Bab 16
"Gimana pudingnya? Enak?" tanya Azka memulai perbincangan.
Semenit setelah berhasil menghalau Rudi, Azka berinisiatif menyeret lengan Alea kabur ke belakang sekolah. Di sana ada sebidang tanah terbuka yang dulunya difungsikan sebagai tempat sampah. Namun, setahun belakangan tempat itu dialihfungsikan sebagai taman sekolah. Ada beberapa jenis pohon dan bunga yang ditanam di lahan itu. Tapi, hanya sebagian saja yang sudah berbunga dan beberapa yang lain belum menunjukkan tanda-tanda akan berbunga.
"Gue nggak tahu."
"Kok nggak tahu, sih?" decak Azka sedikit kesal dengan reaksi cewek itu.
"Gue belum makan pudingnya, Ka. Gimana gue bisa tahu enak apa nggak," protes Alea dengan bersungut-sungut. Cewek itu masih kesal dengan sikap Azka yang suka memaksa orang seenaknya. Padahal Azka kan bisa mengajaknya dengan kata-kata yang baik dan bukannya menyeret lengan orang dengan paksa seperti tadi.
"Kok belum di makan? Kenapa?" desak Azka. Dan mulut comelnya kumat lagi.
"Ya, ntar gue makan," desah Alea geregetan. "Eh, gimana keadaan lo? Lo udah nggak sakit lagi, kan?" Cewek itu mengalihkan tatapan matanya pada wajah Azka. Meneliti bagian ujung bibir bawah milik Azka yang terlihat kehitaman.
Senyum tipis yang lebih mirip cengiran bodoh terbitlah sudah di bibir Azka.
"Lo khawatir soal gue?" tanya Azka cengengesan.
Alea mencebik sebal tiada kepalang melihat ekspresi menyebalkan yang ditampilkan wajah bodoh Azka.
"Pede banget sih jadi orang! Siapa juga yang khawatir sama lo?" maki Alea.
"Lah itu tadi bukannya lo khawatir sama gue?"
"Ya, ampun, Ka!" Alea menepuk jidatnya sendiri. Kapan sih, Azka mendapat hidayah dan menghilangkan sifat-sifat menyebalkan dari dalam dirinya? "Gue cuma pingin tahu lo masih sakit atau nggak? Lo dipukul Kak Angga kan gara-gara gue. Jadi, secara nggak langsung gue harus tanggung jawab dong," jelas Alea kemudian. Dengan menyingkirkan egonya terlebih dahulu. Pasalnya usai mendapat bogem mentah dari Kak Angga kemarin, Azka langsung pamit dari hadapan Alea dengan wajah ditekuk.
Kontan saja Azka terkekeh pelan mendengar susunan kalimat yang dirangkai Alea.
"Gue baik-baik aja, Al. Lo lihat sendiri kan kalau gue masih hidup sampai sekarang." Azka merentangkan kedua tangannya, setengah memejam, dan menarik napas dalam-dalam. "Gue nggak akan mati hanya karena satu pukulan kayak gitu," ujarnya dengan membusungkan dada.
"Ishh." Alea mendesis seraya membuang tatapan ke arah lain. Namun, justru pandangan matanya menumbuk ke sepasang sepatu yang membungkus kedua ujung kaki Azka. "Ke mana sepatu dekil lo? Kok nggak ada?" tanya cewek itu heran setengah mati. Setahu Alea, Azka sering mengenakan sepatu sneakers yang penuh dengan tumpukan debu. Pokoknya sepatu yang seperti berabad-abad lamanya tidak bersentuhan dengan air plus deterjen.
"Lah ini apa?" tunjuk Azka dengan sebelah kaki terangkat ke atas. "Enak aja bilang sepatu gue dekil," makinya sambil mengetuk tempurung kepala Alea dengan gemas.
"Aduh," jerit Alea kesakitan. Cewek itu mengusap-usap kepalanya sambil memasang wajah cemberut. "Sakit banget, Ka. Lo mau bikin gue gegar otak?"
"Masa digituin aja bisa gegar otak?" balas Azka menaikkan satu tingkat nada suaranya.
"Ya, kali aja," ujar Alea bersungut-sungut. "Terus ke mana sepatu dekil lo itu?"
"Astaga! Masih bahas sepatu lagi?" decak Azka gemas. Perihal sepatu saja bisa membuat cewek itu penasaran, batin Azka kesal. "Sepatu gue yang lo bilang dekil itu, ya ini, Al. Udah gue cuci. Puas lo sekarang?"
"Oh."
"Kok oh doang?"
"Terus, gue mesti bilang apa dong?"
Azka mendengus kasar. Bicara dengan Alea terkadang membuat sebal juga. Ia harus mencari topik lain untuk dibahas sebelum cowok itu merana karena dirundung kebosanan.
"Lo udah sembuh patah hatinya?" tanya Azka setelah beberapa menit berlalu dan ia menemukan sebaris kalimat yang tepat untuk diluncurkan.
"Sejujurnya belum," jawab Alea sembari mengembuskan napas berat. Ekspresi wajahnya berubah seketika. "Sebenernya gue masih sayang sama Kak Angga, tapi gue nggak mau balikan sama dia. Gue belum siap. Nggak tahu kalau ntar gue berubah pikiran," tandasnya sambil melepaskan tatapan ke arah bunga kertas yang bermekaran dan sesekali kupu-kupu datang lalu hinggap di atas kelopaknya.
"Ya, ampun." Gantian Azka yang mendesah panjang. "Kadang-kadang cewek susah dimengerti, berhati lemah, dan gengsinya setinggi langit. Udah tahu diselingkuhin kayak gitu masih juga bilang sayang, tapi diajak balikan nggak mau. Sebenernya mau lo itu apa sih, Al?" cerocos cowok itu dengan nada kesal.
"Lo mana ngerti perasaan cewek? Pacar aja nggak punya," maki Alea tak terima mendengar sindiran pedas dari bibir comel Azka.
"Masa harus punya pacar dulu baru bisa ngertiin cewek?"
Alea mendengus keras-keras. Nyebelin!
"Lo masih suka sama cowok kayak gitu?" desak Azka sejurus kemudian. Ia menatap cewek di sampingnya yang sedang sibuk menerawang ke depan.
"Gue terlalu sayang sama dia, Ka ...."
"Terus? Lo ada rencana buat balikan lagi sama dia ntar? Gitu?"
Kepala Alea menggeleng sarat dengan keraguan. "Gue masih belum tahu."
Azka menarik salah satu ujung bibirnya ke atas. Senyumnya terkesan mencela, tapi sayangnya Alea masih sibuk menatap bunga-bunga kertas di depan tempat duduk mereka yang terbuat dari campuran semen, pasir, dan air.
"Yuk, balik kelas. Bentar lagi bel," ajak Azka setelah mengembuskan napas panjang dan dalam. Cowok itu bangun dari tempat duduknya dan mengulurkan tangan kanannya pada Alea. "Gue anterin lo sampai kelas. Takutnya Rudi masih dendam sama lo."
Alea menerima uluran tangan Azka dan bergegas bangun dari tempat duduknya.
"Apa semua anak IPS sangar kayak gitu?" tanya Alea ketika mereka sedang menyusuri jalan kembali ke kelas dengan beriringan.
"Nggak juga. Ada yang keren juga kok. Dia lagi di samping lo," kekeh Azka yang serta merta mendapat sebuah timpukan keras di pundak. Hadiah kecil dari Alea.
"Nggak lucu."
"Kenapa? Nggak percaya?"
"Nggak. Udah ya, gue bisa balik ke kelas sendiri kok. Bye!"
Azka mengembangkan senyum tipis begitu tangan Alea melambai pelan lalu pergi menjauh dari hadapannya dengan mengayunkan langkah-langkah lebar.
Kenapa cewek selalu terkesan lemah dan rapuh? Padahal mereka kuat andai saja mereka menyadarinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top