Kotak Waktu

Kotak Waktu

Tenang, seperti air yang menggenang
Itulah senyummu
Aku harus memberi tahu tentang itu
Karena rasa ini tak bisa dikurung selalu

Jam dinding menunjukkan pukul 10. Dalam kelas yang ramai ini, aku dihadirkan. Dia sepertinya seorang yang tidak pandai menyatakan apa yang dirasakan. Untuk itu, akulah yang menjadi perantaranya. Pena yang ia pegang bergetar, dia bahkan bingung ingin mengatakan apa. Aku menunggu dengan sabar.

Dia perlahan mengatakannya. Sambil berbisik, dia mulai menggerakkan pena. Aku mendengar dan menerima kata demi kata yang dia ucapkan pelan. Tidak ada yang menyadari. Sekelilingnya sibuk berbicara, bercanda, beberapa ada yang tidur di meja.

Dia memejamkan mata sejenak. Menghela napas. Lanjut fokus dengan penanya. Aku masih terus memperhatikannya.

Dia berhenti. Aku dimasukkan ke dalam saku bajunya. Aku menunggu. Sepertinya guru sudah masuk. Aku masih di dalam saku mendengarkan guru mengajar.

Samar-samar kudengar, “Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, sebelum semuanya menjadi penyesalan. Selama itu hal yang baik.” Aku rasa itu suara gurunya.

Jam pelajaran berakhir. Akhirnya aku keluar dari sakunya, dia berbisik di dekatku, kata-kata yang diucapkan gurunya tadi. Aku tidak mengerti.

Seorang perempuan datang menghampiri. Dia yang menggenggamku erat, kurasakan tangannya basah. Apa dia gugup? Wajahnya memerah. Kulihat peluh di dahinya. Dia menyerahkanku pada perempuan itu, sambil berkata dengan patah-patah.

“Maukah kamu menjadi pacarku?”

Aku merasakan kehangatan tangan perempuan itu dan tidak lama aku dikembalikan padanya. Kudengar samar kata maaf. Perempuan itu berlalu pergi. Aku melihat air mata menetes darinya. Membasahiku. Tak bisa kuhindari, kutampung dan berharap aku tidak rusak karena itu.

Dia kembali mengantongiku. Sepertinya dia kembali ke kelas. Sesampainya di kelas, aku melihatnya mengenakan earphone, mendengarkan lagu sambil menutup wajahnya dengan lengan juga meja. Dia tenggelam dalam luka, seseorang yang baru saja ditolak cintanya. Dia mungkin berpikir tidur bisa menyembuhkannya dari luka.

Bel berbunyi, dia masih belum terbangun dari tidurnya atau mungkin lagu yang didengarkan terlalu keras sehingga dia tidak mendengar bel berbunyi. Salah satu teman sekelas membangunkannya. Dia bilang, guru sedang menuju ke sini. Akhirnya dia bangun juga.

“Kamu sudah buat puisi belum? Hari ini ada tugas baca puisi loh,” ucap teman sekelasnya.

“Tugas baca puisi?” ucapnya.

“Iya, minggu lalu kan disuruh bikin puisi terus dibacakan di depan kelas. Kamu lupa?” ucap temannya.

“Sial, aku lupa. Duh, killer lagi guru bahasa Indonesia,” keluhnya. Temannya pun berlalu. Kini dia terlihat kebingungan. Kulihat dia mencoba menulis puisi tapi gagal. Pikirannya sepertinya tidak bisa diajak kerja sama. Wajar saja, dia baru saja merasakan pahitnya cinta ditolak.

Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. Dia menatapku. “Aku baru ingat!” ucapnya girang. Dia mengandalkanku.

Satu per satu siswa dipanggil ke depan untuk membacakan puisi. Dia menunggu dengan santai. Seolah lupa kalau dia baru saja patah hati. Ada sedikit senyum lega yang tergores di wajahnya.

Sekarang tiba giliran dia maju ke depan. Dengan penuh percaya diri, dia membacakan puisinya.

Ada yang mengganjal di hati
Namun, tidak kutemukan jawaban tentangnya
Di suatu tempat yang dekat
Terdapat dirimu

Tenang, seperti air yang menggenang
Itulah senyummu
Aku harus memberi tahu tentang itu
Karena rasa ini tak bisa dikurung selalu

Kuharap hadirnya dirimu menjadi pertanda
Bahwa cinta itu benar adanya
Bahwa keajaiban-keajaiban di dalamnya itu nyata
Bukan kiasan dalam puisi semata

Berkenan kiranya kau terima
Rasa yang kuberi nama cinta
Atas apa yang kuucapkan
Kujanjikan kau bahagia

Dariku, Untukmu
Bumi, 4 November 2022

Sebuah puisi dilepaskan dari lisan yang merindu. Lisan yang lupa caranya berucap, tentang rasa. Terlihat guru diam tak bersuara. Pena merah masih menempel pada jemarinya. Tak lama kemudian, gemuruh memuncak dari arah pendengar sekaligus penonton. Beberapa dari mereka bertepuk tangan, beberapa yang lain bersiul girang, beberapa yang lain juga berbisik satu sama lain. Entah apa yang dibicarakan.

Dia mengakhiri pembacaan puisi ini dengan ucapan terima kasih. Terlihat peluh di kepalanya, meski tak sebanyak sebelumnya. Saatnya guru mengecek tulisannya, apakah ada tanda baca atau ejaan yang tidak sesuai kaidah. Aku melihat pena merah itu merasa tegang dan sepertinya merepotkan.

Aku melihat guru itu tersenyum. Dia tidak memberikan apa pun. Lega rasanya. Mengganggu sekali jika melihat goresan itu di sini. Ah, kau melakukannya dengan baik, Nak.

“Kamu menghayati sekali tadi baca puisinya,” ucap sang guru.

“Iya, Bu. Tadi buat seseorang tapi ditolak puisinya,” ucapnya pelan.

Guru itu pun diam kembali sambil melihat ke arahku. Sepertinya dia menyadari bekas air mata yang melekat.

“Kamu hebat!” ucap sang guru sembari menepuk pundaknya. Ya, dia memang hebat. Saat seperti ini masih bisa berdiri. Kau petarung yang tahan banting. Aku menaruh simpati padamu.

“Ah, enggak apa-apa, Bu. Biasa itu sih,” ucapnya gagah. Dia pun kembali ke kursinya. Aku dibawanya. Teman-temannya banyak bertanya, puisi tadi untuk siapa? Dia tidak menjawab, hanya tersenyum dan bergurau sebisanya. Sesampainya di kursi, dia menyimpanku ke dalam tempat yang asing. Tempat yang bersih dan khusus, karena di dalam sana hanya ada aku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di sini. Rasanya sudah lama sekali, aku tidak melihatnya sejak itu. Terjebak dalam kegelapan, sampai aroma aneh mulai terasa. Aku tidak bisa menjelaskannya.

Pada akhirnya, aku menemukan cahaya kembali. Seorang wanita dewasa datang mengambilku dari tempat ini. Aku tidak tahu siapa wanita itu dan tempat ini bukan lagi di sekolah. Wanita itu membaca puisi yang sudah lama tidak dibaca. Dia tertawa terbahak-bahak dan langsung bergegas membawaku. Sepertinya dia ingin menunjukkannya pada seseorang.

Seseorang itu sudah lama kukenal. Ya, dia yang kulihat terakhir kali. Dia sudah dewasa. Sepertinya wanita itu istrinya.

“Ini apa, Sayang?” tanya istrinya yang terlihat sedang menahan tawa.

“Ah, kamu dapat dari mana?”

“Dari kotak yang ada di laci kamar kita,” jawab istrinya.

“Oh, dari sana. Sudah lama sekali ya.”

“Jadi, siapa perempuan yang ada di puisi itu?”

“Teman SMA, namanya Inara. Aku ditolak sama dia waktu itu,” jawabnya sambil tertawa.

“Cakap mana aku sama dia?”

“Jelas kamu dong!”

“Ah, gombal!”

Dia mengambilku dari tangan istrinya. Matanya berkaca-kaca. Istrinya menenangkannya.

“Pasti itu suatu yang berharga buatmu ya?” tanya istrinya.

“Ya, bukan tentang orangnya tapi kenangannya, dan ini adalah saksi dari kenangan itu. Untuk itulah aku menyimpannya.”

“Kadang memang yang bisa kita ambil dari masa lalu hanya benda-benda yang menurut orang lain tidak berharga tapi tidak bagi kita. Mau aku laminating biar awet?”

“Boleh saja. Aku juga berpikir yang sama sejak dulu, cuma tidak kesampaian.

Sekian.

Jawaban: Selembar Puisi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top