Bab 7
Karena dua kata 'Pacar Ardhan'
Perang saudara kembali terjadi
•••
Semua mata memandang ke arahku. Apa lagi mama yang terlihat kecewa padaku. Aku tidak bisa bohong pada mama. Memang tidak ada cara lain, selain jujur.
"Daren lo jangan aneh-aneh ya. Gue sama Ardhan udah putus," ujarku memperingatkan Daren.
"Ya gue kira kalian bisa balikan gitu," sahut Daren santai.
"Ardhan kamu hutang penjelasan dengan Bunda," peringat Tante Winda pada anaknya yang masih menatapku lurus.
Aku menatap mama yang kecewa padaku. Bukan hanya mama, tapi eyang juga terlihat kecewa. Di antara semua keluargaku, eyang dan mama yang paling ingin melihatku menikah.
"Sudah masalah Ardhan-Misel nanti saja. Sekarang kita bahas pertunangan Daren dan Jihan dulu," sela Om Tony.
Untunglah semua kembali fokus pada pertunangan Daren dan Jihan. Aku tidak bisa mengikuti pembicaraan, hanya dapat terdiam dengan pikiranku yang melayang jauh. Sesekali Kemas menepuk pundakku pengertian.
Entah kenapa aku ingin sekali menangis. Sedikit rasa menyesal menyusup di hatiku. Menyesal karena aku lebih memilih ego-ku.
"Maaf menyela semua. Kemas mau ada urusan sebentar," Kemas menyela saat pembicaraan tidak begitu serius lagi. "Ayo Mbak katanya mau bantuin aku," lanjut Kemas menarikku pergi.
Aku membungkuk permisi pada semuanya dan pasrah saja ditarik Kemas keluar. Aku tidak mau bertanya saat Kemas membawaku masuk ke dalam mobil. Terserah dia mau bawa aku kemana.
Perjalanan hening untuk beberapa saat sampai Kemas buka suara. "Gak papa ya Mbak aku bawa jemput Pretty," ujar Kemas.
"Jemput pacar? Ngapain bawa-bawa aku," sahutku sebal. Walaupun sebenarnya aku sangat berterima kasih pada Kemas.
"Kenalan sama pacarku Mbak," kelakar Kemas santai yang tidak aku tanggapi lagi.
Pikiranku melayang pada kejadian tadi, aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana pada mama dan eyang. Aku tidak sanggup juga untuk berhadapan kembali dengan Ardhan. Apa lagi kalau mama tahu kami putus karena sikapku yang konyol dan kekanakan.
Ketika mobil berhenti entah dimana, aku tetap memikirikan bagaimana caranya bicara dengan mama dan eyang. Aku membiarkan Kemas turun dan menunggu di mobil. Nanti juga pacarnya masuk ke mobil.
"Apa aku balik ke Jakarta aja ya?" tanyaku pada diri sendiri.
"Jangan gila Mbak. Bisa-bisa Mbak dihapus dari keluarga dengan Eyang," peringat Kemas yang sudah duduk lagi di balik kemudi.
Aku menatap Kemas sebal. "Mana pacarmu? Kok gak dikenalin sama Mbak?" tanyaku pada Kemas yang tersenyum.
"Itu di belakang."
"Kampret!" aku mengumpat pada Kemas saat mendapati seekor kucing di dalam kandang sedang tidur di jok belakang.
Kemas hanya tertawa geli melihatku. "Pacaran sama kucing. Gak laku ya Mas?" sindirku.
"Gak papa gak laku. Dibanding Mbak, ketemu mantan di acara keluarga," Kemas menggodaku yang membuatku tambah sebal.
•••
Aku sangat berterima kasih pada Kemas karena saat kami pulang semua sudah pada bubar. Di ruang tamu hanya ada Jihan dan Daren yang sedang ngobrol bareng eyang.
"Mbak jadi ya angkringan. Siap-siap habis magrib berangkat kita keliling dulu," seru Kemas sebelum menaiki tangga menuju kamarnya.
Aku hanya bisa berjalan lesu, apa lagi melihat eyang yang diam saja menatapku. Jihan? Jangan ditanya, wajahnya terlihat puas dengan penderitaanku.
"Putri barang-barang kamu ada di kamar mama kamu. Nanti malam tidur di kamar Kemas bareng Mbak Angel," ujar Bude Lilis yang datang dengan sepiring kue di tangan.
"Kok tidur di kamar Kemas Bude?" tanyaku heran.
"Kamar kamu dipakai Ardhan sama Daren. Kalau kamu tidur sama Jihan gak mungkin," sahut Bude Lilis.
"Kenapa gak mungkin Bude? Jihan tidur sendirian ini," aku menjawab Bude Lilis dengan berani.
"Jihan gak bisa tidur sama orang lain, kamu ngalah tidur di kamar Kemas," tegas Bude Lilis.
Aku menarik napasku berat, rasanya sakit banget diperlakukan begini. Aku seperti orang asing yang tidak diperlukan di sini. Entah apa salahku pada keluarga ini.
"Mbak Angel gak jadi nginap di sini Bulik," sahut Jihan. "Putri tidur sama Kemas aja, kalian dekat lagian sepupuan juga," lanjut Jihan menatapku.
Aku tahu kami sepupuan, tapi aku dan Kemas sudah dewasa. Jenis kelamin berbeda, butuh privasi lebih juga. "Aku tidur sama mama aja," ucapku akhirnya.
"Sesil sama anaknya tidur sama mama kamu," jawab Bude Galih ketus. Beliau datang dari arah dapur.
Aku diam saja, tidak bisa lagi membantah. Sesil itu istrinya Mas Jibran, baru melahirkan. Jelasnya aku malas ribut di sini.
"Misel," sebuah suara memanggilku. Ardhan keluar dari kamarku yang memang ada di lantai bawah. "Kita perlu bicara," ujarnya kemudian.
Aku menatap Ardhan tajam. "Gak ada yang perlu dibicarain," sahutku ketus dan memilih melangkah menuju kamar mama yang ada di sebelah kamarku. Tentunya aku harus melewati Ardhan.
Saat aku melewati Ardhan suaranya terdengar tegas dan menakutkan. "Jangan egois Misel. Kita perlu bicara sebelum aku ketemu Bunda, jangan buat aku marah Sel."
Ardhan marah? Menakutkan.
Aku memilih mengalah. "Gue mau mandi dulu, nanti kita bicara," ujarku akhirnya membuka pintu kamar mama.
Aku terduduk di lantai begitu pintu kamar tertutup. Aku bahkan masih dapat mendengar suara Ardhan dari balik pintu ini. Anggaplah aku menguping.
"Daren kita nginap di hotel. Misel gak akan bisa tidur kalau bukan di kamarnya," ujar Ardhan.
Aku rasanya mau menangis, Ardhan benar. Dulu aku pernah menginap di rumah temanku. Ternyata itu berujung buruk dan sejak saat itu aku tidak bisa tidur di tempat asing dan dengan orang asing.
Kemas memang sepupuku, tapi kami baru bertemu kembali setelah lama tidak saling bertemu. Aku juga jarang pulang ke Jogja. Tapi aku tidak mau memperkeruh suasana.
Aku membuka kembali pintu kamar. "Gak papa gue tidur di kamar Kemas," ujarku menatap Ardhan.
"Oke gue dan Daren yang tidur dengan Kemas," ujar Ardhan kemudian.
"Lo cemburu Dhan?" celetuk Daren cukup keras.
Ardhan menatapku dengan tajam. "Gue gak akan cemburu sama sepupu dia," sahut Ardhan tenang.
"Gak papa Ardhan. Putri tidur dengan Kemas, dia mah bisa tidur dengan siapa saja," sahut Jihan yang entah kenapa membuatku terdengar seperti perempuan murahan.
"Mungkin dulu lo bisa tidur dimana saja," gumam Ardhan masih menatapku. "Keluarga lo gak pernah tau kesulitan lo Sel?" tanya Ardhan lagi.
Aku menatap Ardhan marah. "Jangan ikut campur urusan gue Dhan. Lo gak berhak mengomentari keputusan gue, " peringatku pada Arhan.
"Misel mereka perlu tau supaya lo gak diperlakukan buruk," tegas Ardhan.
Aku tersenyum sinis. "Aku orang asing di sini Dhan, wajar mereka gak tau. Lagi pula gue gak akan lama di sini," sahutku.
Saat itu Kemas turun dari lantai atas. Dia berjalan ke arah kami. "Kemas, saya dan Daren tidur denganmu bisa?" tanya Ardhan langsung.
"Lah kenapa? Sempit kamarku, kamar Mbak Misel lebih besar," ujar Kemas heran.
"Misel trauma dengan tempat asing. Dia juga gak bisa tidur dengan orang asing."
Kemas menatapku heran, "alasannya? "
"Kalau gak bisa, saya dan Daren nginap di hotel saja."
Bersambung
Jangan lupa vote dan komentarnya 😊
Berhubung rame di bab sebelumnya, ini aku kasih bab 7😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top