Teman Sejati

Ibu dan nenek bilang, aku anak yang baik, jadi kupikir semuanya pasti senang bermain denganku. Tapi kenapa, ternyata semuanya membenciku? Padahal aku tidak berbuat jahat pada mereka. Aku jadi sedih. Meskipun aku tahu, aku ….

Setiap hari, aku hanya memperhatikan anak-anak lain bermain dari tempatku dan membayangkan aku bergerak dengan bebas dan tertawa bersama mereka.

"Aw," kata seorang bocah sambil menekan bagian sisi tubuhnya yang terluka di sampingku. Dia menatap tajam ke arahku, lalu pergi tanpa meninggalkan sepatah kata.

"Jangan pergi, sini biar kuobati dulu."

"AAAAAA …." Bocah itu semakin menjauh—kembali ke tempat teman-temannya dan membisikan sesuatu.

"Dasar anak penyihir!" sentak satu anak bertubuh tinggi kurus.

"Huuuuu," tambah anak bermulut mirip terompet.

"Wuuuu. Anak penyihir," sahut yang lain.

Kenapa, kenapa … padahal aku tidak melakukan apa-apa.

*

Tuk tuk tuk.

Pria berkepala bunga berjalan menyamping di depanku seperti biasanya. Artinya, hari sudah sore dan aku harus segera tidur. Tapi bagaimana ya, jika aku tidak tidur malam ini?

Perlahan, tempat yang tidak begitu terang ini menggelap. Aku mulai kesulitan melihat. Tapi, tidak lama kemudian, sekumpulan makhluk bertubuh terang datang melewatiku.

Mereka berwarna warni. Dari hijau sampai merah muda dan ungu. Cantik sekali. Andai saja aku tidak tidur malam ini, aku pasti tidak tahu ada makhluk seunik mereka.

Indahnya.

Makhluk-makhluk itu datang silih berganti sampai aku tak sadar hari sudah sangat malam. Tapi bagaimana kalau mereka datang lagi? Aku … hoaamm … masih … mau melihatnya.

*

"Permi …."

"Per … si."

Siapa … pagi-pagi …. begini, mengganggu tidurku. Aku masih mau beristirahat … sebentar lagi.

"Selamat pagi," katanya tepat di sampingku.

"Pagi!" balasku lantang.

Dekat sekali. Aku jadi kaget. Memangnya dia tidak takut apa.

"Halo," kata yang paling besar berbasa-basi. "Wah. Kamu putrinya (xxx) ya! Sudah besar ya sekarang."

Siapa sih? Aku tidak kenal.

"Ini Om dan keluarga, dulu pernah dikasih tempat tinggal sama keluargamu. Terima kasih, ya," katanya. "Ibunya ada?"

"Tidak ada."

Dengan wajah kaget, pria tadi bergerak ke belakang lalu kembali ke hadapanku tak lama kemudian.

"Kami terlambat. Maaf."

"Kenapa Om minta maaf?" tanyaku.

Pria itu tidak membalas dan malah berbalik sambil memeluk pasangan dan anak-anaknya.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Siapa mereka?

"Kamu tahu (xxx) yang dulu tinggal di sini? Yang tubuh sebelah kirinya terluka? Di mana dia?" tanya pria tadi sambil mengusap ingus.

"Tidak tahu."

Pria itu menghela napas panjang. Ia lalu mengucapkan terima kasih kepadaku dan pergi.

Tidak lama, sebelum keluarga unik yang belum pernah kulihat itu pergi, satu wanita tetangga mendatangi mereka dan membawanya masuk ke rumahnya.

Aku terus memperhatikan keluarga baru itu sampai tak sadar beberapa anaknya tengah menatap ke arahku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

"Pak! Bu! Anak-anak kalian ketinggalan!"

*

"Hei! Berhenti bermain dengan rambutku!"

Kudengar anak-anak di belakang tak menghiraukan karena suara tertawa mereka semakin keras.

"Ahahaha, akhirnya mereka kembali," bibiku berkata.

"Mereka siapa?" tanyaku.

"Mereka nggak pergi begitu lama. Kamu ini kenapa pelupa sekali, sih. Mereka, loh. Yang pernah memberi kita hadiah."

"Hah? Siapa?"

Belum sempat bibi membalas, segerombol preman berkulit hitam belang mendatangi bibi dan keluargaku yang lain dan mengelilingi kami.

Tidak … jangan ….

Ingatan masa lalu mulai muncul di kepalaku. Mereka… mereka yang membunuh ibu! Tolong, siapapun, bantu kami.

Semuanya menatap kaget pada kami tanpa ada satupun yang menolong.

Jangan bilang akan terjadi lagi hal seperti masa lalu.

Kurasakan ikatan anak-anak mulai melonggar—kulihat mereka bergerak cepat, bersama-sama melawan tiga preman yang berdiri mengelilingi masing-masing dari kami.

Orang tuanya datang dan melakukan hal yang sama sampai para preman itu pergi menjauh. Beruntung kami tidak terluka begitu parah, meskipun mungkin kami tidak akan bisa berwujud sama seperti sebelumnya.

"Terima kasih banyak!" seru keluargaku (para orang tua).

"Terima kasih banyak!" seruku dan bocah-bocah dari keluargaku yang juga (pastinya) tidak mengerti.

Kulihat, tidak lama setelah itu, mereka—ibu bapak—yang sepertinya akan jadi tetangga baru kami—mengobrol dengan kakek dan para orang tua dalam waktu yang lama.

Anak-anaknya masih di sini—bergerak kesana-kemari—memutariku dan memainkan rambut panjangku.

"Hei, lihat. Mereka membawa sesuatu!" kata satu bocah, memperhatikan anak-anak kemarin sedang bermain—mereka lalu mendatanginya.

"Hei, tadi kamu main sama si anak penyihir, ya? Kok bisa sih nggak kena sihir dia?" tanya satu anak yang bertubuh gepeng.

"Memangnya dia penyihir? Aku dari dulu main sama yang kayak dia, tuh. Nggak kenapa-napa."

"Mungkin belum, tapi nanti kamu bakal tau gimana berbahayanya dia." anak bergaris tiga menatapku nyalang. Ia lalu mengajak anak-anak tadi pergi bermain di tempat biasanya—tidak jauh, namun tepat di depanku.

Sampai sore, semuanya main terus, tapi begitu anak-anak tetangga baru itu kembali, mereka kelihatan sedih. Lantas, aku bertanya.

"Katanya aku tidak seru, hueee."

"Iya, mereka bilang aku juga tidak seru. Hueeee," tambah yang lain dan satu persatu mulai merengek dan aku jadi ikut sedih.

Tanpa sadar kami jadi menangis bersama-sama.

*

Hari sudah malam dan aku berniat untuk tidak tidur lagi.

Aku menunggu dengan tenang, namun sesuatu bergerak dari rambut-rambutku.

"Kata ayah, di perjalanan kemarin, dulu, kami, ayah, ibu, aku, dan adik-adikku yang masih berada di perut ibu, memang tinggal di sini. Sampai pada suatu hari, ayahku sakit keras dan harus pergi berobat.

Aku lahir di daerah lain dengan ibu yang suka pergi-pergian mengurus ayah. Kami besar di sana sampai ayah sembuh beberapa bulan kemudian.

Rumah kami yang dulu jauh sekali. Sampai-sampai aku tidak ingat berapa hari perjalanan untuk kami sampai ke sini."

Satu anak yang keluar dari rambutku tiba-tiba bercerita panjang, tapi aku bingung harus membalas apa.

"Kamu bingung, ya? Aku juga sama. Waktu itu aku baru pulang main, tiba-tiba ibu bilang kalau kita akan pindah rumah tiga hari lagi. Aku kaget."

"Ceritanya panjang, jadi harus tanya orang tua. Biasanya orang tua tahu banyak cerita-cerita," katanya.

"Iya, aku sudah dengar dari Bibi. Tapi aku tidak mengerti semuanya. Yang kupahami hanya kalian adalah sahabat kami, yang membantu kami saat sulit dulu. Terima kasih, ya."

"Terima kasihnya harus sama ayah, ibu, sama Om dan Bibi juga. Tapi katanya Om diculik makhluk aneh dengan kulit hitam dengan mata dan punggung yang menonjol."

Tidak lama kemudian, kelompok bersinar kemarin datang lagi. Namun kali ini, aku tidak menontonnya sendiri, tapi dengan makhluk yang baru kuketahui jenisnya hari ini.

"Cantik, ya," kataku tanpa sadar.

"Iya, cantik. Besok lihat lagi, ya!" ucap anak itu sebelum kembali bersembunyi di balik rambutku.

Setiap malam kami jadi sering mengobrol sambil melihat makhluk-makhluk indah di atas kami. Perlahan, aku mulai mengenalnya. Ia anak yang banyak bicara dan tidak mudah menyerah.

Ia selalu mengajak saudara-saudaranya bermain dengan anak-anak lain, meskipun selalu menangis saat pulang.

Katanya, "mungkin mereka belum mengerti kamu, jadi mereka takut. Kayak mereka belum kenal aku soalnya aku orang baru di sini."

Hari-hari berlalu. Anak laki-laki itu kini tidak lagi menangis saat pulang. Lalu, hari-hari berlalu lagi dan ia membawa anak-anak yang dulu merundungku pulang.

"Ini temanku," katanya menunjukku. "Dia teman ngobrol yang asik dan suka memberiku makanan enak!"

"Ini juga teman-temanku," katanya menunjuk anak-anak lain yang menatapnya dengan aneh. "Mereka seru. Meskipun awalnya tidak tahu aku, mereka mau mencoba berteman dan akhirnya kita bisa main sama-sama."

Dia memegangi rambutku dan satu di antara mereka—yang paling dekat dengannya.

"Jadi, kuharap kalian juga bisa berteman, seperti aku dan kalian berteman. Jadi, kita bisa main sama-sama juga."

Anak-anak itu saling bertatapan dan pamit pulang tanpa bicara lagi. Setelah itu, aku tidak melihat mereka bermain lagi selama beberapa hari.

Aku jadi merasa bersalah. Jadi, aku mau minta maaf. Tapi sebelum itu, anak tipis berwarna merah mendatangiku, diikuti oleh anak-anak lain.

"K-kami mau temenan sama kamu. Asal rambutmu jangan berenang sembarangan biar kami nggak kesetrum!"

"Iya. Pasti!" kataku langsung.

Teman baru!

Aku tidak menyangka hari ini akan datang.

Anak berwarna oranye lalu keluar dari rambutku dan berkata. "Jadi kita main sama-sama ya mulai hari ini!"

————————
ANEMON LAUT
——————————

*

Terima kasih sudah membaca karyaku.

Sedikit curhat, aku jadi kepikiran nasib anemon yang ditinggalin Nemo dan ayahnya. Semoga mereka nggak diserang ikan kupu-kupu selama Marlin mencari Nemo ㅠㅠ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top