Cerita SMA
Wah .... Asyik, dia marah!
"Jijik, tau nggak? Berenti ngikutin gue! Mending lo cari cewek lain yang bisa lo ajak ke mana-mana." Setelah mengatakannya, cewek itu pergi sambil mengentakkan kaki sampai kupikir dia bakalan mengalami patah tulang atau apalah.
Sementara si cowok, masih tercengang. Barangkali dia tengah memikirkan perbuatannya selama ini pada si cewek. Hingga sesaat kemudian, dia menyeringai. Aku bisa mendengar suara hatinya: "Liat aja nanti. Lo bakalan jadi milik gue". Iyuuuh! Psikopat macam apa ini?!
Mereka masih SMA. Remaja kurang imut yang wajar saja memiliki masalah dalam percintaan sampai membuat wajah mereka berjerawat. Namun, kejanggalan di sini sungguh membuatku ingin mengajukan diri menjadi kepala sekolah, kalau bisa. Pasalnya, tempat parkir di sini penuh motor gede yang bunyinya—demi Tuhan—menyakiti telinga. Yang paling parahnya, si pemilik motor tersebut masih di bawah umur, tetapi mereka malah mendirikan geng apalah sampai penghuni sekolah takut pada mereka. Aku sungguh meragukan para petinggi sekolah!
Baiklah, kembali lagi pada si cowok psikopat yang sekarang sedang berkumpul dengan teman-temannya di pojok kantin. Ada lima orang, berseragam tidak rapi—kemeja putih yang dibiarkan terbuka sampai kutang putihnya terlihat, celana tanpa ikat pinggang, rambut berantakan macam pelakon aksi. Salah satu dari mereka bahkan memiliki tato kecil di lehernya. (Tuhan ... sepertinya hamba akan selalu menyebut nama-Mu).
Si cowok psikopat, yang kutebak sebagai pemimpin, melirik cewek incarannya yang tengah makan sambil mengobrol di kursi lain. "Gue perlu saran."
Terbatuk-batuklah si rambut ikal. Mungkin otaknya tidak bisa melahirkan saran bagus, makanya dia terlihat ogah menjawab. Yang menjawab justru si cowok bertato burung ... dara atau pipit? "Cewek, kan, banyak. Cari yang lain aja. Lagian, dia nggak cantik-cantik amat."
Si psikopat mendesah, mengigit bakwan sampai minyaknya menciprati si rambut ikal. "Gak bisa. Dia udah gue tandain."
"Angkasa Bian Zianova Pranuwijaya." Si tato mengabsen. (Namanya sungguh estetik sekali, Pembaca Budiman). "Cuma karena dia udah nolak pernyataan cinta lo, lo malah jadi kayak gini? Lagian, lo nembak, kan, cuma iseng. Ares si cecunguk ini yang nyuruh, kalo lo nggak inget."
Ares, si ikal, menyengir macam orang tolol.
"Lo pada nggak ngerasain, sih." Angkasa berkata dengan nelangsa. "Rasanya, tuh, beda. Dia nggak kayak cewek lain. Dia ... bersinar—" gelas plastik kosong menghantam kepalanya. (Bagus. Pukul dia sampai dedemitnya keluar).
Si pemukul, Zena Variano Alvarez, begitu yang tertulis di seragamnya, menyingkirkan sehelai rambut rontok dari gelas kosongnya. "Berenti ngomongin dia. Bahas yang lain aja."
Lain yang dimaksud, sama sekali bukan topik pembicaraan yang seru. Mereka saling melempar candaan, cacian, banyak kalimat tidak sopan; yang mampu membuatku mengernyit sambil mengelus dada. Si Angkasa jelas sama bosannya denganku. Dia lebih memilih memperhatikan si gebetan, menyusun banyak rencana di dalam kepalanya, hingga sesaat kemudian dia berdiri dan menghampiri si cewek.
"Apa?" Suara si cewek ketus sekali sampai bibirnya maju.
"Denger, ya, kalian semua." Angkasa malah membuat pengumuman, hingga teman-teman di pojok sana tersadar kalau satu anggotanya meninggalkan tempat.
Ajaibnya, keadaan di kantin, yang semula penuh obrolan, malah menjadi hening, memperhatikan Angkasa dengan saksama.
"Elo." Angkasa menunjuk si cewek yang muak dengan tingkah lakunya. "Andromeda Victory Arasya ...."
(Aduh! Luangkan waktuku untuk tertawa. Sebentar saja).
"Mulai hari ini lo jadi pacar gue." Putusan yang sangat ... sangat ... lawak. Orang gila macam apa yang memaksa seseorang menjadi pacarnya dengan mengumumkannya di hadapan banyak orang? Jelas ada masalah di otaknya yang kecil itu.
Andromeda, yang sedari tadi memajukan bibirnya, sekarang dia bangkit sembari menggebrak meja. Amarahnya meluap macam teko air panas sampai-sampai telunjuknya ia tusuk-tusuk di dada Angkasa. Matanya memelotot seram dan bibirnya tambah maju. "Emangnya lo siapa? Seenaknya mutusin—"
Angkasa menggenggam tangan Andromeda, barangkali dadanya mulai bolong. "Kenapa? Gue Angkasa Pranuwijaya, bisa ngelakuin apa aja semau gue. Termasuk jadiin lo pacar."
Keheningan di kantin mulai goyah. Khususnya para cewek mulai berbisik-bisik. Sementara teman-teman Andromeda masih tercengang, hanya bisa menonton saat Andromeda berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Angkasa.
"Kalo lo nolak—" Angkasa menunjuk kedua teman Andromeda yang sekarang terkesiap, menunjukkan rasa takutnya. "—sesuatu yang buruk akan terjadi ke temen-temen lo. Ingat itu, Andromeda Victory Arasya."
Kehebohan itu telah membuat seisi sekolah menaruh perhatian pada Andromeda keesokan harinya. Sebagian besar dari mereka menatapnya tidak suka, mulai bergosip bahwa ia telah melakukan sesuatu pada Angkasa. Santet, misalnya. Kesabaran Andromeda kali ini patut diacungi jempol. Dia mengabaikan semua itu, lebih memilih untuk meladeni kedua temannya yang terus-terusan minta maaf.
"Nggak papa. Bukan salah kalian, kok. Lagian, dia emang udah gila."
Cewek berambut merah pendek menggenggam tangan Andromeda. Kuku panjang berkuteknya nyaris membuatku memaki. "Kalau ada apa-apa, bilang aja."
Andromeda mengangguk sambil tersenyum.
Di saat-saat adegan drama, satu adegan drama lagi menambah suasana hatiku menjadi ingin memaki sambil menunjukkan jari tengahku. Angkasa masuk ke kelas, didampingi Ares dan Zena. Berduyun-duyun, murid-murid dari kelas lain berusaha mengintip melalui jendela, menyiagakan ponsel, siap merangkai berita besar di laman daring sekolah.
"Mau apa lo?" Ketus sekali si Andromeda ini. Layaknya sang pahlawan, dia menyiagakan tangannya di depan kedua temannya, takut-takut Angkasa melukai mereka.
Padahal, angkasa hanya ingin berbicara dengannya. "Ikut gue."
"Gak."
"Beb, please."
"Jangan panggil gue 'Beb'!" Andromeda berteriak sampai menciptakan hujan artifisial.
Otak licik Angkasa menyusun sesuatu yang tidak bagus. Dia menyeringai, memajukan wajahnya tepat di wajah Andromeda. "Ikut gue sekarang atau lo bakalan kena akibatnya."
"Apa? Gue bisa ngelindungin temen-temen gue—"
Wahai, para cowok budiman, khususnya yang masih sekolah, peliharalah akhlak kalian. Mentang-mentang kalian tampan dan berkuasa, dengan seenaknya kalian mencium anak gadis orang. Ke mana otak kalian?! (Duh, maaf. Biar aku lanjutkan).
Andromeda terkesiap begitu Angkasa mencium bibirnya. Khalayak di sekitar mulai heboh, mengambil momen ini sebagai bahan gosip di perkumpulan. Begitu kesadarannya mulai mengambil alih, Andromeda memukul dada Angkasa kuat-kuat. (Jika itu aku—amit-amit, sebenarnya—aku lebih memilih untuk menendang selangkangannya sampai mampus). Aksi tersebut jelas tidak menghasilkan apa-apa. Angkasa malah terkekeh, bahkan dengan mudah mencengkeram kedua tangan Andromeda.
"Liat? Kalo lo nggak nurut, gue bakal bikin lo nggak bisa ngomong." Setelahnya dia menyeret Andromeda yang masih dalam keadaan kesal.
Diseret cowok kuat bermodalkan perlawanan mengoceh dan mengentak-entakkan kaki jelas tidak akan bisa menyelamatkanmu. Kuanggap saja dia pasrah saat Angkasa membawanya ke pinggir lapangan basket. Mulutnya memang tidak bisa diam, banyak mengoceh tentang hal-hal yang tidak perlu. Meski begitu, Angkasa yang sudah jatuh hati, sama sekali tidak keberatan gendang telinganya kesakitan.
"Tugas lo cuma duduk. Kalo berani kabur ...." Angkasa menyentuh bibirnya. "Ingat itu baik-baik, Sayang."
"Huh! Lo nyeret gue ke sini cuma disuruh nonton beginian? Lo pikir gue gak ada urusan?" Andromeda akan bangkit dari kursi penonton jika Angkasa tidak menahannya.
"Ada, dong. Urusannya itu nonton pacar lo yang tampan ini main basket." Angkasa menyeringai.
Aku mau muntah, sumpah. Meski begitu, aku tetap memperhatikan.
Andromeda memalingkan wajahnya, merona. Kenapa pula dia merona?! Mentang-mentang Angkasa ini wajahnya cakep.
Cowok itu berdiri setelah mengecup punggung tangan Andromeda. Lantas, dia—
*****
Nah, loh?! Ada apa ini? Sedang asyik-asyiknya menyusun kalimat hujatan untuk mereka berdua, kenapa tiba-tiba mereka menghilang?!
"Kok, bisa jadi gini?" Aku mulai meraung.
"Berisik, ah!"
Kuabaikan adikku di belakang, memukul benda kotak di hadapanku dengan harapan aku bisa melanjutkan menghujat si siswa kurang ajar.
"Nanti rusak, Bego!"
"Ini udah rusak, Bego!" Saking berusaha kerasnya memukul kawan kotakku, tanganku jadi sakit. Kuputuskan untuk berhenti saja.
Di belakang, adikku mendesah berat. "Kakak pasti nggak nonton berita."
"Hah?" Aku heran. Apa hubungannya berita dengan masalahku kali ini? Mereka peramal?
Adikku berdiri, hendak masuk kamar. Sebelum itu, dia berkata, "Makanya, kerja yang bener biar bisa beli tv digital."
Dih?![]
End
Jawaban: Si kakak yang sedang menonton sinetron Cerita SMA.
PS: Efek nggak tau mau ngasih judul apa :”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top