Rahasia 02
•°•°•
"Di Hyper Mall kemarin aku lihat Bunga, di etalase butik."
"Bunga? Sama om-om lagi?"
"Hmm. Milih baju sama seseom-om."
"Om yang mana? Masih yang dulu di pantai atau sudah ganti?"
"Muka si bapak nggak terlalu jelas. Orangnya tinggi gede tegap. Boleh juga si kembang biar maen sama om-om tapi tetep selektif."
"Iya lah! Kalo ada om-om perkasa kenapa pilih yang buncit? Ngomong-ngomong, butik apa dia didatengin? Jangan bilang sleepwear terus mereka milih lingerie."
"Bukan, sih. Butik biasa. Tapi si om udah nenteng beberapa paper bag yang kayaknya dari butik lain. Bisa jadi salah satu--"
BRUK.
Gemerisik dua gadis berseragam putih-abu terputus karena ensiklopedi tebal yang memang sengaja dijatuhkan Radian di belakang mereka. Keduanya spontan berputar dan menemukan pria yang mengajar Bahasa Inggris itu tengah jongkok memungut ensiklopedi lantas berdiri kembali. Tersenyum santai tanpa dosa.
"I'm really sorry."
"Ah, no, no. It's okay, Sir," sahut salah satu dari mereka, didukung senyum rikuh temannya.
"Nice chitchat. Ini perpustakaan, though. So what's hot?"
"No-nothing, Sir," gugup gadis yang sama.
"Waktu istirahat hampir habis. Kami permisi dulu, Pak."
Gadis yang satu lagi buru-buru menyeret temannya pergi. Senyum Radian kontras berubah masam saat keduanya menghilang di balik rak buku Bahasa Inggris. Pria itu mengembus lelah, membenahi kacamatanya, dan dia rasa dia juga harus membenahi segalanya sebelum terlambat.
•°•°•
Gadis manis berambut sebahu yang menyandang ransel biru itu mengetuk pelan pintu ruang multimedia. Setelah mendengar izin masuk dari dalam, dia membuka pintu dan memasukkan kepala.
"Did you just call me, Sir?"
"Ya." Radian menengadah dari PC. "Come in."
Meski rasa gelisah bergelayut di benaknya, Bunga, gadis itu, tetap memenuhi perintah gurunya. Berusaha menepis prasangka buruk yang mengganggunya. Seusai mematikan PC, Radian menggeser kursi putarnya ke sisi meja lain yang kosong dan mempersilakan Bunga duduk di kursi di hadapannya.
"What is it, Sir?" tanya gadis itu bersama senyum. Ah, mana mungkin Radian sudah tahu soal itu, 'kan?
Bertumpu lengan di meja dan membalas senyum Bunga, Radian menjawab, "this is kind of personal. Might be a bit uncomfortable for you." Pria itu lantas mencondongkan tubuh. "Let's just use Bahasa instead, we're out of class, anyway."
Bunga merendahkan pandangnya. "Iya, Pak." Walau jujur saja, dia memang sudah tak merasa nyaman sekaligus putus asa.
Besar kemungkinan Radian memang sudah tahu.
"Apa keluargamu dalam kesulitan ekonomi?"
"Nggak, Pak," jujurnya, meski memang terkadang penghasilan warung ibunya minim dan terpaksa berhutang, sejauh ini mereka masih bisa makan tiga kali sehari.
"Saya sering dengar," Radian menyilangkan jari-jarinya, "kamu jalan dengan laki-laki berumur. Siapa dia? Keluargamu? Saya juga sering dengar kamu yatim, jadi saya rasa bukan ayah kamu."
Bunga mengangkat mata. Tidak ada penekanan dan tatapan menuntut dari gurunya yang masih tersenyum tenang.
"Bukan siapa-siapa." Artinya, Bunga menolak menjawab.
"Tapi orang itu siapa-siapa untuk saya."
Bunga memejam singkat. Pasrah. Terlebih ketika Radian mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sebuah foto digital. Foto Bunga berjalan dalam rangkulan laki-laki berumur yang dimaksud Radian, sepertinya diambil dari jauh dan diam-diam.
Radian mengejar tatapan muridnya. "Dia ayah saya."
Jantungnya seakan berhenti, tetapi Bunga mempertahankan poker face nya.
"Apa ayah saya membayar kamu?"
Gadis itu merapatkan bibir. Terlalu malas menjawab pertanyaan yang baginya retoris.
"Kalau kamu diam, saya anggap 'ya'," putus Radian yang tidak dibantah oleh Bunga. "Berapa banyak ayah saya membayar kamu?" Bunga masih bergeming. "Saya nggak mengatakan ini sama siapapun, termasuk ayah atau ibu saya. Ini cuma antara kita. Saya ingin tahu, itu saja."
Sebenarnya, Bunga percaya gurunya tidak segegabah itu untuk memperkarakan hal ini dengan pihak lain. Tetapi dia juga tidak bisa menjawab apapun kecuali, "maaf, Pak."
Jawaban yang membuat Radian menghempas punggung di sandaran kursi, mengetuki permukaan meja, lantas mengeluarkan kartu as nya.
"Lima juta per bulan dari saya kalau kamu mau meninggalkan ayah dan jadi pacar saya."
Bunga terbeliak. "Maaf?"
"Kurang?" tanya Radian lugu. "Saya terbuka untuk negosiasi."
"Bu-bukan, maksud saya..." ragu-ragu, Bunga menyelisik wajah sang guru. "Pacar?"
"Ya." Radian mengangguk santai. "Nggak ada yang gratis, Bunga. Sama seperti kamu jalan dengan ayah saya, nggak gratis."
Bunga menyipitkan mata skeptis. "Kenapa Bapak pikir saya mau terima tawaran ini?"
"Because why not? Pertama, kalau kamu belum tahu, saya masih single. Lower risk daripada ayah saya yang sudah beristri. Kedua, I don't feel like saying this because this is stupid, but, di mata high school girls, laki-laki mapan dua puluh lima tahun jauh lebih menarik daripada teman sebaya, kakak kelas, apalagi bapak-bapak yang setengah rambutnya sudah putih. Teman-temanmu secretly penasaran sama status saya. Am I wrong?"
Bunga tidak menyangkal bahwa pria di depannya memang memancing penasaran para gadis satu sekolah karena pembawaan yang ramah namun susah didekati. Terlebih secara fisik Radian selalu terlihat menarik dengan outfit slimfit, jaket kulit, dan motor besarnya.
"Ketiga, ini demi kebaikan semua, terutama ibu saya," tutup pria itu. "Gimana?"
Untuk kesekian kalinya mereka beradu pandang, sampai Bunga menegak, membenahi duduk sekaligus harga dirinya.
"Kebaikan semua?" Dia memastikan. "Saya dapat bayaran; oke, baik. Rumah tangga orang tua Bapak selamat; itu juga baik. Tapi untuk Bapak sendiri? Dapat pacar? Bapak yakin mau mengeluarkan lima juta per bulan padahal selain saya banyak yang sincerely mau menempati posisi sebagai pacar Bapak?"
Radian mengerjap dua kali. "Ya."
"Bapak rugi lima juta per bulan."
"Nggak."
"Kenapa Bapak yakin sekali?"
Sebelum menjawab, pria itu mengulas senyum yang berbeda untuk Bunga. Bukan senyum formal seorang guru kepada muridnya, melainkan senyum yang membuat sisi perempuan Bunga untuk pertama kalinya melihat Radian sebagai seorang pria.
•°•°•
Selesai mencuci piring makan malam, Bunga menemukan ibunya terlelap di depan kipas angin dan TV yang masih menyala. Dia berinisiatif mengambil selimut tipis untuk menutup tubuh wanita itu, mematikan TV, lantas masuk kamar bersama senyum kecil.
Bersamaan dengan itu, ponsel di atas meja belajar bergetar berima. Setelah melihat nama caller di layar, Bunga segera mengangkat.
"Iya, Pa?"
"Kamu pacaran sama Radi? Itu serius?"
Bunga tertawa kecil. "Iya, Pa. Gimana, dong? Lima juta per bulan. Bunga 'kan lemah."
Lelaki berumur di seberang membalas tawanya. "Dasar kamu. Tapi kalo kesepakatannya kayak gitu Papa jadi nggak bisa ketemu kamu lagi, Bunga."
"Bisa. Yang penting lebih hati-hati aja, Pa," jawab Bunga enteng. "Dia itu kemakan lambe-lambean sekolah yang suka nebar gosip Bunga jalan sama om tua-tua keladi."
"Loh. 'Kan memang kamu jalan sama om-om?"
"Tapi om-om itu 'kan Papa sendiriii! Papa Bunga beneran!" geram Bunga kesal.
"Ya 'kan mereka nggak tahu?" Lelaki di seberang menurunkan tawanya. "Maafin Papa, Bunga."
Bunga merebahkan diri di ranjang. "Udah lah, Pa. Jangan minta maaf terus. Bunga paham kondisinya." Pandangannya mengawang pada langit-langit. "Bunga cukup puas akhirnya kenal siapa Papa kandung Bunga."
"Makasih, Sayang." Jeda sesaat sebelum lelaki itu meneruskan, "tapi kalau Radi jadi benar-benar jatuh cinta sama kamu gimana, Nak?"
Bunga tersenyum tipis. "Nggak mungkin, Pa. Jangan khawatir."
Dengan itu, Papanya mengakhiri pembicaraan karena harus pergi lagi. Baru saja panggilan terputus ketika Bunga sadar sebuah pesan baru muncul di notifikasinya. Pesan dari si pacar lima juta.
Radian Yudhistira
Lagi apa? Sudah makan?
Tawa Bunga menyembur lepas karena sebaris pesan kaku tersebut. Hari gini pacaran masih tanya lagi-apa-sudah-makan? Basiii! Menggigit bibir bawah, berusaha menahan senyum yang mulai melebar, Bunga segera membalas pesan tersebut.
Masih hangat dalam ingatannya percakapan di ruang multimedia siang tadi. Percakapan yang membuat perasaan hangat menjalar di dada perempuan itu.
"Bapak rugi lima juta per bulan."
"Nggak."
"Kenapa Bapak yakin sekali?"
"Saya nggak rugi, Bunga. Because I've fallen for you."
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 19 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top