thirteenth note

When I look at each of my brothers,

I see two things.

First, I see the next place I want to leave a rosy welt.

Second, I see a good man who will always be there,

no matter how hard life gets for me or him.

—Dan Pearce—

*

Butuh seperempat jam bagi Eden untuk meyakinkan abang ojek online yang mengantar Sabda kalau mereka tidak sedang melakukan syuting reality show dan abang itu bersedia pergi, melanjutkan kegiatan hariannya sebagai tukang ojek online. Suasana awkward langsung terasa, sebab sepeninggal sang abang, keempatnya (ditambah Emir yang tak masuk hitungan karena hanya Eden yang bisa melihatnya) sempat saling diam dan bingung harus bilang apa. Jelas, yang paling malu adalah Sabda. Dia baru sadar, dia telah melakukan sesuatu yang kelewat dramatis sekaligus memalukan. Respon histerisnya terhadap pelukan Eden di pinggangnya mungkin akan terus dia ingat dengan penuh penyesalan sampai dia masuk liang kubur.

"Oke... mending... kita masuk aja. Gimana?"

Rasi mengerjap, menatap bergantian pada Eden dan Sabda. "Tadi itu... apa?"

"Apanya yang apa?"

"You..." Rasi memiringkan wajah, tampak bingung campur ragu. "Heaven, tadi lo peluk-peluk pinggang Sapi. Itu... maksudnya apa?"

"Buat nahan dia pergi lah! Tanggung banget, udah sampe sini terus mau kabur lagi!"

"Kenapa... harus kabur?"

"Gara-gara ada lo!" Eden membalas. "Sekarang mending kita masuk aja, karena sesuai omongan gue tadi, ada kejutan yang mau gue beritahukan ke kalian semua. By the way, Sabby, lo order dulu ramen yang lo janjiin via Go-Food itu sekarang. Jadi bisa cepat nyampe karena kebeneran nih, gue udah laper banget. Belum makan apa-apa dari pagi."

"Bukannya emang lo baru bangun?"

"Loh, kok tahu?!"

"Muka lo kentara banget muka orang belum mandinya." Sabda memutar bola mata seraya mengeluarkan ponsel, dia belum lagi membuka aplikasi ojek onlinenya waktu Eden bicara lagi.

"Pesannya empat porsi ya."

"Empat?"

"Abang-abang lo masa nanti mau ngelihatin doang?"

Sabda mendelik, pipinya lagi-lagi memerah dan dia kelihatan salah tingkah. "O... ke."

Mereka menunggu sampai Sabda selesai memesan ramen, baru masuk ke dalam rumah. Eden membiarkan ketiga cowok itu duduk lesehan di atas karpet yang membentang di ruang tengah. Semula, ketiganya tidak bersuara, hanya diam-diam saling melirik dalam kecanggungan yang nyata. Lalu suasana perlahan mencair tatkala Rasi bergerak untuk menarik kantung plastik penuh snack yang dia beli—oh, ralat, sebetulnya Setra yang membayar untuk itu semua—dan membongkar isinya satu-persatu macam youtuber sedang membuat video unboxing.

"Lo pasti jalan ke minimarket sendirian ya?" Sabda bertanya mendadak dengan suara bernada masam ketika semua snack yang Rasi beli telah dikeluarkan dari kantung plastik, terserak berantakan seperti pasar tumpah di atas karpet.

"Kok tahu?"

"Kelihatan jelas. Kalau lo belanja sama orang waras, dia nggak akan biarin lo ngeborong Pringles sampai lima rasa sekaligus."

"Kan gue emang suka rasa-rasanya!"

"Bukannya cuma tiga?" Sabda menanggapi, tidak sadar jika kata-katanya berhasil mencipta keheningan singkat sebab Rasi dan Setra sama-sama dibuat kehilangan kata-kata.

"Lo... ingat?"

Wajah Sabda memerah, refleks dia buang muka. "Kebetulan."

"Gue suka rasa Jalapeno, Pizza-Licious sama Sour Cream & Onion."

"Nggak nanya."

"Dua lainnya..." Rasi berdeham ketika suaranya pecah sedikit, lantas dia melirik sekilas pada Setra yang masih diam. "Kak Setra suka rasa Original dan satu laginya..."

Sabda tersekat, menatap sekali lagi pada tabung-tabung kemasan Pringles yang teronggok di dekat lutut Rasi. Mulutnya terkunci rapat meski benaknya menyadari sesuatu. Setra lebih pandai membaca situasi, namun cowok itu menolak kompromi. Dia berdeham, memandang sepenuhnya pada Rasi.

"Satu lagi apa, Rasi?"

Sahutan Rasi hampir tidak terdengar karena suaranya amat pelan. "Sabda... masih suka rasa Cheddar Cheese, kan?"

Sabda menghela napas, terkesan tajam. "Gue udah nggak suka Pringles. Gue udah gede."

"Kak Setra udah gede tapi masih suka Pringles. Tiberius udah gede, juga masih suka Pringles. Lagian, bohong banget kalau lo—hng—kamu nggak suka Pringles. Bukannya kamu diam-diam masih hobi ngumpulin hadiah paket makanan Happy Meal McDonald's?"

Wajah Sabda serasa terbakar. "Nggak gitu!"

"Yaudah, kalau nggak mau buat aku aja."

"Gue nggak bilang gue nggak mau!"

"Hadeh, kalian ni baru ditinggal bentar udah ribut lagi aja. Gimana kalau gue tinggal setengah hari, udah tewas cakar-cakaran kali ya," sebelum Setra sempat melerai dan cekcok antara Sabda dan Rasi berubah jadi lebih serius, Eden sudah lebih dulu menyela. Cewek itu muncul dari lantai dua, membawa sebuah tabung berisi beberapa gulung kertas yang direkatkan dengan selotip bening di tepinya, persis seperti properti yang biasa dipakai ibu-ibu buat mengocok nama-nama untuk menemukan pemenang arisan mingguan RT.

"Mana kejutannya?"

"Ini!" Eden memamerkan tabung berisi gulungan kertas di tangannya dengan bangga.

"Gue nggak minat main arisan-arisanan." Sabda mendengus.

"Siapa juga yang mau ngajakin lo main arisan-arisanan, bocah kampung," Eden memutar bola matanya. "Ini bagian besar dari kejutan yang mau gue berikan. Kalian pernah dengar apa yang disebut manito game?"

"Man—apa?"

"Manito game." Eden mengulang sekali lagi. "Manito itu adalah sebuah kata dari bahasa Italia, berarti teman rahasia. Dia juga bisa diartikan sebagai guardian angel atau malaikat pelindung. Aturan dalam permainannya simpel banget. Pertama, kalian bakal mengambil satu gulungan kertas berisi nama-nama kita yang sudah gue masukkan ke dalam sini. Lo bakal jadi manito buat orang yang namanya lo pilih. Manito itu berarti teman rahasia, jadi lo harus menjaga supaya jati diri lo sebagai manito tetap rahasia. Lo harus melakukan hal-hal baik, melindungi manito lo, membuatnya merasa nyaman, anything that a secret friend would do to take care of his friend, tapi nggak boleh ketahuan sama yang bersangkutan. Terakhir, sebelum game selesai, lo wajib memberikan hadiah untuk manito lo. Kita semua akan jadi manito untuk satu sama lain, jadi semuanya bakal nerima hadiah."

"Faedahnya apa?"

"To have fun, obviously." Eden berdecak pada sarkasme yang kental mewarnai pertanyaan Sabda. "Santai sedikit dong, Sabby. Gue paham lo jenius, tapi orang jenius pun tahu waktunya bersenang-senang. Gue yakin, lo malah bakal jadi orang yang paling menikmati permainan ini."

"Sok tahu!"

"Terserah anda deh mau bilang apa."

"Kalau gue nggak mau ikut gimana?"

Eden memiringkan wajah, satu alisnya terangkat dan melihat perubahan airmuka Eden yang seperti itu, Rasi spontan menggeser duduknya agar lebih dekat pada Setra. Dia sudah puas jadi sasaran bentak Eden sejak dia tahu cewek itu sedang PMS dan langsung dibikin gentar walau bukan dirinya yang jadi sasaran tatap Eden.

"Apa lo bilang?"

"Kalau gue nggak mau ikut gimana?"

"Lo... nggak mau ikut?"

"Dia bohong. Sapi emang suka gengsi ngakuin, tapi sebenarnya dia kepingin ikut kok!" Rasi berseru cepat-cepat, membuat Sabda melotot tak terima padanya yang cowok jangkung itu balas dengan delikan mata. "Nurut aja, udah! Dia lagi PMS! Lo mau dicabik-cabik sampai jadi abon?"

Sabda terhenyak, mengerjap clueless beberapa kali lalu akhirnya memilih menuruti Rasi.

"Bagus. Kalau gitu sekarang kita udah sepakat." Eden tersenyum puas, kemudian mengambil satu gulungan kertas dari dalam tabung, membukanya dan membaca nama yang tertera di sana. Cewek itu menahan napas sejenak saat dia tahu siapa yang terpilih jadi manitonya, kemudian melipat kertas itu dan memasukkannya ke saku celana. "Sekarang, Kak Setra bisa pilih duluan."

"Kenapa Kak Setra duluan? Apa karena dia ganteng!?" Sabda protes.

"Yeuu, si Entong, gitu aja jealous! Kak Setra itu kakak kalian, jadi sangat make sense kalau dia yang milih duluan." Eden menjawab, membuat Setra diam-diam menarik senyum tipis sebelum mengulurkan tangan, mengambil satu gulungan nama. Setra membukanya dan setelah tahu siapa orang yang jadi manitonya, dia menyimpan secarik kertas bertuliskan nama itu dalam saku jaketnya. Tabung berisi nama itu pun berputar pada Rasi dan Sabda yang juga melakukan tindakan serupa.

"Semua udah tahu siapa manito masing-masing?"

"Sangat sulit dipercaya." Sabda berdecak, terdengar agak kaget bercampur sinis yang kelihatannya tidak bisa dilunturkan dari setiap ucapannya. "Tapi yah, gue udah tahu."

"Good. Sekarang, lebih jauh soal kejutan sekaligus rencana gue, kalian tahu kan weekend ini ada apa?"

"Ada hari libur dan gue nongkrong seharian di kasur?" Rasi menebak.

"Tepat sekali, Aci. Anak TK juga tahu kalau weekend orang-orang pada libur." Eden memutar bola matanya. "Bukan sembarang weekend, tapi weekend ini bakal ada long weekend. Kenapa? Seninnya tanggal merah, jadi hitungannya, kita punya hari bebas sejak Jumat sore sampai Minggu. Daripada cuma nongkrong nggak jelas di rumah, goleran di kasur sambil ngemil dan bikin cadangan lemak nggak sehat bertambah, kenapa kita nggak jalan-jalan aja?"

"Tunggu, kita yang lo maksud itu berarti termasuk Aci?"

"Benar sekali, Sabby."

"Dih, ogah banget jalan-jalan sama dia! Seharian di Dufan waktu itu aja udah cukup banget!"

"Sapi kok jahat, sih?!"

"Nggak usah panggil-panggil gue sapi!" Sabda bergidik geli dengan sekujur bulu tubuh berdiri.

"Tadi lo—eh kamu—manggil aku Aci. Masa aku nggak boleh manggil kamu sapi? Atau kamu lebih suka dipanggil Sabby?"

"Nggak!" Sabda membantah keras. "Cuma Eden yang boleh panggil gue kayak gitu."

"Wow, gue sangat tersanjung?" Eden terperangah sesaat, mengerjap takjub pada perang bacot pendek yang baru saja terjadi antara Rasi dan Sabda, lantas berdeham, mengembalikan kewibawaannya. Bagaimana pun juga, dia harus kelihatan seperti cewek super yang bisa diandalkan di hadapan Setra. "Acara jalan-jalannya bakal melibatkan kita semua. Kita berempat. Setiap peserta manito game yang sudah dapat manitonya masing-masing. Dalam trip singkat ini, kalian bakal harus menjaga manito kalian dengan baik, tapi nggak boleh ketahuan. Itu sebenarnya inti dari kejutannya."

"Oke. Gue ngerti. Nggak tahu deh Aci yang lemot ini ngerti apa kagak." Sabda menukas, blak-blakan. "Tapi emangnya kita mau jalan-jalan ke mana? Bali?"

"Maldives aja sekalian gimana?" Rasi ikut angkat bicara dengan penuh semangat.

"Nggak. Nggak ke Bali, karena lo masih di belum cukup umur buat diajak berjemur di pantai penuh pabrik susu. Juga nggak ke Maldives, karena kita bukan selebgram dan jalan-jalan ke Maldives tanpa endorse hanya bisa dilakukan oleh sobat-sobat tajirun dan jelas mahasiswa seperti kita nggak termasuk di dalamnya, Rasi Gemintang. Kita bakal ke Bandung."

Rasi dan Sabda berpandangan, lalu kompak ternganga—berbeda dengan Setra yang diam-diam saling melempar kode melalui pandangan mata dengan Eden, lantas mengacungkan jempolnya dengan gaya tak kentara.

"Gimana?"

"MAU BANGET!!! I'M SO EXCITED, MAN!!"

"Sabby?'

Sabda tidak menjawab, malah mengerutkan kening seakan-akan meragukan jika rencana jalan-jalan Eden bakal jadi acara yang menyenangkan.

"Sabby?"

"Gue nggak—"

Eden tidak memberi kesempatan pada Sabda untuk menyelesaikan ucapannya. Cowok itu dibuat mendadak lupa dengan apa yang mau dia katakan ketika cewek di depannya mulai memasang ekspresi wajah yang sengaja diimut-imutkan. Eden menatapnya dengan mata melebar seperti anak anjing minta dikasihani dan cemberut sok menggemaskan.

"Cabby, ikut ya? Pweaaaaseeee?"

"Gue..." Sabda menelan ludah, pipinya terasa seperti baru dikecup oleh dua setrika panas.

"Pwease? Pwease? Pwease?"

"OKE!" Pada akhirnya, dia menyerah, merasa jantungnya tidak bakal kuat melihat Eden terus-menerus memasang ekspresi wajah yang seperti itu. Bukan hanya terlihat aneh karena Eden tak pernah bertingkah-laku cute sebelumnya, namun juga karena Sabda jadi meragukan kesehatan mentalnya sendiri sebab... kenapa dia malah berpikir Eden terlihat seimut itu dan diam-diam suka melihat ekspresinya yang serupa anak kecil tengah merajuk? "OKAY! Gue ikut! Just stop making that face. It's disgusting!"

"Hehe, makasih banget loh! Sabby gemesin deh, bikin pengen cium!" Eden terkekeh sambil menusuk-nusuk pipi Sabda dengan jari telunjuk, berhasil membuat Rasi ter-pe-la-tuk.

"Jangan cium-cium Sabby! Sabby masih di bawah umur!"

"Dih, apaan?"

"Kalau mau, cium aja kakaknya. Kakaknya udah cukup umur."

"Cium Kak Setra maksudnya?"

"Heaven, gue kan juga kakaknya Sabby!"

"Ck." Sabda berdecak, wajahnya masih merah padam.

"Terserah lo aja, tapi intinyaaaaaa..." Eden kembali antusias, menepukkan tangannya beberapa kali layaknya singa laut sirkus. "Sooooo, it's fixed! Kita berangkat Jumat sore ini! Jangan lupa packing dan bawa semua amunisi liburan kalian because we're going to have a lot of fuuuuun!!"

*

Jumat siang.

Rumah Lucio.

"Buset, mau minggat ke mana lo?"

Setra sedang mengecek daftar barang bawaan yang telah dituliskan pada secarik kertas ketika Jo melintas di depan pintu kamarnya dan melongokkan kepala ke dalam melalui pintu yang memang sengaja dibiarkan terbuka.

"Mau weekend escape ke Bandung."

"Banyak banget barang bawaannya—et, ternyata lo jago juga packing-packing kayak gini. Next time, gue mending minta tolong dipackingin ama lo aja kali ya kalau mau ke luar kota. Arkais tuh kalau disuruh packingin koper suka nggak bener. Apalagi Lucio."

"Emang Bang Cio kenapa?"

"Terakhir, dia masukkin barbel ke dalam koper gue sampe-sampe gue kudu bayar fee tambahan di bandara karena berat koper gue melebih kapasitas maksimal bagasi perorangan." Jo menyahut dongkol. "Tapi kenapa pada diroll gitu bajunya? Nggak lecek apa—dan buset—ini lo kelompokkin bajunya berdasarkan tipe, jenis apa warna sih? Serem banget, terorganisir abis ngalah-ngalahin mbak-mbak laundry."

Setra tertawa kecil. "Barang dalam wadah jingga punya gue. Barang dalam wadah ungu itu peralatan mandi. Barang dalam wadah merah obat-obatan pribadi dan segala macam benda-benda yang bakal dibutuhkan dalam situasi darurat. Ransel bakal jadi tempat buat snack dan amunisi kalau-kalau ada yang mabuk darat, juga benda-benda hiburan kayak komik, buku sket, kartu tol, power bank dan flashdisk berisi lagu-lagu buat di perjalanan. Terus buat—ah ya, gue hampir lupa!"

Jo mengernyit, menonton Setra bergerak tergesa membuka lemari dan memasukkan beberapa helai celana tidur ekstra, dua scarf, tiga masker kain dan dua buntal kaus kaki sekaligus.

"Lo mau weekend escape ke kutub utara?"

"Nggak. Ini buat—lo tahu adik gue yang nomor satu? Rasi paling susah tidur kalau baju tidurnya nggak nyaman. Dia suka celana tidur yang bahannya jatuh banget kayak gitu, tapi setiap kali kita jalan-jalan dulu, celana tidurnya pasti ketinggalan kalau nggak diingatkan sama nyokap gue. Buat jaga-jaga aja... kalau dia masih suka lupa bawa celana tidur." Setra berdeham, kemudian meneruskan. "Adik gue yang nomor dua gampang banget flu kalau kedinginan sedikit aja. Dia suka nggak mau ngaku, malas bawa scarf atau kaus kaki. Jadi... yah... lo ngerti lah."

"Tunggu. Lo mau jalan ama adik lo? Sama si mulut mercon?"

Setra tertawa lagi. "Namanya Sabda, Jo."

"Bodo amat. Gue maunya manggil dia si mulut mercon." Jo mendengus. "Gue nggak tahu sudah seberapa jauh lo berprogress dengan adik-adik lo atau ada banyak yang kayaknya nggak gue tahu, tapi yah... lo jadi kayak emak-emak kalau udah gini. Tinggal pake daster, motong bawang ama pake roll rambut terus nonton siaran ulang Kuch Kuch Hota Hai sambil makan rengginang, susah deh orang bedain mana Setra yang model mall online itu dan mana emak-emak komplek yang lagi nyantai di siang hari."

"Unexpected right? Semuanya karena Eden. Tanpa dia, gue nggak yakin gue bakal bisa ngajak adik-adik gue jalan-jalan bareng ke luar kota."

"Ah, cewek yang kemarin itu."

"Iya. Kenapa?"

"Nggak apa-apa. Dia kelihatannya baik. Dan cute."

"Dia memang sebaik itu."

"Anyway," Jo berjalan menjauh, lantas berhenti tepat di ambang pintu kamar. "Gue nggak tahu apakah lo menyadarinya atau nggak, but I think she adores you. Like a lot."

"Hah?"

"The way she looks at you is really something, dummy."

"Maksudnya—"

"Just so you know. Jadi lo nggak akan melakukan tindakan bodoh yang bisa menyakiti orang lain hanya karena lo terlalu clueless." Jo terkekeh. "Have fun. Pergi berberapa lo?"

"Berempat. Gue. Adik-adik gue. Eden."

"Pesan aja, jangan sampe baliknya berlima." Jo membalas, lalu tawanya yang menggelegar pecah. "Oh ya, satu lagi."

"Apa?"

"Jangan sampai makan daging kol dengan sayur anjing."

Setra merengut masam, tapi tak menanggapi ucapan Jo dan memilih fokus menyelesaikan acara packingnya.

*

Jumat siang.

Rumah Sabda.

Dulu, setiap kali keluarga mereka pergi jalan-jalan ke luar kota atau ke luar negeri bersama, Sabda sering melihat Mama memasukkan benda-benda khusus ke dalam tas tangannya saat berkemas. Kaus kaki tambahan untuk Sabda yang paling mudah kedinginan terutama ketika duduk dalam pesawat, satu strip koyo untuk Setra dan satu sachet Antimo anak buat Rasi. Awalnya, Sabda menganggapnya biasa saja, hingga suatu hari dia jadi penasaran karena kebiasaan Mama tidak pernah berubah, meski mereka sudah bertambah besar dan kelihatannya, Rasi sudah tidak lagi butuh obat anti mabuk di perjalanan.

"Kamu tahu kenapa Mama selalu bawa kaus kaki ekstra buat kamu?"

"Gara-gara aku suka kedinginan di mobil atau di pesawat. Apalagi kalau flight malem. Gitu kan, Ma?"

Mama tersenyum seraya mengangguk. "Koyo buat Kak Setra, karena dia paling rajin bantu Mama. Ingat nggak waktu kita liburan di villa dulu dan Papa lagi pergi terus air minum dalam dispenser habis? Kak Setra yang gotong galonnya, karena Mama nggak kuat. Sebenarnya, Kak Setra juga nggak sekuat itu. Malamnya dia jadi pegel-pegel, untungnya bapak penjaga villanya punya koyo. Kak Setra tuh mungkin kelihatan kayak kakak yang selalu bisa kamu andalkan untuk bantuin kamu ngelakuin kerjaan berat, tapi sebenernya, Kak Setra lebih gampang pegel-pegel atau sakit badan daripada kalian semua. Waktu pertama kali latihan pramuka di sekolah aja, kaki sama tangannya sampe biru-biru. Jadi, Mama harus selalu siapin koyo buat Kak Setra."

Sabda manggut-manggut, sadar apa yang Mama bilang itu benar. Sebagai anak paling bungsu, setiap mereka berjalan bersama, Sabda selalu digandeng. Entah oleh Setra, atau oleh Rasi. Berbeda dengan tangan Rasi yang sebesar bola dunia sejak masih kecil, jari-jari Setra lebih kurus, bikin Sabda teringat pada Pinokio, patung kayu buatannya Gepeto dalam cerita anak-anak Pinokio. Dipikir lagi, Setra juga yang paling kurus diantara mereka bertiga, tidak seperti Rasi yang badannya macam kingkong Wakanda.

"Terus obat anti mabuk buat Aci? Kan Aci udah nggak mabukan lagi."

"Obat anti mabuk biasanya bisa bikin ngantuk, terus tidur. Rasi kan masih suka nggak nyaman kalau bepergian, apalagi dalam pesawat yang tertutup dan banyak orangnya. Mama perlu siaga kalau-kalau kakakmu udah terlalu nggak nyaman, jadi dia bisa rileks dan tidur di perjalanan."

"Oh... gitu..."

Hanya percakapan sepele, sebetulnya, tapi tidak pernah bisa Sabda lupa. Mungkin itu juga yang jadi alasan kenapa dia menyempatkan diri mampir ke minimarket sepulang dari kampus sebelum berkemas—untuk membela satu strip koyo dan obat anti mabuk. Konyol sekali, membuat Sabda ingin menertawakan dirinya sendiri. Tapi itu terasa benar untuk dilakukan. Sabda justru merasa ada yang mengganjal jika dia tidak menyiapkan benda-benda itu dalam tas ransel yang akan dia bawa nanti.

"Sapi, punya tas gede yang nggak kepake nggak?"

Sabda tersentak kaget oleh suara Rasi yang terdengar tiba-tiba, membuatnya refleks membenamkan koyo dan obat anti mabuk di tangannya dalam-dalam ke kantung kecil ransel sebelum menoleh jengkel ke ambang pintu, di mana wajah polos Rasi muncul, melongok seperti kura-kura hendak meraih kangkung. "Ketuk dulu kek!"

"Pintunya kebuka. Tapi yaudah deh." Rasi mengerjap polos, mundur beberapa langkah, lalu maju lagi dan mengetuk pintu yang terbuka dengan gaya kikuk. "Hng... Sapi punya tas gede yang nggak kepake nggak?"

"Sabda."

"Hah?"

"Nama gue Sabda, bukan Sapi."

"Gue maunya manggil Sapi."

"Lo butuh tas ekstra atau nggak?"

Rasi kicep. "Oke. Sabda yang ganteng banget tapi masih nggak lebih ganteng dari aku, punya tas gede yang nggak kepake nggak?"

"Buat apa sih emang?"

"Barang-barang aku... nggak muat."

"Emang lo—kamu bawa apa aja?"

Rasi menggaruk lehernya salah tingkah. "Nggak banyak sih."

Bukannya teryakinkan, jawaban Rasi justru bikin Sabda curiga. Maka, dia beranjak dari duduk dan berjalan menuju kamar Rasi yang berada tepat di seberang kamarnya tanpa bilang apa-apa. Rasi jelas gugup, mengekori langkah adiknya dengan gaya tak nyaman. Dari muka pintu kamar Rasi, Sabda bisa menyaksikan salah satu bentuk keporak-porandaan paling hakiki abad ini. Baju, celana, pakaian dalam, bokser, semuanya berserakan tak tentu arah, mirip cipratan warna berantakan dalam mahakarya pelukis kelas dunia. Koper yang terbuka disesaki oleh berbungkus-bungkus snack dan seperti belum cukup, ada sebuah dua ransel teronggok di dekat koper. Risletingnya tak bisa dikancing, juga karena terlalu sarat oleh berbungkus-bungkus snack aneka bentuk, model dan rasa.

"Aci, kita tuh mau jalan-jalan, bukannya buka warung di Bandung."

Rasi nyengir malu. "Ini tuh buat di jalan. Yakin deh, semua nanti tuh butuh snack. Terus nanti kan ada Heaven juga. Kalau sisa-sisa PMSnya masih ada gimana, hayo? Kita butuh semua itu buat menjinakkan Heaven sebelum dia kerasukan arwah Godzilla."

"Tapi nggak gini juga! Lihat koper kamu tuh sampai nggak bisa dikancing!"

"Bisa kok! Lihat nih!" Rasi jadi merasa tertantang. Tanpa ragu, cowok itu berjalan mendekati kopernya yang terbuka, bermaksud melipatnya dan mengancingkan risletingnya ditonton oleh Sabda yang melipat tangan sembari memandang skeptis. Dengan wajah berkonsentrasi penuh, Rasi berusaha keras memaksa supaya risleting kopernya mau mengatup. Kerutan dalam muncul di antara kedua alisnya. Peluhnya mulai bermunculan. Dia berusaha sekeras itu, sampai-sampai mencoba bikin kopernya gepeng dengan menindih bagian atas koper menggunakan kedua lututnya.

"Kan udah aku bilang, nggak akan bisa dikan—"

Doorrrr!

Salah satu kemasan snack dalam koper meletus gara-gara Rasi memaksanya terhimpit rapat bersama snack-snack lainnya dalam koper. Isinya langsung berhamburan. Sabda berdecak, menatap saudaranya dengan pandangan yang jika diterjemahkan akan berarti kira-kira: I'm so done with you, stupid. Namun bukannya malu, cengiran Rasi justru kian lebar.

"Nggak apa-apa. Kayak lagu aja, meletus balon hijau, masih ada empat balon lainnya yang bisa dipegang erat-erat. Meletus satu snack, selusin teman-temannya bisa menggantikan. Lagian bukan berarti udah nggak bisa dimakan juga. Lihat nih—" Rasi membuka lagi kopernya, meraup segenggam snack yang tercecer dalam koper dan memasukannya ke mulut hingga pipinya menggembung besar. "—mafih bifa dimafan kan?! Mafih efak kok!"

"Terus baju kamu mau ditaro di mana?"

Rasi terperangah, refleks memindahkan perhatian pada baju-bajunya yang berserakan, kemudian memandang Sabda dengan wajah polos, masih dengan pipi yang lebih mirip balon. "Hng..."

"Ngaco, deh." Sabda berdecak, tapi bukannya beranjak pergi dari sana, dia malah masuk lebih jauh ke kamar dan mengumpulkan baju-baju Rasi yang bergelimpangan, lantas menggulungnya dengan rapi.

"Kafu fau ngafain?"

"Bantuin kamu packing."

Rasi tersekat, kontan tersedak. Cowok itu terbatuk heboh seraya gesit meraih tumbler air minum di atas meja. Dia menenggaknya banyak-banyak, hingga semua snack dalam mulutnya tertelan.

"Kamu nggak mau? Oke kalau gitu."

"Aku nggak bilang gitu!"

"Kalau udah gini-gini nih suka bingung, mana kakaknya mana adiknya." Sabda berdecak, mulai merepet panjang-pendek seperti bunyi knalpot bajaj, tapi tak berhenti mengumpulkan baju Rasi, menggulungnya rapi dan mengeluarkan berbungkus-bungkus snack itu dari dalam koper, menggantinya dengan susunan pakaian.

"Sabda,"

"Apaan?"

"Makasih ya."

"Hng."

"Apa?"

"Sama-sama."

"Apa?"

"Budek."

"Hehehe."

*

"Sedekat apa dulu lo sama Sabda?"

Emir tersentak kaget ketika Eden melontarkan pertanyaan yang tidak dia sangka-sangka sama sekali. Cowok itu tersekat, refleks menegakkan punggung. Dia telah menonton Eden menata barang-barangnya ke dalam koper merah jambu sepanjang siang hingga menjelang sore ini, sesekali nyengir ketika Mama Eden masuk ke kamar dan bertanya soal kapan Setra bakal ke rumah dan menjemputnya—biasanya orang tua Eden terlalu strict untuk mengizinkan Eden jalan-jalan dengan teman, apalagi ke luar kota, namun Setra punya kemampuan magis dengan wajah anak baik-baik berkarakter bertanggung jawab, jadi Mama pun tidak berkutik dan langsung memberi izin tanpa banyak basa-basi. Emir tidak menebak Eden bakal mendadak menembaknya dengan pertanyaan itu.

"Maksudnya?"

"You heard me. Sedekat apa dulu lo sama Sabda?"

Emir berdeham. "Cukup dekat."

"Iya, makanya gue nanya. Sedekat apa?"

"Menurut lo, sedekat apa kalau gue udah tahu problem dia dengan kakak-kakaknya, cerita sedih tentang nyokapnya dan bagaimana bisa orang dengan karakter setertutup dia menceritakan itu semua pada gue secara langsung?"

"Terus apa yang terjadi sampai-sampai lo berdua nggak dekat lagi?"

"Bukan apa-apa, Kisa."

Eden mengembuskan napas pelan. "Oke. Gue sudah nebak lo nggak akan mau menjawab secara langsung, jadi gue ganti pertanyaannya."

Emir kelihatan ragu, walau hanya sesaat. "Apa?"

"Apa lo benar-benar guardian angel gue?"

"Maksud lo... apa? Jelas gue guardian angel lo. Apa lo kira semua penjelasan gue di awal, surat kontrak itu dan segalanya hanya karangan gue?"

"Sebab gue merasa, daripada jadi guardian angel, lo lebih terkesan seperti... gue nggak tahu... Kak Setra, Rasi dan Sabda, setelah gue memikirkannya beberapa lama, gue sadar mereka mungkin nggak akan ada dalam hidup gue kalau bukan karena lo."

"Lo mengada-ada. Lo jelas bertemu mereka lebih dulu sebelum gue jadi guardian angel lo."

"Itu semua kebetulan. Tapi apa yang terjadi berikut-berikutnya terlalu kebetulan untuk disebut kebetulan."

"Lo nggak suka?"

"Bukan begitu. Mereka bertiga itu teman-teman yang baik. Hanya saja, gue perlu tahu apa makna mereka dalam hidup gue dan kenapa semua ini terjadi."

"Gue sudah memberitahu lo sebelumnya, pada akhirnya, lo bakal tahu."

Eden diam sebentar, memandang Emir lekat, kemudian menghela napas panjang. "Sejujurnya, gue mulai meragukan lo akhir-akhir ini. Lo bilang gue punya bakat sial sebesar itu. Awalnya memang, terasa seperti itu. Tapi lama-kelamaan, gue merasa kalau hidup gue normal-normal aja. Terkadang, gue bahkan lupa kalau lo ada. Jadi sebenarnya maksud lo muncul dalam hidup gue dengan kondisi yang... begini itu apa? Lalu peran Kak Setra dan kedua adiknya dalam hidup gue... juga apa?"

"Lo masih sesial itu, tapi seperti yang pernah gue katakan, selama lo dekat dengan mereka bertiga, atau seenggaknya salah satu dari mereka, lo akan aman."

"Kenapa?"

"Pada akhirnya, lo akan tahu."

"Oke. I'll drop the topic then. But I want to talk about something else." Eden menyerah, sadar mendesak Emir tidak akan ada gunanya. "Soal diary gue yang waktu itu—"

"Gue nggak mau bahas."

Eden mengabaikan kata-kata Emir. "Tentang gue yang sesuka itu sama lo... itu benar..."

"Kisa—"

"Gue minta maaf."

Emir mengerjap, keterkejutan yang sempurna tampak di wajahnya. "What?"

"Gue sesuka itu sama lo dulu. Tapi lo nggak balik suka sama gue. Setelah lo mengembalikan diary itu ke gue, entah lo membacanya atau nggak, sikap lo jadi berbeda. Lalu gue patah hati, merasa tolol karena suka sama orang yang nggak balik suka sama gue. Orang yang justru menjauhi gue setelah mungkin... dia tahu perasaan gue. Gue marah sama lo. Gue marah sama diri gue sendiri. Gara-gara itu, gue ogah menulis diary lagi. Sekarang gue sadar, itu salah."

"Kisa,"

"Gue nggak seharusnya membebani lo dengan perasaan gue. Apa yang gue rasa adalah urusan gue. Apa yang lo rasa adalah urusan lo. Gue nggak punya hak mewajibkan lo membalasnya. Jadi gue minta maaf."

Emir terhenyak sejenak, namun kemudian, caranya memandang Eden melembut. "Lo salah."

"Bagian mananya?"

"Barusan, lo berasumsi sedniri dan asumsi lo itu salah."

"Lo ngomong apa sih?"

"Gue sesuka itu sama lo dulu. Tapi lo nggak balik suka sama gue." Emir mengulangi kata-kata Eden serupa tape recorder. "Dua pernyataan. Satu benar. Dan satu salah."

"Hah?"

"Asumsi lo salah." Emir malah tertawa kecil sambil melesat mendekat, berhenti tepat di depan Eden dan menekan pelan titik diantara kedua alis cewek itu dengan jari telunjuknya. "This dummy is too dumb to understand, I guess."

"Apaan sih gue nggak ngerti?"

"Baguslah kalau lo nggak ngerti."

"Apaan? Kasih tahu nggak?!"

Emir malah berdendang, memasang wajah super mencibir sembari melayang jauh meninggalkan Eden yang hanya mampu memandangnya dongkol dengan tangan terlipat di dada.

Namun kata-katanya tidak berhenti terputar dalam otak Eden.

Gue sesuka itu sama lo dulu. Tapi lo nggak balik suka sama gue.

Dua pernyataan. Satu benar. Dan satu salah.

Asumsi lo salah.

Eden tersekat. Itu jelas tidak mungkin, kan? Sebab jika iya, kisah mereka bisa dibilang adalah salah satu kisah paling dramatis sekaligus tragis yang pernah ada. 






bersambung ke fourteenth note. 

***

Catatan dari Renita: 

hello yorobhun. 

kembali lagi bersama sayah dalam chapter terbaru guardiationship. 

sebelumnya, mau bilang untuk semua yang menanyakan kalau gue baik-baik saja. lucunya, semalem tuh gue mimpi ada tsunami/ banjir gitu dan aku mencoba lari terus eh begitu bangun-bangun udah bejibun aja notifikasi orang-orang nanyain apakah aku baik-baik aja. 

all is okay gaes, dont worry. untuk kalian semua juga stay safe dan katanya jangan mendekati garis pantai dua sampai tanggal 25 desember lewat. 

mari kita berpikiran positif dan berdoa semoga tidak ada kejadian yang aneh-aneh ya. okesip. 

terus semoga dedek sabda kita aka echan cepet sembuh dari cederanya TT.TT katanya sih shinbone nya dia retak pas latihan tapi ngapa gue curiga kakinya retak gara-gara dia kelewat pecicilan pas maen-maen ama dreamies ya lo liat aja dah tuh mereka kalau udah kelar rekam dance practice kelakuan udah kagak bisa dikontrol sama sekali. tapi yah selamat istirahat echan. silakan tonton para abang-abang anda bekerja lembur bagai kuda sambil ngemil pringles. 

terus apa lagi ya? 

oiya soal konser pertama nct 127. aku tu suka capeknya gini ni akutu sama SM. pertama, photobook regulate yang ngga niat abis. terus sekarang konser ga sama winwin. capeque deh  akutu. KALAU DIBILANG SIBUK MA ENSITI VISION YA MANE BRUR INI 2019 udah mau kelar nct vision hilalnya belom nampak. tolong jangan php in aku. akutu nggak bisa diginiin. kesian juga kun pengen debut. 

terus takutnya nanti echan belum sembuh bener dipaksa tampil. 

hhhhh kesel akutu. 

((oke ini kenapa jadi kebanyakan akutu)).  

mana promosi ekso cuma seumprit pula waktunya. 

tapi ya apala saya hanya raqyat jelata yang tak punya kuasa. aku bukan krezy rich fangirl, apalagi krezy rich asian jadi aku berharap semoga semuanya bahagia dan baik-baik saja. 

anjir curhat banget ya gue. 

yauda deh kalau gitu. makasih sudah setia menunggu. makasih udah spam komen. makasih udah vote. me luv you. 

sampai ketemu lagi di chapter berikutnya gaes mwah. 

ciao. 

Bandar Lampung, December 23rd 2018 

18.06

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top