Hujan Fantasi

Sudah cukup lama dia duduk di sana. Mendengarkan seseorang berbicara di layar laptop sembari mencoret-coret buku tebalnya. Sesekali dia meregangkan otot dan menguap. Sayu di mata sangat menggambarkan betapa lelah dirinya. Kalau kuingat, dia bahkan belum makan atau minum apapun sejak pagi karena seluruh atensinya hanya terfokus pada sang guru virtual.

Rambut hitam kecokelatan yang dibiarkan terurai itu bergerak kecil tertiup angin. Tidak, bukan angin dari kipas angin, melainkan angin yang masuk melalui jendela. Suara gemericik air terdengar sayup, diikuti suara gemuruh kecil. Bau tanah basah menjadi aromaterapi alami. Awan kelabu menutupi hampir seluruh langit biru di sekitar sana.

"Ini susah banget, sih!" gumamnya, mendengus kasar. Goresan pena yang teratur perlahan membentuk coretan abstrak, hampir memenuhi seisi kertas.

Membuang nafas kasar, kini dia menyandarkan punggung ke kursi, menoleh ke samping. Matanya menemukan pemandangan lain di luar sana. Dia beranjak dan duduk di mulut jendela. Meninggalkan segala kekacauan di meja belajar. Kertas dan pena yang berserakan itu mungkin berbanding lurus dengan keteraturan di dalam benaknya–berantakan.

Seolah tidak puas dengan baju yang mulai basah karena cipratan air hujan, tangannya menjulur ke depan. Setelah merasa dingin, dia turun dari jendela dan kembali ke posisi semula. Berhadapan dengan laptop, buku, dan segala kesuntukan di sana. Namun, sebelum meraih pena, tangannya meraihku.

"Ayo kita keluar sebentar," ujarnya sambil memelukku, berlari keluar rumah.

Sudah kubilang tadi kalau di luar sedang hujan, bukan? Aku tidak menyangka dia mengajakku bermain hujan sekarang. Padahal tadi malam dia baru sembuh dari demam. Bagaimana kalau sakit lagi? Kenapa dia sangat tidak perhatian terhadap kesehatannya sendiri? Bahkan untuk makan saja telat. Aku sangat mengkhawatirkannya, tapi tidak bisa mengatakan secara langsung. Dia tidak akan mengerti apa yang kukatakan. Atau lebih tepatnya tidak akan pernah menurutiku.

"Hujan, hujan, hujan."

Aku tidak ingat berapa usianya, tapi seharusnya sudah bukan anak kecil lagi. Tidak seharusnya dia segirang ini bermain hujan.

Dengan posisi masih berada di dekapannya, sangat sulit untuk bergerak. Tolonglah, aku benci rintik-rintik air yang mulai memenuhi sela-sela buluku. Namun, jangankan berpikir untuk melompat, melihat apa yang ada di depan saja tidak bisa. Sejak tadi pandanganku hanya tampak sekelebat warna putih dan kelabu. Dunia serasa berputar. Dunia memang berputar, tapi kali ini berputar lebih cepat.

"Hujan membasahi kita! Kamu seneng, 'kan, Black? Aku seneng banget!"

Persetan, apanya yang menyenangkan dengan sekelebat bayangan rumah dan jalan aspal? Siapa saja tolong hentikan manusia satu ini! Aku tidak tahan. Rasanya ikan lele yang tadi kumakan akan melompat lagi keluar dari perut. Ayolah—

"Waaa!"

Gruduk! Gruduk! Gruduk!

Dukkkk!

Apa ini? Sesaat kurasa punggungku menyentuh aspal dan berputar-putar sebelum akhirnya menabrak sesuatu. Apa yang terjadi? Aku tidak dapat merasakan apa-apa. Pandangan juga dipenuhi kunang-kunang yang entah berasal dari mana. Tunggu, sejak kapan di kota ada kunang-kunang? Apakah mereka bermigrasi?

"Black, syukurlah kamu baik-baik aja."

Satu detik, dua detik. Akhirnya pandanganku tidak buram lagi. Rupanya tubuhku masih ada dalam dekapannya. Hanya saja, sejak tadi ada bau aneh menyengat. Bau yang cukup familier, antara manis dan amis. Itu adalah… susu vanila! Hei, kenapa ada kolam susu di sana? Sejak kapan?

"Black, lihat! Di sama ada kolam susu!"

Dia menghampiri kolam itu, berjongkok di pinggirnya. Sebelah tangannya mengambil cairan putih itu. Langsung saja aku memukul tangannya dan berhasil, air itu kini tumpah membasahi wajahku. Harus disebut sial atau beruntung?

"Sabar dulu, Black! Aku harus memastikan ini air susu atau bukan. Kenapa kau sangat tidak sabaran? Nanti akan aku izinkan kau untuk minum sepuasnya, tenang saja."

Biar kutanya, manusia satu ini bodoh atau bagaimana? Sudah terlihat jelas bahwa air dalam kolam itu adalah susu. Kenapa dia harus mencicipinya? Bagaimana kalau ada racun atau obat tidur di dalamnya? Oh, ayolah. Terserah padanya saja, aku tidak peduli. Dan apa katanya tadi? Aku sangat tidak ingin minum susu itu.

"Enak!" serunya setelah meneguk susu dari telapak tangan. "Kamu mau minum juga, Black?"

Kelakuan gadis ini sangat tidak etis—jorok. Menawari minum dengan telapak tangannya, memangnya dia pikir dirinya sudah mencuci tangan? Entahlah, aku tidak mengerti lagi. Daripada aku harus minum dari tangan kotornya, lebih baik kuminum langsung saja dari kolam. Melompat ke tanah—

Crackk!

—bunyi seperti biskuit yang renyah itu terdengar tepat setelah kakiku menyentuhnya. Memangnya tanah serapuh itu, ya? Entahlah, biarkan saja. Kudekati kolam itu, bau susunya semakin kuat. Kujulurkan lidah untuk mencicipi terlebih dahulu. Tidak buruk, rasanya lebih baik daripada air tawar yang biasa disajikan gadis itu di rumah. Oh, benar, jangan bandingkan susu dengan air sumur.

"Enak, 'kan?" tanya gadis itu sambil mengelus-elus kepalaku, tidak luput dari memainkan telinga panjangku. Yah, harus kuakui susunya memang enak. Tidak terlalu manis, tidak tawar juga.

"Minum yang banyak, Black. Kamu pasti lapar. Aku baru tahu kalau kamu suka susu. Lain kali aku kasih kamu susu, ya?"

Diangkatnya tubuhku, kembali ke dekapannya. Lalu, dia berkata, "Ayo kita pulang. Tapi, kamu tau gak kita dimana? Kayaknya kita tersesat."

Benar juga, kalau diperhatikan, dunia ini sangat berbeda. Langit berwarna merah muda dengan awan warna-warni seperti permen kapas. Tanahnya juga sangat tidak lazim karena memiliki tampak seperti biskuit coklat, lengkap dengan bebatuan warna hitam atau mungkin itu adalah choco chips.

Kami sama-sama memandangi langit. Butiran bulat kecil warna-warni mulai berjatuhan dari permen kapas—awan—itu. Butiran itu seperti salju, tapi tampak lebih ringan. Dia menjulurkan lidahnya dengan mulut terbuka lebar. Tidak lama kemudian, butiran berwarna merah muda jatuh tepat di lidahnya.

"Manis! Ini marshmallow! Hujan marshmallow!"

Sebelah tangannya mulai menangkap beberapa marshmallow yang jatuh itu. Ekspresi bahagianya ketika menelan benda itu sangat terlihat jelas. Senyum itu… sudah cukup lama tak tampak di wajahnya. Sepertinya hujan marshmallow yang aneh ini telah membawa kebahagiaan. Aku jadi ingin mencobanya, tapi tidak bisa, itu bukan makanan untukku.

"Black, kamu mau?"

Tidak, terima kasih. Makan saja sepuasnya dan jangan tawarkan apapun padaku. Memangnya dia tidak ingat kalau aku tidak memakan makanan manusia? Atau dia sengaja melakukannya? Ah, andai saja ada sihir yang dapat mengubahku menjadi manusia. Omong-omong, meski dia memanggilku 'Black', sebenarnya aku ini bukan pejantan. Hanya karena sebagian besar buluku berwarna hitam dia langsung memanggilku dengan sebutan 'Black' tanpa mencari tahu lebih lanjut. Yah, sudahlah.

"Black, dunia ini aneh. Kok, bisa ada hujan marshmallow, ya? Aku ingin menjelajahi dunia ini lebih lanjut. Apa kamu masih ingin bersamaku, Black?"

Aku hanya menggerakkan dua telinga panjangku sebagai isyarat. Memangnya aku harus bersama siapa kalau bukan dengannya?

"Yay! Ayo, kita lihat hutan di sana!"


Kunci jawaban: kelinci🐰

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top