat itu adalah salah satu momen yang paling membahagiakan dalam hidup Abang. Dan bener juga katamu, semua nggak bisa kembali kayak dulu. Yang udah pergi nggak akan bisa kembali. Tapi ada hal yang harus kita ingat, kamu tau apa itu?"

Bocah di pelukannya menggeleng.

Senyum tipis menghiasi wajah Ardan. "Mereka tetap hidup di hati kita, Ron. Tugas kita sebagai anak adalah terus kirim doa buat Papa dan Mama. Jangan sampai mereka sedih di sana karena kita males berdoa, paham?" paparnya dengan suara tenang dan lembut.

"Paham," lirih Aaron. Bocah itu tak berontak ketika Ardan mempererat pelukannya, tetapi ia juga tak membalas pelukan itu.

"Pinter adeknya Abang." Ardan terkekeh gemas. "Udah, sekarang kalo nggak ada kegiatan lain, langsung tidur aja. Jangan sampai besok telat lagi, kasihan Hansa ikut kena hukum karena kamu yang kesiangan."

Dengan sabar Ardan membantu sang adik menata meja belajarnya sementara bocah itu pergi membasuh muka. Meja belajar Aaron dipenuhi dengan kertas yang berisi coretan tangannya. Bocah itu memiliki bakat dalam menggambar, dan sebagian besar dari gambar yang ia buat adalah karakter-karakter anime yang dia tonton.

Melihat betapa banyaknya gambar yang sudah Aaron buat membuat kedua sudut bibir Ardan tertarik ke atas.

"Lihat, Pa, Ma. Gambar buatan Aaron udah bukan manusia lidi lagi," lirihnya bermonolog.

🍄🍄🍄

Fyi: anime yang direkomendasikan Rifa ke Aaron itu judulnya Gintama, dan yang dibahas itu episode 11 yaw. 😗✌️

.

Maaf kemarin nggak update, karena aku lagi menjalani hidup ( ╹▽╹ )

Jadi kali ini aku kasih chap yang lebih panjang. Enjoy, ya! Dan jangan lupa klik VOTE dan tinggalkan komentar tentang chapter kali ini.
(。•̀ᴗ-)✧

Salam

Vha
(15-02-2022)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top