Imam Dalam Makmum


“Kalau saya mati, tolong sematkan bin di nama saya.”


*****

Entah karena mandat yang belum terucap atau masih ada kesumat, kami tetap duduk di bangku kayu taman.  Tak bisa lagi saya dengar apa yang dibawa angin atau hati yang bergetar menuturkan suara batin. Begitu hening dan terasa kosong. Sebab raga tempat saya berfungsi jantungnya sudah mati.

Ratna namanya. Sudah saya kenal jauh sebelum tubuh kecilnya bergetar dalam dekapan saya. Dialah satu-satunya yang Emak punya, sebab yang lain sudah lebih dulu menghadap Sang Kuasa. Masih saya ingat—serupa panas tinta dari canting yang mengukir bagian saya— kala angin berembus disertai rintik halus. Hari itu angin tidak hanya mengantarkan desau daun atau arus kali yang mulai deras. Dalam bisiknya angin menyelipkan gema menggelar. Bukan guntur. Suara itu berasal dari tanah—dari pinggir kali—berkali-kali, kemudian diikuti jerit tangis dan teriakan ketakutan yang belum pernah saya rasakan. Lalu, hanya tersisa Ratna yang Emak punya.

Semasa bocah, Ratna sering berpura-pura sebagai Emak. Senang dia menjadikan saya gendongan buat guling kecil lapuknya. Tubuh kurus itu digoyangkan ke kanan-kiri sembari bersenandung. Emak tak melarang. Justru terkesan senang acap kali Ratna minta ditemani bermain. Melalui sentuhan Emak yang turut saya rasakan, Emak ingin Ratna tumbuh besar dan bahagia. Namun, tidak jarang juga saya dapatkan kesedihan dan penyesalan dari Emak. Tutur hatinya yang bergetar hingga bisa saya dengar selalu menyerukan maaf tiada kira. Sudah Emak tantang kodrat Sang Pencipta untuk Ratna. Hati Emak mengaku bahwa ketakutan pada hari tragis itu masih pekat bersemayam. Emak hanya tidak ingin Ratna bernasib seperti Abah dan Aa yang mati karena mereka lelaki.

Kemudian Ratna tumbuh sebagaimana Emak semasa muda. Dia tidak lagi bermain peran sebagai Emak. Mainannya sudah berbeda. Ratna jadi sering meninggalkan saya di lemari. Meski begitu, mungkin karena saya sisa peninggalan dari Abah, acap kali malam Ratna masih sering memeluk saya. Batinnya bercerita tentang banyak lelaki yang meliriknya. Di satu malam, detak jantungnya turut berkisah. Begitu membuncah rasa yang dia punya terhadap seorang pemuda. Ratna bukan lagi bocah cilik.

Perihal takdir tak ada yang bisa mengubah, Abah pernah berkata begitu. Dulu, sewaktu telapak tangannya masih bisa mengelus saya, ada banyak harap yang dipanjat batinnya. Serupa Emak, hati Abah bergetar agar keluarganya selalu rukun, sehat, dan selamat. Namun, kejadian hari itu memberi luka yang teramat untuk Emak. Hingga Emak sering menangis kala Ratna terlelap. Sembari mengusap Ratna dan saya, dalam sesalnya, Emak masih bersikukuh merahasiakan kodrat Ratna. Padahal jelas Ratna berbeda dari para gadis di desa.

Hal itu lambat laun disadari Ratna sendiri. Dia menangis tersedu ketika tahu bahwa tidak akan pernah tumbuh payudara di dadanya. Bahwa tonjolan di lehernya tidak akan hilang. Bahwa tak akan pernah dirasanya ngilu saat darah keluar dari kelamin. Dan cintanya harus kandas. Dia menangis. Menumpahkan segala emosi ke saya. Dari pelukannya yang erat marah dan kecewa adalah perasaan paling kuat. Celah bibirnya pun terucap segala larangan dan perintah yang dulu Emak tuturkan. Bukan karena takut terseret arus dia dilarang mandi di kali. Bukan perihal aurat pula dia diminta memakai kerudung. Semua itu semata-mata agar Ratna tetap menjadi gadis seperti yang diinginkan Emak.

Apa yang dulu diharap Abah agar keluarganya tetap utuh tidak lagi bisa Emak pertahankan. Sepanjang malam dan malam-malam berikutnya Ratna tertidur sembari memeluk saya yang dibasahi air mata. Gejolak di batinnya semakin kuat, hingga saya  dan beberapa kebaya dimasukkannya ke kardus. Kami dibawa pergi. Emak sempat menahan. Telapak tangannya yang kasar menarik tali kardus. Seketika campuran berbagai perasaan membanjiri kami yang berjejal dalam kardus. Ratna masih murka. Emak terus mengiba. Namun, Emak kalah. Dibiarkanlah oleh Emak langkah Ratna keluar rumah.

Sejak itu Ratna tidak pernah pulang.

Tidak lagi saya rasakan sejuk angin bercampur embun. Angin di sini terasa terik dan bergumul dengan asap kendaraan. Mereka menyampaikan sekarang kami di kota. Tempat yang lumayan jauh dari kampung dan semua serba terdepan. Saya pun merasakan kemajuan itu. Hangat cahaya yang menerpa saya saat malam bukan lagi dari lampu minyak, melainkan sorot neon kecil di langit-langit kamar. Ratna pun bercerita soal ini, di hari saya kembali menjadi teman tidurnya. Kami sudah meninggalkan bagian yang hancur. Dia ingin mengulang kembali di tempat baru. Dengan tinggal bersama keluarga uaknya—kakak dari Abah—Ratna ingin menata hidupnya lagi.

Namun, lagi-lagi saya dijejalkan bersama kebaya ke dalam tas setelah sekian lama didiamkan Ratna dalam lemari plastik. Beberapa waktu setelah pindah, keseharian Ratna hanya mengenakan celana dan kemeja yang diberikan Uak. Dari celana dan kemeja yang turut menempati lemari, saya tahu Ratna sedang dilatih sebagaimana kodratnya. Mungkin karena tidak cocok atau Uak kelewat galak (dari kemeja saya tahu Uak yang memerintah agar Ratna tidak mengeluarkan saya untuk urusan apa pun) Ratna membawa kami pergi. Meninggalkan berlusin celana beserta kemeja, juga rumah Uak.

Belakangan saya paham bahwa memang kebebasanlah yang memancing Ratna keluar dari rumah Uak. Semula memang Ratna merasa, kalau hanya dia yang seperti ini. Memiliki tonjolan di leher, tetapi mengenakan kebaya dan bersolek. Ternyata, ada beberapa yang serupa. Mereka tinggal berkelompok dan Ratna diizinkan ikut. Ratna kemudian memanjangkan lagi rambutnya. Kembali menabur bedak di wajahnya. Kembali memoles gincu di bibirnya. Dan untuk pertama kali menggunakan saya sebagaimana mestinya.

Saya tahu Ratna akan banyak yang mengincar. Embusan angin tak henti berkabar tentang berapa banyak mata yang terpikat elok wajah Ratna. Mereka tak peduli dengan suara melengking Ratna kala bernyanyi. Mereka juga tak acuh terhadap tonjolan di leher Ratna yang bergerak tiap kali dia menelan ludah. Mata mereka tersita ayu paras Ratna. Jadi, meski petikan gitar kotaknya tak seirama nyanyian, dia tetap mendapat uang.

Saya pun merasa senang sebab jantung dan nadi Ratna tak henti berdetak gembira. Beban Ratna terangkat sudah, meski di pojok hatinya masih tersimpan emosi untuk Emak. Memang sudah redam amarahnya, tetapi kecewa masih menjadi seonggok yang keras. Namun, saya tahu dari pikiran dan perasaannya, dia akan pulang. Entah kapan.

Ratna terus menggeluti pekerjaannya dengan saya yang menemani, jika tidak dijadikan  teman tidur atau sedang dijemur. Petikan gitar kotak dan suaranya kini selaras. Hanya tinggal lengking suara yang susah diatur. Biar begitu, dia tetap menjadi yang paling banyak mendapat uang. Melalui getar batinnya, saya tahu, hidup Ratna mulai tersusun rapi. Apa yang dia idamkan ketika meninggalkan rumah dan Emak sudah mulai tercetak.

Seharusnya, semua berjalan baik. Namun, seperti tutur Abah, takdir Sang Pencipta siapa yang bisa mengubah.

Ratna yang sedang berjalan pulang dihadang sekelompok lelaki berbadan besar. Mereka mengaku disuruh pemerintah. Tidak hanya uang yang dirampas, hidup Ratna pun melayang. Kami dibakar dan ditinggal.

Saya sudah menjadi milik Ratna ketika dia lahir. Mati pun saya turut serta. Kami masih duduk di bangku kayu taman, tempat biasa Ratna mengistirahatkan diri. Saya tidak tahu sudah berapa kali waktu bergulir. Kami masih gentayangan.  Sekarang pun, akan seperti yang sudah-sudah. Kami menghilang saat sebaris cahaya di timur mulai tampak, mengantarkan hangat yang dulu pernah kami rasa.

Namun, mungkin kali ini berbeda. Getar batin yang ikut mati mulai saya rasa kembali. Tidak dengan denyut jantung dan nadi, melainkan murni yang dirasa hati. Ya, hati Ratna masih hidup. Tuturnya kembali terucap. Pelan dan lamban menyerukan panggilan untuk Emak.

Mak, Ratna rindu.

Ratna sudah memaafkan Emak.

Maafkan Ratna juga, Mak.

Dan Ratna ingin kembali dipeluk Emak.

Kemudian api seperti malam itu kembali membakar kami.


*****

Kain jarit sebagai saya
Transgender (banci) sebagai Ratna

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top