Bab 21
"Lo keterlaluan banget minta ditraktir sama Azka tadi," kata Alea mengajukan protes pada Raya sewaktu mereka berdua berjalan kembali ke kelas. Meski makan gratis adalah sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan, tapi entah kenapa tiba-tiba Alea merasa menyesal setelah melahap habis mie ayam dan es tehnya. Pasalnya ia menjadi sedikit khawatir dengan kondisi keuangan cowok itu saat mengintip isi dompet Azka yang isinya hanya terdiri dari beberapa lembar puluhan ribu.
"Keterlaluan gimana? Azka kan nggak keberatan. Lagian uang dia cukup buat bayarin makanan sama minuman kita, kok. Kalau uangnya kurang, kita kan bisa nambahin, Al. Nggak tiap hari juga gue minta traktir, kan?" Nada suara Raya yang terdengar enteng dan tanpa beban tak serta merta membuat hati Alea tenang.
"Ya, emang dia nggak keberatan, sih. Tapi gimana kalau uang yang buat nraktir kita itu jatah dia buat seminggu? Atau paling nggak jatah dia buat beberapa hari. Kasihan, kan?"
"Emang dia semiskin itu, Al?" Raya sengaja menghentikan langkah dan menatap wajah Alea penuh rasa penasaran.
Alea melenguh pelan. Jengah mendengar pertanyaan yang dilontarkan Raya. Sesungguhnya ia tak begitu tahu tentang Azka dan perekonomian keluarganya.
"Gue nggak tahu pasti, Ray."
"Moga-moga dia nggak semiskin itu," gumam Raya setengah berharap. Melihat kecemasan yang ditunjukkan wajah Alea, Raya merasa bersalah juga sudah menodong traktiran pada Azka. Pasalnya selama ini penampilan Azka memang jauh dari kesan mewah. Motor vespa biru yang biasa dipakai Azka ke sekolah bisa dibilang adalah kendaraan terjelek yang pernah diparkir di area parkir sekolah. Bagaimana jika uang yang dipakai Azka untuk mentraktir mereka berdua benar-benar jatah uang jajannya selama beberapa hari ke depan seperti perkiraan Alea? Azka bisa tekor, dong. Tapi, kalau Azka memang semiskin itu, kenapa ia sekolah di SMU Harapan yang sedikit mahal dari sekolah lain? Demi gengsi-kah? Atau kedua orang tuanya yang ingin Azka bersekolah di sana dengan segala keterbatasan mereka? Ah, Raya enggan untuk berpikir lebih jauh. "Tapi, sebenernya kalau dilihat-lihat Azka nggak jelek-jelek amat, kok, Al." Tiba-tiba Raya beralih topik, tapi masih tentang Azka.
Alea mengerutkan kening demi mendengar pernyataan konyol Raya. Bahkan cewek itu harus menghentikan langkah kakinya untuk melihat wajah Raya. Sedang bercanda kah ia? Kenapa Raya tiba-tiba membahas hal itu?
"Maksud lo?"
"Ya, sebenernya Azka tuh punya tampang lumayan. Tapi, sayangnya doi masuk dalam kategori cowok paling nyebelin yang pernah gue kenal."
"Kalau nggak nyebelin, lo naksir dia gitu?" pancing Alea setengah menebak.
"Nggak juga, sih."
"Terus kenapa dari tadi lo bahas Azka terus?" tanya Alea heran. Bahkan Raya sempat memuji Azka tadi.
"Bukannya lo yang mulai bahas soal Azka?" balas Raya seperti tak terima mendapat tuduhan dari sobat kentalnya.
"Tapi lo yang bilang kan, kalau Azka nggak jelek-jelek amat?"
"Iya, tapi bukan berarti gue harus naksir dia, kan?" debat Raya tak kalah sengit. Jelas-jelas Azka bukan tipenya, tapi Alea masih saja ngotot.
"Naksir juga nggak pa pa, kok, Ray," bisik Alea sembari menjawil pipi Raya. Senyum licik terkulum di bibir cewek itu.
"Ogah banget."
"Raya!"
Teriakan Indira, ketua kelas XI IPA 2, seketika menghentikan langkah keduanya. Cewek berwajah oval dan memiliki sebuah tahi lalat mungil di sudut bibir itu terlihat sedang menghampiri tempat Raya dan Alea berdiri.
"Lo jadi ikutan klub teater, kan?" tanya Indira pada Raya.
"Ya, kenapa emang?" sahut Raya penasaran.
"Anak-anak yang ikut klub teater disuruh ngumpul di aula sekarang juga. Mau pendataan ulang katanya," beritahu Indira.
"Okay. Gue ikut Indira dulu, Al," pamit Raya sebelum menyusul langkah Indira yang terlebih dulu pergi menuju ke aula sekolah.
"Okay."
***
Dito?
Alea sempat terkejut melihat sosok Dito yang sedang berdiri tak jauh dari pintu kelasnya seolah sedang menunggu sesuatu. Seseorang mungkin. Cowok itu bahkan menebarkan senyum hangat ketika tubuh Alea nyaris tiba di hadapan Dito. Apa cowok itu sengaja nyamperin Alea di kelasnya? Tapi untuk apa?
"Hai," sapa Dito hangat. Sehangat senyum yang merekah di bibirnya.
"Hai juga," balas Alea canggung. Salah tingkah. "Kenapa lo ke sini?"
"Buat nyariin kamu. Aku cuma mastiin kamu baik-baik aja."
"Gue baik-baik aja, kok. Kemarin Mama langsung ngasih gue obat anti masuk angin. Lo sendiri?"
"Aku baik."
"Oh, ya," Mendadak Alea teringat sesuatu. Hal terburuk yang pernah Kak Alvin lakukan seumur hidupnya. "gimana kabar Kak Angga? Kemarin Kakak gue bilang ...."
"Dia baik," jawab Dito seolah paham maksud ucapan Alea. Sepertinya Dito tahu kasus yang menimpa sepupunya. "Kak Angga cuma lebam-lebam aja. Paling juga beberapa hari sembuh."
"Huft." Alea mengembuskan napas kasar. Sekali lagi ia merutuki tindakan Kak Alvin dalam hati dan berharap Kak Angga tidak lapor ke kantor polisi. "Kak Angga nggak lapor ke polisi, kan?" Sumpah demi Tuhan, Alea tidak bisa untuk tidak bertanya. Rasa penasaran terus menerus menyerang kepalanya.
Namun, justru gelengan kepala Dito yang ia dapatkan.
"Aku kurang tahu," jawab Dito datar. Dan sekali lagi cewek itu menghela napas kasar dari mulut. "Tapi kayaknya nggak, deh," imbuh Dito setelah melihat reaksi Alea yang terlihat cemas. Meski ia sendiri tidak tahu pasti, tapi sepertinya Kak Angga belum punya rencana untuk melaporkan tindakan Kakak Alea ke kantor polisi.
"Lo yakin?" Tiba-tiba Alea mengguncang lengan Dito demi untuk memastikan pernyataan cowok itu.
"Nggak juga, sih," balas Dito setengah terbata. Tapi sungguh, ia tidak tega melihat raut wajah melas Alea. "Tapi aku akan coba ngomong sama Kak Angga ...."
"Beneran ya, Dit. Lo harus bujuk Kak Angga jangan sampai dia lapor ke polisi. Please ... gue mohon," rengek Alea memohom pada Dito. Tangannya masih mencekal lengan Dito dengan erat.
"Ya, aku akan coba ngomong sama Kak Angga."
"Thanks."
Sementara itu, tak jauh dari tempat Alea dan Dito berdiri, sepasang mata sedang menatap lurus ke depan tanpa mengedip. Sepasang mata teduh milik Azka ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top