Rahasia 01
•°•°•
"Mas! Kamu punya pacar?! Beneran?!"
Arkana baru saja akan memasukkan remah popcorn ke mulutnya ketika Arumi membanting diri duduk di sebelahnya, memberi tatapan menuntut. Dengan sedikit sorot tak suka. Atau mungkin agak banyak, sebab Arkana membuang pandang malasnya kembali ke TV dan lanjut mengunyah popcorn.
"Mas!" Arumi menyambar kantung popcorn tak sabar. "Kata Mama kamu punya pacar! Jawab aku!"
Arkana hanya melirik dari sudut mata.
"Calon istrimu mau dateng pas wisuda besok, hah?! Mas, aku juga mau bawa Tari! Kamu tau dia suka sama kamu dari jaman aku SMA dan kamu mau ngenalin calon istri di depan dia?!"
Menahan napas, punggung Arkana melengkung lemah. Lantas menyerongkan wajah pada si adik dengan sorot sebeku biasa.
"Terus?"
"Ya--" Arumi memelotot tak percaya. "Ya kamu peka dikit, Mas! Kamu pikirin perasaan cewek yang tujuh tahun suka sama kamu tapi kamu selalu dingin dan nggak peduli sama dia, terus tiba-tiba kamu gandeng cewek lain di depan mata dia?! Tari sahabat aku, Mas!"
Arkana menegakkan punggung. Menyipitkan mata.
"Aku ngenalin ke Papa sama Mama. Bukan dia. Suruh dia tutup mata kalau nggak mau lihat atau jangan datang sekalian."
"Mas!" Sekuat hati Arumi menahan kepal agar tidak memukul abangnya. Kemudian dia tertawa pahit. "Kamu mau ngelakuin legenda wisuda itu. Iya?"
"Legenda?" ulang Arkana.
"Legenda soal wisudawan yang makein topi, ngalungin gordon, ngasih map dan tabung wisuda ke pasangannya, terus mereka foto bareng, maka mereka bakal selalu sama-sama sampai maut misahin. Iya, 'kan? Ngaku kamu!"
Arkana mengerjap sekali sebelum akhirnya pria itu meledakkan tawa.
"Legenda, Rum?" Dia nyaris tersedak. "Bullshit."
"Terserah!" Gadis itu menjejalkan popcorn ke perut Arkana. "Pokoknya kalo besok Tari murung gara-gara ini, awas aja kamu, Mas!"
Tak memperpanjang debat, Arumi beranjak meninggalkan Arkana yang terbengong heran. Hanya karena Tari menyukainya, lantas di mana salahnya jika Arkana memperkenalkan calon istri pada keluarga?
•°•°•
Jika ada orang tua paling bahagia pagi ini, itu adalah Papa-Mama Arkana dan Arumi karena dua anaknya wisuda di hari yang sama. Arumi menerima gelar sarjana kedokteran sedangkan Arkana resmi mengganti status asisten dosen menjadi dosen tetap berkat titel barunya, magister ekonomi.
Seharusnya, setelah prosesi wisuda di sasana kriya Arumi berpindah ke auditorium Fakultas Kedokteran untuk acara lain, namun gadis itu menunda. Dia memilih bertahan di muka gedung sakri, memerhatikan abangnya di kejauhan yang sedang berfoto dengan teman-temannya. Arumi memfokuskan matanya pada beberala perempuan unggulan Fakultas Ekonomi yang sering datang ke rumah untuk alasan kuliah atau kerjaan.
Meskipun teman-teman Arkana selalu datang beramai-ramai, tetapi Arumi kerap curiga. Sebut saja Ganis yang memberi Arkana julukan 'Eskimo' karena sifat dingin pria itu. Atau Erika yang sering membawa kue pukis hangat kesukaan Arkana. Atau Jenny yang suka bertanya pada Arkana tentang materi kuliah, yang di mata Arumi hanya modus belaka.
"Yang mana menurut kamu, Rum?" Dari belakang Arumi, Mama meletakkan dagu di bahu gadis yang masih berlapis toga itu.
Arumi mencebik. "Tau dah."
"Kata Masmu kemarin gimana? Si calon datang jam berapa? Apa salah satu yang wisuda juga?"
"Nggak bilang apa-apa."
"Ya sudah, Rum." Mama berpindah, tersenyum maklum di depan putrinya. "Masmu bilang punya calon juga Mama sudah seneeeng banget. Dari dulu Masmu nggak pernah punya pacar, nggak deket sama cewek, nggak pernah ngomongin cewek, Mama sampai takut Masmu nggak mau nikah atau malah homo. Tiba-tiba kemarin bilang sudah punya tabungan untuk nikah dan sudah ada calon, Mama syok, tapi ya seneng juga."
Bibir Arumi tetap tidak mundur. "Tapi kasihan Tari, Ma!" Gadis itu melempar pandang gusar ke arah Arkana yang masih groufie menggunakan drone. "Ma, bayangin Tari main ke rumah kita terus disuguhi pemandangan Mas sama istrinya! Ya memang Tari ke rumah karena mainnya sama aku, tapi 'kan--"
"Rum." Mama mengusap lengan Arumi. "Nggak papa, Tari pasti ketemu laki-laki yang terbaik buat dia. Bukan berarti harus Masmu. Mama yakin Tari juga ngerti. Lagian Tari masih muda, kalem, pinter didik anak-anak, Mama yakin banyak yang mau."
"Tapi si Tari maunya sama Mas!"
Kening Mama berkerut. "Mama lihat dia biasa aja. Nggak ngebet banget sama Masmu."
"Ya emang dia dari dulu pemalu, 'kan, Ma?" Arumi menatap sang Mama lagi. "Tari itu sukanya mendam. Tapi kelihatan dia itu gugup kalo ada Mas. Mana mau dia ngaku sama Rumi soal perasaan kalo nggak Rumi pepet habis-habisan?"
"Apa perlu Mama cariin anak temen-temen dharma wanita buat Tari?"
Arumi tertawa kecut. "Nggak gitu juga, Ma."
"Apa perlu Papa cariin MT di pabrik? Banyak yang masih bujang," bisik sang Papa, membuat Arumi refleks memukul ringan lengan beliau.
"Apa sih, Paaa!"
"Mana Tari? Katanya mau dateng?" desak Papa. "Jadi nggak ikut makan-makan habis ini?"
"Tau, Pa." Arumi melirik pasrah G-Shock di pergelangan. "Mungkin telat. Kata dia hari ini di TK ada makan bersama sebulan sekali, tapi katanya dia mau izin."
"Arkan, sudah?"
Arumi baru sadar kakaknya sudah kembali dari sesi berfoto karena pertanyaan Papa. Gadis itu celingukan kanan-kiri.
"Mana calonmu, Mas?" tuntutnya.
Arkana melepas topi toganya, mengipasi diri. "Nggak datang," dan otomatis dia mendapat delikan Mama.
"Gimana, sih, kamu? Mama sudah pengin punya mantu!"
"Gimana, dong, Ma? Dia nggak datang." Arkana tertawa ringan.
"Kenapa nggak datang?" tanya Papa.
Arkana mengangkat bahu. "Sibuk, mungkin."
"Telepon, Mas!" perintah Arumi gusar.
"Ya biarin, sih, namanya sibuk--"
"Assalamualaikum."
Sebuah salam yang meskipun terdengar pelan mampu memutus Arkana. Semua menjawab salam tersebut tanpa terkecuali Arumi yang langsung menghambur memeluk sahabatnya. Gadis itu, Tari, menyempatkan diri menyapa Papa-Mama Arumi yang dia hormati seperti orang tua sendiri.
"Kamu ke mana? Lama!" cerewet Arumi.
"Maaf, Rum. Tadi beli ini dulu," jelas Tari, menyerahkan buket bunga dan boneka beruang berbaju toga untuk Arumi yang langsung diterima dengan senyum cerah.
"Makasih, Ri. Lucu!" Arumi terkekeh. "Buat Mas Arkan nggak ada?"
Senyum kaku lah yang bisa Tari tampilkan demi menutupi gugup. Mana bisa dia memberi kado wisuda untuk laki-laki yang sudah punya calon istri? Karena itu Tari hanya menatap Arkana dan berujar singkat dari tempatnya berdiri.
"Selamat, Mas."
Arkana bergeming sesaat. "Apa?"
Ragu-ragu, Tari melirik Arumi sekilas. "Selamat, Mas."
"Sini." Arkana melambai kecil. "Nggak dengar. Suaramu kecil."
Arumi tahu Tari tidak mungkin berani mendekati abangnya karena itu dia berinisiatif mendorong punggung gadis itu. Ketika dirinya sampai di sisi Arkana, hanya ujung pantofel pria itu yang berani dilihatnya.
"Selamat, Mas."
"Makasih," sahut Arkana cepat. "Kamu pernah wisuda?"
Tari menggeleng.
Bukannya Arkana lupa bahwa gadis ini tidak berkesempatan mengenyam bangku kuliah karena keterbatasan ekonomi, tetapi, dia butuh alasan untuk memakaikan topi wisudanya di kepala Tari.
Tindakan yang praktis membuat Tari menengadah.
"Mas?"
"Agak kebesaran, ya?" gumam Arkana, lantas menyerahkan map dan tabung wisudanya. "Pegang ini."
Tari memeluk keduanya dengan bingung. Semakin tidak paham mengapa setelahnya Arkana melepas gordon yang kemudian dikalungkan di leher Tari. Dan mengapa di pagi menjelang siang ini pria dingin itu, untuk pertama kali, memberikan senyum yang hangatnya memenuhi hati Tari.
"Pas," bisik Arkana.
Tari bisa merasakan pupilnya melebar.
Arkana beralih pada Papa-Mamanya yang menganga, dan terutama pada Arumi yang membekap mulut tak percaya. Dia tersenyum untuk adiknya. "Tolong difotokan."
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 13 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top