Aku yang Dianggap Beban di Hidupnya
Halaman demi halaman buku kau buka. Dapat kulihat mata cokelat tuamu bergerak menyusuri setiap kalimat yang tercetak di atas kertas putih, dan bisa kulihat pula kerutan di keningmu. Sesekali kau memijat kening, lalu membuka halaman buku lagi. Barulah setelah menemukan apa yang kau cari, tatapanmu kini tertuju padaku dengan penuh keyakinan.
Tapi, sepersekian detik kemudian kau kembali lagi berkutat pada buku. lebih tepatnya buku yang berbeda dengan tema serupa. Lama aku perhatikan kau menyerap semua yang dituliskan di sana, lalu suara embusan napas terdengar begitu keras.
Aku tahu kau lelah, kadang aku mengharapkanmu untuk berhenti saja. Namun, tuntutan dan tekanan dari sekelilingmu yang kembali memaksa diri itu untuk kembali melakukannya. Aku tahu kau ingin berteriak sekencang mungkin, melempar kenyataan ini, dan kabur ke isekai seperti yang selalu kau tuliskan di dalam diary-mu. Tapi, nyatanya kau tidak bisa melakukan itu.
Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menghiburmu. Keberadaanku justru membuatmu tambah stres.
Oh, andai saja aku bisa memelukmu sambil membiarkan air matamu mengalir deras bagai air terjun, mungkin beban atas masalahmu bisa lebih ringan. Andai saja aku bisa mengatakan padamu, “Tak apa, aku tahu ini berat. Tapi kau tidak sendiri, dan cobalah perlahan untuk menyelesaikannya. Jangan terlalu dipaksa”, mungkin beban pikiranmu bisa sedikit berkurang.
Andai saja aku manusia, mungkin aku bisa menjadi support system-mu.
Sayang seribu sayang, diriku ada tetapi bukan seperti dirimu.
Lama aku termenung, kusadari jika layar laptopmu mati. Tidak sepenuhnya mati, sih. Hanya dalam mode sleep yang jika kursor kau gerakan, maka layarnya akan kembali menyala. Begitu kau menyadarinya, kau langsung menggeser sedikit mouse dan layar laptop kembali menyala.
Aku sadar jika buku-buku yang barusan kau baca sudah diletakan di sekelilingmu. Kali ini kau membuka internet, mengetik beberapa kata kunci, membuka sebuah situs, membaca kilat, lalu mengetik sesuatu sesuai yang ada di pikiranmu. Saat itu juga aku merasa seluruh perhatianmu teralihkan dari sekelilingmu, dan entah kenapa aku merasa senang.
Tak terasa jam dinding di sana sudah menunjukkan pukul 15.45. Kau langsung merapikan semua yang ada di sekelilingmu, lalu pergi menghilang dari pandanganku selama beberapa menit. Aku khawatir jika pikiranmu kembali ke kenyataan yang mana kau merasa terbebani atas tuntutan dan tekanan itu. Bagaimana jika kau melakukan sesuatu yang tidak-tidak? Oh, atau pada akhirnya kau memutuskan untuk membuangku demi mengurangi beban pikiran?
Namun, semua kekhawatiran itu tidaklah tepat. Kau kembali dengan wajah datar seperti biasa, lalu membawaku pulang serta beberapa barangmu lainnya. Seperti biasa setelah jam 4 sore, kau tidak akan melirikku sedikitpun. Namun, aku tahu jauh di dalam pikiranmu, aku ada di sana. Kau juga pasti memikirkanmu bersama hal-hal lainnya, kan? Sebab aku selalu memikirkanmu.
Aku sudah hapal betul kapan kau akan mengajakku, kadang berinteraksi denganku, kadang mengabaikanku sementara dirimu mengobrol dengan sesama manusia sebayamu. Tentu saja topiknya tak jauh dari membahas negara, hubungan internasional, bahkan sampai berandai-andai tentang kekasih halu yang tidak bisa dijangkau. Kau tampak bahagia, tidak seperti kemarin saat raut wajahmu menunjukkan betapa stresnya dirimu.
Malamnya, alih-alih berinteraksi denganku setelah seharian mengabaikanku, kau dengan santainya menjatuhkan tubuh ke atas kasur dengan ponsel di tangan. Namun, setelah telepon dari seseorang---entah mungkin dirimu ini sadar akan betapa pentingnya aku---kau langsung menulis sesuatu yang ditujukan padaku. Tapi itu hanya bertahan beberapa menit saja, sisanya kulihat kau melamun.
Hari demi hari, pekerjaanmu selesai dan kau mengajakku. Ekspresi wajahmu terlihat mantap dan yakin, tapi lagi-lagi hanya berlaku sesaat. Setelahnya, kau kembali melamun, meratapi nasib, dan menyalahkanku atas kondisimu saat itu.
Untungnya saja kau segera kembali ke dirimu yang lebih kusukai. Semangatmu yang luar biasa terpancar, dan aku kembali diajak berinteraksi. Sama seperti sebelumnya, kau mengajak manusia lain, tetapi kali ini untuk membahas aku.
Namun, siklus itu terus berulang bak tiada habisnya. Sampai-sampai aku sendiri lelah, dan tidak mau berandai-andai lagi.
Setelah aku tak mengharapkan apa-apa lagi, kau malah kabur bersama fokus barumu yang jauh lebih menyenangkan dariku. Hampir setiap jam kau menghabiskan waktumu dengannya, bahkan sampai memasukkan dia ke dalam story media sosialmu. Kau juga memajangnya di sosial media, dan membahasnya dengan manusia lain.
Apa sebegitu muaknya dirimu padaku sampai-sampai kau selingkuh?
Padahal jikalau ditanya urgensinya, akulah yang lebih penting daripada ‘dia’ yang bisa kau temui kapan saja. Namun, mungkin ‘dia’ lebih bisa membuat bahagia, dan aku tak bisa berbuat banyak selain mengharapkanmu tetap di dalam kebahagianmu.
Di tengah tumpukan yang tak terlihat oleh matamu, kecuali kau menggesernya ke bawah. Aku tengah memperhatikanmu yang berpura-pura fokus, sebelum teralihkan pada ponselmu. Akan tetapi, aku tetap berpikiran positif kau pasti akan kembali mencariku. Karena aku tidak akan bisa kau lupakan, kecuali kau menuntaskan janjimu pada dirimu sendiri.
Sesuai dengan prediksiku, setelah lama kau tidak bertemu denganku, akhirnya kau menggeser bagian bawah tumpukan benda-benda serupa diriku yang belum sempurna ini. Kita kembali berinteraksi, dan wajahmu terlihat lebih fresh dari sebelumnya. Kau tengah memulai awalmu yang baru.
Kata demi kata kau ketikkan untukku. Mau salah atau tidak, yang penting jadwalmu denganku hari ini terpenuhi. Setelah itu, kau akan kembali bersama kesenanganmu atau berinteraksi dengan manusia lain.
Hari demi hari berganti, dan aku semakin tumbuh nyaris sempurna untuk jenisku sendiri. Hari demi hari pula aku bisa melihatmu mengeluh dan terus mengeluh, sakit, bahkan jadi sensitif jika ada yang membicarakan beban-bebanmu itu, termasuk aku. Padahal aku sejak awal tidak bermaksud membuatmu stres lagi. Hingga suatu hari aku menyadari jika laman pencarian sosial mediamu dipenuhi oleh sesuatu yang mulai menyentil hatimu. Kau juga sampai memutuskan untuk tidak lagi bermain sosial media, dan menggantinya dengan mengunduh game baru. Sebagai pengalihan katanya.
Tapi, mau sampai kapan kau berbuat seperti itu? Kenyataannya, pembicaraan tentangku bersebaran baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Pertanyaan-pertanyaan seputar diriku kini makin membebanimu, dan aku sudah dengar kalau kau membenci orang-orang yang bertanya sudah seberapa jauh perkembanganku. Apalagi saat keluargamu terus mendesakmu karena merasa panas melihat story Whatsapp di mana manusia lain berhasil menyempurnakan jenisku.
Kau selalu mengatakan, “Memangnya aku juga enggak mau kaya gitu? Memangnya mudah menyelesaikan beban ini? Ngomong sih gampang!”
Kali ini benar-benar merasa bersalah, meski sebenarnya keberadaanku juga menguntungkan manusia-manusia seperti dia. Akan tetapi, kadang keberadaanku jenisku ini bisa membuat kewarasan manusia hilang. Bahkan dari yang aku dengar di antara pembicaraan manusia-manusia ini, ada yang sampai bunuh diri.
Tapi, seperti yang kukatakan sebelumnya. Mau bagaimana lagi? Mau tidak mau aku tetap harus diselesaikan, sehingga bentukku akan sempurna seperti jenisku yang lain.
Dan hari itu ketika kau yang sedang membaca sebuah buku dengan fokus, tiba-tiba teralihkan karena obrolan manusia lain. Kemudian, dengan ekspresi lelah kau menatapku.
“Skripsi, kamu bisa ngerjain sendiri aja enggak sih? Kok susah bener beresnya.”
Jawaban: Sudah disebutkan di kalimat terakhir.
~o0o~
A/N: aslinya saya cuman ikut aja, kebetulan tiba-tiba kepikiran ide bikin cerita. Udah lama juga hiatus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top