Bab 6
Sebuah pertemuan yang disengaja maupun tidak tetap saja namanya takdir
•••
Tatapan mata Ardhan tidak pernah lepas memandangku. Sedangkan aku hanya bisa mengindarinya dengan mencoba memandang ke arah eyang dan mama bergantian. Aku berharap eyang atau mama mengusirku dari sini.
"Terima kasih untuk sambutannya yang hangat. Saya Tony Baskoro mewakili keluarga untuk berbicara, kebetulan saya anak tertua keluarga Baskoro dan juga dipercaya oleh Dimas selaku orangtua Daren untuk mewakili. Saya sendiri sudah menganggap Daren seperti anak sendiri, karena keluarga kami hanya punya dua anak laki-laki dan memang hanya mereka berdua," Papa Ardhan membuka pembicaraan resmi.
"Jangan terlalu formal kita santai saja, " ujar Pakde Herman.
Aku dapat melihat senyum penuh wibawa seorang Tony Baskoro. Papanya Ardhan ini hampir mirip dengan Ardhan, terlihat dingin, cuek tapi penuh pesona. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya.
"Saya langsung saja, kami sekeluarga datang untuk membicarakan pertunangan Daren dan Jihan yang akan dilangsungkan besok. Selama ini karena kesibukan kami orangtua, hanya Daren yang membantu keluarga Jihan," lanjut Om Tony. Dulu aku manggilnya sih papa kalau sekarang om saja lah.
"Gak papa Mas. Kami paham, Jakarta juga cukup jauh untuk bolak-balik ke sini," sahut Pakde Herman.
"Semua sudah kamu cek Daren? Gak ada yang ketinggalankan? Semua sudah diundang?" tanya Om Tony pada Daren yang mengangguk mantap.
Kemudian Om Tony memandang Ardhan. "Ini anak saya Ardhan, sepupu Daren. Mereka sudah seperti saudara dari kecil," kini Om Tony memperkenalkan Ardhan.
"Ardhan Baskoro," ucap Ardhan pelan dengan senyumnya yang sangat tipis, nyaris tidak terlihat.
"Mas boleh aku bicara?" Tante Yeyen selaku mamanya Daren menyela. Beliau berbicara setelah mendapat persetujuan dari Om Tony. "Ini kedua bocah nakal cuma ngundang teman dan eksekutif rumah produksi saja, anggota kru, karyawan dan penulis tidak ada yang diundang," protes Tante Yeyen terang-terangan.
Aku hampir tertawa ngakak saat dengan kompaknya Daren dan Ardhan bertatapan. Seolah-oleh mereka ada ikatan batin yang kuat. Sesaat lagi kita akan melihat pertunjukan adu debat antara kubu Daren-Ardhan dan Tante Yeyen yang bakalan dibantu Tante Winda. Pemandangan yang selalu aku saksikan dulu.
"Bukan gitu Ma. Ini Jogja, lagi pula proses produksi harus terus berjalan. Daren gak bisa seenaknya saja, kalau pesta pernikahan oke Daren bakal undang semua," ujar Daren membela diri, kemudian dia menepuk tangan Ardhan meminta bantuan.
"Ma Daren benar. Ardhan setuju dengan Daren, lagi pula semua teman Daren diundang. Kalau karyawan kita bisa kasih pengumuman saja dan diundang pas resepsi," jelas Ardhan dengan wajahnya yang datar.
"Iya Mbakyu kita setuju dengan Daren. Ini pertunangan bukan resepsi jadi tidak perlu terlalu mewah," Bude Galih membantu Daren dan Ardhan.
Tante Yeyen jelas punya seribu alasan dan gak bakal melepas kesalahan Daren dan Ardhan begitu saja. "Bukan begitu Mbakyu, kami merasa senang karena akhirnya anak kami ada juga yang serius," sahut Tante Yeyen sambil melirik Ardhan dan Daren bergantian.
"Saya juga setuju, pernikahan mereka juga tiga bulan lagi. Ini juga tunangan dulu karena Jihan masih kuliah S2," sela Tante Winda.
"Bunda." Ardhan menatap bundanya yang langsung mendelik tidak suka.
Saat itu juga Kemas menyerahkan sepotong jeruk yang sudah dia kupas seraya berbisik, "Seru nih Mbak."
Suasana hening sejenak, kalau pertemuan begini memang tidak ada yang berjalan mulus semulus pahanya Jihan. Namanya menyatukan dua keluarga yang berbeda adat juga suku. Jihan dengan keluarga sederhana yang menjunjung tinggi martabat, sedangkan Daren dengan keluarga modern yang menjunjung tinggi kepopuleran.
"Ardhan-Daren kalian jangan buat Bunda sama Mama marah ya. Apa salahnya mereka diundang, datang atau enggaknya juga itu keputusan mereka," tekan Tante Winda.
"Maaf semuanya kami memang maunya bukan cuma orang terdekat yang tau. Lagi pula anak kami ini punya jabatan dan sudah seharusnya mengenal Jihan," sela Om Tony yang membuat semua keluargaku mengangguk mengerti.
Daren dan Ardhan hanya bisa diam saja. Mereka tidak bisa membantah lagi ucapan kedua ibu suri. Apa lagi saat Om Tony ikut angkat bicara.
"Begini saja, kita undang perwakilan saja. Akomodasi biar saya yang urus," Om Dimas memberikan solusi.
"Kalian dengar? Cepat sana jalankan perintah," titah Om Tony pada Ardhan dan Daren yang langsung permisi dari duduknya.
Tepat saat itu ponselku berdering. Aku terperanjat dan mengangkat panggilan itu. Saat aku ingin pergi Bude Kinan menatapku. "Angkat di sini Putri, nanti kamu gak balik lagi kalau pergi," ucapnya.
Nama Mbak Desy tertera di layar. Aku langsung mengangkat panggilan tersebut. Rasanya semua mata memandangku untuk beberapa saat.
"Misel lo bisa kasih gue satu scrip baru? Penting nih soalnya gue mesti ajuin segera ke Pak Daren. Beliau nungguin," oceh Mbak Desy di telepon. Aku mendengus sebal saat dia bawa-bawa nama Daren.
"Lo ngibulin gue mulu sih Mbak. Lusa gue kirim, gue lagi ada urusan keluarga," tolakku agak jengkel.
Aku tidak lagi mendengar ocehan Mbak Desy di ujung panggilan. Kini mataku fokus pada Ardhan yang berdiri di dekatku. Dia menatapku datar.
"Itu Desy?" tanyanya datar dan aku hanya bisa mengangguk.
"Gue tau lo ngibulin gue Mbak. Sebagai bukti ada yang mau ngomong sama lo, hati-hati potong gaji Mbak," kelakarku sebelum menyerahkan ponsel pada Ardhan.
Daren tertawa geli saat mendengar ucapanku, dia baru saja memutus sambungan telepon. "Si Desy?" tebak Daren.
"Lo minta scrip deadline kapan sih? Si Desy pelupa banget ampun deh," komentarku yang membuat Daren tambah tertawa.
"Scrip-nya ditunda dulu Des. Daren sudah kasih instruksi ke asistennya. Kamu cek e-mail dari saya," ucap Ardhan singkat dan langsung mematikan sambungan.
Ardhan mengembalikan ponselku tanpa berkata apa-apa. Aku hanya bisa diam saja dan menatap Daren yang menatapku jahil. Entah sampai kapan rahasia hubunganku dan Ardhan bertahan.
Bisa gawat kalau eyang dan mama tahu Ardhan mantan pacarku. Bisa-bisa aku kena sidang siang malam. Kalau sudah begini aku mau ngumpet saja.
Semua kembali ke tempat duduk masing-masing. Cukup dengan sekali panggilan masalah teratasi. Begitu hebatnya Ardhan dan Daren. Seketika aku sadar bahwa Ardhan memang sudah sukses, berbeda denganku yang masih kacung ini. Dulu saat pacaran dengan Ardhan aku disegani, saat putus aku bagaikan benalu di rumah produksi.
Sadar bahwa aku bernasib sama dengan mama. Jika aku bisa pindah rumah produksi alangkah baiknya. Menjauh dari keluarga Baskoro yang sepertinya malah dekat dengan keluargaku.
"Satu lagi. Hampir saja lupa," Tante Winda berseru saat Ardhan duduk di tempatnya. "Ardhan sama Misel lagi berantem? Kok kalian cuek begitu? Bunda sampai lupa nanya saking sebelnya sama Ardhan dan Daren," kelakar Tante Winda.
Aku melotot kaget menatap Ardhan yang sama kagetnya. Aku dan Ardhan sama-sama mau buka suara begitu tiba-tiba Daren menyela.
"Mereka mau kasih suprise Bun. Biasa kalau pacaran berantem-berantem dikit," kelakar Daren.
Aku seperti merasakan di sambar petir, sulit untuk bicara saat Tante Yeyen ikut bersuara.
"Iya aku juga bingung waktu lihat Misel dipanggil Putri. Seingatku Misel pacarnya Ardhan."
"Namanya Miselly Putri Ma." Daren hanya bisa memeras jeruk nipis di atas luka.
Bersambung
Jangan lupa vote dan komentarnya 😊
Komen yang rame, siapa tau aku bisa update lagi. Fyi, ini cerita udah aku tulis sampai bab 10😀😀😀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top