[ 1 ] Wet

Kicau burung gereja yang bersarang di sela atap menambah ramai suasana pagi hari di kediaman keluarga kecil itu. Seorang remaja berseragam putih abu-abu berlari dari ruang keluarga menuju dapur dengan wajah masam.

"Mbak Sasa! Lihat ini kelakuan Njun!" teriaknya pada wanita yang berdiri memunggunginya.

"Arjun nggak sengaja, Ma. Salah Abang Aaron, taruhnya salah." Bocah setinggi lutut orang dewasa muncul dari balik tubuh remaja bernama Aaron itu.

Wanita itu sontak menoleh. "Ada apa, sih? Pagi-pagi udah marah-marah, kamu bisa lebih cepet tua daripada, Mbak, loh," ujarnya lembut.

Anak itu kembali menunjukkan sebuah kaus ke hadapan sang kakak. "Liat, nih! Kaus voliku ditumpahin susu sama Njun. Jadi basah, padahal sore ini aku ada latihan voli!" serunya penuh emosi.

"Aku nggak sengaja!" teriak bocah cilik itu tak mau kalah.

"Kamu yang salah, udah tau di situ ada seragamku. Kenapa taruh susunya deket-deket?!" Aaron semakin meradang.

Melihat kericuhan yang tak kunjung mereda, wanita itu kemudian menghentikan kegiatannya dan menghampiri keduanya.

Wanita itu mengambil kaus dari tangan Aaron dan mengamatinya sejenak. "Yah, terus gimana, dong? Ini kalau Mbak cuci, nanti keringnya lama, kamu bisa telat sekolah. Apa ditinggal aja, nanti siang Mbak atau Abang kamu yang kirim ke sekolah?"

Cowok itu justru mengerucutkan bibirnya. "Nggak mau! Aku-"

"Assalamualaikum! Aaron, ayo berangkat!" Teriakan dari luar rumah memotong ucapan bocah itu.

"Tuh, 'kan. Han udah dateng! Seragamku masih basah!" gerutu Aaron semakin kesal. Bocah itu tak menjawab salam maupun menghampiri sumber suara, justru menarik kursi yang ada di sampingnya dan duduk.

"Astaghfirullah, udah tau temennya dateng, kenapa malah duduk? Arjun sini," ia memanggil putranya, "kamu ke kamar bangunin Papa, ya. Mama mau bukain pintu."

Bocah bermata bulat itu mengangguk patuh, kemudian tanpa berkata-kata lagi ia melesat meninggalkan dapur. Membuat Aaron mendengkus kesal.

"Ending-nya Mbak belain Njun," gerutunya tak terima.

Erisa geleng kepala, tetapi wanita itu bergegas ke depan untuk membukakan pintu. Sosok berseragam sama dengan Aaron berdiri membelakangi pintu sembari memainkan gawainya.

"Hansa," panggil Erisa. Membuat si pemilik nama lantas menoleh dan tersenyum simpul hingga menampakkan lesung di kedua pipinya.

"Aaron-nya mana, Mbak? Ini udah mepet banget waktunya," tukas cowok itu sedikit terburu-buru.

"Aduh ... iya itu anaknya udah siap. Tapi lagi bad mood, Han. Kaus volinya ketumpahan susunya Arjun." Erisa menghela napas. "Kalo bisa, kamu tolong bujuk dia, ya. Soalnya Mbak juga harus ngurus rumah, cucian belum selesai itu, pusing," keluhnya.

Mendengar itu, Hansa manggut-manggut. "Oke, Mbak. Serahin ke Hansa aja," tukasnya penuh percaya diri.

Cowok itu langsung bergegas menuju dapur, di mana Aaron berada. Persis yang dibayangkan, ia melihat sosok yang dicari kini justru duduk santai sembari memainkan ponselnya. Itu hanyalah bentuk dari kekesalan bocah itu, dia sebenarnya tidak memiliki tujuan tertentu. Hanya menggulir layar ponsel tanpa arah.

"Ron, ayo berangkat. Ngapain, sih?" tegur Hansa menepuk pelan bahu sang kawan.

Aaron menampakkan raut nelangsa. "Tapi-"

"Udah dibawa aja kausnya. Nanti biar gue yang urus, oke?" Hansa lantas mengambil sebuah kantong plastik dari dapur dan memasukkan kaus Aaron yang basah ke dalamnya.

"Sekarang kita harus berangkat, atau kita bakal telat lagi. Gue bakal lempar lo ke kolam lele belakang gudang kalo sampe gue juga kena hukuman," ancamnya kemudian.

Ancaman itu mungkin terdengar main-main. Namun, Aaron tidak akan menganggap enteng jika yang mengatakannya adalah Hansa. Cowok itu cukup serius dengan ucapannya. Jadi Aaron tidak mau macam-macam, daripada dia yang akan sial.

"Mbak kita berangkat dulu, ya. Assalamualaikum," pamit Hansa pada Erisa yang berpapasan di depan pintu.

"Wa'alaikumsalam, Aaron jangan bertingkah lagi. Kasih jeda, kek. Kasihan Abang kalo harus ke sekolah terus," pesan Erisa menerima uluran tangan Aaron.

Meski sedang merajuk, bocah itu tidak melepas kebiasaan mencium tangan sebelum berangkat sekolah. Kali ini dia lebih takut jika Hansa marah karena terlambat daripada tidak bisa datang latihan akibat seragamnya basah.

🍄🍄🍄


"Kita ke kantin, yuk. Mumpung jamkos, nih," ajak cowok beralis layaknya burung camar yang duduk di depan dua bersahabat itu.

Tawaran itu langsung membuat mata Aaron berbinar. "Ide bagus! Gue ikut," sahutnya tanpa ragu.

"Ayo, Han. Sekalian ikut, daripada gabut di kelas," tukas Eric, cowok itu semakin antusias.

Sementara itu, si pemilik nama masih tampak tenang dengan mata fokus pada ponselnya. Namun, meski begitu, dia mendengar ajakan dua sahabatnya itu dan mengangguk sebagai jawaban.

"Eh, tunggu dulu," cegah Hansa ketika Aaron dan Eric lebih dulu bangkit dan hendak meninggalkan kelas.

"Kenapa lagi?" Eric mulai tak sabaran.

"Ron, kaus voli lo mana?" Mengabaikan pertanyaan Eric, bocah itu menatap Aaron dengan alis terangkat sebelah.

"Buat apa?" Aaron justru mengernyit, tak paham kenapa sang kawan menanyakan perihal seragam voli itu.

Hansa berdecak. "Ya gue cuci, lah. Buat apa lagi?"

Baru setelah Hansa mengatakan hal itu, Aaron menepuk dahinya dengan cukup keras. Ini sudah mendekati waktu istirahat kedua, dan baju itu masih berada di dalam tasnya. Terbungkus rapat oleh kantong plastik.

Ia kemudian kembali ke bangkunya dan membuka tas. Mengeluarkan kantong plastik berisi kaus itu dan menunjukkannya pada Hansa. Cowok jangkung itu langsung menyambar kantong plastik itu dari tangan sahabatnya.

"Masih basah," adunya dengan raut kembali muram.

Hansa merebut plastik itu dan kembali berdecak. "Ya lu mikir, lah. Dari pagi baju ini di dalem tas. Emang kain basah bisa langsung kering cuma dengan lo dudukin? Itu pantat bukan setrika!" ketusnya yang mengundang gelak beberapa siswa lain.

"Ya maaf, gitu aja ngegas. Pantesan nggak punya pacar," gerutu Aaron dengan bibir mengerucut.

"Kalo Eric yang ngomong gitu, mungkin gue marah. Tapi kalo elo, gue nggak bakal marah," timpal Hansa sembari melangkah keluar kelas. Cowok itu membuka ikatan pada plastik dan refleks menutup hidung. Aroma dari kaus yang terkena susu itu cukup menusuk hidung.

"Kenapa bisa nggak marah?" Eric yang kini berdiri di samping Hansa justru penasaran dengan kalimat yang diucapkan bocah itu barusan.

"Ya karena Aaron jomblo dari lahir," sahut Hansa yang dibalas dengan pelototan Aaron. Namun, ia tak bisa melontarkan balasan, sebab apa yang dikatakan Hansa benar adanya.

Mendengar itu, Eric lantas mendekati Aaron dan merangkul bocah Lima belas sentimeter lebih pendek darinya itu. "Nggak papa, mblo. Jodoh udah ada yang ngatur. Cuman mungkin jodoh lu belum lahir aja," ungkapnya lantas terbahak.

Ejekan itu membuat suasana hati Aaron semakin buruk. Bocah itu mendengkus kasar dan menepis lengan Eric dari bahunya. Hansa dengan cepat memahami situasi dan berdeham.

"Kalian kalo mau nongkrong di kantin, duluan aja. Gue cuci kaus ini dulu. Paling pas jam istirahat udah selesai. Nanti gue susul," pungkas Hansa mengakhiri ketegangan yang nyaris terjadi.

Eric buru-buru mengangguk setuju. "I-iya. Ayo, Ron. Kita gas ke kantin!" ajaknya kembali merangkul bahu Aaron.

"Gue traktir batagor, gimana? Sebagai permintaan maaf," lanjutnya ketika Aaron masih menunjukkan raut masam.

"Beneran?" Nada bicara Aaron kembali ceria, bocah itu tampak antusias dengan tawaran Eric.

"Erico Bagas Sanjaya mana pernah bohong, sih?" Eric menaik-turunkan alisnya.

"Sering, sih. Tapi kali ini gue percaya, deh." Aaron beralih menatap Hansa. "Kita tunggu di kantin, ya, Han?"

"Iya. Udah buruan sana, cari tempat yang paling deket sama Bu Kantin, ya. Biar nanti nggak susah kalo bawa makanannya," ucap Hansa mewanti-wanti.

Begitulah mereka berpisah. Hansa pergi ke ruang ekstrakurikuler paskibra, sedangkan Aaron dan Eric melesat menuju kantin. Tentu saja mereka melakukannya dengan mengendap-endap, jika tidak ingin tertangkap oleh guru BK yang kerap berpatroli.

"Lo ada deterjen nggak?" celetuk Hansa setibanya di tempat tujuan.

"Ini ruang ekskul paskibra, ya, bukan tempat laundry. Request lo aneh-aneh aja, sih, Sa," sarkas gadis berambut sebahu yang merupakan satu-satunya orang di dalam ruangan itu selain Hansa. Namun, meski ucapannya cukup pedas, gadis itu menyodorkan satu sachet deterjen kepada Hansa.

Hansa menerima deterjen dari gadis itu dan berujar, "Thanks, Ri. Lo selalu bisa diandalin di saat seperti ini."

Riri, nama gadis itu, melipat tangannya di depan dada. "Mau gimana juga, kita udah jadi temen sejak TK. Yah, nasib aja nggak pernah sekelas," ucap gadis itu dengan raut datar.

"Lagian gue heran, deh, sama lo. Itu 'kan baju Aaron, kenapa yang cuci malah elo? Kenapa nggak bocah itu sendiri? Sejak masuk sekolah, gue lihat, tuh, lo kayak jadi babu dia, Sa. Itu bocah juga suka banget cari masalah, kemarin aja ribut sama temen sekelas gue. Cuma karena masalah sepele," lanjut Riri yang membuat Hansa membeku sejenak.

Cowok itu kemudian memasukkan sachet deterjen ke dalam saku celananya dan tersenyum tipis. "Iyakah?" ucapnya balik bertanya.

Riri tak menyahut. Dia dan Hansa sudah bersahabat sejak duduk di bangku kanak-kanak. Meski rumah mereka cukup berjauhan, tetapi keduanya masih merupakan saudara jauh. Dari situ juga Riri menjadi lebih dekat dengan Hansa. Gadis itu tahu, jika Aaron juga merupakan teman Hansa sejak kecil. Namun, bukankah perlakuan ini agak berlebihan?

"Nggak papa, itung-itung belajar jadi ayah yang baik," balas Hansa diiringi kekehan.

Riri berdecak sebal. "Lo setiap ditanya alesan soal Aaron selalu aja ngelak. Bikin males."

Lagi-lagi Hansa terkekeh. "Udah, ya. Gue ke toilet dulu, mau cuci ini. Keburu sore, takut nggak kering. Thanks buat deterjennya, besok gue ganti," tukasnya lantas berbalik dan melangkah pergi tanpa menunggu balasan dari Riri.

Pertanyaan seperti yang Riri ucapkan tadi bukan hanya satu atau dua kali Hansa dapat. Dia sudah terlalu sering mendengar, sampai orang-orang mulai lelah bertanya perihal perhatiannya pada Aaron yang tampak tak wajar. Dia bahkan mendapat tuduhan jika dirinya penyuka sesama jenis.

Namun, dari semua spekulasi-spekulasi itu, Hansa memilih untuk tidak peduli. Apa yang ia lakukan bukan tanpa alasan. Dan alasan itu ... ah, dia tidak akan menjabarkan. Untuk saat ini, Hansa hanya ingin melihat Aaron menjalani kehidupan SMA-nya dengan normal. Meski dia sendiri tidak tahu, seperti apa definisi kehidupan normal itu.

🍄🍄🍄

Hola~

Part 1 ya bestie. Mumpung Senin, jadi update aja dulu. Dan mungkin part 2 sekitar hari Kamis yak. Biar kayak puasa, Senin-Kamis 😌

Jangan lupa tambahkan ke reading list biar semakin banyak yang tau cerita ini. Thanks and see you next part 😗

Salam

Vha
(07-03-2022)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top