twenty-first note
The truth is, unless you let go,
unless you forgive yourself,
unless you forgive the situation,
unless you realize that the situation is over,
you cannot move forward.
—Steve Maraboli—
*
Apa yang berikutnya terjadi tak ubahnya seperti rentetan adegan film yang dipercepat. Hening menyiksa yang menyesaki ruangan terpecah ketika Sabda beranjak dari duduknya, langsung berlari keluar dari rumah dan menyusuri trotoar sekencangnya sampai napasnya terengah. Samar, dia mendengar suara Eden memanggil namanya dengan sepenuh kepanikan, juga derap langkah Rasi yang mengikutinya. Sabda tidak peduli, terus berlari hingga ulu hatinya didera nyeri. Dia tidak tahu pasti apa yang terjadi pada kakak tertuanya di seberang telepon sebelum percakapan mereka terputus, tapi suara benturan itu membangkitkan kenangan tergelap dalam benaknya. Memori yang jika dia bisa, ingin dia hapus hingga lenyap selamanya.
Sabda tidak pernah punya peliharaan atau pernah ditinggal seseorang untuk selamanya sebelumnya. Kepergian Mama adalah kematian pertama yang harus dia hadapi. Sabda tidak mengerti bagaimana bisa, keadaan berubah dengan drastis dalam waktu yang begitu singkat. Sore itu, sepulang sekolah, dia masih melihat Mama sebelum wanita itu masuk mobil, mengemudikannya keluar dari garasi dan berbelok ke jalan besar. Mama bahkan tersenyum padanya, mengelus rambutnya dan bilang beliau harus pergi untuk sesuatu yang penting, sekaligus berjanji akan kembali di saat makan malam bersama hidangan favorit Sabda. Kala itu, Sabda menyadari ada luka di mata Mama. Entah karena apa, Sabda tidak terpikir dan Mama terlalu buru-buru untuk menjawab sebuah tanya.
Mama memang pulang, namun hadirnya datang dalam bentuk yang tidak Sabda inginkan—dalam peti yang dianjurkan tidak dibuka lagi. Sabda masih terlalu kecil untuk paham makna kematian, dimana seseorang pergi bukan untuk kembali. Satu yang masih segar dalam ingatan adalah hari penuh cita kelam, warna hitam di mana-mana, Setra dan Rasi yang menangis tanpa henti sambil menaburkan bunga di atas gundukan tanah merah basah. Cowok itu mendengar banyak bisik di belakangnya, di tengah sedu-sedan yang seolah-olah tidak akan pernah mereda. Mobil Mama bertabrakan dengan sebuah taksi di perempatan. Separuh bagian depan kendaraannya hancur. Pengemudi taksinya tewas di tempat, terhimpit hingga tidak bisa bernapas. Hanya ada satu orang yang selamat dari kecelakaan itu dan sayangnya, bukan Mama orangnya.
Hari-hari berikutnya terasa sangat berat untuk dilewati. Rumah sepi, tiba-tiba mendingin. Mereka tidak saling bicara, kompak mengunci diri di kamar masing-masing. Ketika itu, Sabda kecil belajar bahwa yang membuat kehilangan terasa sakit bukanlah kehilangan itu sendiri, melainkan dampak yang ditimbulkan dari kehilangan. Lenyapnya seseorang mencipta ruang kosong yang tiba-tiba. Sebagian orang butuh waktu untuk terbiasa dengan ruang kosong itu. Sebagian lainnya gagal, menghabiskan sepanjang hidup mengisi ruang kosong dengan sesuatu yang lain dan berharap rasanya akan sama seperti sebelum ruang kosong itu ada.
Menakjubkan, bagaimana waktu mampu mengikis segalanya. Pada satu detik, Sabda sedang duduk di belakang piano, menebak-nebak hidangan apa yang akan Mama bawa pulang nanti. Detik berikutnya, dunianya jungkir-balik sebab seseorang bilang, ibunya tidak akan pernah pulang.
Serupa déjà vu, hari ini Sabda kembali mengalaminya. Pada satu detik, dia tengah duduk meniup balon di ruang tengah rumah Lucio sambil diam-diam mengagumi krim pelapis kue tart buat Setra di atas meja. Dia masih mendengar suara kakaknya, hidup dan baik-baik saja, bicara diselingi tawa. Detik berikutnya, benturan keras itu melahap semua sisa kewarasan yang dia punya, disusul ngeri yang menyusupkan rasa takut hingga tangannya dirambati tremor tak terkontrol.
"SABDA!"
Sabda mendengar Rasi berteriak di belakangnya. Cowok jangkung itu masih terus berlari walau kini napasnya terputus-putus. Sabda mengabaikannya, terlalu linglung dan mati rasa untuk bicara. Dia berhenti hanya untuk menyapukan pandangan ke segala arah, lalu menyetop taksi konvensional yang kebetulan melintas. Taksi itu kosong, menepi perlahan. Sabda langsung masuk ke dalamnya, menyebutkan nama gedung tempat Setra melakukan kerja part-time. Suaranya pasti kelewat pelan, karena supir itu malah bertanya, merasa mesti memastikan. Sabda mengulang ucapannya, suaranya pecah dan penuh getar.
"SABDA!"
Sabda tak menyahut panggilan Rasi. Supir itu melajukan kendaraannya, tetapi kontan mengerem mendadak sesaat kemudian sebab secara impulsif, Rasi melompat ke depan mobil sembari merentangkan tangan, berlaku nekat untuk menghadang taksi tersebut.
"SABDA!"
"Ini gimana, dek?"
Sabda menggigit bibir. "Buka kunci pintunya, Pak. Biarin dia masuk."
Rasi seolah mengerti apa yang Sabda katakan pada supir taksi meski dia tidak bisa mendengarnya. Begitu kunci pintu dibuka lewat satu kali tekan pada tombol di panel pengemudi, dengan sigap Rasi meraih kenop pintu bagian belakang dan masuk. Taksi bergerak, diselimuti oleh senyap. Sabda mulai menggigiti kuku-kuku jarinya, kebiasaan yang kerap dia lakukan setiap kali cemas atau gugup. Rasi tidak jauh beda. Cowok itu mengunci mulut rapat-rapat sambil meremas tangannya sendiri, memandang muram keluar jendela.
Hampir setengah jam yang terasa seperti seabad harus Rasi dan Sabda lewati, hingga tiba-tiba saja laju taksi melambat.
"Macet, dek. Kayaknya di depan ada kecelakaan."
Itu mimpi buruk, jelas bukan jawaban yang Sabda harapkan. Tadinya, dia sempat berharap suara benturan keras yang didengarnya bersumber dari gondola pembersih kaca gedung yang jatuh tiba-tiba ketika sedang tidak digunakan atau truk pengangkut kaca yang muatannya jatuh mendadak (tidak masuk akal, memang. Situasi krisis memang bisa mendorong seseorang jadi berdelusi tanpa akal sehat). Cowok itu berbisik lemah, meminta supir menghentikan mobil dan sebelum turun, memberikan lembaran uang tanpa menunggu kembalian.
Ternyata, situasinya lebih parah dari yang Sabda duga. Awalnya, dia hanya melihat deretan kendaraan yang memadati jalanan, merayap lambat seperti sekoloni semut mencari jalan tercepat menuju bongkahan gula yang tercecer. Akan tetapi, semakin dekat dengan halte yang dimaksud Setra—tentu Sabda tahu tempat itu. Dia tidak pernah bicara dengan kakaknya selama beberapa tahun ini, namun sosoknya yang tampil dimana-mana, mulai di situs mall online, iklan media dunia maya sampai baliho yang tersebar di sejumlah titik strategis di Jakarta bisa jadi informasi yang cukup buat Sabda. Tempat itu tidak lagi bisa disebut halte. Sebagian besar bangunannya rusak parah. Satu pilarnya telah jatuh, teronggok dan penyok. Ada bangku-bangku hancur, beberapa diantaranya ternoda darah yang mulai mengering.
Tidak jauh dari sana, beberapa ambulans dan petugas berseragam putih yang bolak-balik tampak sibuk. Bunyi sirenenya meraung, menulikan telinga dan membuat suasana kian mencekam. Debu beterbangan, juga asap dari sebuah truk penabrak yang bagian depan hancur berat. Ada yang terjepit di sana, entah sudah meninggal atau masih bisa diselamatkan, yang jelas sejumlah petugas tengah berusaha mengeluarkannya. Beberapa orang berseragam hitam dengan kamera atau ID pers tiba, sibuk mencatat, memotret dan mencari orang yang cukup sehat untuk diwawancarai.
Lutut Sabda gemetar, tapi cowok itu menolak menyerah dan berlutut. Dia melihat ke segala arah sebelum mulai berlari, mencoba lebih dekat. Beberapa polisi mencoba menghentikkannya, namun Sabda gesit berkelit. Perhatiannya terhisap sepenuhnya pada apa yang berada di sekitarnya, membuatnya tidak sadar tali sepatunya lepas. Bukan masalah pada langkah-langkah awal, sampai akhirnya Sabda terjatuh karena tersandung oleh tali sepatunya sendiri, tersungkur ke jalan yang keras. Cowok itu mengerang tatkala telapak tangan dan sikunya disengat nyeri tajam, lalu ada sesuatu yang basah mengalir menuruni sikunya sampai ke ujung jari, menetes ke aspal penuh pecahan kaca. Darahnya sendiri.
Telinganya berdenging dan dengingan itu tidak mau berhenti, bergema kian keras dalam batok kepalanya seperti jam beker rusak.
"KAK SETRA!!!"
Sabda berteriak sekuatnya. Tenggorokannya terasa sakit, tapi dia tidak peduli. Tidak ada yang menjawab teriakannya. Dan tanpa dia sadari, air mata mulai menetes satu-satu ke pipinya.
"KAK SETRA!!!"
Tangisnya pecah, masih tanpa isak atau suara. Wajahnya basah, seperti kena terjang oleh air bah dari bendungan yang jebol.
"KAK SETRA!!! KAK SETRA!!! KAK SETRA!!!"
Teriakannya kian melemah, kontras dengan lukanya yang makin banyak meneteskan darah.
They said it is loss which teaches people about the worth of things.
Tidak. Sabda menolak untuk kehilangannya. Iya, semua akan mati pada waktunya, tapi tidak sekarang buat Setra. Sabda belum sempat meminta maaf padanya. Sabda belum memberinya kue ulang tahun dan pelukan juga hadiah yang sudah dia siapkan. Sabda belum membayar setiap tahun-tahun dingin yang penuh kesepian, kesalahpahaman dan kemarahan yang tidak diperlukan. Dia terlalu sering menyakiti hati Setra, bersikap masam padanya tanpa sekalipun memberinya kesempatan bicara.
Sabda bersumpah, jika Setra pergi sekarang, sampai kapanpun, bahkan hingga kehidupan setelah mati, dia tidak akan pernah memaafkannya.
"Sabda?"
Sabda telah begitu dekat pada tahap kehilangan harap saat seseorang menyebut namanya. Masih dengan wajah yang basah, cowok itu berbalik, mendapati sosok yang dia cari berdiri beberapa meter di depannya, diantara debu yang mewarnai udara. Rambutnya berantakan. Ada bercak darah di kaus yang dia kenakan. Jalannya agak terpincang, namun matanya menatap Sabda dengan penuh rasa sayang. Ada lapisan kaca tercipta di sana, membuatnya tampak seolah-olah bisa pecah sewaktu-waktu, menjelma ke dalam titik-titik air mata.
Sabda tersekat, lalu dia mulai berlari tanpa peduli kalau tali sepatunya yang belum diikat rapi bisa bikin dia terjatuh lagi. Cowok itu meraih Setra dalam pelukan, mendekapnya erat. Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan, tapi kini, tangisnya yang meledak diwarnai oleh rasa syukur. Sabda mendekap kakak sulungnya dengan sangat erat, menolak melepaskannya untuk beberapa saat.
Sayangnya, akhir yang bahagia di mana semua yang ada dalam cerita baik-baik saja, seringkali hanya ilusi. Secepat harap Sabda dikembalikan, selekas itu pula kelegaannya dihempaskan. Dalam dekap adik terkecilnya, tubuh Setra lunglai, ditinggal kesadaran.
*
Saat kesadaran Setra kembali, hidungnya langsung diserang oleh bau antiseptik yang membuat kepalanya kian pusing. Cowok itu mengerjap, awalnya merasa silau oleh sorot cahaya lampu di langit-langir ruangan yang dominan berwarna putih. Dia mengernyit, mengerang samar ketika itu memunculkan denyut sakit pada salah satu bagian di kepalanya. Kemudian, pelan-pelan segalanya menjelas dan Setra tersadar, dia tidak sendirian di ruangan itu. Eden, Rasi, Jo, Arkais dan Lucio mengelilingi tempatnya terbaring dengan wajah khawatir yang kini terganti oleh kelegaan. Setra menghela napas, terbatuk lirih sementara Arkais tersenyum lebar dan Jo menepuk-nepuk kakinya yang berada di bawah selimut.
"Akhirnya, bayi besarnya bangun."
"Gue di mana?"
"Rumah sakit." Jo menjawab, mewakili yang lain karena baik Lucio dan Arkais tampaknya terlalu terharu buat bicara. "Kepala lo terluka, cukup parah dan mengeluarkan banyak darah, tapi lukanya sudah dijahit. Lo syok, tapi bakal baik-baik aja dan sudah bisa pulang besok pagi. Feeling great?"
"Ah, kecelakaan itu." Setra teringat pada peristiwa yang terjadi di halte. Semuanya berlangsung secara tiba-tiba, membuatnya nyaris tidak bisa membaca situasi. Dia sedang duduk menunggu busway di halte ketika sebuah truk besar melaju dari satu arah, kehilangan kendali karena rem yang blong dan tanpa bisa dihindari, menabrak bangunan halte. Setra duduk agak di sisi dalam, jadi dia tidak terluka separah mereka yang menunggu di bagian depan. Hanya saja, kepalanya sempat tersenggol pilar yang roboh, juga terkena serpihan dari kaca yang pecah. Kesadarannya tengah menipi kala dia mendengar suara Sabda meneriakkan namanya, memaksanya menyeret langkah menuju sumber suara.
Arkais berdeham, merasa harus melegakan tenggorokannya sebelum bicara. "You're a lucky man."
"Indeed." Setra membenarkan seraya menukar posisi berbaringnya jadi duduk. Refleks, seseorang yang berada di sisi ranjangnya membantunya. Setra menoleh, baru sadar kalau Sabda juga ada di sana. Cowok itu pucat. Rambutnya berantakan dan dari matanya, kelihatan sekali dia stress, lelah juga butuh tidur sejenak. Tangannya gemetar. Dia tidak bicara, membisu tanpa kata di samping kasur Setra.
"Come on, guys, give this man and his brothers privacy." Jo berinisiatif menggiring orang selain Rasi dan Sabda keluar dari kamar perawatan Setra. Mereka menurut, berjalan tertib keluar dari ruangan. Usai Jo menutup pintu, yang ada selama sebentar adalah keheningan. Rasi terdiam canggung, masih memegang wadah berisi potongan buah melon di tangan. Sabda tetap tak mengatakan apa-apa.
"Sabda," Setra meraih tangan Sabda, menggenggamnya lembut, tapi cukup erat hingga tangan itu tidak lagi gemetar. "Kenapa diam?"
Sabda menggigit bibir, namun gagal menahan air matanya supaya tidak jatuh. Air matanya kembali menetes, berkejaran menuruni pipinya. Sabda tertunduk, enggan balik memandang kakak sulungnya.
"Tangan kamu luka. Sakit?"
Sabda menggeleng, yang Setra abaikan sebab cowok itu malah berpaling pada Rasi. "Rasi, bisa minta tolong ke Jo untuk bawain kotak obat ke sini? Luka di lengan Sabda belum dibersihin dan—"
Sabda memotong parau nan tajam, membuat Setra dan Rasi spontan menoleh padanya. "Apa harus selalu kayak gini?"
"Maksud kamu?"
"Sabda," Rasi memperingatkan tegas, mengira Sabda akan mulai mengucapkan kata-kata yang berpotensi membuat Setra sakit hati. "Nggak sekarang."
"Harus selalu begini ya?" Sabda mengabaikan air mata yang seperti tidak mau berhenti menetes. "Kak Setra harus selalu kelewat peduli sama orang lain, bahkan dalam kondisi kayak sekarang? Harus selalu merasa memastikan orang lain baik-baik aja sekalipun Kak Setra lagi nggak baik-baik aja?"
Setra terkejut, namun kemudian tatapan matanya melembut. "Sabda,"
"Aku takut." Sabda memotong cepat, bicara tanpa jeda karena takut dia akan tersedak oleh tangisnya sendiri. "Aku belum pernah setakut itu sebelumnya. Aku takut aku nggak bakal bisa lihat kakakku lagi. Aku takut, kakakku akan pulang dalam peti, sama kayak Mama. Aku takut, sekeras apa pun aku manggil, kakakku nggak akan bisa menjawabnya. Aku takut kakakku pergi sebelum aku bisa bilang ke dia kalau aku bener-bener sayang, kalau selama ini, sendiri di rumah bikin aku kesepian, kalau aku kepingin kakakku datang nonton aku main futsal. Aku kepingin kakakku belain aku ketika aku berantem sama senior. Aku kepingin begadang main game sama kakakku sampai pagi. Aku takut, kakakku bakal beneran pergi sebelum aku sempat bilang kalau aku nggak pernah benar-benar ingin kakakku berhenti jadi kakakku. Bahwa apa yang terjadi selama ini bukan salahnya, tapi salahku. Aku—" kata-kata Sabda terjeda oleh isak. Bahunya berguncang. Tangisnya mengeras sampai-sampai dia kesulitan bicara. Tentu, Setra tidak membiarkan adiknya terlihat semenyedihkan itu. Dia memeluk Sabda, mendekapnya erat hingga bahunya tidak lagi berguncang. Air matanya ikut jatuh, merembes ke bagian bahu kaus yang Sabda pakai.
"Kak Setra nggak bakal ninggalin aku, kan? Sebab setahu aku, kakakku nggak akan bikin aku kesepian. Kakakku itu tipe kakak yang akan datang nonton aku main futsal meski udah aku larang. Kakakku bakal belain aku saat aku berantem sama senior. Kakakku akan nemenin aku main game sampai pagi—"
Setra mengangguk sekuatnya, sambil masih memeluk Sabda. "Iya. Kakak kamu itu orang yang seperti itu."
"Makasih." Sabda berbisik, merengkuh punggung Setra, membuat jeda diantara mereka kian tidak bersisa. Sudah lama sekali sejak Sabda betul-betul dipeluk oleh Setra seperti sekarang. Dekapannya masih sehangat dulu. Lengannya masih sekokoh yang Sabda ingat. "Makasih udah balik. Makasih untuk nggak ninggalin aku. Makasih... makasih... makasih..."
Pelukan mereka bertahan hingga beberapa jenak berikutnya, terusik oleh Rasi yang tak diduga, ikut terisak juga. Bedanya, dia kelihatan konyol, menangis sambil memegang mangkuk berisi potongan melon. Lebih lucu lagi, cowok itu berdiri beberapa langkah dari ranjang tempat Setra berada, membuatnya kelihatan seperti orang ketiga.
"Kenapa kamu nangis?" Sabda bertanya di sela isaknya, terdengar seperti sebuah protes.
"AKUNYA NGGAK DIPELUK HUHUHU... KALIAN JAHAT..."
"Oh, both of you are so silly. Come here." Setra merentangkan salah satu tangannya, membuat ruang lain yang langsung Rasi isi. Mereka saling mendekap, larut dalam air mata dan kehangatan rengkuhan lengan masing-masing. Tenggelam terlalu jauh di dalamnya, tak menyadari bahwa diam-diam Eden mengintip dari celah pintu. Cewek itu ikut menyeka air mata yang membayang di pelupuk mata, lantas menutup pintu pelan-pelan supaya tidak menimbulkan suara.
"Terharu?"
Eden berbalik dan sosok Emir yang melipat tangan di dada langsung menyambutnya.
"Cuma orang yang nggak punya hati yang nggak akan terharu ngelihat Kak Setra dan adik-adiknya." Eden berkilah, malu tertangkap basah barusan menangis diam-diam. "Tiga-tiganya keras kepala, saling menyakiti karena gengsi. Bikin kesal. Tapi sekarang aku lega, karena setelah ini, sepertinya mereka akan baik-baik aja."
Emir tidak menyahut, malah membuat bentuk persegi dengan ibu jari dan jari telunjuk kedua tangannya, bersikap seakan-akan kotak itu adalah kamera.
"Lo ngapain?"
"Click."
"Dih, aneh."
"I want to preserve you in my memory."
"Apaan sih, Emir?" Eden berdecak, merasa ada makna tak menyenangkan di balik ucapan Emir. "Lo ngomong kayak gitu udah kayak mau pergi jauh aja."
"This is only one part of something passing."
"Hah?"
Emir mengerling, malah melanjutkan bicara—yang sejujurnya lebih terdengar seperti senandung. "You can write this down, I believe you will pass on."
"Lo... nyanyi?"
"It's more natural if you leave it to the flow."
"EMIR NOVAWIRA!"
"But I don't want this to sound like I'm about to depart."
"Bodo. Gue nggak mau ngomong sama lo."
Seolah-olah tidak terpengaruh, Emir tetap meneruskan. "If I ever get lost, I wasn't going to make it obvious."
Eden mendengus. "Entah lo lagi nyanyi beneran atau cuma mau bikin gue kesal."
"Kisa," Emir akhirnya memanggil.
"Apa?"
"Hope everything will always feel like home."
*
Rasi baru meletakkan semangkuk melon yang telah dia kupas dan potong ke atas nakas logam di samping ranjang tempat Setra terbaring saat pintu dikuak, disusul kemunculan Eden dari sana. Sabda pergi ke restoran di depan rumah sakit untuk makan bersama Jo, Lucio dan Arkais, sedangkan Setra telah terlelap, butuh istirahat sejenak sebelum pulang besok pagi.
"Bisa ngomong bentar?"
"Tumben minta izin."
Eden mendengus. "Mau apa nggak? Ini berhubungan sama kado yang belum sempat gue kasih ke lo tempo hari. Lo manito gue, ingat?"
Mata Rasi langsung menyala oleh rasa excited yang tidak bisa ditutupi. "Mau! Mana kadonya?"
"Nggak bisa gue kasih di sini."
"Terus di mana?"
"Ikut makanya."
Antusiasme Rasi terganti penasaran. Bagusnya, dia tidak cerewet dan mengikuti Eden dengan tenang. Semula, Rasi kira Eden bakal membawanya keluar dari rumah sakit. Namun ternyata tidak. Cewek itu malah memimpin langkah menuju bagian lain rumah sakit, ke bangsal khusus untuk merawat anak-anak yang sakit kanker. Sekarang sudah lewat dari jam tujuh malam, jadi ruang tempat anak-anak biasa bermain telah kosong. Sebagian besar dari mereka pasti telah beristirahat di kamar masing-masing.
"Lo ke sini mau—"
"Cuma di sini gue bisa menemukan piano terdekat." Eden tertawa, menunjuk pada piano tua di sudut ruangan.
"Lo ngado gue piano rumah sakit?"
"Sstt... lihat dulu." Eden berkata sambil menarik Rasi menuju piano yang dimaksud. Ketika mereka sudah duduk bersebelahan di kursi piano yang tidak seberapa besar—jujur, Rasi tuh makan tempat banyak banget—Eden membuka kotak besar yang sudah dia bawa sejak tadi, mengeluarkan bando lucu dengan dua telinga kelinci yang mencuat. Eden memasang bando itu di kepalanya, membuatnya terlihat berkali-kali lipat lebih cute.
"Heaven," Rasi tidak tahu harus bilang apa kala kesepuluh jemari Eden mulai menari di atas tuts hitam-putih piano. Permainannya kaku, khas pemula yang paling banter baru mempelajari beberapa lagu. Tapi ketulusan di matanya, juga melodi yang dia mainkan membuat Rasi... merasa tersentuh.
Lagu itu adalah soundtrack opening film animasi tentang lebah sebatang kara yang merindukan ibunya.
Permainan Eden singkat, tidak lincah dan sempat terputus di tengah karena Eden perlu mengingat tuts mana lagi yang harus dia tekan. Meski begitu, di akhir Rasi sampai berdiri dan bertepuk tangan keras-keras buatnya. Dari ekspresi wajahnya, amat kentara jika Rasi merasa terharu.
"Jangan bilang kalau lo bela-belain belajar mainin lagu itu cuma buat ngadoin gue?"
"Kalau gue jawab iya, lo bakal terharu nggak?"
"Banget."
Eden tersenyum lebar. "Iya."
"Heaven,"
"Iya?"
"Makasih kadonya. Suka banget." Rasi berbisik, suaranya jauh lebih rendah dan terdengar serius, berbeda dengan cara bicaranya sehari-hari yang terkesan serampangan dan tak pakai dipikir dulu. "Tapi boleh minta kado tambahan nggak?"
"Kado apa?" Eden balik bertanya.
"Ada pembukaannya dulu tapi."
"Yaelah, udah kayak undang-undang aja."
"Beneran! Kalau nggak pake pembukaan, nanti lo nuduh gue cari kesempatan." Rasi membela diri. "Dengerin baik-baik ya, soalnya gue nggak bakal ngulang lagi. Kan ini bukan siaran FTV Indosiar."
"Nggak usah sok drama Korea, Aci. Ngomong aja."
"Masih ingat kapan pertama kali ketemu?"
"Ah, yang waktu itu? Gimana gue bisa lupa? Lo adalah orang paling menyebalkan yang bikin gue bete terus-terusan sepanjang hari."
Rasi tertawa kecil. "Don't blame me. Lagian lo lucu banget, ngaca kok di kaca mobil orang. Tapi harusnya lo seneng dong, karena bisa nonton futsal di samping cowok ganteng kayak gue."
"Ini pembukaannya kok bikin gue pengen nonjok lo ya?"
"Haha. Oke-oke, sekarang gue serius. Jadi waktu itu, gue sengaja datang karena Sabda main futsal. Dia nggak bakal mau lihat gue di sana, gue tahu itu. Kita serumah, tapi saling menghindari satu sama lain. Hari itu, setelah pertandingan selesai, gue mencoba menemuinya di ruang ganti. Lo sudah tahu seperti apa akhirnya. Dia sama sekali nggak senang."
Eden manggut-manggut, kini mengerti kenapa kala itu, dia merasa terjebak dalam medan perang saat mendapati dirinya berada diantara Setra, Rasi dan Sabda.
"Jujur, gue merasa down banget. Gue nggak pernah membenci Sabda. Dia adik gue. Gue sayang sama dia. Gue bukan jenis orang yang gampang dapat teman dan dua saudara gue adalah beberapa dari sedikit teman terdekat yang gue punya. It's killing me. He seemed to hate me so much back then. Buat menghibur diri, gue pergi ke kolam di tengah departemen gue. Ada ceruk kecil di tengah kolam, tempat di mana anak-anak biasa ngelempar koin dan bikin harapan, terutama waktu musim ujian. I made a wish that day."
"A wish?"
"It was very lonely." Rasi tersenyum tipis. "I made only one wish. I want to have someone that will hold me tight."
"Rasi..."
"Kemudian lo hadir dan nggak tahu sejak kapan, lo jadi bagian penting buat hdup gue." Rasi menatap Eden, lekat. "I'm in love with you, Kisa Eden Philomena. The one who makes heaven feels so real. I love you."
"Rasi, gue—"
"I know, I know. Lo sayang sama Kak Setra. Gue menerima itu, kok. Lagipula, siapa yang nggak akan sayang sama orang kayak Kak Setra. Tentu, awalnya gue merasa nggak adil. Kenapa harus Kak Setra? Kenapa gue harus bersaing dengan kakak gue sendiri untuk mendapatkan hati cewek yang gue suka. Tapi kemudian, gue tersadar, Kak Setra juga nggak mau ini terjadi dan sekalipun dia sayang sama lo, kalau lo memilih gue atau Sabda, dia nggak akan marah dan mempertanyakan semuanya, nggak seperti yang gue lakukan. Jadi gue rasa, gue nggak akan kenapa-napa... selama lo masih mau temenan sama gue." Rasi tersenyum lagi. "For now... can I hold you... just for a while?"
Eden terperangah, tapi kemudian dia berdiri dan merentangkan tangan. Rasi tertawa keras, turut beranjak untuk merengkuh cewek di depannya. Dia memeluk Eden erat, hangat, mengangkatnya sampai kaki Eden tidak menapak ke lantai. Tubuh Eden yang mungil dengan mudah tenggelam dalam pelukan Rasi.
"Thankyou." Rasi berbisik, menunduk dan memandang Eden tepat di mata begitu pelukan mereka terlepas.
"No, thankyou." Lantas sebelum Rasi menyadari apa yang akan Eden lakukan, cewek itu telah berjinjit, menyentuh pipi Rasi dan menjatuhkan sebuah kecupan lembut di garis rahangnya. "No matter what happen, I promise I'll always be there to hold you tight."
Kelegaan seketika membanjiri Rasi. Itu semua sudah cukup baginya. Setidaknya... untuk sekarang.
Suara ketukan di pintu ruangan yang terbuka berhasil menghentikan kontak mata yang sempat terjadi sejenak diantara mereka. Sabda berada di sana, berdiri kaku. Kehadirannya membuat Rasi menggaruk belakang lehernya salah tingkah.
"Sori, gue ganggu?"
"Nggak." Rasi menukas, cepat.
"Bisa ngomong sebentar sama Eden?"
"Sure." Eden membalas.
"Tapi nggak di sini."
Eden mengangguk, menjauhi Rasi untuk mengekori Sabda. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor rumah sakit yang sepi, berbelok di beberapa persimpangan dan berhenti sewaktu tiba kafetaria. Sabda sengaja memilih meja yang berada di pojok, dekat jendela yang terhubung dengan taman salah satu bangsal.
"Mau ngomongin apa?"
"Nggak mau pesan minum atau apa kek gitu?" Sabda malah bicara soal sesuatu yang lain.
"Sabda," Eden meletakkan tangannya di atas telapak tangan Sabda. "Just say it."
"Soal kakak-kakak gue," Sabda akhirnya memulai. "Selama ini, gue menyalahkan mereka karena sudah membuat gue merasa ditinggalkan, merasa kesepian, merasa sakit karena kemana-mana sendirian. Tapi hari ini gue sadar bahwa bertahun-tahun belakangan, justru gue yang paling bersalah. Seharusnya, mereka membenci gue karena itu."
"Mereka nggak pernah membenci lo, Sabda."
"Memang." Sabda membenarkan. "Ketika seharusnya, mereka melakukan itu."
"Kenapa lo mikir gitu?"
"Because they better off without me. Selama ini, gue berpikir mereka yang nggak pernah jadi saudara yang baik buat gue, ketika kenyataannya, malah gue yang justru nggak pernah jadi saudara yang baik buat mereka."
"Sabda, jangan berpikir begitu. Everything's gonna be alright."
"Hanya supaya lo tahu, kalau gue... sadar selama ini gue sudah terlalu egois." Sabda menarik tangannya dari tangan Eden. "Gue merasa bersalah ke Kak Setra. Waktu kita pulang dari Bandung, gue kelihatan marah. Bisa jadi, gue memang marah sama dia. Namun setelah berpikir, juga mendengar apa yang Rasi bilang—sumpah, gue nggak berniat menguping—gue mengerti bahwa kita nggak bisa mendapatkan semua yang kita mau dalam hidup. Buat gue, jika gue harus memilih, gue lebih suka melihat saudara-saudara gue bahagia daripada menuruti ego gue sendiri."
"Gue senang." Eden tersenyum lebar, mengusap pelan lengan Sabda. "And I'm so sorry."
"Nggak perlu minta maaf. Apa pun yang terjadi, siapapun yang lo cintai, gue nggak akan pernah berhenti bersyukur buat kehadiran lo di hidup gue." Sabda balik menggenggam jemari Eden. "You didn't return my feeling, but you gave me something better."
"I don't understand."
"You gave me a family, and a place to come back home."
Eden merasa kepalanya begitu ringan. Dia dilambungkan oleh rasa senang. Seumur hidupnya, dia tidak pernah merasa hadirnya bisa seberarti ini. Cewek itu berdiri dari duduk, memeluk Sabda erat. Sabda terkejut, tapi kemudian balik memeluknya. Dia menarik napas dalam-dalam di bahu Eden, menyimpan segala sesuatu tentang wangi khas gadis itu dalam memori olfaktorisnya.
Hingga kemudian, kehadiran seseorang di kejauhan, yang memandang padanya, membuat dekapannya pada Eden melonggar.
"Papa?"
Eden mengernyit, melepas pelukannya dan menoleh ke arah pandang Sabda. Sesosok laki-laki setengah baya dengan tubuh sejangkung Rasi dan garis wajah yang mirip Setra berdiri di sana, menatap kikuk dan canggung. Eden lalu kembali menatap pada Sabda. Seharusnya, ini semua berakhir bahagia. Hubungan Setra dan Papa mereka membaik, cowok itu pulang ke rumah dan mereka bisa kembali jadi keluarga bahagia walau tanpa kehadiran Mama.
Sayangnya, menilik dari ekspresi gusar di wajah Sabda, Eden tahu semuanya tidak akan sesederhana itu.
bersambung ke interlude
***
Catatan dari Renita:
halo. akhirnya kita ketemu lagi. sorry that i took a long time to update. kemarin-kemarin cukup sibuk dengan program dan hopefully, semuanya minggu ini kelar. setelah KKN, main focus gue bakal cuma tugas akhir jadi semogaaaa, renita bisa lebih aktif lagi di dunia jingga.
by the way, nggak kerasa, sebentar lagi cerita ini selesai. ada tiga bagian yang tersisa: interlude, final verse dan outro. gue mau mengucapkan terimakasih buat kalian yang sudah setia menunggu, comment, votes selama tiga bulan lebih belakangan. dalam interlude dan final verse, gue rasa gue bakal me-reveal beberapa surprise terakhir dari setra dan emir. juga sedikit gambaran soal gimana hubungan emir-eden dan emir-sabda di masa lalu.
everything affects everything in this universe, you gotta keep that in mind. guardiationship bisa jadi berpengaruh buat parallel lines (ceritanya arkais), arkais bisa saja berpengaruh pada DLP (ceritanya taeil-injun-jeno-nana) dan DLP bisa saja berpengaruh pada ceritanya chenle-jisung atau ceritanya Jo-Moon-Jongin atau ceritanya Kak Doyoung dan Arin (buat yang nggak ngerti, harap cek highlight instagram gue yang judulnya bf: johnny suh, kak doy, arkais, dan convos) wkwkwkwk
gue sangat menikmati menulis cerita ini, tanpa terasa.
gue tahu, kalian pasti penasaran, eden akan berakhir sama siapa. dan gimana nasib yang lainnya jika eden memilih yang satu. gimana cerita eden dan emir di masa lalu. atau sabda dan emir di masa lalu. atau alternate universe sekiranya eden berakhir dengan emir atau gimana kalau sabda dan emir nggak pernah marahan.
gue mungkin bakal posting sedikit potongan extra chapters untuk menjawab rasa penasaran itu.
btw menurut kalian, kalau cerita ini dijadiin buku gimana? nah dont worry, gue selalu menyelesaikan semua cerita gue di wattpad. kalau dirasa nggak perlu ya nggak usah. to be honest, gue juga bukan orang yang terpikirkan untuk serajin itu bikin buku. wkwk gue sangat berhati-hati dalam memilih penerbit atau menerbitkan buku sekarang.
gue berencana untuk tetap stay di dunia oren ini buat waktu yanggg sangat lama, selama masih ada pembaca yang menunggu cerita gue. gue suka interaksi langsung antara gue dan pembaca, sesuatu yang menurut gue nggak bisa gue dapet kalau gue menulis dan langsung menerbitkan (karena nggak semua orang bisa dateng ke acara macam booksigning) dan entah kenapa kayaknya ada jarak aja antara pembaca dan penulisnya kalo gitu haha.
thanks for your support, gaes.
lets continue to be happy together for a very long time.
semoga hari kalian selalu baik dan sampai ketemu lagi di chapter selanjutnya.
ciao.
Published in February 3rd 2019
Pemalang, 18.40
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top