Susan Kena Audit
Seseorang pernah menyekap di dalam tempat sempit dan gelap, lalu menyiksaku. Rambut hitam lembut, dicukur paksa di beberapa bagian tanpa aturan dan meninggalkan luka akibat pisau cukur tajam.
Ia tidak mengindahkan suara serak yang memintanya berhenti. Hingga aku melihat secercah harapan, ketika pintu lupa ia tutup--sewaktu dirinya pergi--dan meninggalkanku sendirian, hampir tanpa daya diri berjalan terseok dan kabur.
Aku datang ke tempat ini bukan karena kemauan diri sendiri, langkah kaki lemas membawa tanpa tujuan dan berakhir di depan gerbang pelabuhan. Untung saja, tempat ini begitu luas. Aku tak perlu takut akan gelap dan tempat kedap lagi. Aku bebas dan tertidur di bawah kursi panjang.
Rasa lapar membangunkan diri ini. Baru sadar aku belum makan sejak kemarin. Orang tak berperikemanusiaan itu, hanya memberikanku makanan basi sehari sekali. Jangan harap ada camilan dan air bersih, tubuh penuh luka adalah jawaban kekejamannya.
Aku kembali berjalan menyusuri jalan panjang dan lurus, terik matahari membuat lidah terasa kering. Namun, jalan di depan begitu panjang dan belum kutemukan tempat berlindung. Sesekali aku berhenti di bawah rindang pohon glodokan, sekadar melepas penat sebentar saja sebelum lanjut mencari tempat aman untuk diri.
"Haus!" Ingin menjerit, tetapi itu hal yang melelahkan. Aku butuh banyak tenaga untuk melakukannya.
Aku kembali berjalan dan untungnya menemukan kubangan sisa air hujan yang tumpah semalam. Diri ini terpaksa meredakan dahaga dari air tak steril demi bertahan hidup. Tak ada pilihan lain, bukan?
"Kalau saja aku memilih tuan yang lebih manusiawi, mungkin nasibku tak akan seperti sekarang."
Percuma sebenarnya menyesali diri, sudahlah! Masa lalu hanya perlu dikubur, iya, kan? Aku terus berjalan, pelabuhan itu memiliki banyak kapal yang bersandar di tepiannya. Sebuah kapal tampak begitu besar, dari dalamnya tercium harum masakan yang membuat cacing dalam perut berontak minta diperhatikan.
Akan tetapi, tangga menuju kapal tersebut bukanlah undakan yang mudah dinaiki. Tangganya adalah jenis tangga yang disebut mereka sebagai "tangga monyet", kalian paham, kan? Bagaimana aku bisa menaikinya dengan tubuh lemah seperti sekarang? Belum lagi laut dalam nan biru seakan menatap mengerikan, siapa yang bisa menolongku jika jatuh? Atau tepatnya, siapa yang mau mempertaruhkan nyawanya untuk diri ini?
Syukur kalau ditemukan dan dikubur baik-baik, bagaimana jika aku jadi makanan ikan? Bukankah itu tragis, aku menjadi makanan hewan yang pernah aku makan. Tidak! Ke mana perginya harga diriku?
"Heh! Harga diri? Aku omnivora sejati, mungkin bisa membuat perjanjian dengan si ikan aku akan makan lauk lain saja. Siapa tahu si ikan membantuku kembali ke darat. Tempat di mana diriku seharusnya berada, air memang semengerikan itu."
Aku terkekeh meski lirih. Boleh saja, kan, bercanda meski kematian sudah dekat?
Sedetik kemudian aku pun meneguk saliva, tenggorokan ini begitu kering. Tertawa ternyata membuang energi. Padahal tawa katanya menyehatkan. Huh! Lalu diri ini harus bagaimana?
"Ya, Tuhan. Tidak adakah tempat yang bisa dijadikan tempatku bernaung?"
Aku pun tak sanggup lagi, terlalu lelah berjalan. Diri ini mungkin akan menemui ajalnya segera. Menyerah mungkin lebih baik, sebab berusaha pun sudah tak sanggup.
"Tuhan, bolehkah aku meminta diselamatkan? Atau, kau begitu murkanya karena diri ini pernah mencuri, begitukah? Ampuni aku, Tuhan."
Kemudian, daya telah habis. Aku pingsan sebab kelelahan yang amat sangat.
Selamat tinggal dunia fana, aku akan menjadi tanah di surga-Nya.
***
Diri ini merasakan elusan lembut dari tangan seseorang yang memanggilku penuh rasa sayang.
"Susan, bangunlah! Sarapan dulu."
Ah, rupanya tadi itu mimpi. Memoriku saat diri belum diterima di lingkungan baru ini, rupanya terlalu menyakitkan sampai tersimpan dalam alam bawah sadar dan terulang dalam mimpi mengerikan.
Untung saja aku ke mari, tempat yang kuanggap sebagai rumah yang aman dan nyaman. Lukaku dirawat dan telah sembuh mengering, bekas carutnya sudah tertutup rambut yang kembali lebat. Tetap lembut dan hitam mengkilat. Bahagianya.
"Hari ini ada audit, kamu yang tenang di sini. Jangan bikin ulah."
Wanita yang berkata ini, bagai seorang ibu untukku. Ia memang tak selalu memberi makanan, sebab aku tahu ia memiliki anak lain yang harus diurus. Namun, tempat baruku sangat menyenangkan. Senang bukan main ada di sini.
Aku bebas berjalan ke mana aku mau, mereka tak pernah menghardik, mengusir, atau menendangku keluar. Semua orang di kantor itu sangat baik, walau tidak semuanya. Ada beberapa yang masih meragukan kebersihanku. Padahal mereka tahu aku selalu mandi setiap hari. Lebih sering dari yang mereka lihat. Aku juga suka berjemur, tubuhku lebih sehat dari mereka yang enggan berolahraga.
Namun, sudahlah! Aku akan fokus suka dengan yang menyayangi saja. Tak mungkin aku meladeni semua netijen julid, bukan?
Eh, ada sosok tampan yang melihatku sejak tadi. Menggodaku setiap hari, sampai aku luluh dan menjadi kekasihnya. Senangnya aku di sini.
"Susan!" panggil Ibu. Ia membawa sebungkus makanan di dalam tangkupan jemarinya. Sudah waktunya makan siang.
Sosok hitam-putih itu menatapku, sampai diri lenyap sambil berjalan--bak peragawati dalam sebuah fashion show--mendekati ibu angkatku. Kita akan ketemu lagi nanti, ya, tampan.
Ia mengangguk seakan mengiakan dengan matanya yang berkilat.
"Susan harus hati-hati, aku dengar auditornya tidak menyukaimu. Kau bisa jadi temuan dan merugikan. Tapi, tenang saja. Asal kau tenang, kita pasti akan baik-baik saja."
Auditor yang dibicarakan Ibu memang sangat galak, aku tak suka dengannya. Ia selalu menatapku tajam dan sinis.
"Buang dia!"
Begitu katanya pagi tadi, tepat di depan wajahku. Seakan tak peduli dengan perasaanku yang sakit karenanya. Seperti mengulang kesedihan di masa lalu yang menjadi trauma berat untuk diri ini.
"Apa yang salah dengannya? Jangan jadikan alasan hanya karena ia pernah menolak disentuh oleh Anda, lalu ingin membuangnya. Dia tidak mengganggu siapa pun."
Ah, Pak Manajer memang baik. Ia adalah sosok panutan yang sempurna.
"Siapa yang akan menduga kalau suatu hari dirinya bisa menimbulkan kekacauan, kantor perlu kenyamanan. Dengan dia ada di sini bisa menyebabkan kurangnya nilai kenyamanan."
Ish! Dikira aku makhluk bar-bar yang tak punya kharisma apa?
"Tapi, ini tidak adil untuknya. Hampir seluruh karyawan menyukainya. Dia juga pintar menjaga diri dan tidak bertindak sembarangan."
Terima kasih, Pak. Anda memang selalu membelaku. Kemarin saja ia mentraktir dengan makanan mahal.
"Terserah! Keberadaannya akan mengurangi nilai Anda sebagai atasan di kantor ini. Saya dengar Anda juga menyukainya? Benarkah? Itukah alasannya Anda mempertahankannya di sini?"
Eh, mengapa si auditor ini menyangkut-pautkan dengan hal yang begitu. Memang apa pedulinya hubunganku dengan Pak Manajer?
"Sa-saya ... emm, saya terlalu mencintainya. Mohon maklum, tetapi saya tidak akan membuangnya setelah ini."
Ah, tak salah aku menyukainya. Pak manajer ternyata mempunyai perasaan yang sama denganku.
"Anda manajer di sini, tanggung jawab kurang besarkah sampai repot mengurusinya?"
Huh! Apakah perdebatan ini masih panjang?
"Bagi saya, dia adalah sosok yang perlu dilindungi. Itu berlaku untuk semua penghuni kantor ini. Titik!"
Dengar itu para auditor, sesama makhluk harus saling melindungi. Hablum minallah, hablum minnanas, hablum minal alam. "Barangsiapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah, maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan manusia dan alam."
"Baik, sepertinya pengurangan nilai tidak akan berarti apa-apa."
Masih ia saja bersikeras.
"Saya yakin seluruh staf telah berupaya demikian besar untuk audit ini, rasanya berkurang nilai hanya karena dirinya yang tak seberapa. Tidak akan menurunkan kinerja para karyawan di sini. Bukankah terlalu berlebihan jika Anda meributkan hal sepele ini?"
Benar itu, walaupun sebenarnya bukan urusanku. Akan tetapi, tidakkah harusnya si auditor ini melunak sedikit. Bukankah banyak hal lain yang harus lebih diperhatikan, seperti gaji timpang antara pegawai organik dan outsorching? Atau jangan-jangan kantor kami sudah sedemikian bagusnya sampai tak ada temuan berarti hingga laki-laki tambun itu terus mengusikku? Bisa jadi-bisa jadi.
Laki-laki itu berpaling, masih tak suka dengan sosok hitam manis ini yang bersandar di pintu ruangan.
"Baiklah, saya tidak akan meributkannya lagi. Asal dirinya dapat menempatkan diri dengan benar, jangan seperti tak punya harga diri dan mau dipegang siapa saja, kalau memang dia seperti itu mengapa dengan saya dia begitu sombong?"
Eyy! Makanya lembut hatilah dengan semua, jangan pilih-pilih. Kau hanya lembut dengan yang menguntungkan dirimu saja, sih, rasanya ingin kucakar wajah jeleknya.
"Tanyakan itu kepada diri Anda sendiri, saya tidak berhak menilai pribadi seseorang. Apakah Anda pernah menyakiti makhluk seimut dirinya?"
Sang manajer menatapku dengan senyum kemenangan tersungging di bibirnya.
"Kamu akan baik-baik saja, Susan. Kamu dan anak-anak."
Aku mengangguk kepada pria yang memberiku nama yang cantik. Susan.
Terima kasih, Pak. Semua perhatianmu dan semua yang menyayangiku, menjadikan diri ini sebagai salah satu dari bagian keluarga besar kantor ini.
Terima kasih, aku akan bersaksi di depan Tuhan Yang Maha Kuasa, kalian adalah orang-orang baik.
= = = = = = = =
Aku = Kucing
= = = = = = = =
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top