Guillotine
Author note : cerita ini berlatar pada Kerajaan Inggris circa 1600-an. Silsilah keluarga kerajaan bisa dilihat di gambar diatas. Ini beberapa istilah yang mungkin asing,
Pub : Bar-tapi british nya biasanya disebut pub.
Duke/Duchess : gelar kebangsawanan Inggris. Duke setara dengan pangkat Adipati di kerajaan-kerajaan Indonesia. Duchess adalah gelar yang diberikan pada istri Duke. Duke di Inggris biasanya memiliki kastil dan wilayah kekuasaan sendiri, namun masih dalam kendali kerajaan.
Klan/Dinasti : Ini merupakan nama marga keluarga. Di cerita ini ada 2 keluarga/klan yang diceritakan, yaitu klan Fitzwilliam yang sedang bertakhta dan klan Stuart yang tinggal di kastil Gloutschire.
Edmund Stuart menjadi penerus takhta kerajaan karena keluarga pria terdekat Raja Louis VI hanya dia. Raja Louis tidak memiliki anak maupun saudara laki-laki, sehingga keturunan kerajaan ditelusur dari saudara Raja Henry (ayah Raja Louis) , Putri Mary of Stuart. Edmund merupakan cucu dari Putri Mary. Karena ayah Edmund telah meninggal, jadi keturunan langsung pria selanjutnya adalah Edmund. Jika bingung, silahkan lihat silsilah saja. Tetapi agak tidak jelas.
Gullotine : alat untuk mengeksekusi para kriminal dengan cara memenggal kepalanya dengan pisau tajam.
Di media juga ada foto Kastil Gloutschire.
****
Edmund mengernyit jijik ketika mengetahui kalau pamannya sering memenggal kepala orang lalu menyimpan koleksi kepala orang mati tersebut di ruang bawah tanah. Sungguh, perbuatan seperti itu sangat tidak bermoral. Tentu saja, Edmund tahu kalau penjahat yang melakukan kejahatan berat patut untuk dihukum sesuai dengan perbuatannya. Tetapi-menyimpan kepala orang mati dan mengoleksinya ? Gagasan macam apa itu!
"Pamanmu seorang raja Edmund, tentu saja ia memenggal kepala orang yang bersalah," kata ibunya setelah ia menanyakan tentang guillotine di pekarangan penjara.
"Aku mengerti sekali itu, ibu. Tapi, mengapa Paman memutuskan untuk mengoleksinya ?" tanya Edmund lagi, tidak puas terhadap penjelasan ibunya.
"Nah, kalau itu aku tidak tahu. Pamanmu memang agak sedikit eksentrik. Sudahlah, Edmund. Louis mengajakmu ke penjara tadi untuk memberitahumu kalau menjadi raja itu sulit. Kau tidak boleh memberi perintah sembarangan karena bisa saja orang yang kau vonis meregang nyawa di guillotine. Kau mengerti itu, sayang?" Edmund mengangguk takzim, walaupun masih tidak puas. Ia akan menanyakan hal ini kepada Paman Louis setelah kunjungannya ke Swedia selesai.
Setelah lelah melihat ibunya yang terus mengacuhkannya dan memilih untuk menjahit saja, Edmund berjalan santai menuju taman di samping istana. Seorang gadis berambut hitam pekat sedang berlatih memanah. Gadis itu memakai gaun biru navy panjang dengan motif indah—yang membuatnya terlihat feminin, sangat kontras sekali dengan kegiatannya saat ini. Hampir setiap hari Edmund mendapati nya memanah. Panahnya terlampau besar jika dibandingkan dengan tubuhnya yang kecil. Terlihat konyol, pikir Edmund.
"Oh, Yang Mulia Pangeran Edmund telah sudi menemaniku di hari yang cerah ini. Apa yang membuat anda datang, Yang Mulia ?" kata si gadis lantang dengan nada mengolok. Perangainya tidak pernah berubah, selalu saja—well, boleh dikatakan ia membenci aristokrat. Gadis itu tidak menoleh sama sekali ketika Edmund berdiri di dekatnya. Dasar tidak tahu sopan santun, rutuk Edmund dalam hati. Ia tetap saja memfokuskan anak panahnya ke papan tujuan.
"Bess, jangan berkata seperti itu kepadaku," ujar Edmund serius. Bess masih tidak mempedulikannya.
Mata biru azure Bess masih terpaku ke depan. Ia menghela napas panjang lalu menghembuskannya pelan-pelan—menjaga dirinya agar tetap fokus dan tidak meleset. Lalu, dengan gerakan yang sangat cepat, ia melepaskan genggamannya dan membiarkan anak panah meluncur ke sasaran—terbang ke udara. Sedetik kemudian, titik di tengah papan telah terisi dengan anak panah berwarna coklat.
Sempurna. Sangat tepat. Edmund saja yang melihatnya terperangah heran.
"Tidak sia-sia memang kau berlatih selama ini. Seharusnya, kau harus bergabung ke unit pemanah di militer nanti." Edmund yang terkejut mengatakan itu secara tidak sengaja. Barulah ia tersadar kalau Bess tidak bisa bergabung dengan militer karena—
"Kau tahu benar, Ed. Anak haram sepertiku tidak boleh masuk militer, apalagi—aku ini wanita," sahut Bess dengan wajah sedih.
"Well, Paman Louis mungkin—" kilah Edmund.
"Tidak, Ed. Aku tahu benar dimana posisiku saat ini. Papa membiarkanku tinggal disini saja sudah menciptakan kehebohan. Aku tidak akan membebani Papa lagi." Akhirnya, Bess menatap Edmund dengan mata biru azure cemerlang itu. Mata yang selalu membuat Edmund terhipnotis. Bibirnya hanya tertarik setengah. Edmund ingat sekali saat Bess datang 9 tahun lalu, walaupun ia masih 6 tahun. Bess merupakan anak dari Paman Louis—oh bukan, Raja Louis dari seorang 'wanita' nya. Ibu Bess merupakan seorang wanita penghibur di salah satu pub ibukota, Paman Louis mengajaknya ke istana beberapa bulan setelah mengenalnya. Bess lahir 9 bulan setelah itu. Undang-undang negara hanya memperbolehkan keturunan resmi kerajaan yang boleh tinggal di istana. Sehingga, Bess yang malang-usianya baru 4 tahun saat itu—harus berpisah dengan ibu dan ayahnya. Bess dititipkan di Gloutschire, dimana kerabat jauh Raja tinggal—Klan atau Dinasti Stuart dari Gloutschire, keluarga Edmund. Sejak saat itu, Edmund dan Bess tidak terpisahkan.
"Kalau aku sudah naik tahta nanti, undang-undang konyol itu akan kuhapus," tekad Edmund sambil menatap tepat ke mata Bess. Lagi-lagi hanya senyum lemah yang didapatkannya,
"Aku tidak meminta banyak darimu. Mungkin-sekarung buah anggur Prancis harus diantar ke rumahku setiap bulan. Ingat itu, Ed!" Bess tertawa renyah lalu menepuk-nepuk punggung Edmund.
"Kau tidak hanya mendapat anggur Prancis, aku akan mengantarkannya sendiri!"
"Apa untungnya bagiku kalau kau datang setiap bulan?" selidik Bess.
"Well—mungkin tidak setiap bulan. Akan banyak tugas-tugas raja yang menanti," jawab Edmund sambil berpikir masa depannya sebagai raja. Dia akan jarang sekali menemui Bess. Ia akan tinggal di istana dan Bess—entahlah dimana Bess akan tinggal nanti.
"Jangan berpikir duduk di takhta dulu, Edmund. Mungkin saja ayahku akan menikah secara resmi dan akan ada putra mahkota baru," canda Bess lalu memasukkan panahnya ke tas khusus. Tentu saja, Edmund pernah belajar panahan. Tetapi, hasilnya nol besar.
"Atau putri," balas Edmund.
Di masa depan barulah mereka tersadar kalau candaan mereka bukan omong kosong belaka.
****
4 tahun kemudian.
Perjalanan rutin ke istana selama musim panas selalu diiringi dengan hujan yang turun sangat deras. Jalan-jalan pedesaan menuju ibu kota selalu berair dan penuh lumpur. Seringkali, kereta yang kutumpangi bersama Edmund terjebak di lumpur. Otomatis kami harus keluar dan berteduh di suatu tempat sampai para pelayan bisa mengeluarkan roda yang sudah terendam kelewat dalam. Contohnya, ya—seperti sekarang. Aku dan Edmund berteduh di salah satu rumah warga yang terkaget-kaget kalau pewaris tahta kerajaan memilih untuk beristirahat di rumahnya yang sederhana. Edmund hanya tersenyum-senyum dan mengajak keluarga kecil itu berbincang ringan.
Edmund telah tumbuh menjadi pewaris kerajaan yang menawan. Tidak hanya berwibawa dan rendah hati, ia juga tampan. Tidak seperti ayahku yang gemuk dan lamban—ups, aku tidak sepatutnya berbicara begitu. Tapi serius, Edmund sangat tampan. Menurutku, jika saja Edmund bukan bangsawan, ia masih punya banyak peminat yang bertekuk lutut karena melihat rambut brunette gelap serta mata coklatnya yang tajam itu. Banyak sekali bangsawan dan putri-putri kerajaan tetangga yang datang pada pesta topeng yang dihelat Duchess of Gloutschire sebulan lalu, tapi Edmund sepertinya tidak tertarik pada pernikahan. Sekalipun ibunya sudah mendorongnya untuk menikah mengingat umurnya yang sudah berada pada angka 19. Alasan klise Edmund adalah, "Aku harus belajar banyak. Putri-putri manja itu akan memperlambatku."
Ya, aku tahu. Alasannya tidak logis sama sekali. Ketika mendengarnya berbicara seperti itu, reaksiku hanya memutar bola mata. Putri tercantik seantero Eropa, Princess Ulrika of Denmark bahkan datang ke pesta topeng Gloutschire! Padahal, Ulrika tidak pernah datang ke undangan pesta kerajaan lain sebelumnya. Kasihan Ulrika.
"Bess?" Edmund menepuk punggungku. Aku langsung tersadar dari lamunan.
"Ya. Apakah mereka sudah selesai dengan rodanya?" jawabku spontan. Edmund hanya menggeleng lalu berkata,
"Tidak, ibu ini hanya berkata kau sangat cantik." Pipiku rasanya terbakar mendengar kata itu keluar dari mulut Edward.
"Apakah gadis ini juga putri bangsawan? Apakah ia seorang calon ratu? Pangeran Edmund tidak mungkin membawa gadis sembarangan ke istana kan?" cerocos ibu itu. Ini pertama kalinya seseorang tidak melihatku sebagai seorang anak haram. Aku dilihat sebagai manusia. Sama manusianya seperti Ulrika yang sering dianggap akan menjadi calon ratu. Sayangnya, itu hanya anggapan saja—bukan hal yang sebenarnya.
"Bukan, saya—" okay, sebenarnya aku tidak tahu akan berpura-pura menjadi siapa. Tidak mungkin aku berkata "Saya anak Raja Louis VI, Edmund adalah sepupu satu kali saya. Nenek dan kakek kami bersaudara." Tidak ada yang percaya akan hal itu. Tidak ada yang tahu akan keberadaanku kecuali orang "dalam" istana.
"Ya, dia akan jadi Ratu suatu hari nanti," potong Edmund gesit. Mulutku ternganga mendengar jawabannya yang tidak masuk akal. Aku? Ratu ? Gagasan macam apa! Baru saja aku mau berkilah ketika John, pelayan keluarga Stuart berteriak "Yang Mulia, perjalanan dapat dilanjutkan lagi."
Edmund lalu pamit pada keluarga kecil itu. Kemudian, ia menarik tanganku dan kami pun kembali menginjak tanah becek yang pastinya akan mengotori gaunku. Dijamin, ibu akan marah sesampainya aku di istana nanti.
"Aku tidak berbohong, Bess. Kau akan menjadi Ratu suatu hari nanti." Edmund mengatakan itu sebelum kami naik ke kereta bersama-sama. Aku tidak dapat melihat ekspresinya karena hujan terlalu deras sehingga aku harus berkedip-kedip berulang kali. Tetapi, kedengarannya ia sangat yakin.
****
"Kita akan berangkat ke Prancis," ujar ibu 2 hari setelah kedatanganku di istana. Kami berdua menempati sayap kanan kastil, area khusus yang dibangun ayaku ketika ia memutuskan untuk mengajak ibu tinggal disini. Aku dapat melihat memang—ibu dan ayah sangat mencintai satu sama lain. Tetapi, ayah tidak dapat menikahi ibu dikarenakan statusnya yang bukan bangsawan. Ibu jauh dari status bangsawan—ia bekerja di pub dulu, lebih memalukan kan?
"Tidak mau. Aku akan pulang bersama Edmund," jawabku tegas. Selama 2 hari ini, desas-desus telah beredar diantara staf sayap kanan kastil. Elizabeth Fitzwilliam—itu aku, ngomong-ngomong, akan ditunangkan dengan Pangeran Mahkota Prancis, Prince Leopold. Enak saja ibu ingin menikahkan ku pada orang sembarangan. Tampang Leopold saja aku tidak tahu yang mana. Aku tidak mau terjebak seperti Princess Marguerite of Sweden yang sekarang menempati bagian utama kastil. Ia menikah secara paksa dengan ayahku 2 tahun lalu. Gadis itu masih seumuran Edmund. Edmund pernah bercerita padaku kalau ia dinikahkan dengan ayahku karena Partai Whig dekat dengan keluarga kerajaan Swedia, jika Marguerite menjad Ratu-jalan partai Whig untuk menguasai parlemen lebih luas. Aku sangat mengerti apa yang terjadi di parlemen-karena buku ilmu politik milik Edmund sering kupinjam. Ratu Marguerite belum memiliki keturunan dari ayahku-sampai sekarang, Edmund masih menjadi putra mahkota yang sah.
"Tidak selamanya kau akan bergantung pada anak itu. Suatu hari, ia akan tinggal disini dan melupakanmu. Leopold berani meminangmu saja merupakan sebuah keajaiban. Kau dengar itu, Bess? Keajaiban. Orang-orang seperti kita Bess, tidak dianggap manusia di kalangan bangsawan. Ini satu-satunya kesempatan untukmu. Untuk punya rumah, menikah, dan memiliki keluarga," jelas ibu sambil menyisir rambutku.
"Oh ya? Bukannya aku bisa saja menikahi orang biasa? Lagipula, kehidupan bangsawan tidak cocok denganku, Bu."
"Anak satu-satunya seorang raja tidak ditakdirkan untuk menjadi orang biasa. Ingat itu, Bess."
Persetan dengan ibuku. Omong kosong. Ia ingin menikahkanku pada Leopold-siapalah karena ia memihak partai Rouge. Partai Rouge beraliansi dengan Prancis. Aku sungguh tidak tahu apa yang direncanakan ibuku.
"Aku—" perkataanku di potong ibu dengan satu kalimat singkat, "Edmund yang menyarankanku untuk mengajakmu ke Prancis. Jangan salah sangka kepadaku, Bess."
Apa urusan Edmund dalam semua ini? Secara tidak sadar, aku melangkahkan kakiku dengan cepat ke bagian utama kastil. Bagian kastil yang tidak pernah kumasuki. Bagian kastil yang terlarang karena statusku yang masih dipertanyakan.
****
"Edmund!" Aku berteriak kepada Edmund yang sedang membaca di perpustakaan istana. Ia mendongak lalu mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya. Mata coklatnya membesar.
"Apa yang kaulakukan disini? Paman Louis bisa marah! Ayo pergi ke kamarku," ajak Edmund.
"Kurasa idemu lebih parah lagi," ujarku singkat. Tetapi, aku mengikuti saja langkah Edmund ke kamarnya yang terletak di lantai atas. Kamar tamu.
"Jadi, Bess—apa yang membuatmu datang kemari ? Nanti sore kan aku akan datang ke sayap kanan kastil," tanya Edmund lalu duduk di ranjangnya yang berseprai putih.
"Kau menyuruhku pergi ke Prancis." Singkat dan padat. Aku bisa melihat ekspresi terkejut terlukis di wajah Edmund. Lalu, ia hanya tersenyum lemah dan berkata,"Ya, memang. Apa ada yang salah?"
"Kau tahu aku tidak suka orang menentukan jalan hidupku, Ed. Aku tidak akan menikahi orang sembarangan!" jawabku keras. Sangat keras sehingga Edmund terlonjak kaget.
"Kau tahu, Bess. Dua hari lalu ketika aku memberitahu mu bahwa kau akan menjadi ratu di masa depan-aku tidak berbohong. Kau akan menjadi Ratu Prancis," kata Edmund dengan suara tenang.
"Aku tidak mau menjadi Ratu Prancis. Itu masalahnya!"
"Aku juga tidak," gumam Edmund tidak jelas.
"Apa?"
"Lupakan. Begini, Bess. Ayahmu—euhm, ia agak sakit akhir-akhir ini. Ia tidak mau putrinya tidak punya rumah setelah kau tahu—euhm, ia tiada. Jadi kupikir, bagus juga Bess jika ia jadi Ratu Prancis—"
Edmund berhenti menjelaskan kepadaku soal Leopold siapalah karena bibir kami sudah bersentuhan. Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Tapi, Edmund adalah rumah. Ia adalah definisi 'rumah' bagiku sejak dahulu.
Aku merasa seperti ibuku sekarang. Murahan.
****
Setelah kejadian aneh di kamar Edmund-keadaan menjadi agak canggung. Aku pergi dari kamarnya dengan kikuk lalu berlari cepat ke sayap kanan kastil. Secara mengejutkan ayahku telah berada disana. Ia tidak memakai pakaian mewah yang biasa ia pakai di kastil utama. Ayahku tampak seperti warga pada umumnya sekarang. Jika kau tidak tahu kalau ia raja, mungkin kau akan mengira kalau dia adalah pemabuk plus preman pasar. Ia sangat besar dan bulat. Ia bertampang sangar dengan luka sayatan dalam di pipinya. Walaupun begitu, mata biru azure yang ada di rongga mataku sekarang merupakan warisannya. Itu sudah sangat jelas. Mungkin hanya itulah yang ia wariskan padaku. Sebuah mata. Ironis.
"Bess ku sayang! Bagaimana kemampuan memanahmu?" tanya ayah antusias. Hanya ayah yang peduli akan kemampuan memanahku. Dan-Edmund.
"Kurasa sudah lebih baik dari terakhir kali ayah lihat, walaupun tidak seberapa."
"Omong kosong. Kau pemanah terbaik yang pernah ayah lihat. Ayahmu ini pernah berperang, Bess. Ayah tahu kemampuan pemanah yang baik. Bagaimana dengan Victoria? Apakah ia mengurusmu dengan baik ?" cerocos ayahku lagi. Victoria adalah ibu Edmund. Sebenarnya alasan keluarga Stuart menerimaku adalah kesepian. Ya, kastil Gloutschire hanya diisi 3 penghuni utama saat aku datang ; Edmund kecil yang menjadi Duke of Gloutschire menggantikan ayahnya yang meninggal dalam perang, Duchess Victoria, dan Princess Mary—nenek Edmund.
"Duchess mengurusku dengan baik, ayah. Aku juga sering membaca buku pelajaran Edmund. Duchess bahkan membiarkanku untuk belajar bersamanya," kataku. Ayah hanya mengangguk-angguk takzim.
"Baguslah. Tapi, Bess—aku harus mengatakan ini. Aku sakit. Kau tahu itu kan?" ujar ayah hati-hati. Sorot mata kebahagiaan yang ia perlihatkan tadi sirna.
"Aku tahu. Tapi ayah, aku tidak mau menikah—"
"Bukan. Ini bukan tentangmu, nak. Ini tentang ayah dan ibumu. Aku akan menikahinya. Aku tidak lagi peduli dengan perkataan orang tentang siapa dirinya. Aku sekarat dan ingin bahagia. Hidup dengan putri dan wanita yang kukasihi di istana utama," jelasnya. Aku bukan lagi kaget, tetapi memekik histeris. Kuulangi—memekik histeris.
"Bagaimana dengan Marguerite? Kau tidak bisa menceraikannya begitu saja, gadis itu—"
"Marguerite akan pulang. Kami akan bercerai. Kasihan aku lihat anak itu, tidak bahagia sama sekali," kata ayahku enteng. Mudah sekali ia berkata. Padahal, masalah menceraikan putri negara tetangga bisa runyam. Kurasa inilah yang terjadi jika waktumu di dunia sudah mepet.
"Berarti—"
"Kau akan jadi Putri Mahkota,"
Aku akan menggeser Edmund dari takhta. Bukan bahagia yang kudapatkan tetapi perasaan mengerikan. Jenis perasaan yang akan kau rasakan ketika mengkhianati kawan. Edmund bukanlah kawanku, ia lebih dari itu. Sungguh.
Tetapi, sebelum aku membayangkan diriku lebih jauh sebagai pewaris takhta-keesokan paginya Raja Louis VI dan Ratu Marguerite terbaring lemas di kamar.
Diracuni.
Dan meninggal dunia
--------------------------------------------
Bess tiba-tiba datang ke kamarku pada tengah malam yang otomatis membuatku langsung terbangun. Ia menangis sesenggukan kecil. Mata biru azure cemerlangnya tak lagi bersinar-melainkan berkaca-kaca.
"Apa yang terjadi Bess?" tanyaku dengan suara yang lembut. Walaupun terbangun di tengah malam tidak menjamin suara akan menjadi lembut. Aku yakin suaraku tadi serak.
Bess tetap menangis. Bess padahal jarang menangis, ia gadis yang kuat. Bertahun-tahun kami tinggal satu kastil, ia tidak pernah menangis di depanku seperti ini . Melihatnya rapuh adalah peristiwa langka.
"Ayahku—ia diracun! Ada yang meracuninya makan malam tadi, Ed. Tidakkah mereka membangunkanmu agar takhta dapat diserahkan langsung?" Bess balik bertanya. Aku hanya menggeleng. Ini berita yang menyayat hati. Aku merasa sedih atas meninggalnya Paman Louis, tetapi toh ia telah memberitahuku kalau waktunya di dunia tidak akan lama lagi, jadi aku tidak kaget. Tapi, dengan meninggalnya Ratu Marguerite dan alasan kematan mereka berdua yaitu diracuni—disitu bagian anehnya. Dan kenyataan bahwa aku tidak diserahkan takhta sampai sekarang menambah misteri malam ini.
Semua itu sebenarnya tidak terlalu penting. Gadis yang paling berharga untukku sedang menangis karena kehilangan ayahnya.
Hanya itu yang kupikirkan.
Aku lalu memeluk Bess dan tangisnya tetap tidak mereda.
"Yang Mulia Pangeran Edmund," teriak pengawal di balik pintu. Aku pun mempersilahkan ia masuk. Masa bodoh jika mereka melihat Bess disini. Aku tidak peduli lagi. Bess akan menjadi Ratu. Ratu ku. Bukan Ratu si Leopold Prancis itu.
"Anda harus bersiap. Dewan akan berunding tentang penyerahan takhta raja," ucap pengawal itu dengan wajah datar. Aku dan Bess lalu saling menatap heran. Bukankah sudah jelas siapa yang akan jadi raja ? Aku telah diberi gelar Pangeran Makhkota sejak ayahku meninggal bertahun-tahun lalu.
"Apa?" tanyaku heran.
"Raja menulis surat warisan, Yang Mulia. Ia menunjuk orang lain untuk duduk di takhta. Ia menunjuk anda, My Lady," kata pengawal lagi-lagi-kali ini sambil melihat ke arah Bess, dengan pandangan kosong seolah ini hanya perkara kuda apa yang akan dipakai dalam perjalanan. Bess memekik— sesuatu yang dilakukannya jika ia benar-benar kaget.
Aku benar kan? Bess akan menjadi Ratu. Bukan menjadi Ratu Prancis-nya Leopold, bukan pula Ratu-ku. Ia menjadi Ratu untuk dirinya sendiri. Sang Penguasa.
****
Bess yang keheranan masih memegang tanganku erat. Sepanjang lorong menuju ruang dewan di sayap kiri kastil, kami berjalan beriringan. Tatapan seluruh pelayan istana yang mengantuk melebar setelah melihat dua calon penerus takhta berjalan bersama dan bergandengan tangan.
Sesampainya di ruang dewan, seluruh anggota parlemen datang. Aku mengira-ngira Paman Louis meninggal 3 jam lalu. Tidak mungkin mereka semua datang dalam sekejap.
"Yang Mulia Pangeran Edmund, anda masih menjadi pewaris takhta resmi kerajaan. Penyerahan takhta akan terjadi besok pagi." Salah seorang anggota dari partai Whig berteriak lantang. Partai Whig yang sangat marah akan kehilangan salah satu putri-nya, Ratu Marguerite.
"Tidak. Raja jelas-jelasnya menunjuk Lady Elizabeth Fitzwilliam untuk meneruskan takhta. Amanat terakhir raja harus dilaksanakan. Lagipula kita tidak bisa menyerahkan takhta ke dinasti Stuart!" balas seseorang dari Partai Rouge diujung ruangan.
Aku sebenarnya tidak peduli siapakah yang menjadi raja. Eh, tapi tunggu sebentar—jika kami berdua menikah, bukankah itu akan menjadi penyatuan yang bagus? Dua orang yang diwariskan takhta duduk bersama. Saat aku ingin menyatakan pendapatku di ruangan penuh dengan debat kusir antara partai Whig yang berada di pihak Dinasti Stuart—dinasti keluargaku dan partai Rouge yang memilih untuk mengikuti amanat terakhir raja, seseorang masuk dengan langkah dramatis ke ruang dewan. Kalau tidak salah namanya Alex bergelar Earl of Staterham, Paman Louis mengangkatnya menjadi kepala keamanan kastil baru-baru ini. Ia memegang sebuah gulungan perkamen dan diikuti dua pengawal yang menyeret seorang wanita cantik berambut hitam bergelombang.
Hillary Burgees. Ibu Bess.
"Dia adalah dalang dibalik kematian Raja dan Ratu," ujarnya singkat.
Kali ini Bess tidak lagi memekik. Tetapi pingsan. Ketika gadisku pingsan, aku tidak peduli. Aku membawanya ke tabib istana. Menghilang dari hiruk-pikuk penyerahan takhta.
****
"Ed, bangun." Tangan pucat Bess menggoyang-goyang lenganku. Aku lalu dengan malas-malasan bangun. Setelah membawanya ke tabib istana, tabib mengatakan kalau Bess akan baik-baik saja. Jadi, aku memutuskan untuk membawanya ke kamarku dan tidur di sampingnya. Sekarang, ia malahan telah bangun dan siap dengan gaun hijau toskanya yang menyentuh lantai. Tersenyum kepadaku diiringi cahaya lembut matahari pagi.
"Kau sudah bangun?" tanyaku tiba-tiba. Sebenarnya itu pertanyaan bodoh.
"Aku akan pergi, Ed. Nanti sore," ujarnya lirih dengan isakan tertahan. Gadisku menangis. Kenapa ia menangis,ya Tuhan?
"Apa? Pergi ? Kau mau liburan?" tanyaku bodoh, lagi.
"Bukan, aku akan pergi. Fyuuuh. Ke kehidupan yang lain," jawabnya sambil tersenyum lemah. Tangannya lalu membentuk burung yang sedang terbang. Gadis ini sudah gila. Aku tidak tahu apa yang dia bicarakan.
"Kau ini berbicara apa sih?"
"Aku akan dieksekusi mati nanti sore. Kepala ibuku telah terpotong tadi pagi. Earl of Staterham menemukan surat perjanjian ibuku dengan Pangeran Mahkota Prancis—Leopold. Ibuku berniat untuk menempatkanku pada takhta, Ed. Ia menyuruh ayahku menulis surat wasiat itu. Jadi, setelah ia meninggal—aku dapat menjadi Ratu lalu Leopold akan menikahiku. Prancis dan Inggris akan menjadi satu negara. Itu rencana ibuku dan antek-anteknya di Partai Rouge. Itulah mengapa kemarin ayah dan ibuku ingin menikah, hal itu akan membuatku menjadi keturunan resmi kerajaan. Tidak ada halangan bagiku untuk tidak naik takhta. Tapi, rencana sempurna ibuku cacat. Kurir racun dari Prancis menunangkan racunnya tadi malam—sebelum ayah dan ibuku menikah. Aku tetap menjadi anak haram. Dan parahnya—namaku ada di perkamen itu. Kau tahu kan apa yang terjadi selanjutnya? Mereka mengira aku ikut dalam konspirasi ini, Ed. Aku akan menghadapi Madame Guillotine. Kau akan tetap jadi Raja Ed—" Bess menjelaskan itu tidak lagi dengan berlinang air mata. Suaranya lantang, tetapi ada banyak kata yang tertahan-tahan. Ia memang tidak menangis, tetapi aku tahu ia terisak. Bess ketakutan. Bess tidak pernah takut.
Apa yang terjadi? Apa? Tidak. Ini tidak boleh terjadi.
Gadisku akan mati.
Bess akan hilang.
Bess akan bergabung pada jajaran kepala tak bertubuh yang dikoleksi ayahnya dulu. Yang sempat menghantuiku. Aku berpikir keras. Apa yang harus kulakukan ? Apa? Argh!
"Kau-akan bersembunyi. Bibi Eleanora di Spanyol pasti bisa menolong kita," ujarku ragu. Kehilangan Bess sama saja seperti mencabut nyawaku. Aku akan menjadi Raja tidak berjiwa.
"Ya tidak bisa, Ed. Eksekusinya akan terjadi nanti sore. Tidak bisa diubah-ubah. Kau tidak dapat bermain-main dengan hukum," kata Bess pasrah.
Aku mengecup bibir merah merah mudanya dengan cepat. Kakiku bergerak ke pintu dan mengatakan,
"Aku bisa bermain-main dengan hukum. Apa yang kau bilang tadi? Aku akan jadi raja, kan ? Kapan penobatan dan penyerahan takhta nya? Apakah sekarang? Aku akan cari dewan agar segera menyerahkanku takhtanya. Kau, Bess—diam disitu. Kau masih punya kesempatan untuk menjadi ratuku," ujarku mantap. Walaupun aku masih tidak yakin akan kata-kataku sendiri.
"Tapi, Ed—"
Aku tidak mendengar sisa dari perkataan Bess. Aku sudah diluar kamar, bersiap untuk dinobatkan menjadi King Edmund II.
--------------------------------------------
Raja Edmund berada dalam kereta. Dari jendelanya terlihat peternakan domba Gloutschire. Sudah lama sekali ia tidak pulang. Pulang kerumah yang sebenarnya.
Tak lupa pula ia membawa buah anggur Prancis sekantong besar. Ini akan cukup, pikirnya. Raja Edmund tak lagi muda memang-helaian rambut berwarna putih malu-malu mengintip dibalik rambut cokelatnya yang tebal. Tetapi, sisa-sisa wajah tampannya masih disana. Dan ia pun masih kuat mengangkat sekantong besar buah anggur Prancis.
Kereta mewah kerajaan itupun berhenti di sebuah kastil tua. Hampir tidak ada yang menghuninya sekarang.
Ingat itu pembaca, hampir.
Nah, sekarang tulislah akhir ceritanya. Tulis saja semau kalian. Mungkinkah Raja Edmund akan menemukan seorang gadis bergaun biru navy memanah di halaman belakang?
Aku tidak tahu
Mungkin saja, kan?
Ini adalah cerita historical pertama saya. Dan cerita romance pertama saya juga. Ini juga pertama kalinya saya menulis cerpen sepanjang 3.8k hahahaha
Jika bingung dengan hubungan kekerabatan Edmund dan Bess bisa melihat di gambar. Edmund dan Bess tidak apa-apa sebenarnya untuk menjalin hubungan karena terhitung saudara jauh, yaitu sepupu satu kali. Dahulu, bahkan banyak keluarga kerajaan menikahi sepupunya sendiri.
Kisah ini terinspirasi dari konspirasi dan keruwetan keluarga kerajaan Inggris tahun 1400-1600-an. Btw, Ratu Elizabeth I yang hebat itu sebenarnya anak haram dan bukan pewaris takhta, seperti Bess.
Another fun fact : Banyak anggota kerajaan Inggris dieksekusi dengan guillotine.
Danke! Vote and comment!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top