twelfth note

There's no other love like the love for a brother.

There's no other love like the love from a brother.

—Terri Guillemets—

*

"Kisa, jangan lari naik tangganya, nanti lo jatuh!"

Eden mengabaikan seruan Emir yang mengekor di belakangnya ketika dia berlari cepat menapaki tangga menuju kamar tidurnya yang berada di lantai dua. Dia memang sudah merasa tidak enak sejak bangun tadi, namun dia tidak mengira jika Emir bakal sejahat itu dan membiarkannya menemui satu—oke, bukan hanya satu, tapi dua cowok meskipun yang satunya tidak waras-waras amat—dengan celana berhias bendera Jepang. Selera humor cowok itu masih sebobrok dulu, serupa dirinya masa SMP yang Eden kenal. Puas bikin Eden malu bukan kepalang di depan Setra dan Rasi, Emir langsung bergulingan di lantai halaman, tertawa keras-keras sampai hampir mati—oh ralat, faktanya, dia kan memang sudah mati. Intinya, Emir sangat-sangat-sangat menyebalkan. (sumpah, tiga kali kata sangat pun tidak bisa mewakili kekesalan Eden pada cowok itu sekarang).

"Kisa!"

Eden bermaksud membanting pintu tepat di depan wajah Emir, biar mirip adegan sinetron yang dramatis gitu, tetapi Emir dengan kemampuan ala guardian angelnya santai saja ngeloyor menembus pintu. Dia memandang Eden tanpa dosa, betul-betul tidak tahu bahwa dia telah membuat Eden kehilangan lebih dari tiga perempat keberaniannya buat melihat Setra dan seperempat semangat untuk tetap hidup dan melihat matahari terbit esok pagi.

"LO JAHAT BANGET!"

"Oke. Gue minta maaf tapi kan itu—"

"TAPI APA?!" Eden bisa menahan diri lagi. Dia bahkan tidak peduli seandainya Setra atau Rasi yang berada di lantai bawah bisa mendengar suaranya.

"Cuma... noda di celana."

"INI BUKAN CUMA NODA DI CELANA, EMIR NOVAWIRA!"

"Terus apa?" Emir mengangkat alis, menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal lalu meneruskan dengan wajah ragu. "... bendera Jepang?"

"Lo ini kalau dibacain doa kepanasan nggak? Rasanya pengen gue baca kitab suci bolak-balik biar lo gosong sekalian macam baru kena tembak flamethrower!"

"Kisa, gue bukan setan."

"EMANG BUKAN! SETAN ITU DI MANA-MANA BIKIN TAKUT, BUKAN BIKIN MALU!"

"Hng..." Emir makin bingung. "Gue... minta maaf ya?"

Eden hanya berdecak keras seraya menghentakkan kaki, lantas berbalik dan masuk ke kamar mandi diiringi ancaman. "Kalau lo sampai berani masuk ke kamar mandi, gue pecat lo sebagai guardian angel gue!"

Emir tidak menjawab. Untungnya begitu, karena Eden sedang benar-benar kesal sekarang. Bukan hanya hormonnya yang jadi tidak stabil gara-gara kedatangan tamu bulanan atau rasa malu yang menggunung sebab dari semua cowok sedunia, harus Setra dan Rasi yang melihat cap bendera Jepang di bagian belakang celananya, namun juga karena sakit perut yang mulai terasa. Seperti beberapa cewek lain, Eden kerap mengalami nyeri perut setiap kali datang bulan, walau tidak separah orang-orang yang sampai harus pingsan dan tidak bisa beraktivitas dengan normal.

Cewek itu mencoba menenangkan diri sebentar sambil membiarkan suara air yang jatuh dari keran memenuhi seisi kamar mandi. Dia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Yasmine pernah keranjingan ikut sesi yoga di minggu-minggu awal kuliah, katanya bagus untuk pereda stress. Meski hanya bertahan selama dua minggu, namun Yasmine berhasil mencekoki Eden dengan beberapa teknik dasar yoga. Awalnya, Eden pikir itu konyol, tetapi sekarang... bernapas ternyata bisa membuat emosinya pelan-pelan menurun.

Yah... hanya sebentar, karena...

"HEAVEN, YOU OKAY?!"

Rasi memang seberisik itu, sampai-sampai suara air yang mengalir deras ke dalam bak mandi saja tidak mampu meredam suaranya.

"OH MY GOD, HEAVEN!? ANSWER ME!"

Bukannya tersanjung karena Rasi terdengar sangat cemas, Eden justru malah kian jengkel.

"HEAVEN, I'M GOING TO OPEN THIS DOOR AND—"

"BUSET, CEREWET BANGET LO YA!?" Eden menggeram kesal, bangkit dari atas penutup toilet yang dia duduki untuk meredakan sakit perutnya usai berganti celana, kemudian mematikan keran sebelum akhirnya menguak pintu. Wajah polos Rasi langsung menyapanya. Sejenak, Eden terpana karena Rasi kelihatan benar-benar khawatir. Dia sangat pucat. Ada panik membayangi matanya. Sementara itu, di belakangnya, tepat di ambang pintu kamar Eden yang kini sudah terbuka, Setra berdiri dengan dahi terlipat.

"Lo... baik-baik aja?"

Eden berdeham dengan wajah merona malu. "Gue... baik-baik aja. Kenapa lo nggak dengerin gue? Tadi kan gue udah bilang, tunggu di bawah!"

Rasi menelan ludah dengan gugup, lantas menoleh dan beradu pandang dengan Setra. Seperti tengah berkomunikasi lewat telepati, keduanya mengangguk kompak, diikuti Setra yang angkat bicara. "Kita khawatir, takut kamu jatuh di kamar mandi atau apa..."

"Benar. Jadi plis, jangan bunuh gue." Rasi menimpali, kini mulai mundur perlahan dan menjauhi Eden.

"Lo bicara seakan-akan gue ini Godzilla yang siap—"

"Gue nggak pernah menstruasi. Atau punya bendera Jepang di belakang celana gue. Tapi gue... cukup tahu soal masa-masa di mana cewek bisa berubah jadi lebih ganas dari T-rex sebulan sekali." Rasi tambah gugup ketika melihat Eden melotot saat dia menyebut bendera Jepang. "Dulu... ah, oke. Gue bakal diam."

"Bagus, karena sekali lagi lo ngomong panjang lebar dengan suara yang bikin kuping gue sakit, gue telan beneran lo."

Rasi menelan ludah, dibikin kicep oleh kata-kata Eden. Begitupun Setra. Kedua cowok itu diam, mengunci mulut mereka rapat-rapat dan tak mengatakan apa-apa. Mereka mengikuti Eden kembali ke ruang tengah rumah dalam hening. Emir ikut-ikutan bingung, hanya mampu berdiri sambil menonton dengan tangan terlipat ketika akhirnya Eden, Setra dan Rasi di sofa ruang tengah yang menghadap langsung ke televisi. Kecanggungan menyesaki ruangan, baru terpecahkan ketika tiba-tiba saja, Rasi meraih sebuah bantal sofa, menjadikannya pemisah antara Eden dengan sebuah boneka kelinci berukuran sedang di ujung sofa.

"Lo... ngapain?"

"Ngasih jarak. Biar... boneka kelincinya nggak kenapa-napa."

"Rasi—"

Rasi tidak memberi Eden kesempatan buat menyelesaikan kata-katanya. Cowok itu justru meraih bantal sofa yang lain, lalu menyodorkannya pada Setra. "Heaven kan lagi PMS. Jadi ini... bantal buat... hng... Kak Setra. Biar aman kayak kelincinya. Takutnya Kak Setra nggak sengaja nyenggol Heaven terus kena bacok. Nanti aku nggak punya kakak lagi."

"HEH!" Eden spontan berseru, berhasil membuat bukan hanya Rasi, tapi juga Setra tersentak kaget. "LO KIRA GUE MONSTER, HAH?!"

"Ampun."

Eden berdecak, diikuti satu hela napas panjang. "Oke, maaf. Gue mungkin jadi terlalu sensian dan galak ke lo. Tapi sumpah ya, tadi tuh malu-maluin banget. Mana lo pake nyebut bendera Jepang berkali-kali pula. Ngeselin. Walau gitu, lo ngerti kan kenapa cewek bisa jadi sensian, galak atau mood swings parah waktu lagi dapet?"

"Karena cewek lagi ngaktifin mode monsternya saat datang bulan?"

"Gue tadinya mau berbaik sangka, mikir kalau lo nggak sebego itu sebab lo bisa diterima kuliah di kampus yang sama dengan gue. Tapi ternyata gue salah. Lo emang sebego itu ya?"

"Ih, galak banget. Mainnya sama Sabda mulu ya? Jadinya ketularan bermulut pedas." Rasi cemberut.

"Bukan gitu, Rasi." Setra langsung memposisikan dirinya sendiri sebagai penengah. "Cewek jadi sensitif saat lagi datang bulan karena sebenarnya mereka lagi luka dalam. Pernah belajar bagian reproduksi waktu sekolah, kan? Jadi karena nggak ada pembuahan, dinding rahim meluruh. Organ menghancurkan dindingnya sendiri sampai terjadi pendarahan. Belum lagi masalah kadar hormon yang berubah dan berpengaruh ke emosi. Nggak mesti cewek, semua orang juga ketika lagi sakit atau luka pasti lebih sensitif dan emosional daripada yang sehat-sehat aja. Bukan karena cewek emang mau berubah jadi monster setiap bulan. Kalau mereka bisa memilih, mereka juga nggak mau jadi over sensitif atau moody parah kayak gitu, kok."

Rasi manggut-manggut pada penjelasan Setra, tapi kontan dibuat cengo ketika dilihatnya Eden tengah memandang kakaknya dengan mata berkaca-kaca, seakan-akan Setra adalah cinta dalam hidupnya yang sangat-sangat mampu mengerti dia dan baru dia temukan setelah lama dia cari sekaligus nantikan.

Oke, itu berlebihan, namun sumpah... menurut Rasi, Eden memandang Setra seolah-olah Setra adalah petugas pemadam kebakaran yang baru saja menyelamatkan kucing kesayangannya dari pucuk pohon tinggi.

Rasi jadi ngeri, karena Eden yang seperti itu kelihatan seperti bukan Eden. Tapi nggak mungkin juga dia kerusupan tiba-tiba. Rasi berani bertaruh, setan saja sepertinya takut mendekat saat melihat aura senggol-bacok yang tengah melingkupi Eden sekarang.

"Terus karena masalah hormon, sakit perut serta rasa nggak nyaman itu, cewek biasanya perlu dihibur waktu lagi dapet. Contohnya tuh kayak adiknya Lucio. Tiap bulan, Lucio pasti ngirimin cokelat ke rumahnya." Setra malah lanjut bercerita.

"Hm... oke... kalau gitu..." Rasi berpikir sejenak, lantas tak lama kemudian, dia beranjak bangun dari sofa yang dia duduki.

"KALAU GITU APANYA? LO MAU BERULAH LAGI YA—"

Rasi menginterupsi ucapan Eden dengan airmuka polos yang tiba-tiba bikin Eden merasa berdosa. "Gue... beli cokelat... dulu?"

Setra memiringkan wajah, semula tidak mengerti apa yang dimaksud Rasi. Tetapi setelah paham dengan apa yang dimaksud adiknya itu, Setra justru merasa ini adalah kesempatan buatnya untuk bicara empat mata dengan Eden. Tentu, yang mau dia bicarakan tidak akan jauh-jauh dari rencananya mengajak dua adiknya pergi ke luar kota di akhir pekan panjang minggu ini.

"Hng. Sori. Tapi lo nggak perlu—"

"Tepat sekali. Aku rasa Eden memang butuh cokelat."

"Oke... kalau gitu... aku beli dulu..."

"Oke."

"Sendiri?"

"Kamu mau ditemenin?" Setra balik bertanya. "Takut nyasar ya?"

"Nggak gitu!" wajah Rasi merona, jelas malu. "Oke! Kalau gitu aku beli cokelat sekarang! Heaven, tunggu sebentar ya! Superman pergi dulu dan beli cokelat buat lo!"

"Rasi, lo nggak perlu—"

Terlambat, Rasi sudah keburu ngibrit menuju pintu depan, diiringi oleh tatapan Emir yang kelihatan heran campur takjub. Heran, karena ada orang dengan karakter seperti Rasi. Takjub, juga karena ada orang dengan karakter seperti Rasi. Awalnya, Eden berniat menghentikannya karena toh dia juga tidak sedang kepingin makan cokelat. Namun Setra menahannya dan jika senyum cowok itu saja bisa membuatnya klepek-klepek, maka tatapan serius Setra punya kemampuan magis membuatnya lupa dia masih punya dengkul.

"Saya mau lanjut ngomongin soal yang tadi. Kamu... nggak keberatan kan?"

Asal sama Setra, kayaknya dibawa ke Ujung Kulon juga Eden tidak bakal keberatan.

*

Separuh diri Rasi merasa lega begitu dia berjalan melewati pintu pagar depan rumah Eden dan lanjut menyusuri jalan sendirian. Dia kangen Eden, sebetulnya. Sudah lewat beberapa lama sejak terakhir mereka jalan bareng di Dufan—dan percayalah, Rasi sudah mendeklarasikan hari itu sebagai salah satu hari terbaik dalam hidupnya. Tapi sekarang Eden sedang dalam masa super sensitif dan tanpa diberitahu, Rasi paham dia harus menjaga jarak. Jika di hari biasa saja Eden yang kesal bisa gregetan sampai kepingin mencekiknya, bukan tidak mungkin Eden yang lagi PMS bisa lepas kendali dan mengubahnya jadi kue lepet. Namun begitu, dia masih kangen Eden, jadi walau agak konyol, Rasi berharap cokelat dan es krim yang bakal dia belikan bisa membuat emosi cewek itu membaik. Setidaknya, dia jadi cukup jinak hingga Rasi bisa tetap aman berdekatan dengannya.

Namun demikian, dia tidak terlalu suka berjalan sendirian menuju minimarket. Hari sudah menjelang siang, namun awan mendung berdesakan menjejali langit. Suasananya jadi terasa seperti sore terlalu dini mampir. Trotoar sepi, Rasi hanya berpapasan dengan beberapa pedagang berwajah lelah yang terkesan tidak ramah. Cowok itu tertunduk, menendang batu kecil di trotoar ke sembarang arah dengan ujung kakinya diikuti gumam lirih.

"Very lonely."

Akan tetapi, perhatiannya lalu tersita oleh sesosok anak kecil yang sedang berjongkok di ujung trotoar di depannya beberapa lama kemudian. Anak itu sedang memainkan bunga-bunga liar yang tumbuh diantara sekumpulan gulma. Dia mengangkat wajah, menatap dengan mata membesar ketika Rasi mendekat. Mungkin heran, karena dibanding tubuh mungilnya, Rasi yang berdiri menjulang tampak seperti Buto Ijo.

"Hai—" Rasi menyapa sambil mengerling jahil.

"Kamu siap—"

"—Tayo!!" Cowok jangkung itu menyambung, masih dengan wajah playful yang malah bikin anak kecil di depannya mengerjap polos, makin bingung.

"Nama aku Tyo, bukan Tayo."

"NAMA KAMU TYO?!"

Bocah bernama Tyo itu mengangguk. "OMG! But it's not a problem, though. Tyo. Tayo. Beda tipis. Jangan-jangan malah kamu sebenarnya kembaran Tayo. Atau Tayo itu kembaran kamu yang durhaka terus dikutuk jadi bus."

"Aku nggak suka Tayo."

"Sama. Aku juga nggak suka Tayo. Daripada naik Tayo, aku lebih suka naik taksi online." Rasi terkekeh, lalu mengulurkan tangannya begitu saja. "Temenin aku yuk, ke minimarket. Nanti aku kasih es krim."

"Aku ni mau diculik ya?"

"Hah, kok gitu?!" Rasi memasang ekspresi shock yang jelas terlalu dramatis.

"Kata Mama, kalau ada yang ngajakin aku pergi-pergi terus janjinya aku bakal dibeliin es krim, berarti aku mau diculik."

Rasi tertawa kecil mendengar alasan yang diberikan Tyo. Bukan hanya karena Tyo terlihat lucu saat mengucapkannya, tetapi juga karena alasan itu membuatnya teringat pada masa silam. Tidak sama persis sebelumnya. Dan yang memperingatkannya ketika itu bukan Mama, melainkan Sabda.

Jadi dulu, ada tukang kue yang sering berjualan keliling melewati rumah mereka setiap hari, ketika waktu sudah menjelang sore. Tukang kue itu berdagang menggunakan tampah, yang dia usung di atas kepalanya. Rasi masih ingat, dia adalah perempuan setengah baya berkulit legam dengan senyum ramah. Kebanyakan jenis kue yang dia jual adalah kue basah khas jajanan pasar. Favorit Rasi adalah kue talam dan klepon. Di awal-awal, Mama selalu menurutinya, membiarkan Rasi menyetop tukang kue itu setiap sore dan kembali dengan beberapa kue talam di tangan. Namun lama-kelamaan, Mama jadi sering ngomel karena setelah kenyang makan kue basah, Rasi jadi enggan makan malam. Mama harus membujuknya bahkan mengancamnya beberapa kali supaya dia mau makan malam. Gara-gara itu juga, suatu kali, Sabda yang lelah melihat perdebatan Mama dan Rasi nyeplos begitu saja di meja makan.

"Jangan suka makan gituan kebanyakan, Aci. Ada racunnya."

"Bohong!" Rasi membantah seraya mengacungkan garpu di tangannya, bikin Sabda diam-diam menggeser kursi makannya lebih jauh. Biasanya kalau sudah kumat kesalnya setelah kalah debat, Rasi bakal melakukan sesuatu yang radikal seperti melempar sendok dan garpunya ke arah Sabda.

"Loh, kok malah kesal? Udah bagus aku kasih tahu."

"Kalau ada racunnya, kenapa aku nggak mati? Jelas kamu bohong!"

"Emang aku bilang racunnya bikin mati?"

"Terus racunnya bikin apa?"

"Bikin bodoh. Lihat aja, kamu lebih bodoh dari aku sama Kak Setra, kan?"

Jawaban Sabda bikin Rasi terperangah. Bocah itu terus memikirkan kata-kata Sabda hingga esok paginya. Lalu diam-diam, dia merasa jika apa yang dibilang Sabda itu boleh jadi benar. Diantara mereka bertiga, hanya dirinya yang paling rajin jajan kue basah.

Seharusnya semua berakhir dengan bahagia untuk semua orang, jika saja Rasi tidak menjawab blak-blakan ketika esok sorenya, dia kembali bertemu tukang kue itu lagi. Seperti yang sudah-sudah, tukang kue itu menawarkan dagangannya ketika dia melihat Rasi sedang nongkrong memainkan deretan pot bunga Mama di depan rumah.

"Kata adik aku, nggak boleh. Soalnya ada racunnya."

Satu sahutan sederhana yang berbuntut panjang, sampai Mama merasa bersalah dan meminta maaf berkali-kali pada si tukang kue. Rasi ngotot itu semua bukan kesalahannya, namun kesalahan Sabda. Sabda bersikeras, itu semua karena Rasi terlalu bodoh. Masa dibohongin begitu saja langsung percaya.

Lamunan Rasi buyar ketika tiba-tiba saja, Tyo berdiri untuk menggandeng tangannya. Sebetulnya, lebih tepat dikatakan, Tyo menggenggam salah satu jari Rasi. Wajar, karena tangan Rasi kelewat lebar jika dibandingkan dengan tangan Tyo yang mungil.

"Mau diculik juga nggak apa-apa. Asal beliin aku es krim."

"Mama kamu serem nggak? Nanti kalau ketahuan Mama kamu, bisa-bisa aku dijadiin bahan campuran tahu isi."

"Mama aku lagi kerja. Aku tadi ke sini sama mbak."

Mudah bagi Rasi menebak jika yang dimaksud oleh anak itu dengan 'mbak' adalah perempuan yang mengasuhnya. Cowok itu berpikir sejenak, sempat ragu, tapi akhirnya berlaku impulsif dan membiarkan Tyo mengekori langkahnya menuju minimarket. Rasanya lucu sekali, bukan hanya karena Tyo terus memegangi jari telunjuknya erat-erat seperti bocah yang baru pertama kali jalan-jalan di luar dan takut tersesat, namun juga karena perbedaan tinggi badan mereka yang signifikan. Rasi harus menahan diri untuk tidak meraih Tyo dan menggandengnya. Dia merasa gemas sendiri sebab mesti memperlambat langkah agar Tyo bisa berjalan tanpa terseok atau tersandung.

"Kamu suka es krim?"

"Suka banget." Tyo mengangguk. "Tapi Mama suka marah-marah kalau kebanyakan. Katanya nanti aku batuk."

"Aku juga dulu suka diomelin Mama."

"Karena suka es krim juga?"

Rasi menggeleng. "Diomelinnya sama, tapi karena kue talam, bukan es krim."

"Kue apa tuh?"

"Kue talam."

"Enak?"

"Enak banget. Kamu tinggal di mana? Nanti kapan-kapan aku bawain."

"Dekat-dekat sini juga. Tapi beneran mau bawain?"

"Iya, nanti pasti aku bawain!"

"Kenapa nggak sekarang aja?"

"Soalnya sekarang aku sibuk. Aku harus bawain es krim dulu untuk seseorang yang lagi PMS."

"PMS... itu apa?"

"Hng... PMS itu..." Rasi berpikir keras, berusaha mencari perumpamaan yang tepat untuk menjelaskan apa yang dimaksud PMS pada bocah sekecil Tyo yang paling banter baru masuk TK nol kecil. "Waktu sebulan sekali waktu perempuan hobinya marah-marah melulu."

"Berarti Mama aku PMS tiap hari?"

"Yah, itu sih emang Mama kamu yang hobi marah-marah."

"Iya. Terus aku nggak suka." Tyo malah curhat.

"Aku juga nggak."

"Tapi kalau nggak suka, kenapa mau dibawain es krim?"

"Ah, itu." Rasi tertawa, jenis yang tak diniatkan namun begitu lepas. "Mungkin karena aku lagi kangen banget sama dia, jadi walau dia lagi hobi marah-marah, aku pengen tetap ada di dekat dia. Jadi bisa lihat dia terus. Makanya, sekarang aku beliin es krim, biar dianya nggak marah-marah lagi."

"Aku nggak ngerti."

"Nanti, kalau kamu suka sama cewek, kamu bakal ngerti."

"Suka sama cewek?"

"Pokoknya gitu." Rasi nyengir, tidak lagi meneruskan obrolan mereka karena keduanya telah tiba di depan minimarket yang dituju. Minimarket itu sepi, hampir tidak ada pengunjung selain mereka. Sejenak setelah masuk, Rasi langsung meraih keranjang merah di salah satu sudut ruangan, mengisinya dengan berbagai jenis makanan dalam kemasan, mulai dari chips, es krim, cokelat, sampai minuman ringan beraneka rasa. Tyo sendiri tidak banyak mengambil barang. Dia hanya memilih satu es krim dan mendekapnya erat-erat seolah-olah es krim itu punya kaki dan bisa kabur sewaktu-waktu.

Rasi baru berhenti berkeliling dan mencermati produk yang dipajang di tiap rak dalam minimarket ketika keranjang merahnya telah penuh disesaki berbungkus-bungkus makanan. Tyo masih mengikutinya dengan wajah polos, tetap memeluk es krim seakan-akan nyawanya bergantung di sana. Cowok itu tertawa melihat bocah kecil yang mengekorinya macam anak bebek, lantas melanjutkan langkah menuju kasir. Petugas penjaga kasir tampak takjub, namun tidak mengatakan apa-apa dan menghitung satu-persatu belanjaan yang Rasi ambil dengan mendekatkan barcode di masing-masing kemasan pada mesin scanner. Rasi mencermati angka demi angka yang tertampil di layar mesin kasir, merogoh belakang sakunya untuk mengeluarkan dompet ketika semua belanjaan sudah terhitung sekaligus ditempatkan dalam kantung plastik dan saat itulah, dia serasa terkena serangan jantung dadakan.

Kedua kantung belakang celananya kosong. Dompetnya tidak ada. Rasi tersekat, berusaha tidak kelihatan panik. Dia ganti merogoh saku depan celananya, lalu kantung jaketnya. Hasilnya tetap nihil. Dompetnya tak ditemukan dimana pun.

"Jadi total semuanya tiga ratus lima ribu lima ratus empat puluh rupiah ya, Kak."

Rasi mulai panik, kini sibuk mensugesti dirinya sendiri supaya tetap tenang sementara Tyo masih memandang polos seraya menggigiti tepi bungkus plastik es krim di tangannya.

"Kak?"

Rasi menelan ludah, kini sibuk mempertimbangkan beberapa pilihan sekaligus untuk keluar dari situasi krisis yang dihadapinya sekarang. Apa dia harus pura-pura gila? Berlagak hilang ingatan? Atau menjual Tyo pada petugas kasir demi tumpukan makanan ringan seharga tiga ratus lima ribu lima ratus empat puluh rupiah?

"Kak?"

Rasi mengerjap, menatap pada petugas kasir di depannya dalam-dalam dan entah bagaimana, dia merasa seperti kontestan Who Wants to Be a Millionaire yang dipaksa menghadapi masa-masa genting oleh Tantowi Yahya.

"Total belanjaannya tiga ratus lima ribu lima ratus empat puluh rupiah, Kak. Mau pakai debit atau cash?" adalah apa yang dikatakan oleh petugas kasir itu, tetapi buat Rasi, jadi terdengar seperti;

"Tiga pilihan bantuan tersisa dan bisa digunakan. Pertama, Phone a Friend. Anda bisa menelepon seseorang untuk bertanya selama 30 detik. Pilihan kedua adalah Ask the Audience dan pilihan yang terakhir adalah Fifty-fifty. Jadi, anda mau pilih yang mana?

Fifty-fifty jelas tidak mungkin sebab besar kemungkinan, bukannya berhasil menghadapi situasi krisis, Rasi malah bakal kena geplak sepatu petugas kasirnya karena minta diskon sampai 50 persen. Ask the Audience apalagi, berhubung yang ada di dekatnya sekarang cuma Tyo, bocah itu pasti tidak bakal paham apa yang dimaksud situasi krisis, dompet tertinggal secara tidak terduga dan belanjaan seharga lebih dari tiga ratus ribu rupiah. Maka pilihan yang paling masuk akal adalah...

"Bentar, Mbak. Saya telepon kakak saya dulu, soalnya dompet saya ketinggalan."

*

"Sebenarnya, saya nggak mau membebani kamu. Tapi saya nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi. Kamu mungkin paham kalau saya bilang, adik-adik saya itu orang-orang berkarakter... spesial. Nggak semua orang bisa dekat sama mereka, apalagi berteman dengan mereka seperti yang kamu lakukan. Jadi..."

"Aku ngerti kok, Kak." Eden harus memotong ucapan Setra karena suara cowok itu saat bicara kelewat lembut dan itu tidak bagus untuk kesehatan pikiran serta jantungnya. Tadi, sepanjang Setra bercerita soal awal kenapa hubungannya dengan kedua saudaranya bisa seburuk itu, Eden sudah harus menahan diri supaya bisa terlihat layaknya pendengar yang baik, bukannya fangirl yang tengah mendengarkan omongan idolanya dan bakal langsung menenggelamkan diri ke rawa terdekat begitu diminta. Apalagi sekarang, ketika Setra kentara sekali merasa tidak enak meminta bantuan yang menurut Eden bukan apa-apa. Jika Setra yang minta, mau itu mengumpulkan gunting kuku dari seluruh penjuru dunia juga sepertinya bakal Eden lakukan tanpa protes. "Aku itu anak tunggal. Aku nggak punya saudara. Of course, I always wanted to have one but well, I have to accept that it will never happen. But from what I know is, a fight between siblings is never real."

"Makasih ya, Eden. Jujur, kehadiran kamu sangat membantu. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu harus gimana. Setelah Mama nggak ada... semuanya selalu jadi sekacau itu. Aku udah pernah mencoba mendekati mereka lagi sebelumnya... but it just didn't work. Akhir-akhir ini banyak kemajuan dan aku bisa bilang, itu semua karena kamu."

"Ternyata memang sepenting itu."

"Hng, maksud kamu?"

"Nggak. Aku baru menyadari kalau ternyata... Ibu memang punya peran sepenting itu dalam hidup seorang anak. Benar kata orang yang bilang kalau satu ibu bisa mengurus selusin anak, tapi selusin anak belum tentu bisa mengurus satu ibu."

Setra tersenyum. "I don't know if I ever told you this but I'm really grateful for your existence, not only in my life, but in my brothers' lives."

Eden tertunduk, merasa pipinya dirambati oleh rasa panas yang datang entah dari mana. Dia salah tingkah, bingung harus berkata apa dan saat itulah, ringtone dari ponsel seseorang terdengar, membuat suasana yang awalnya malu-malu awkward macam adegan romantis dalam komik Jepang berubah drastis jadi serupa potongan cerita dua orang yang terdampar tiba-tiba di lapangan bermain sekolah TK.

Baby Shark doo doo, doo doo doo doo
Baby Shark doo doo, doo doo doo doo
Baby Shark doo doo, doo doo doo doo

"Oh, sebentar. Ada telepon." Setra kelihatan terkejut sejenak, sebelum dia mengeluarkan ponselnya dan menjawab telepon yang masuk. "Halo. Kenapa?"

"Hng..."

"Rasi, kenapa?" kerutan muncul diantara alis Setra dan wajahnya berubah jadi lebih serius waktu dia mendesak Rasi yang kedengaran bingung.

"Aku..."

"Kamu kenapa?"

"Tolongin aku... Aku ditahan mbak-mbak minimarket..."

"Kenapa bisa gitu?"

"Dompetku ketinggalan kayaknya di sofa. Belanjaannya udah masuk catatan mesin kasir terus aku nggak bisa bayar..." Rasi terdengar sangat memelas dan tanpa melihat wajahnya, Setra sudah bisa membayangkan seperti apa ekspresinya terlihat. Cowok itu pasti sedang cemberut, kelihatan seperti anak hilang yang bingung harus berbuat apa.

"Tolongin aku... aku nggak boleh pulang..."

"Oke. Tunggu di situ. Jangan panik. Aku ke sana."

"Kak Setra—" Rasi memanggil menahan, membuat Setra urung menyudahi sambungan telepon.

"Iya?"

"—makasih ya."

"Shut up, little brother."

"Rasi kenapa?" Eden bertanya setelah telepon ditutup dan Setra beranjak dari duduk, bersiap-siap untuk pergi.

"Dia belanja, semuanya udah diitung di kasir, tapi dompetnya ketinggalan. Mungkin belanjaannya banyak banget, karena dia sampai nggak diizinin ninggalin minimarket ama petugas kasirnya. Jadi saya harus ke sana buat jemput dia."

"Ck. Harusnya bisa ditebak, Rasi selalu punya caranya sendiri buat terlibat dalam masalah."

"Dua adik saya memang seistimewa itu." Setra tertawa, ringan saja. "Karena itu juga, butuh orang yang spesial buat melihat sisi lovable dari mereka. Saya tinggal dulu bentar ya, Eden."

Setra tersenyum sekali lagi ketika Eden membalas ucapannya dengan anggukan, kemudian melanjutkan langkah menuju pintu depan. Minimarket yang berada paling dekat dengan rumah Eden tidak terlalu jauh dan mudah ditemukan karena siapapun yang datang berkunjung ke rumah Eden pasti melewati perempatan tempat minimarket itu berada. Gara-gara jaraknya yang dekat itu pula, Setra memilih untuk berjalan kaki saja. Tidak butuh waktu lama baginya untuk tiba di sana. Rasi sedang duduk dengan wajah mengenaskan di sudut minimarket, dekat rak yang memuat majalah-majalah dan koran edisi lama—sudah cukup berdebu karena terlalu lama tak tersentuh. Cowok itu memangku bocah kecil dengan wajah belepotan sisa es krim cokelat—yang menambah tingkat kememelasan Rasi, karena airmukanya yang polos tanpa dosa.

"Kak Setra!"

Setra terdiam sebentar, karena boleh dikatakan, seruan berhias senyum itu adalah yang pertama Setra lihat dari Rasi setelah bertahun-tahun terlewati dalam perang dingin yang seakan tak mungkin diakhiri.

"Anda kakaknya?"

Setra tersentak, fokusnya dibuat teralih pada pekerja minimarket yang berdiri di belakang kasir. "Iya. Jadi berapa belanjaannya ya?"

"Tiga ratus lima ribu lima ratus."

"Ah, oke." Setra mengeluarkan kartu debit dari dompetnya, menyerahkannya pada petugas kasir itu. Dalam hitungan setengah menit, segalanya selesai diproses dan mereka bisa meninggalkan minimarket dengan sekantung besar makanan ringan di tangan. Ketiganya berjalan beriringan beberapa lama. Rasi masih menggendong Tyo yang sekarang sibuk menggigiti sisa cokelat pada bungkus es krimnya, hingga mereka bertemu dengan pengasuh Tyo di tengah jalan. Pengasuh itu jelas kesal pada Rasi, namun untungnya Setra ada di sana untuk menyelamatkan situasi. Jika tidak, mungkin Rasi sudah bonyok digebukin warga satu blok karena diduga sebagai penculik anak-anak.

Mereka meneruskan perjalanan menuju rumah Eden berdua saja, berjalan beriringan tanpa mengatakan apa-apa. Setra dengan belanjaan di tangannya, dan Rasi di sebelahnya dengan kedua tangan terjejal di saku jaket. Hening menyelimuti, tetapi bukan jenis hening menusuk yang tak nyaman. Setra malah diam-diam tertawa kecil, memandang pada langit yang makin mendung sambil terus melangkahkan kaki. Angannya membawanya ke masa lampau, ketika dulu dia harus bergegas meninggalkan rumah untuk menolong Rasi lolos dari kekacauan yang cowok itu buat. Tidak persis sama, namun situasinya terasa familier.

Saat masih kecil dulu, ketika masih SD, Rasi suka bermain bola. Tidak spesifik seperti Sabda yang suka main futsal, Rasi suka main bola karena dia bisa berlari dengan bebas dan mengejar bola yang diperebutkan banyak orang. Suatu sore, Rasi dan teman-teman sepermainannya bermain bola di halaman rumah luas milik seorang kakek yang tinggal sendirian. Kakek itu masih tetangga mereka, dikenal galak dengan kumis melintang yang bikin wajahnya terkesan angker. Konon katanya, beliau pensiunan TNI. Anak-anak seperti Rasi membumbuinya dengan gosip macam-macam, mengatakan jika kakek itu hobi mengoleksi bola mata bocah-bocah kecil, karenanya pintu pagar rumahnya selalu tertutup rapat dan beliau jarang menerima tamu.

Apesnya, Rasi menendang bola terlalu keras karena kelewat bersemangat untuk mencetak gol. Bola itu melayang masuk melewati pagar halaman rumah kakek angker yang ditakuti oleh anak-anak kecil sekomplek, menghantam kaca jendela hingga mencipta suara beling pecah berhamburan. Teman-teman Rasi kontan gentar, dibuat lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu untuk menyelamatkan nyawa mereka. Awalnya, Rasi juga berniat kabur, namun gagal karena dia tersandung dan jatuh. Lututnya terantuk batu, langsung memar dan lecet. Dia tidak bisa lanjut berlari, hanya mampu duduk pasrah hingga sang kakek yang keluar dari rumah dengan cuma bersarung dan berkaus oblong untuk menghampirinya.

Kakek itu membawa Rasi ke rumahnya tanpa peduli anak itu nyaris terkencing-kencing sebab takut setengah mati. Rasi bahkan enggan membuka matanya ketika si kakek mengajaknya bicara, khawatir bola matanya bakal dicongkel keluar untuk melengkapi koleksi pribadi. Kakek itu tak mengatakan apa-apa, namun tidak berapa lama kemudian, Setra muncul menjemputnya.

"Saya mohon maaf, Pak. Untuk kaca jendela yang pecah, nanti Mama saya akan ganti biaya perbaikannya." Setra bilang begitu, terlihat tenang, berbanding terbalik dengan Rasi yang wajahnya sudah sepucat tembok.

"Dia betul adikmu?"

"Iya, Pak."

"Dia jago menendang bola." Kakek itu bicara tanpa peduli pada ekspresi wajah Rasi. "Juga tidak cengeng. Tidak menangis meski kakinya luka sampai seperti itu. Kalau ada waktu, ajak main kemari."

"Siap, Pak."

Setelahnya, Rasi baru tahu kalau ternyata kakaknya mengenal kakek bereputasi angker yang dianggap olehnya dan teman-temannya mengerikan. Beliau bukan pensiunan TNI, tapi mantan guru olahraga Setra yang sudah pensiun. Rasi dan Sabda tidak sempat mengenalnya walau mereka bersekolah di sekolah dasar yang sama karena beliau pensiun menjadi guru saat Setra naik ke kelas tiga SD.

Hari itu, Rasi pulang digendong oleh Setra.

Bunyi derum mesin kendaraan yang terdengar melewati mereka memecah nostalgia masa lalu Setra. Cowok itu lantas diam-diam menggeser posisinya, menjadikan Rasi yang sekarang berada di sisi dalam trotoar, sementara dia berada di sebelah kanan, pada bagian trotoar yang paling dekat dengan jalan. Rasi langsung menyadarinya, kontan merasa perlu berdeham melegakan tenggorokannya tanpa suara. Setra tidak pernah berubah sejak dulu. Setiap kali mereka berjalan di pinggir jalan, entah itu bersama Rasi, bersama Sabda, atau bertiga, Setra selalu mengambil tempat paling kanan. Tampak sederhana, namun buat Rasi, itu menunjukkan naluri Setra untuk bertindak sebagai kakak tertua yang melindungi adik-adiknya.

"Mau tahu sesuatu?"

Rasi tersentak sedikit, tidak menduga Setra bakal bicara. "Hng... apa?"

"Dari semua orang yang bisa kamu minta bantuan, aku senang kamu nelepon aku."

"Kak Setra—"

Ucapan Rasi terputus ketika Setra menoleh padanya, lalu tersenyum lebar hingga matanya menyipit. "Thankyou, untuk bikin aku ingat seperti apa rasanya jadi kakak."

"Kak Setra—"

"Iya?"

Rasi berdeham samar. "Makasih... karena sudah angkat teleponnya."

Setra kembali tersenyum, tanpa tahu bahwa diam-diam Rasi memandang punggungnya dan untuk sejenak, cowok itu ingin jadi anak kecil lagi. Jadi dia bisa merasakan seperti apa rasanya digendong di punggung itu, meski hanya untuk sekali lagi.

*

Hanya berselang beberapa saat setelah Setra meninggalkan rumah untuk membereskan entah masalah apa yang baru saja Rasi ciptakan, ponsel Eden berdering. Eden tidak sedang dalam mood untuk bicara dengan siapapun lewat telepon sebetulnya, tetapi begitu melihat jika yang menelepon adalah Sabda, cewek itu langsung girang setengah mati. Dia tak berpikir panjang, langsung menjawab telepon itu dan menempelkan ponselnya ke telinga.

"Sabby!"

Ada suara ribut kendaraan dan bunyi klakson sebagai latar belakang ketika Sabda menjawab. "Sampai kapan lo mau panggil gue Sabby?"

"Ih, itu kan panggilan sayang!"

Sabda berdeham, terdengar seperti salah tingkah. "Lo nggak ngampus hari ini. Pasti di rumah ya?"

"Lho, kok tau?! Stalking gue ya jangan-jangan!?"

"Nggak usah kege-eran. Lo bukan orang sekaliber Lady Gaga atau bahkan Via Vallen sampai-sampai bisa punya stalker. Tadi gue ke departemen lo. Rencananya mau ngajakin makan ramen."

"Ramen?"

"Ada voucher Go-Food restoran ramen yang gue suka. Jadi ada diskon kalau beli minimal dua porsi. Diskonnya lumayan, tapi gue bukan Giant yang bisa makan ramen dua porsi sekaligus. Jadi..."

"Lo... nawarin gue makan ramen bareng lo?"

"Nggak. Gue butuh bantuan lo supaya voucher gue bermanfaat."

"Dih, dasar tsundere. Iya. Gue di rumah."

"Bagus, karena gue on the way jalan ke sana sekarang. Nah, ini ojek pesenan gue baru datang."

"LO TAHU RUMAH GUE!?"

"Tau dari Rasi. Dan kalaupun bukan dari dia, gue tinggal minta alamat lo ke Kak Tisya."

"Orang jenius tuh bisa lebih creepy dari stalker ternyata."

"Berisik."

Tadinya, Eden mau sekalian bilang pada Sabda jika Setra dan Rasi juga tengah berada di rumahnya sekarang—memang sih, mereka sedang keluar, tapi dalam waktu singkat mereka bakal segera balik lagi—namun tidak jadi. Bukan hanya karena Sabda sudah keburu menutup telepon, namun juga karena Eden penasaran akan reaksi Sabda jika dia dipertemukan dengan Rasi dan Setra secara tidak terduga.

"Lo nggak bilang Sabda kalau dua kakaknya juga lagi di rumah lo?" Emir melayang santai ke sisi Eden, membuat Eden langsung menumpuk bantal diantara mereka sebagai sekat. Cewek itu tampaknya masih jengkel gara-gara kejahilan Emir yang sukses mencipta insiden memalukan bendera Jepang.

"Gue lagi butuh hiburan."

"Wow, jahat juga."

"LEBIH JAHAT MANA SAMA LO?!" Eden berseru ketus seraya bangkit dari sofa, sengaja berjalan menuju teras untuk menanti kedatangan tiga orang sekaligus. Lima menit... sepuluh menit... lima belas menit lewat tanpa terasa. Eden sudah hampir mati bosan ketika dia mendengar suara mesin sepeda motor mendekat dan berhenti tepat di depan pintu pagar. Benar saja, itu Sabda yang datang naik ojek. Cowok itu bergerak turun dari jok motor lalu melepas helm bertepatan dengan Eden bangun dan bergerak menghampirinya.

Lantas, seperti potongan adegan dalam FTV yang terlalu kebetulan untuk dianggap hanya sekedar kebetulan, Setra dan Rasi muncul dari ujung jalan dengan kantung plastik yang disesaki jajanan beraneka bentuk dan rasa.

"Ini..."

"Sabby!"

Sabda melotot pada Eden yang sudah berlari mendekatinya, ganti menatap pada dua kakaknya yang melangkah bersebelahan dan kelihatan sama terkejutnya. Dia berpikir cepat, sempat terpana selama sepersekian detik sebelum instingnya membuatnya berbalik arah dan mendekati sepeda motor abang ojek online yang belum benar-benar berjalan. Cowok itu tersekat, tidak mengerti kenapa dia sendiri jadi terserang panik mendadak tapi nalurinya mengatakan dia harus kabur dari sana.

"Loh, dek, kenapa?" Abang ojek itu tentu dibikin heran bukan kepalang.

"Bawa saya pergi dari sini sekarang, Pak!"

"Sabby, nggak boleh gitu!" Eden kini sudah tiba di dekatnya, malah bikin Sabda makin histeris.

"PAK, BAWA SAYA PERGI DARI SINI SEKARANG!!!"

"Nggak boleh!" Eden berseru tidak kalah dramatis, membuat bukan hanya abang ojek online, namun juga Setra dan Rasi ikut dibuat terperangah oleh suguhan adegan sinetron tak terencana yang tiba-tiba ditampilkan di depan mata. "Sabby, udah di sini! Harus turun! Mana janjinya mau beli ramen!?"

"Lo nggak bilang kalau—"

"Nggak bilang kalau apa?!"

"—kalau ada kakak-kakak gue di sini, kampret!" Sabda berbisik, setengah panik, seperempat kesal dan seperempat lainnya adalah kaget bercampur bingung. "—gue mau pergi. Lepasin tangan gue!"

"Nggak boleh!"

"Lepasin!"

"Oke, kalau lo ngotot!" Eden menanggapi seraya melepas genggaman tangannya pada pergelangan tangan Sabda, namun sebagai gantinya, cewek itu malah memeluk pinggang Sabda erat-erat, membiarkan kedua lengannya melingkar kuat di tubuh cowok itu.

"OH MY GOD!" Sabda bisa mendengar seruan shock Rasi.

"HEH, NGAPAIN LO PELUK-PELUK PINGGANG GUE!" Sabda langsung panik, jauh lebih panik daripada ketika dia melihat sosok dua kakaknya yang berada tidak jauh dari pagar depan rumah Eden tadi.

"Gue udah lepas tangan lo, tapi gue nggak bakal lepas pinggang lo! Mana janjinya mau beliin ramen! Sini! Turun! Jangan jadi pengecut!"

"EDEN—GUE—"

"Ini kita lagi nggak syuting Katakan Putus kan yah? Saya nih belum cuci muka dari pagi. Lagi dekil-dekilnya. Aa kalau lagi ikut acara macam Katakan Putus bilang dong, biar saya bisa siap-siap!" abang ojek online pun ikut protes.

Sabda menghela napas panjang. "INI BUKAN SYUTING KATAKAN PUTUS. TOLONG YAH, PAK, PIKIRANNYA DIKONTROL!"

"Terus apaan dong?"

"Atau jangan-jangan ini Termehek-mehek dan neng ini sebetulnya menigakan cinta dengan aa juga dua aa kasep lain yang ada di sana?"

Sabda kian gusar. "EDEN, LEPAS!"

"Nggak!"

"OKE, GUE NGGAK AKAN PERGI. GUE BAKAL JADI MAMPIR DI RUMAH LO. SEKARANG LEPAS!!"

"Janji?"

"KAPAN GUE PERNAH BOHONG?!"

"SERING!!"

"Oh... oke. Tapi untuk yang ini gue nggak bohong."

"Bener ya?"

"BENERAN YA LORD, LEPAS SEKARANG!!"

Eden nyengir, melepaskan pelukannya dari pinggang Sabda tanpa sadar jika dia hampir saja bikin yang punya pinggang semaput gara-gara kelewat deg-degan.

"Oke. Sekarang kita masuk ke rumah. Kebetulan juga Kak Setra sama Aci udah balik. Jadi lengkap deh! Soalnya aku punya rencana sekaligus permainan yang mau aku kasih tahu ke kalian—loh, Sabda, lo sakit? Muka lo merah banget kayak barusan keguyur saos tomat."

Sabda mendelik, memandang pada Eden dengan sengit sementara cewek itu balik menatapnya polos.

Damn, gimana bisa dia kelihatan baik-baik aja ketika dia bikin jantung gue nyaris tukeran tempat sama umbai cacing?! 






bersambung ke thirteenth note. 

***

Catatan dari Renita: 

wow, akhirnya setelah sekian lama cerita ini kembali dilanjut lagi. 

sori banget gaes, kemaren-kemaren gue sibuk ujian dan setelah selesai ujian, sibuk packing dan lain-lain. 

tapi akhirnya bisa dilanjut juga yah. 

jadi apa kabar semuanya? 

dari semua karakter dalam cerita ini, siapa yang paling bikin kangen banget? 

wkwkwk anyway, selamat datang untuk pembaca baru. thankyou for stopping by and i hope you enjoy your stay. 

ah ya, hari ini adalah hari peringatan satu tahun kepergian seseorang. death leaves heartache nobody can heal. gue bukan fansnya, meskipun gue sudah tahu dia dari jaman project sm the ballad (and i love breathe so much) tapi tetep aja, setahun yang lalu, kabar tentang dia bikin gue 'berantakan'. lebih-lebih lagi julinya, chester bennington lebih dulu pergi, dengan cara yang sama. 

his suicide note is still haunting me until now. my heart still aches. and i wasnt even a fan. gue nggak bisa membayangkan bagaimana perasaan fansnya sekarang. 

nct and exo mungkin nggak akan pernah membaca ini, tapi gue sangat sangat berharap kalau mereka bahagia. semuanya. setiap member. karena gue nggak mau tiba-tiba, suatu hari, mereka pergi dengan cara yang... begitu. 

gue harap, update yang ini bisa menghibur kalian, terutama yang harinya kurang baik. tetap semangat. hidup itu nggak bisa selalu bahagia. karenanya, kita perlu bersyukur saat kita lagi senang, dan perlu semangat saat kita lagi sedih. sebab nggak ada yang selamanya. your happiness shall pass. your sadness shall pas. 

oke, ini random banget ya haha tapi hari ini gue lagi nggak bisa menata hati *ceileh* 

makasih sudah vote dan comment di chapter sebelumnya. makasih sudah setia menunggu. makasih sudah mengerti. 

have a good night and ciao! 


Bandar Lampung, December 18th 2018 

20.30

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top