Rahasia 03
•°•°•
"... Persatuan Astronomi Seluruh Dunia mengklasifikasikan komet Milk dalam kategori komet non-periodik karena lintasan elipsnya yang sangat panjang. Menurut perhitungan periode orbit komet Milk sekitar 300 tahun, yang artinya, jika malam ini komet Milk terlihat di langit seperti perkiraan, maka komet berekor putih susu ini baru bisa dilihat lagi tahun 2320. Fenomena ini adalah kesempatan sekali seumur hidup yang sangat ditunggu..."
Komet Milk, ya?
Sejak ada berita di TV tentang komet yang akan melintas dan dapat dilihat dengan mata telanjang, Geo jadi lebih bersemangat. Dia bilang dia nggak sabar mau lihat komet putih susu itu sama aku. Tapi, boro-boro lihat komet.
Dari kaca jendela, hujan terlihat lebat diiringi gemuruh langit bersahut-sahutan. Aku mondar-mandir karena bosan menunggu Geo belum juga pulang padahal malam sudah larut. Mana janjinya mau pulang cepat lihat komet? Aku nggak bisa tidur kepikiran dia. Apa dia sama cewek itu lagi? Siapa namanya? Clara? Cewek modal body yang bisanya cuma morotin Geo. Apa sih yang masih Geo harapkan dari cewek itu? Padahal dia punya aku yang jelas-jelas setia.
Apa karena selama ini aku nggak pernah membalas setiap dia bilang sayang?
Yaa, aku memang mustahil bisa membalasnya. Tapi seharusnya dia tahu aku sayang sekali sama dia dari tindakanku. Aku nggak pernah mengeluh. Aku mengikuti langkahnya ke manapun dan dia senang dengan itu. Aku penghibur hatinya di waktu susah. Aku yang dipeluk dan memeluknya setiap tidur malam, di ranjang yang sama.
Dan aku yakin, aku perempuan yang paling sayang sama Geo di dunia ini. Baiklah, mungkin kedua setelah Mamanya.
Sampai saat ini, belum terdengar suara mesin mobil Geo memasuki pelataran parkir. Aku mulai lelah dan bergelung di atas sofa. Untuk kesekian kalinya berusaha mengusir gelisah dengan menutup mata.
Komet Milk, jangan lewat dulu sebelum Geo pulang. Ya?
•°•°•
"Kenapa tidur di sini, Mi? Nunggu aku?"
Aku terbangun berkat belaian lembut di kepala. Geo pulang! Aku ingin menghambur di pelukannya tapi dia menolakku. Seperti biasa dia harus bersih-bersih diri setelah dari klinik sebelum menyentuhku. Dokter hewan kesayanganku ini memang sangat disiplin soal kebersihan.
Geo keluar dari kamar mandi berbalut bathrobe dan mengeringkan asal rambutnya dengan handuk kecil. Bisa kucium jelas aroma segar sabun menguar dari tubuhnya. Dia melempar senyum menggoda seperti biasa, menaik-turunkan alis yang praktis membuatku salah tingkah.
Oh, ya, aku harus berbalik soalnya dia mau pakai baju. Katanya malu kalau aku melihat. Cih, padahal setiap hari dia lihat aku telanjang. Ini nggak adil.
Aku mendekat lagi saat Geo sudah berpiyama dan naik ranjang, bersiap untuk tidur. Dia menepuk ruang kosong di sampingnya.
"Sini, Sayang."
Aku melompat bukan pada tempat yang diminta, tetapi di atasnya. Geo terkesiap menahan tubuhku.
"Hey, hey, easy, Mi!" Dia terkekeh, menggesekkan pucuk hidungnya dengan hidungku. "Bosan, ya? Kangen aku? Miss you too, Mi." Dan aku senang sekali setiap Geo menepuk puncak kepalaku seperti ini.
Aku berpindah ke sisinya. Dia mengubah posisi ke arahku dan merangkul tubuhku. Aku mengulum senyum saat mengusapi pipi dan rahangnya.
"Mi," dia menatapku lurus, "aku putus sama Clara. This time, for good. Gimana menurutmu?"
Bagus. Menurutku itu keputusan paling tepat dan berani.
Meskipun aku sedikit kesal dia melupakan janji kami melihat komet Milk, tapi sudahlah, aku tahu dia lelah.
Aku melasakkan diri di dada Geo dan dia membalas dengan pelukan ringan. Menepuk kepalaku dan membelai tubuhku selembut biasa. Aku memejamkan mata, menikmati aroma tubuhnya dan detak jantungnya. Bisa kurasakan bisik lirihnya yang hangat menyapu tengkukku.
"Kamu wangi, Mi."
Aku menggeram tertahan. Dasar Geo, padahal dia sendiri yang memilih shampoo untukku.
"Kenapa nggak ada perempuan seperti kamu, sih, Mi? Yang sederhana dan nggak banyak menuntut."
Hee? Nggak sopan. Aku juga perempuan tau!
Aku mengendurkan diri, memukul pelan pipinya namun Geo malah tertawa dan menangkap telapakku. Sejurus kemudian dia mencium keningku.
"Makasih untuk semuanya, Mi. Aku nggak bisa membayangkan kalau kamu nggak di sini. Nggak ada yang nganterin aku berangkat kerja. Nggak ada yang menyambut aku pulang. Nggak ada yang aku peluk dan cium setiap malam. Hidup aku kosong kalau nggak ada kamu, Mi."
Ketulusan di matanya membuatku luluh dan terdiam. Komet Milk, aku sayang pria ini.
"I love you."
Andai saja aku bisa membalas ucapan itu, akan kukatakan berkali-kali sampai dia paham dan bosan. I love you too, G. Sangat. Hidupku juga nggak ada artinya tanpa Geo. Aku hidup untuknya. Aku menyayangi Geo lebih dari diri sendiri.
Tetapi semua itu hanya bisa kurasakan. Hanya untuk dirasa tanpa diungkap.
Karena sekeras apapun aku mencintainya, aku hanya mampu membalas dengan, "myaw!"
Setelah itu Geo menciumi wajahku dengan gemas hingga aku menggeliat kegelian. Anehnya, aku selalu merasa Geo memahami isi hatiku.
Komet Milk, please do your magic!
•°•°•
"Siapa kamu?!"
"Nyaw?"
Kepalaku menyembul dari selimut dan menguceki mata. Ada apa, sih, Geo? Masih pagi sudah berisik.
Peregangan tubuh selalu memulai pagiku. Satu malam nyenyak dalam selimut dan pelukan Geo adalah energiku untuk melewati hari yang membosankan karena ditinggal kerja. Perutku bunyi. Waktunya sarapan. Aku melompat turun tapi--
"--NYAAAW!"
Aku terjerembap di lantai. Kenapa aku jatuh?! Kenapa badanku rasanya berat?! Kenapa jari kakiku panjang dan ada lima? Kenapa... rasanya semriwing... dan aku merinding?
Mya! BULUKU KE MANA?!
Aku menengadah.
Geo membeku, menatapku seakan baru saja melihat hantu.
•°•°•
Kotak makanku terisi penuh sereal ikan. Baunya enak sekali. Biasanya Geo membawakannya untukku dan mengelus tubuhku waktu aku makan. Tapi pagi ini kotak makan itu diletakkan dua meter di depanku, bahkan dia memanjangkan tangan untuk itu. Sepasang mata yang biasanya ramah itu kini drastis menusukku dengan tatapan was-was.
Kenapa, sih? Aku 'kan sudah pakai baju. Pakai kausnya Geo yang paling kecil tapi masih juga kebesaran untukku. Seenggaknya sudah menutupi bagian sensitif manusiaku.
Aku merangkak turun dari sofa mendekati kotak makan. Ya, sedihnya, aku nggak bisa berdiri dengan dua kaki. Nggak tahu kenapa. Belum terbiasa mungkin? Atau karena aku belum sarapan? Kayaknya begitu, makanya sekarang aku mau sarapan. Aku menunduk di kotak makan, mengendus wangi ikan yang enak banget. Terserah deh kalau Geo masih syok.
Selamat ma--
"Pyah! Byah! Byaaawh!!!"
Aku batuk-batuk. Tersedak. Mau muntah.
Makanan apa ini! Kayaknya setiap hari aku makan ini tapi kenapa rasanya amis begini?!!
Nggak bisa berpikir, aku buru-buru minum. Menjilati air putih di mangkuk samping kotak makan untuk mencuci lidah. Tapi airnya nggak bisa masuk tenggorokanku. Gimana ini? Gimana cara manusia minum? Aku haus banget, mya!
"Minum?"
Sesuatu disodorkan di depanku. Gelas. Geo memberi aku gelas yang biasa dia pakai untuk minum. Oh, betul juga, manusia minum pakai gelas.
Tentu saja aku nggak bisa memegang gelas. Untung ada Geo yang memegangkan sementara tangannya yang satu lagi menahan daguku. Tatapannya masih waspada meskipun kini bercampur prihatin.
•°•°•
Untuk sarapan, Geo memanggang salmon yang aromanya nggak kalah enak dari sereal ikan. Entah mengapa aku bisa makan salmon panggang asin ini. Padahal waktu masih kucing aku nggak bisa makan asin, mau muntah.
Jangan tanya aku makannya gimana. Sudah jelas disuapin Geo. Inilah kenapa aku secinta itu sama Geo: dia terlalu baik. Baik banget sampai dia mau adopsi aku yang pincang sebelah sejak lahir, memperbaiki kakiku, dan akhirnya memelihara aku.
"Begini, Dok. Maaf, saya nggak bisa praktik hari ini.... Oh, bukan, saya nggak sakit. Keperluan keluarga.... Bukan, Dok, bukan lamaran...." Geo tertawa kecil sebelum mengakhiri telepon. "Terima kasih, Dok."
Sambungan diputus dan Geo melirik aku yang membalas dengan senyum senang. Senaaang sekali, Geo mengambil satu hari cuti untukku. Aku nggak perlu kesal memikirkan Geo pegang-pegang hewan betina selain aku.
"Kamu ini... Mi?" tanyanya, mengembus pendek.
"Mya." Ya iyalah siapa lagi?
"Aku nggak percaya. Siapa kamu? Di mana kucingku? Munchkin dengan belang tabby, kamu tahu dia ke mana?"
A-apa? "Nya?" Aku di sini, Geo bicara apa, sih?
"Ah, sudah lah."
Geo menyugar rambut dan beranjak nggak sabar meninggalkanku. Kayaknya dia kesal sama aku. Tunggu. Kenapa mesti kesal sama aku? Aku salah apa? Aku nggak tahu aku akan jadi manusia perempuan begini. Yang aku mau cuma supaya Geo tahu aku sayang dia.
Aku nggak mau dia membenciku begini. Dadaku rasanya sesak dan mukaku panas.
Aku beranjak mengejar Geo tapi gagal. Kakiku bengkok nggak bisa menapak dan otomatis aku jatuh tersungkur. Kepalaku kena kaki meja. Sakit. Tanganku tertindih badanku. Sakit. Kakiku terkilir dan berdenyut. Sakit.
"Uh... uh..."
Aku mencoba duduk perlahan. Tubuh berat ini nggak bisa membuatku leluasa bergerak. Sakit. Semuanya sakit. Terutama dadaku yang rasanya mau meledak. Aku menguceki muka. Menguceki mata yang entah mengapa berair. Mulutku merengek dengan sendirinya.
Apa ini yang namanya menangis? Geo pernah begini waktu Papanya meninggal. Matanya basah dan napasnya tersengal. Menangis itu nggak enak. Aku nggak suka. Tapi gimana caranya menghilangkan sesak ini?
"Kamu nggak papa?"
Geo berlutut menghampiri aku. Meraba lengan dan kakiku seperti yang sering dilakukannya di klinik hewan. Kemudian dia merangkum wajahku dan mengamati dahiku yang berkedut. Ibu jarinya mengusap pipiku yang basah sampai setengah kering.
Dan dia tersenyum menatap mataku, berkata, "kamu boleh di sini sampai Mi pulang."
Lalu sesak di dadaku mulai berkurang. Aku membalas senyumnya. Komet Milk, aku nggak akan pergi sebelum aku bisa memberi tahu Geo bahwa aku sangat menyayanginya.
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 21 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top