Bab 26

"Kamu suka baca, Al?"

Alea kaget bukan kepalang dan hampir saja menabrakkan jidatnya ke punggung Dito. Pasalnya ia sedang asyik melamun sambil mengekor langkah Dito yang bergerak dari satu rak ke rak yang lain dan sama sekali tak menyangka cowok itu akan bertanya tiba-tiba.

Kenapa Alea bisa nyasar di toko buku bersama Dito?

Saat keluar dari pintu gerbang sekolah tadi, mendadak Dito menghampiri Alea dan meminta cewek itu agar menemaninya pergi ke toko buku. Dan berhubung Alea agak bosan hari ini, ia menerima tawaran Dito tanpa berpikir panjang. Raya juga sedang mengikuti kelas bimbingan Matematika setelah jam pelajaran terakhir usai.

"Uhm ... nggak juga, sih." Alea setengah berpikir hanya untuk menjawab pertanyaan Dito. "Paling-paling aku baca buku pelajaran," imbuhnya seraya terkekeh.

Dito ikut tertawa geli melihat senyum manis terkembang di bibir cewek itu.

"Sekali-sekali kamu harus baca novel, Al. Ntar aku pilihin beberapa yang bagus buat kamu," ujar Dito sembari kembali menyusuri deretan buku yang tertata dengan rapi di dalam rak fiksi. Ia terlihat serius berburu bacaan yang tepat untuk direkomendasikan buat Alea. Bacaan ringan, tapi bagus.

Huft.

Sejujurnya Alea belum pernah membaca novel sampai kelar karena beberapa alasan. Selain halaman novel yang jumlahnya ada ratusan dan tampak lebih tebal dari buku paket Bahasa Indonesia, membaca membuat Alea cepat mengantuk. Tapi itu dulu. Entah kalau sekarang. Bisa saja novel yang dipilihkan Dito benar-benar bagus dan membuat Alea bersemangat untuk membaca.

"Dit." Alea mencengkeram ujung tas ransel Dito beberapa saat kemudian. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiran cewek itu dan tak bisa ia pendam sendirian.

"Ya?" Dito hanya menyahut pendek, tanpa menoleh. Perhatiannya tertuju kepada sebuah novel tebal bersampul putih yang ia pegang sekarang. Dan tampaknya ia tengah menekuri blurb yang tercetak rapi di sampul belakang novel.

Alea menghela napas sejenak. Apa Dito akan mendengarnya sementara ia sibuk dengan novel itu?

"Kemarin Kak Angga dateng nemuin gue. Apa lo tahu itu?" tanya Alea akhirnya.

Di luar dugaan, nyatanya Dito langsung menoleh ke arah Alea.

"Oh, ya?" Kedua mata cowok itu membulat nyaris sempurna. "Emangnya apa yang Kak Angga bilang?" tanya Dito terlihat antusias.

"Dia minta maaf sama gue ... dan dia bilang mau mutusin ceweknya buat gue  ...."

"Terus?" pancing Dito selanjutnya dengan kening berkerut tajam.

"Ya ... gue nggak mau. Gue nggak sejahat itu, Dit. Lagian gue udah nggak mau berhubungan lagi sama Kak Angga. Kisah cinta gue sama dia udah berakhir sejak hari itu," tutur Alea sembari menyunggingkan seulas senyum tipis di bibirnya. Kentara sekali jika ia sedang berusaha menegarkan diri di hadapan Dito.

"Semua akan baik-baik aja," ujar Dito seraya menepuk pundak Alea beberapa kali. Minimal ia harus memberi dukungan moral pada Alea atas apa yang sudah dialaminya. "Oh, ya. Gimana kalau ini? Kayaknya ini bagus, deh."

Sebuah novel dengan sampul berwarna putih yang sejak tadi digenggam Dito, ia ulurkan ke depan Alea.

Cewek itu mengedik.

"Aku ambil yang ini aja," putus Dito akhirnya. Karena menunggu jawaban Alea bakalan lama. Lagipula tidak ada tanda-tanda jika Alea akan merespon pertanyaannya.

Setelah puas berbelanja, Dito mengajak Alea untuk mampir di sebuah kedai es krim yang berada tak jauh dari toko buku. Mereka sepakat untuk membeli dua buah es krim rasa vanila.

"Kenapa gue harus baca novel?" tanya Alea sambil menyuapkan ujung sendok plastik ke dalam mulutnya. Tepatnya sesaat setelah Dito menyodorkan tiga buah novel sekaligus ke hadapan cewek itu.

Dito tertawa melihat kerutan yang sukses tercetak di kening Alea.

"Sekali waktu seseorang butuh me-refresh pikiran, Al. Termasuk kamu," tandas Dito yang lagi-lagi menimbulkan kerutan di kening Alea. "Sesekali kamu harus keluar dari kehidupan nyata dan menenggelamkan diri dalam dunia fiksi. Berkhayal menjadi tokoh utama dalam novel. Bukankah itu terdengar menyenangkan?"

Alea terkesima mendengar penuturan Dito. Cowok itu benar-benar ajaib. Di saat yang lain sibuk dengan gawai mereka dan hanyut dalam arus komunikasi tanpa batas, Dito malah menyuruhnya untuk menenggelamkan diri ke dalam dunia fiksi. Sebenarnya semenarik apa dunia fiksi itu?

Alea hanya tersenyum tipis lalu menyuap kembali.

"Lo suka banget membaca?" tanya Alea kembali.

"Ya ... bisa dibilang kayak gitu."

"Sejak kapan?"

"Sejak SMP."

"Oh." Alea menggigit ujung sendok plastiknya lalu teringat sesuatu ketika menatap sepasang mata Dito yang bersinar teduh. "Apa gue boleh nanya sesuatu?" tanya cewek itu hati-hati.

"Uhm?" Dito memasang ekspresi tak percaya lalu menarik salah satu sudut bibirnya. "Kenapa mesti minta izin segala kalau mau nanya sesuatu?"

"Ya ... takutnya lo tersinggung ntar," celutuk Alea mencari alasan.

Tapi, Dito malah merekahkan tawa geli. "Memangnya kapan aku pernah tersinggung?"

Alea memilih bungkam dan memutar ingatannya kembali tentang Dito. Cowok itu terlihat baik dan tidak mudah terpancing emosinya. Ia berbeda dengan seseorang yang Alea kenal, siapa lagi kalau bukan Azka. Eh, kenapa mesti membandingkan Dito dan Azka?

"Lo pernah bilang kalau dulu lo sakit," ujar Alea setengah terbata. Memancing tepatnya. Bagaimana ya, cara menggali cerita tentang masa lalu Dito? Alea bahkan belum menemukan kata-kata yang pas untuk bertanya.

"Ya." Dito menyahut dengan cepat. "Jadi, itu yang mau kamu tanyain?" Kedua alis cowok itu terangkat ke atas saat mengawasi gerak gerik Alea.

Alea pura-pura sibuk menyuap dan gestur tubuhnya mengatakan jika ia sedang salah tingkah mendapat tatapan seperti itu dari seorang Dito. Cowok itu bahkan lebih pantas jadi seorang model ketimbang siswa SMU biasa, bagaimana Alea tidak merasa risih coba?

"Aku terkena kanker otak saat usia 8 tahun," ujar Dito akhirnya. Mengungkit kisah masa kecilnya yang pahit. Mengidap penyakit seganas itu di usia delapan tahun merupakan sebuah pengalaman terberat dalam hidupnya, juga mamanya. "Tapi, nggak tahu kenapa aku malah nggak takut mati. Mungkin saat itu aku belum tahu apa itu kematian dan arti kehilangan. Hanya saja saat melihat wajah Mama dan Papa yang selalu diliputi kesedihan, aku jadi sadar kalau aku sangat berarti bagi mereka."

Alea menghentikan suapannya dan beralih menatap ke arah Dito lekat-lekat.

"Lo nggak punya adik atau kakak, gitu?" sela Alea dengan nada pelan. Tapi, gelengan yang ia dapat dari kepala Dito sudah cukup mewakili jawaban yang diinginkannya.

"Aku anak tunggal," jelas Dito kemudian.

"Apa yang lo rasain saat itu?"

"Ya sakit-lah," sahut Dito seraya tergelak. "Kamu tahu, aku kurus banget saat itu. Aku harus dirawat di rumah sakit selama berbulan-bulan, menjalani kemoterapi yang membosankan, dan aku nggak sekolah hampir setahun."

"Tapi akhirnya lo sembuh juga, kan?"

"Bisa dibilang itu keajaiban." Dito menyahut cepat. "Mama nggak pernah putus mendoakan kesembuhanku siang dan malam ...."

Alea menyunggingkan senyum tipis.

"Kayaknya cerita lo mirip novel, deh," ucap cewek itu kemudian.

"Katanya kamu nggak pernah baca novel?"

Alea hanya tergelak mendapat sindiran dari Dito.

Emang, sih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top