Bab 15

"Kalau ada salah satu dari kalian belum siap menerima materi pelajaran yang Saya berikan hari ini, Saya sarankan untuk keluar dari kelas saya sekarang juga." Bu Hasna mengedarkan pandangannya ke segenap penjuru kelas dengan tatapan angker. Aura wibawa dan elegan yang melekat pada wanita berusia 45 tahun itu menjadi berkali lipat ketimbang biasa. Pun sisa-sisa kecantikan masih menghias di wajahnya yang terbingkai selembar jilbab berwarna ungu muda.

Seluruh penghuni kelas sontak hening dan setiap pasang mata hanya menyorot penuh kepasrahan ke depan kelas. Ada apa gerangan Bu Hasna pagi ini? Penjelasan bab peredaran darah pada manusia harus terhenti tiba-tiba tanpa sebab yang pasti.

"Masih mau mengikuti pelajaran saya ...," lanjut Hu Hasna kembali. Kali ini fokus matanya mengarah pada satu titik di tengah-tengah ruangan. "Alea?" Satu nama pemilik bangku disebutnya dengan sangat jelas dan sekejap mengundang perhatian seluruh penghuni kelas. Dan bisik-bisik mulai terdengar dari bangku belakang.

Alea tergeragap mendengar namanya disebut Bu Hasna disertai tatapan mematikan. Bahkan seisi kelas turut mengalihkan perhatian mereka ke arah cewek itu. Sedang Raya hanya bisa melirik iba ke samping, di mana Alea seolah sedang dihakimi oleh seluruh penghuni kelas.

"I-iya, Bu," lirih Alea sesaat kemudian dengan wajah setengah tertunduk karena harus menanggung malu tiada tara.

Bisa-bisanya Bu Hasna tahu kalau gue nggak konsen sama pelajaran?

Bu Hasna menarik napas dalam-dalam. Perhatian matanya belum teralihkan dari wajah Alea.

"Kalau kamu ada masalah, buang dulu masalah kamu. Sekarang waktunya belajar dan kamu harus fokus, Alea. Kamu tahu kan, kalau bersekolah di SMU Harapan itu biayanya tidak murah? Orang tua kamu harus bekerja keras agar kamu bisa sekolah di sini. Mestinya kamu bisa menghargai usaha mereka dan belajar sungguh-sungguh. Kamu mengerti, Alea?"

Kepala Alea mengangguk dengan gerakan lambat. Tanpa suara. Toh, ucapan Bu Hasna benar adanya. Lagipula tak ada gunanya mendebat seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Pada dasarnya Bu Hasna dan jalan pemikirannya baik.

"Kalau kamu berkenan, kamu bisa menceritakan masalah kamu pada Ibu atau guru yang lain. Ruangan konseling selalu terbuka untuk kamu dan siswa lain yang membutuhkan bimbingan. Sekolah akan selalu membantu mencarikan solusi terbaik untuk membantu siswanya," tandas Bu Hasna. Seulas senyum tipis menghias bibirnya kala wanita itu mengedarkan pandangan ke segenap penjuru kelas. "Jadi, bisa kita lanjutkan pembahasan kita tadi soal peredaran darah pada manusia?"

***

"Jadi karena itu lo ngelamun pas pelajaran Bu Hasna?" Raya memperhatikan setiap pergerakan bola mata Alea yang bergulir ke sana kemari dengan gelisah.

"Gimana gue nggak kepikiran, Ray." Alea menatap ke arah lawan bicaranya usai berhasil memasukkan buku dan peralatan tulis menulisnya ke dalam tas. "Coba lo bayangin Ray, Kak Angga mukul Azka tepat di depan mata gue. Nggak nyangka banget kan, Kak Angga bisa ngelakuin hal itu?"

Raya bergeming. Ia paham. Menurut cerita yang ia dengar dari mulut Alea, Kak Angga adalah seseorang yang baik dan mendekati sempurna sebagai seorang pacar. Hanya saja beberapa waktu belakangan ia sibuk dengan tugas kuliahnya dan hampir tak punya waktu untuk Alea. Dan ujung-ujungnya semua itu hanyalah dalih untuk menyembunyikan perselingkuhannya.

"Gue harus nemuin Azka sekarang." Alea sudah mengangkat pantat dari kursi dan siap untuk meluncur ke kelas Azka. "Lo mau ikut?"

Raya menggeleng pelan. Cewek itu sama sekali tidak tertarik untuk mencampuri urusan Alea meski ia adalah sobat baiknya. Apalagi untuk menemui Azka yang habis terkena bogem mentah dari Kak Angga.

"Nggak deh, Al. Gue ke kantin aja," tolak Raya sembari nyengir kuda.

Alea mendengus mendengar jawaban Raya yang terus terang sudah mengecewakan hatinya. Tapi itu murni hak Raya.

"Gue ke kelas Azka dulu kalau gitu. Ntar beliin gue roti isi cokelat sama Aqua gelas, ya!" teriak Alea yang sudah mengambil langkah-langkah lebar keluar kelas mereka. Meninggalkan sejumlah pesanan untuk sahabatnya.

Raya hanya bisa bengong melihat punggung Alea yang bergerak menjauh dari pandangannya lalu menghilang di balik tembok kelas. Nyatanya Alea terlihat baik-baik saja sekarang meski isi pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan Kak Angga. Semoga ia cepat melupakan cowok itu.

Sementara itu dengan langkah tergesa Alea menyusuri koridor sekolah menuju ke kelas Azka, mengabaikan pundaknya yang sesekali bersinggungan dengan siswa atau siswi lain yang kebetulan berpapasan dengannya. Namun, begitu sampai di depan kelas Azka, Alea tidak bisa menemukan keberadaan cowok itu di dalam sana.

"Azka mana? Apa dia nggak masuk?" tanya Alea pada seorang cowok bertubuh tinggi kurus dan berkulit agak gelap yang baru saja keluar dari kelas Azka. Kerah bajunya terlihat tegak dan terlihat jauh dari kata rapi. Mengesankan anak IPS sejati.

Cowok bernama Rudi itu tidak langsung menjawab pertanyaan Alea. Sepasang matanya sibuk mencermati setiap detail wajah cewek yang tengah berdiri di depannya seolah-olah ia adalah makhluk asing yang patut dicurigai. Semacam alien yang siap menginvasi bumi. Mungkin semacam itu. Tapi ini alien versi cantik.

"Lo anak IPA, ya?" tegur cowok berwajah sangar itu mulai menginterogasi dengan gaya sok.

Alea melenguh pelan. Bukan pertanyaan semacam itu yang ia butuhkan sekarang, tapi jawaban tentang Azka.

"Ya. Apa Azka masuk hari ini?" Alea mengiyakan dan mengajukan pertanyaan kembali karena tak sabar menghadapi lawan bicaranya.

"Lo nggak tahu ya, kalau anak IPA dilarang keras masuk kelas IPS?" tanya Rudi setengah menghardik. Menakut-nakuti orang lain sudah menjadi keahliannya sejak SD.

Alea menggeram kesal. Pasalnya peraturan konyol semacam itu hanyalah sebuah lelucon yang dibuat senior-senior mereka yang kini sudah resmi menyandang gelar alumni SMU Harapan.

"Gue kan masih di luar kelas," bela Alea setengah menunjuk ke arah sepatunya yang masih berada di luar kelas. "Lagian gue cuma mau tahu Azka masuk atau nggak. Apa susahnya sih jawab pertanyaan gue?"

"Sialan!" Si Rudi berteriak lantang karena merasa mendapat perlawanan dari cewek bertubuh kecil dan tak terlalu tinggi semacam Alea. Bahkan ia telah mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan siap melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah mulus Alea. Tapi, gerakan tangannya tiba-tiba terhenti di udara sebelum ia berhasil melaksanakan rencana jahatnya.

"Hei, hei! Mau ngapain lo?!"

Di saat yang tepat, hardikan keras itu terdengar dan menyelamatkan wajah mulus Alea dari tangan Rudi yang hampir menamparnya.

"Azka!" Jeritan kecil Alea tersendat di tenggorokan. Cewek itu berdecak melihat sosok Azka yang mendadak muncul di tengah situasi gawat darurat.

"Pergi sono! Jangan gangguin dia," usir Azka seraya menghempaskan tangan Rudi dengan kasar. Kedua matanya sengaja dibuat melotot untuk menakut-nakuti Rudi dan berhasil. Tanpa secuil katapun, Rudi melenggang pergi dari hadapan Alea. Tapi dengan hati mendongkol.

"Lo nggak pa pa?"

"Mestinya gue yang nanya, lo nggak pa pa?" balas Azka yang kini beralih menatap ke arah Alea setelah puas melepas kepergian Rudi.

"Ya, gue baik-baik aja."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top