Us

Pagi itu, kutemani kau duduk di tepi ranjang, menatap satu-satunya jendela di sana, yang mengarah pada sebuah kamar di seberang, yang kini jendelanya tak pernah lagi terbuka, karena, sudah tidak ada lagi yang membukanya. Kutatap sepasang matamu lekat-lekat, kekosongan memenuhi matamu yang gelap pekat, dengan jemari panjang nan kering, dan wajah tampan pucat pasi.
Tiba-tiba angin musim gugur menyelinap masuk, mengelus rambutmu yang kelam, dan menghantarkan beberapa daun maple kering ke lantai kamar; merah dan jingga, seperti warna kesukaan seseorang yang kini telah tiada.

Hening mendera udara, dan dingin menusuk raga. Tapi, tetap saja kau tetap terjaga, bahkan ketika bulan kembali ke peraduan, atau ketika matahari telah tenggelam. Waktu boleh berlari, tapi kau terus diam. Terperangkap pada masa, tempat dan perasaan yang sama. Menunggu, kapankah jendela itu kembali terbuka? Berharap siluet seorang pemuda mondar-mandir sambil bersiul muncul, lalu membuka tirai kamarnya sambil nyengir. Menyapa, “Selamat pagi!”

Tapi pada kenangan itulah jiwamu terkunci, dan di sana pula aku berada. Menemanimu, tak peduli waktu dan tempat, menggenggam tanganmu, merengkuh dan menjadi wadah setiap tetes kegelapan dan rasa sakit. Tidak apa-apa. Aku akan tetap di sisimu meski hidup atau mati. Sekali pun kau tidak bicara padaku, atau membalas tatapanku. Tapi, aku tahu, kau mendengar, sekali pun itu hanya serentetan omong kosong.

--

Hari itu, aku ada di sana, berdiri dalam ruang gelap yang pengap. Melihatmu membuka pintu dengan wajah kuyup oleh keringat, dada kembang-kempis dan mata membelalak. Namun, hanya dalam satu sekon jarak, napasmu tercekat, serta waktu seolah tak lagi bergerak.

Siang yang terik itu, kau melihat dengan mata kepala aendiri bagaimana sahabatmu gantung diri. Mati. Yang tersisa hanya air seni yang menggenangi lantai kamar yang setengah berdebu, dan surat “selamat tinggal” yang ia tinggalkan di ranjangnya yang berantakan.

Kau jatuh. Nyaris pingsan. Berlagak seolah aku tidak ada. Padahal bisa saja kau menuduhku membunuhnya, memaksanya bunuh diri. Tapi tidak, kau justru menyalahkan dirimu sendiri.

Sejak awal, aku mungkin sekadar ilusi bagi sebagian orang, meski aku sama nyatanya dengan udara. Pura-puralah menganggapku fana, agar aku bisa mati dimakan waktu. Kenyataannya, aku hanya tidur, di bawah kenangan-kenangan baru, dan menunggu untuk bangun.

Dan di sinilah kau dan aku terkunci, pada ingatan menyakitkan yang tak akan pernah bisa diputar ulang. Pada rasa sakit yang kau percaya tak akan pernah bisa dihilangkan. Aku akan menemanimu sampai ajal menjemputmu sebagaimana aku yang setia menemaninya sampai akhir hayatnya.

“Kau merindukannya, kan?”

Kau diam. Tapi aku tersenyum, karena aku tahu kau mendengarkan.

“Dia masih di sana.”

Aku menunjuk pada jendela yang tertutup di seberang.

“Dia selalu di sana—“ dan mengoceh omong kosong yang sama, “—menunggumu.”

Kau bangkit dari ranjang, melangkah perlahan dalam tuntunan.

Dalam bayanganmu, dia sedang duduk di jendela kamarnya, seperti malam-malam biasanya. Menyadarkan punggungnya yang bungkuk pada kusen, dengan jari tengah dan telunjuk mengapit sebatang tembakau yang mengepul.

“Kau merokok?”

Ingatan itu berkelebat lagi, saat kau pertama kali memergokinya.

“Hmm. Kau mau coba?”

Kau menggeleng. “Bagaimana kalau ayahmu tahu?”

“Kau bercanda, ‘kan? Dia sudah tidak pernah pulang.”

“Dia hanya sibuk.”

Itu adalah kode pertama bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Bahwa ia telah menanggung beban yang tak bisa ditanggungnya. Kau menganggapnya kuat. Kau menepis rasa khawatir dan kepedulianmu karena waktu ujian telah dekat.

Ada lebih banyak tanda setelah itu, seperti bagaimana ia lebih banyak diam, atau caranya memandangmu seolah ada ribuan rahasia yang ingin ia ungkapkan. Tapi, dia hanya akan tersenyum. Berpura-pura bahagia, menyembunyikanku dengan sikap pura-pura ceria.

Kau memang bodoh. Atau, kau memang egois. Dia pergi karena dia yakin kau tak lagi peduli. Dia mati karena ia menganggap kau tak menginginkannya lagi. Ini bukan salahku, karena aku terlahir dari segala apa yang ia tumpuk dan pendam, apa yang ia tekan dan kubur, sampai di titik, ia muak denganku, dan ingin berpisah denganku dengan caranya sendiri; dengan bunuh diri.

Ketika tersadar, kedua tungkaimu telah mengambang di udara, dengan kedua tangan yang lemah berpegang pada kusen jendela. Kau menatap sedih ke pekarangan rumah, karena seumpama kau jatuh, kau tidak akan pernah menyusulnya. Pikiran itu terus menggerayangimu, dan aku terus membisikkan omong kosong itu padamu; bahwa dia di sini, menunggumu.
Di saat itu, pintu kamar membuka, dan kakak lelakimu menatapmu dengan sepasang mata membelalak. Berlari ke arahmu, dan menarikmu ke dalam rengkuhannya.

Tapi, kau tak bisa merasakan apa-apa, karena kau tak ada di sini. Kita masih terperangkap pada waktu dan masa yang lampau. Meski kakakmu menangis tersedu, dan bagaimana belah bibirnya mengucap namamu dengan putus asa, nyatanya kau kini hanya raga yang hidup dengan jiwa yang mati. Atau setidaknya, jiwamu tidak hidup pada masa ini.

--

Aku tak ingat bagaimana kita tertidur, namun ketika membuka mata, kau pun sadar bahwa jendela kamarmu tak lagi terbuka. Kau berlari ke arahnya seolah itu adalah kantung udara; dengan sesak dan tergopoh kau mendekat. Tapi, tidak peduli seberapa kuat, daun jendela itu tak juga bergerak.

“Buka!” teriakan itulah yang keluar dari mulutmu setelah sekian lama. “Buka, buka, buka!”

Apa yang bisa aku lakukan? Yang aku bisa hanya merengkuhmu sebagaimana aku merengkuhnya, meski kau meraung, dan mulai meraih apa pun untuk kau lemparkan. Napasmu mulai pendek, dan dengan usaha terakhir, nyaris putus asa, kau lemparkan vas bunga di atas meja ke arah jendela.
Lalu, kau tidak melihat apa-apa.

--

Hal pertama yang kau dengar adalah serak tangis ibumu yang berdiri di balik tirai putih. Bau menyengat obat-obatan menyergap, dan lampu bercahaya putih menyilaukanmu sampai kau tak berani membuka mata, tapi hal yang kau tangkap selanjutnya adalah siluet ibu dan kakakmu yang saling memeluk dan menguatkan.

“Bagaimana kalau adikmu bunuh diri? Bagaimana Ibu harus hidup? Ibu hanya punya kalian.”

Rintihan itu keluar kembali dari bibir ibumu yang kini telah menua. Kalimatnya mengingatkanmu dengan masa-masa kelam di mana ayah kalian meninggalkan dunia dalam kecelakaan. Lalu, gambaran ibumu yang berdiri dengan gaun hitamnya di samping pemakaman. Ia tidak bicara, namun dengan erat menggenggam tangan-tangan kecil kalian.

Kau melihat tanganmu. Ada selang infus yang memiliki jejak-jejak darah di sana. Dan untuk pertama kali dalam seumur hidupku, ada seseorang yang akhirnya menerima keberadaanku.

“Tidak apa-apa,” katamu dalam tundukan yang dalam. “Aku telah menerimamu; menerima rasa sedih, kehilangan dan rasa sakit ini. Kau adalah aku, kan?”

Lalu, kepalamu menegak. Matamu yang gelap tak lagi kosong. Ada kekuatan di sana, dan keikhlasan yang dulunya tak bisa kucari di mana-mana. Aku tersenyum. Merasa bahagia.

“Terima kasih.”

Pada titik ini, aku tahu, segera, aku akan tertidur lagi, karena aku tidak akan pernah pergi, atau bahkan mati. Karena kau adalah aku, dan aku adalah kau. Aku adalah apa yang terlahir dari dalam hatimu, yang membuatmu mengerti apa itu rasa sakit, dan mengajarkanmu bagaimana seharusnya bangkit.

--

Jawaban : Depresi, mental ilness

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top