Bab 31
"Kita samperin ke kelasnya aja gimana?" usul Alea begitu bersemangat. Mumpung jam istirahat baru dimulai beberapa menit yang lalu, jadi masih ada banyak waktu sebelum pelajaran berikutnya.
"Ogah banget," tolak Raya jelas-jelas tidak setuju usul Alea.
"Kenapa?"
"Beresiko banget ke sana, Al. Emangnya lo mau dibantai sama anak-anak IPS yang terkenal sangar-sangar itu? Kalau gue sih, ogah banget." Raya bergidik membayangkan dirinya dicegat anak-anak IPS bak di film-film. Ngeri!
Alea manggut-manggut. Raya tidak salah. Anak-anak IPS memang terkenal sangar dan Alea sudah membuktikannya. Contohnya Rudi, teman sekelas Azka. Tapi Azka yang ia kenal tidak seperti itu.
"Terus? Kita samperin di mana ntar?"
Bahu Raya mengedik acuh.
"Ntar abis bubaran kelas gue ada bimbingan, Al. Lo sendiri aja yang bikin perhitungan sama Azka. Gue nitip satu tonjokan aja. Ilmu taekwondo lo udah bisa dipakai, kan?" Raya mengedipkan sebelah matanya jenaka.
Fiuh.
Alea mendengus.
"Nggak seru dong kalau gue sendiri yang bikin perhitungan sama Azka," gerutunya sembari membanting buku Biologinya ke atas meja.
"Kalau gitu lo mesti sabar nunggui sampai gue ada waktu." Raya terkikik pelan melihat sobat kentalnya menekuk wajah karena kecewa. Lagi-lagi Alea bersikap sok posesif pada Azka, batinnya heran. Pacar bukan, gebetan juga bukan.
"Males banget. Yuk, ah. Mau ke kantin nggak?" Alea menutup pembicaraan tentang Azka dan bergegas mengangkat pantatnya dari kursi. Perutnya perlu diganjal dengan sesuatu. Bakso, mi ayam, atau apalah. Roti juga boleh.
"Okay." Raya setuju. Cewek itu buru-buru menutup buku Biologinya setelah kelar menyalin sejumlah catatan yang ditinggalkan Bu Hasna di papan tulis. Sementara Alea, Raya yakin sobatnya itu belum merampungkan catatannya. Alea hanya mengandalkan catatan milik Raya. Keterlaluan!
***
Rencana untuk membuat perhitungan dengan Azka batal sudah. Selain Raya yang ada kelas bimbingan setelah jam pelajaran berakhir, mendung hitam yang terlihat memberat di atas langit sekolah juga menjadi salah satu alasan bagi Alea untuk bergegas naik angkot siang ini. Lebih baik menyelamatkan seragam putih abu-abunya agar tak kebasahan ketimbang mencegat Azka lalu mendamprat cowok itu habis-habisan.
Benar saja, ketika angkot yang Alea tumpangi berhenti di depan gang menuju rumahnya, tetes-tetes air hujan mulai berjatuhan. Memaksa agar cewek itu mempercepat langkahnya supaya cepat sampai.
Begitu membuka pintu depan, Alea terkejut melihat Papa, Mama, dan Kak Alvin tampak duduk menghuni ruang tamu. Tidak biasanya Papa ada di rumah siang-siang begini. Sebagai seorang pegawai dinas sosial, Papa selalu disibukkan dengan berbagai macam hal di kantor.
"Papa udah pulang?" tanya Alea dengan kening berkerut. Cewek itu melangkah perlahan lalu menjatuhkan tubuh di sebelah Mama.
Papa hanya mengangguk pelan.
"Ada apa, Pa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Alea kemudian. Suasana ruang tamu yang sunyi terasa aneh buatnya padahal seluruh anggota keluarga mereka sedang berkumpul, namun tak ada satupun yang mengeluarkan suara. Wajah Papa, Mama, dan Kak Alvin juga terlihat tegang.
"Kakakmu dilaporkan ke polisi," ungkap Papa akhirnya.
"Apa?!" jerit Alea seperti baru tersengat listrik tegangan tinggi.
"Angga sialan itu ngelaporin gue ke polisi. Ngeselin banget, kan?" celutuk Kak Alvin mengeluarkan emosinya.
"Alvin!" teriak Papa tak kalah kesal. "Bukannya semua ini gara-gara ulah kamu? Kalau saja kamu nggak mukul Angga, nggak akan ada kejadian seperti ini, kan?"
"Maafin Alvin, Pa."
"Kak Angga ngelaporin Kak Alvin?" ulang Alea masih tak percaya dengan pengakuan kakaknya. Bukankah Kak Alvin pernah bilang kalau ia sudah mengancam Kak Angga?
"Terus bagaimana nasib Alvin, Pa?" Mama terlihat cemas. Siapa sih, orang tua yang tega melihat anaknya dijebloskan ke dalam penjara.
"Mau gimana lagi? Biarkan dia merasakan dinginnya tidur di dalam penjara," ujar Papa terdengar acuh. Tentu saja Mama dan Alea langsung membelalakkan mata mereka. Namun, Alvin terlihat tenang. Toh, dari awal ia sudah bilang siap untuk di penjara.
"Pa!" Mama dan Alea kompak menjerit.
"Bagaimanapun juga Alvin itu darah daging Papa ...," suara Mama terdengar panik. "bisa-bisanya Papa ngomong kayak gitu."
"Habisnya mau bagaimana lagi, Ma? Alvin memang bersalah. Jadi wajar lah kalau dia harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuatnya," tandas Papa demokratis. Apa yang diucapkan Papa memang benar dan diam-diam Mama juga membenarkannya dalam hati. Tapi, tetap saja nalurinya sebagai ibu tak bisa membiarkan Alvin masuk penjara meski ia bersalah.
"Apa ada nggak ada jalan damai? Bagaimanapun juga Angga dan Alea kan pernah menjalin hubungan?" ucap Mama tak kehabisan akal.
"Bisa, jika Angga berubah pikiran dan mencabut laporannya."
Alea mencuri tatap ke arah Kak Alvin diam-diam. Cewek itu menjadi merasa bersalah. Jika bukan karena dirinya, Kak Alvin tidak akan pernah melakukan tindak kekerasan pada Kak Angga. Kak Alvin hanya ingin melindungi Alea dan membalaskan sakit hatinya. Itu saja. Dan Alea pikir hal itu setimpal dengan perbuatan Kak Angga. Tapi masalahnya sekarang adalah ia sama sekali tidak menduga jika Kak Angga akan memperpanjang persoalan itu ke ranah hukum.
OMG!
"Udahlah Pa, Ma." Akhirnya Kak Alvin angkat suara setelah Mama dan Papa menghentikan perdebatan mereka. "Alvin emang bersalah. Dan Alvin akan nerima apapun resikonya. Toh, paling-paling kalau di penjara, cuma dua atau tiga bulan. Itu nggak akan lama, kok," ucapnya mencoba menenangkan keluarganya, terutama Mama. Juga Alea yang sejak tadi menatapnya dengan tatapan rasa bersalah.
"Tapi, Vin ...."
"Ma." Kak Alvin memutus ucapan Mama. Ia tak bisa membiarkan Mama terus-terusan mencemaskan dirinya. "Alvin akan baik-baik aja, Ma. Mama nggak usah khawatir."
Mama mendesah pelan usai mendengar ucapan putranya. Sepertinya tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menyerahkan semuanya pada Alvin. Toh, Alvin juga sudah dewasa dan bisa menjaga dirinya dengan baik.
"Terserah kamu," ucap Mama pasrah.
"Harusnya kejadian ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kamu. Bahwa kekerasan nggak bisa menyelesaikan masalah, malah justru menambah masalah baru," ujar Papa bijak.
"Ya, Pa." Kak Alvin mengangguk mendapat nasihat dari Papa.
Sementara Alea masih bergeming di tempat duduknya dan menatap lurus ke wajah Kak Alvin yang sekarang melempar senyum tipis ke arahnya sebagai ganti kata 'jangan khawatir'.
Bagaimana bisa Kak Alvin bersikap setenang itu sedangkan pintu penjara sedang terbuka lebar menunggunya? Bilik besi itu tidak pernah terasa nyaman bagi siapapun meski hanya sehari tinggal di sana. Ia benar-benar siap untuk menghuni jeruji besi itu atau sedang berpura-pura hanya untuk menenangkan hati Mama dan Papa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top