third note

The playgrounds, they get rusty and your

heart beats another ten thousand times before

I got the chance to say,

I miss you.

—New Empire—

*

Ekspresi wajah Sabda langsung berubah kaku begitu dia pulang dan mendapati mobil Papa telah terparkir tepat di depan pintu garasi yang masih tertutup. Dari dulu, Papa sudah jarang berada di rumah dan lebih banyak menghabiskan waktunya di kantor, terutama di hari-hari kerja. Papa makin betah berlama-lama di rumah keduanya itu sejak Setra meninggalkan rumah setelah bertengkar hebat dengannya. Sabda sudah bisa menebak, pasti ada alasan khusus kenapa Papa pulang lebih awal hari ini. Atau mungkin sebenarnya dia sudah tahu, tetapi berlagak pura-pura tidak tahu.

"Crap." Sabda merutuk lirih saat dia masuk ke ruang makan dan mendapati Papa juga Rasi sudah berada di sana. Mereka duduk diam di depan sederetan hidangan yang Sabda tahu pasti Papa beli di salah satu restoran langganan. Ada makanan favoritnya di sana, juga es kopyor kesukaan Rasi. Meski begitu, suasananya sangat canggung sebab keduanya saling bungkam seperti orang yang tidak saling kenal.

"Seingat aku hari ini nggak ada yang ulang tahun."

Papa menoleh, lalu berdeham. "Kamu baru pulang?"

"Nggak. Udah dari tadi, cuma aku nongkrong bentar di depan garasi, kali aja ada bangau migrasi lewat." Sabda menyahut sarkastik sambil memutar bola mata, mengabaikan airmuka Rasi yang berubah terkejut.

Respon kakak keduanya bisa dimengerti. Setra dan Rasi tidak pernah bersikap kurang ajar di depan Papa—bahkan ketika Setra marah gara-gara Papa menentang keinginannya kuliah di jurusan yang dia pilih—namun tidak dengan Sabda. Buat Sabda, masa-masa di mana dia bisa menghormati lelaki setengah baya itu sudah lama lewat. Anggap saja dia anak durhaka atau apa, namun Sabda berani bertaruh, seandainya saja kedua saudaranya tahu sebanyak apa yang dia ketahui, jangankan bersikap kurang ajar, mereka mungkin sudah mengejar Papa dengan garpu taman di tangan.

"Cuci tangan, Sabda. Kita makan bareng."

"Nggak lapar."

"Papa nggak tanya kamu lapar atau nggak." Papa meninggikan sedikit nada suaranya. "Duduk. Ini sudah setahun lebih sejak Rasi pulang dan nggak pernah sekalipun kita makan bareng."

Sabda mendengus keras, tetapi sadar mendebat Papa hanya akan menghabiskan energinya. Dia berjalan ke kamar untuk menaruh tas, lalu membasuh tangan alakadarnya sebelum kembali ke ruang makan. Atmosfer beku yang tidak nyaman melingkupi ruangan itu, tidak berhasil mencair meski Papa lagi-lagi berdeham dan mencoba membuka percakapan. "Gimana kuliah kamu?"

"Seperti biasa, orang-orang di sekitarku nggak sepintar yang aku kira."

"Everything is fine." Rasi berujar, lalu sibuk menggigiti sedotan es kopyornya sampai gepeng—sesuatu yang biasa dia lakukan saat merasa gugup.

"Papa dengar, selain aktif di tim futsal departemen, sekarang Sabda mulai ikut grup—"

"Papa nggak dengar, tapi Papa tahu dari Rasi yang diam-diam tahu dari teman-teman cewek kelasku yang saking ngefansnya sama dia, rela dijadiin antek-antek gratisan." Sabda memotong pedas, melirik sekilas pada Rasi yang berlagak pura-pura tidak tahu, kemudian menyambung. "Nggak usah basa-basi, Pa. Kalau udah gini, pasti Papa ada maunya. Bilang aja sekarang, sekalian hemat energi Papa dan nggak buang-buang waktuku juga. Aku capek, mau tidur."

"Wait—ah, I know it." Kata-kata Sabda membuat Rasi menyadari sesuatu dan senyum pahitnya langsung tertarik. "Papa pasti mau ngomongin perempuan baru ya?"

Hanya sebuah tanya, namun mampu membuat senyum terpaksa di wajah Papa hilang sepenuhnya.

Tahun demi tahun telah lewat sejak kepergian Mama, namun Papa belum kunjung menikah lagi. Bukan karena Papa tidak ingin atau mencoba setia seperti tokoh utama laki-laki berkarakter ideal dalam cerita film-film romansa, melainkan karena Sabda dan kedua saudaranya tidak pernah menerima kemungkinan itu. Setra tidak ingin Papa melukai adik-adiknya lebih dari yang seharusnya. Rasi tidak mau sosok Mama terganti oleh orang lain. Dan Sabda... cowok itu tidak pernah bilang apa-apa, tapi dia jelas punya alasannya sendiri. Seringnya, perempuan-perempuan yang Papa kencani menyerah karena tidak sanggup menghadapi amarah tiga anak laki-laki yang mulutnya bisa lebih pedas dari satu ton jalapeno dan yah... sebetulnya, Papa juga tidak berani mengambil risiko menikah lagi tanpa izin dari ketiga anaknya.

Namun itu bukan berarti Papa berhenti untuk mencoba.

"Kamu bicara soal perempuan baru seolah-olah Papa baru melakukan tindakan kriminal." Papa meletakkan sendok dan garpunya, kini serius menatap kedua anak laki-lakinya bergantian. "Oke. Papa tahu nggak ada gunanya juga berpura-pura di depan kalian. Papa bakal jujur. Weekend ini, teman Papa mau datang dan makan malam di sini. Papa harap kalian ikut dan memperlakukan teman Papa itu dengan baik."

"Aku sih no ya, nggak tahu kalau dia." Sabda langsung menyambar, lalu melirik Rasi.

"Aku nggak bisa, udah punya janji lain."

"Papa tahu kalian bohong."

"Dan Papa juga seharusnya sudah tahu aku bakal jawab apa untuk masalah-masalah semacam ini." Sabda membanting sendoknya kasar, membuat suara beling beradu dengan besi terdengar. "Aku jadi kenyang duluan. Kebanyakan makan bullshit sih."

"Sabda Aksara—"

"Lagian Papa tuh gitu banget, cuma baik dan ngerayu pas ada maunya doang. Tuhan aja nggak terima makhluk-Nya hanya berdoa waktu lagi ada perlunya, apalagi aku yang banyak jeleknya dan nggak bakat jadi anak berbakti ini."

Balasan Sabda jelas memancing kemarahan Papa. Rasi bisa melihat itu, makanya dia langsung menyela sebelum pertengkaran besar antara Papa dan Sabda pecah betulan. "Sabda!"

"Nggak usah sok mau ngomelin gue, oke? Lo bukan Kak Setra."

Rasi terdiam, hanya mampu mengeratkan genggaman pada sendoknya hingga pergelangan tangannya terasa kaku.

"Tapi makasih banget Papa udah mau repot-repot bilang sekarang. Seenggaknya, aku jadi bisa mikir, akhir minggu ini aku harus nginep ke kos atau rumah temanku yang mana."

"Sabda!"

Sabda mengabaikan seruan Papa, memilih beranjak dari kursi dan meninggalkan ruang makan. Setelah sosoknya benar-benar lenyap dari pandangan, baru Rasi berpaling pada Papa, berujar lirih sambil menggeser kursinya ke belakang dan bangkit dari duduk. "Next time, baiknya Papa nggak begini lagi."

Kemarahan tergambar jelas di wajah Papa, tapi laki-laki itu tidak mampu berkata-kata. Rasi tidak tahu persis separah apa pertengkaran akbar antara kakak sulungnya dan Papa—yang berujung dengan perginya Setra dari rumah—tetapi jelas sejak kejadian itu, Papa berusaha lebih keras mengontrol emosinya.

Tidak peduli sesedikit apa waktu yang mereka habiskan bersama, mereka tetap anak-anak Papa. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Sebagai seorang ayah, Papa tidak ingin ada anaknya yang lain ikut pergi meninggalkan rumah.

Lelaki setengah baya itu masih diam, menatap nanar pada piring-piring berisi hidangan lezat yang belum dihabiskan. Rasi membiarkannya, memutuskan naik ke lantai atas di mana kamarnya berada. Dia sudah hampir masuk ke kamar ketika tangannya berhenti di kenop pintu. Samar, ada suara tangis tertahan terdengar.

Rasi tidak butuh indra keenam untuk tahu kalau suara tangis itu milik Sabda.

Sabda bukan orang yang gampang menangis, meski sebagai anak bungsu, dia lebih banyak merengek dibanding kedua kakaknya ketika masih kecil. Cowok itu pantang menunjukkan air mata di depan orang banyak. Saat ingin menangis, dia bakal mencari tempat tersembunyi di mana dia bisa menekuk kakinya dan meredam isak dengan membenamkan wajah pada lututnya sendiri. Sekarang, walau pintu kamarnya tertutup rapat, Rasi tahu seperti apa Sabda terlihat.

Dia pasti sedang bersandar di pintu kamar sambil memeluk kakinya sendiri, lalu menangis hingga kedua bahunya berguncang seraya berharap tidak ada orang yang mendengar sedu-sedannya.

Sejenak, Rasi diam sebelum akhirnya secara impulsif, dia batal masuk kamar dan malah duduk sambil menyandarkan punggungnya di sisi luar pintu kamar Sabda. Sebenarnya, jika harus jujur, Rasi ingin melakukan sesuatu yang lebih dari itu, seperti misalnya masuk ke kamar Sabda, kemudian memeluknya dan membiarkan cowok itu menangis sampai bagian depan baju Rasi basah. Akan lebih mudah buat Rasi untuk bilang bahwa meski dia tidak bisa menjamin segalanya akan baik-baik saja, dia berjanji dia bakal selalu ada untuk Sabda.

Seperti apa yang seharusnya dia lakukan sejak dulu, dia tidak akan meninggalkan Sabda lagi seperti waktu itu.

Namun untuk sekarang, keadaan memaksa Rasi merasa puas hanya dengan bersandar pada pintu yang sama dengan Sabda, di sisi yang berbeda.

Dia masih menangis sesenggukan. Isaknya malah menguat seiring menit demi menit yang terlewat, mencipta rasa sakit tak kasat mata yang menggerus dada. Rasi menggigit bibir, turut menekuk kaki dan memeluk lututnya sendiri. Tangis Sabda malah membuatnya teringat pada sepotong peristiwa yang lagi-lagi berasal dari masa lalu, ketika segalanya masih semudah mengucapkan kata dulu. Kisah lama tentang suatu waktu ketika mereka masih bahagia.

Waktu itu sore-sore dan langit redup sebab senja sudah menjemput. Papa baru membelikan Rasi sepeda baru minggu sebelumnya. Sepeda itu keren, dilengkapi dengan sepasang jalu di roda belakangnya. Sabda sama antusias dengan Rasi, kagum pada sepeda tanpa roda bantu yang disebutnya sepeda orang gede. Kala itu, mereka pergi bersama ke taman komplek di dekat rumah untuk bermain perosotan dan saling melempar pasir bernoda kotoran kecing hingga petang menjelang dan memberi tanda mereka harus segera pulang.

Rasi membonceng Sabda yang bertumpu pada jalu di roda belakang sepedanya. Semula, segalanya baik-baik saja hingga sepeda mereka melewati sebuah turunan. Rasi belum ahli betul mengendarai sepeda tanpa roda bantu tidak mampu mengendalikan laju sepedanya ketika kecepatan bertambah drastis, membuat sepeda itu berbelok keluar jalur sampai-sampai hampir masuk selokan. Mereka cukup beruntung sepeda itu tidak sampai kecemplung got, karena jika itu terjadi, bisa dipastikan Rasi dan Sabda akan mengejutkan Mama dengan baju yang bau comberan.

Atau mungkin... tidak seberuntung itu...

Sesaat setelah jatuh, Rasi dibuat nyaris tuli oleh tangis kencang Sabda yang tanpa aba-aba. Ternyata, kakinya terluka gara-gara gaya jatuh mereka yang tanpa tatakrama. Luka itu tidak besar, namun berdarah dan itu sudah cukup membuat Sabda panik. Awalnya, Rasi sempat panik, tapi kemudian dia bersikap layaknya seperti orang dewasa dan malah menepuk pelan puncak kepala Sabda.

"Cup... cup... cup... Sabda, jangan nangis!"

Sabda cemberut, pipinya masih basah oleh air mata. "Tapi kaki aku luka!"

"Iya. Aku lihat, kok."

"Berdarah!"

"Iya, soalnya warnanya merah. Kalau ungu mah tinta pemilu."

"Nggak lucu!"

"Aku nggak ngelucu, tapi jangan nangis dulu. Katanya kamu kuat, makanya tiap kita main, kamu selalu maksa jadi ranger merah. Ingat, ranger merah nggak pernah nangis gara-gara kakinya berdarah."

Isak Sabda perlahan mulai mereda. "Tapi ranger merah nggak pernah jatuh dari sepeda!"

"Itu karena ranger merah nggak punya sepeda. Dia punyanya mega zord." Rasi menyanggah, lalu secara tidak terduga, bocah itu berjongkok di depan Sabda. "Naik ke punggung aku. Biar aku gendong sampe rumah."

"Nggak mau! Nanti jatuh lagi!"

"Aku janji nggak bakal jatuh! Kalau aku jatuh, nanti pas kita ke McDonald's lagi sama Mama atau Kak Setra, kamu boleh ambil semua mainan hadiah Happy Meal aku. Gimana?"

Sabda masih ragu, tapi dia tidak menolak dapat hadiah Happy Meal ekstra, jadi akhirnya meski butuh berpikir agak lama, Sabda bersedia naik ke punggung Rasi. Diantara ketiga anak Mama, Rasi tumbuh paling cepat dan selalu jadi anak paling tinggi di kelasnya, bahkan sejak masih TK.

"Tapi sepedanya ditinggal, dong?"

"Biarin. Nanti aku ambil lagi ke sini."

"Kalau keburu diambil orang terus hilang gimana?"

"Nggak gimana-gimana. Hilang aja."

Sabda mengernyit dengan lengan masih terlingkar di leher Rasi. "Beneran nggak apa-apa? Kamu nggak marah nantinya sama aku?"

"Kamu memang kalah keren dari sepedaku, apalagi sepedanya masih baru, tapi kamu lebih penting."

"Kenapa gitu?"

"Sepeda bisa dibeli di toko. Kamu nggak."

Sabda nyengir, lupa pada luka di kakinya—yang untungnya sudah berhenti meneteskan darah.

"Soalnya tokonya bisa bangkrut kalau jualan kamu. Nggak ada yang mau beli barang jelek."

Sabda tidak jadi terharu, malah dibikin super jengkel selama sisa perjalanan mereka menuju rumah.

Sabda, jangan nangis!

Rasanya Rasi ingin sekali bisa bilang begitu sekarang. Tetapi masa telah melahap semuanya. Kenangan hanya tinggal kenangan, cuma sebatas fragmen masa lalu yang meski bisa diputar ulang dalam ingatan, selamanya akan tetap tinggal dalam ruang khayalan. Kenyataan telah berbeda dan Rasi harus mampu menerimanya.

Malam itu, dia tidur sambil memeluk bingkai foto Mama.

*

Hari ini adalah hari Sabtu atau bisa juga diartikan sebagai hari terfavorit Eden dari semua hari yang ada sepanjang sejarah peradaban manusia. Jawabannya tentu sederhana, sebab hari ini libur. Kedua orang tuanya sudah pergi pagi-pagi sekali untuk serentetan urusan mereka—yang kemungkinan besar lebih penting dari Eden, mengingat bagaimana mereka tidak merasa perlu membangunkan cewek itu buat sekedar berpamitan—dan Eden sudah punya rencana istimewa untuk menghabiskan waktunya. Betul sekali, rencana itu adalah tidur sepanjang hari seperti beruang tengah hibernasi.

"Uy, bangun!"

Eden bergeming, mengabaikan seruan Emir yang entah dari mana datangnya seraya mengeratkan dekapan pada guling. Dari sela-sela tirai yang menutup jendela, dia tahu sekarang sudah menjelang siang, terlihat dari garis cahaya matahari yang tegas, tidak lagi redup dan membawa aroma embun seperti beberapa jam lalu.

"Uy, Kisa!"

Eden menggeram, balik berseru tanpa membuka matanya. "Ini hari Sabtu, Emir!"

"Lah, yang bilang ini hari Rabu siapa?"

"Hari ini libur. Gue nggak mesti ke kampus dan berhubung akhir-akhir ini gue sudah mulai kurang mesra sama kasur! Jangan halangi usaha gue memperbaiki hubungan sama kasur gue!"

"Berdasarkan apa yang dalam kartu instruksi gue, hari ini lo harus segera bangun untuk..."

Mata Eden terbuka tiba-tiba, langsung terarah panik pada Emir yang sedang duduk santai di kursi belajarnya sembari memandang selembar kartu di tangan. Kelihatannya, cowok berkedok malaikat pelindung itu sudah mulai terbiasa dengan tugasnya, jadi Eden tidak perlu melihat bon-bon lama dan tajos berkarat berserakan di lantai seperti kemarin-kemarin.

"Untuk apa?!"

"Untuk... duh... bentar, isi instruksinya nggak lengkap," Emir mengeluh, lantas merogoh kedua saku celananya bergantian. Eden memutar bola matanya ketika dilihatnya bon-bon lusuh dan tajos yang sudah berubah warna jadi hitam kembali berjatuhan. "Nah! Ini dia! Menurut apa yang ada di sini... lo harus segera bangun untuk nyiramin bunga-bunga dalam pot punya nyokap lo di halaman belakang."

"Hah?!"

"Lo kudu siram tanaman bunga punya nyokap lo, paling telat mulai setengah jam lagi."

"Ini apa-apaan, sih?! Mana ada orang bangun jam segini di hari libur hanya untuk nyiram bunga?!" Eden membantah, jelas tidak terima.

"Siram tanaman. Tertulis sangat jelas di kartu instruksi yang gue dapat. Dan jangan melotot ke gue gitu dong!" Emir malah ikut sewot. "Gue kan hanya meneruskan info yang gue dapat dari pihak berwenang. Kalau mau mara-mere, sana ke yang di atas!"

"Mana berani gue marah-marah sama yang di atas? Bisa-bisa jatah hidup gue malah dipangkas!"

"Nah, itu tahu." Emir berdecak. "Pokoknya siram bunga sekarang. Itu juga kalau lo mau terhindar dari kesialan yang bakal lo dapatkan sekiranya lo tetap ngotot nggak mau nyiram bunga."

Eden bangkit dari ranjangnya dengan wajah bersungut-sungut. Lantai kamar terasa dingin begitu dia menjejakkan kakinya di sana. Sekarang belum jam sembilan pagi, jadi ini betul-betul terlalu dini buat Eden untuk bangun dan... menyiram bunga. Demi kucing di gardu depan rumahnya Pak RT yang barusan lahiran kembar enam minggu lalu, Eden tidak pernah sekalipun bangun sepagi ini hanya untuk menyiram bunga.

Segalanya berjalan dengan baik-baik saja, pada awalnya, hingga saat Eden berniat beralih pada pot-pot kamboja bersama selang di tangan, kakinya yang hanya terbalut sandal jepit tidak sengaja menginjak bagian paving block halaman belakang yang berselimut lumut. Apa yang terjadi selanjutnya telah terduga, Eden terpeleset lalu jatuh dengan pantat menghantam permukaan keras paving block lebih dulu. Emir melongo, namun bukannya membantu Eden berdiri atau melakukan tindakan yang patut dilakukan oleh malaikat pelindung teladan, dia justru tertawa keras-keras sambil memegangi perutnya sendiri.

"INI PANTAT GUE SAKIT LOH YA!"

"Idie, kayak punya pantat aja lo!"

Eden melotot penuh dendam pada Emir. "Lo ini sebenarnya malaikat pelindung gue atau bukan, sih?!"

"Gue malaikat pelindung lo, karena itu juga gue tahu lo nggak akan mati hanya gara-gara terpeleset. Kata orang bijak sih, kalau jatuh kayak gitu, sakitnya cuma lima menit tapi malunya bisa sampai lima abad."

Eden masih cemberut ketika dia beranjak sambil menepuk-nepuk bagian bokong celananya yang kini kotor oleh jejak lumut. "Kenapa ya, setiap kali nurutin saran lo, bukannya makin beruntung, gue justru makin sial? Coba kalau gue nggak sok-sok-an nyiram bunga jam segini, mungkin gue lagi tidur dengan nyaman di atas kasur gue, bukannya kepeleset sampai pantat gue nyut-nyutan kayak sekarang!"

"Kalau lo nggak siram bunga lo pagi ini, nanti begitu nyokap lo pulang, dia bakal langsung ngomelin lo."

"Masa?!"

"Konsekuensi yang tertulis di kartu instruksi sih begitu. Melihat dari karakter lo dan pertimbangan gue, kayaknya diomelin nyokap lo tuh lebih sial daripada hanya sebatas kepeleset waktu nyiram bunga."

"Kagak ada yang mending diantara keduanya!"

"Namanya juga manusia dengan tingkat kerentanan kesialan super tinggi. Gue nggak bilang lo bakal auto-beruntung dengan kehadiran gue sebagai malaikat pelindung lo. Gue cuma bisa meminimalisir dampak-dampak negatif yang mungkin timbul, termasuk memilih mana yang paling mending diantara kesialan-kesialan yang bakal menimpa lo."

"Yeuuuu..." Eden memajukan bibirnya. "Lain kali kasih tahu gue dulu pilihan-pilihan yang ada tuh apa! Jadi gue bisa milih!"

"Nggak bisa. Semuanya suka-suka gue dan kembali pada keputusan akhir gue dengan melihat berbagai pertimbangan yang ada."

"Dih, ini mah sama aja gue jadi kelinci percobaan lo!"

"Namanya juga guardian angel amatir."

Eden berdecak kesal, menghentakkan salah satu kakinya, kemudian melemparkan selang air di tangannya ke atas rumput. Dia berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Emir. Usai mengganti celananya yang ternoda lumut dan tanah dengan celana bersih, cewek itu duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponselnya. Tadinya, dia berniat untuk menggunakan jasa antar makanan Go-Food, namun niatnya langsung dipatahkan oleh kata-kata yang lagi-lagi Emir ujarkan secara tidak bertanggung jawab.

"Nggak ada pesan-pesan makanan. Sekarang seharusnya lo udah siap-siap buat pergi."

"Buset, ini tuh hari Sabtu, Mir! Hari khusus buat Eden bermalas-malasan di rumah!"

"Buat orang iya, tapi nggak buat lo." Emir menanggapi dengan tegas. "Lo kudu ke mal sekarang."

"Hah, ngapain?!"

"Ngapain kek. Ada banyak kegiatan yang bisa lo lakukan di mal."

"Ih, ogah ah! Malas!"

"Yaudah kalau gitu."

Respon Emir malah bikin Eden jadi panik. "Kalau gue tetap tinggal di rumah, kesialan macam apa yang bakal gue dapat?!"

"Cukup parah. Cuma ya, keputusan akhirnya balik lagi ke lo. Sebagai malaikat pelindung, gue hanya bisa memberi saran dan instruksi."

"Ih, males banget kalau lo udah ngomong sok professional kayak gini!" Eden berdecak, mendelik pada Emir sekali lagi sebelum akhirnya bangkit dari duduk dan berjalan menuju kamarnya. Diam-diam, Eden jadi terpikir pada malaikat pelindungnya yang pertama. Dia tidak kenal siapa malaikat pelindung itu, namun sosok itu pasti tergolong malaikat pelindung yang amat berdedikasi jika tingkat kerentanan kesialan Eden sejak lahir memang setinggi itu. Hidupnya baik-baik saja sebelum Emir muncul dan berkata dia ditempatkan sebagai malaikat pelindung pengganti untuk sosok malaikat pelindung yang tidak pernah Eden temui.

Pak Malaikat, kenapa pensiun dini, sih? Huhu, coba kamu bilang ke aku kalau kamu lelah, pasti udah aku pijetin dan beliin ekstra joss campur telur bebek...

"Mandi lo nggak bisa lebih dari sepuluh menit ya. Ini untuk meminimalisir kemungkinan lo terkena kesialan di kamar mandi. Selama lo di dalam kamar mandi, gue nggak bisa membantu lo karena... um... lo tetap cewek dan gue pernah jadi cowok. So... paham lah ya?"

"Kesialan macam apa yang kira-kira bisa gue alami di kamar mandi?" Eden bertanya saat dia tiba tepat di ambang pintu kamar mandi yang terbuka.

Emir mengedikkan bahu. "Nggak tahu. Mungkin diserang sepasukan kerajaan kecoak?"

"OKE. NGERTI."

Gara-gara kata pengantar dari Emir, Eden jadi tidak tenang selama mandi, serasa seperti bintang film horor yang harus bersiaga karena hantu bisa muncul sewaktu-waktu. Tetapi untungnya, Eden berhasil menyelesaikan ritual mandinya dengan selamat. Sesuai arahan dari Emir, dia tidak mandi lebih dari sepuluh menit. Cowok itu sendiri sedang duduk di pinggir ranjangnya ketika Eden keluar dengan rambut dililit handuk.

"Nanti sekalian bawa kamera polaroid lo aja buat tugas grup penggemar fotografi dan film yang kemarin. Jangan membantah dulu, Kisa Eden Philomena—bawa aja. Gue punya feeling kalau lo ambil fotonya hari ini, lo bakal dapat hasil foto terbaik."

"Harus banget kamera polaroid? Pake kamera HP aja kan bisa. Buat apa gue punya HP yang harganya saingan sama harga motor kalau kameranya kalah sama kamera polaroid."

"Disuruhnya foto polaroid, geblek."

"Oh... iya tah?"

"Kemaren lo dengar nggak sih penjelasannya?"

"Dengar tapi gue kan punya kecenderungan amnesia untuk segala sesuatu yang nggak melibatkan makanan enak dan cowok ganteng." Eden nyengir, lalu mengacungkan jempolnya pada Emir. "Tapi tumben deh lo pintar banget!"

Emir berdecak, memutar bola matanya sebelum bergerak menuju pintu.

"Lo mau kemana?"

"Nunggu di luar."

"Loh, kenapa gitu?"

"Lo mau ganti baju, kan?"

"Ung... iya sih."

"Atau lo gue tonton lagi ganti baju?"

"NGGAK!"

"Sebenarnya guardian angel punya hak istimewa loh buat—"

"KELUAR!"

*

Sebenarnya, Rasi tidak benar-benar sengaja pergi menjelang pukul sepuluh pagi untuk menghindari Papa atau perempuan yang katanya mau bertandang ke rumah. Setiap minggu, dia memang selalu pergi ke luar—lebih sering ke mal, karena tempat itu tidak panas dan tidak bakal membuat rambutnya berantakan atau bau matahari. Sabda selalu sibuk dengan dirinya sendiri di akhir pekan, entah dia janjian main futsal dengan teman-temannya atau mengunci diri dalam kamar sepanjang hari. Rasi tidak bisa berlama-lama terjebak dalam situasi semacam itu. Dia benci merasa kesepian.

Yah, meski keseringan pergi ke mal juga bisa jadi sangat membosankan.

Biasanya, begitu tiba di mal, Rasi akan mampir sebentar di gerai Chatime sebelum meneruskan langkah menuju arena bermain game. Rasi bukan maniak teh seperti Setra, tapi jika disuruh memilih antara Starbucks atau Chatime, jelas dia akan pilih Chatime. Menu yang dia pesan tidak pernah berubah, selalu Chocolate Mousse ukuran besar tanpa topping. Hari ini pun begitu. Mal belum terlalu ramai karena hari masih pagi, jadi Rasi tidak perlu butuh waktu lama mengantri. Hanya saja, dia terlalu sibuk dengan ponselnya hingga tak menyadari kehadiran seseorang yang diam-diam mengamatinya dari kejauhan.

Orang itu adalah Setra.

Rasi mungkin berpikir jika rutinitasnya pergi ke mal untuk jajan Chatime dan bermain game—yang seringnya dilanjut dengan sesi memutari deretan rak buku komik di toko buku—adalah rahasianya sendiri, tetapi dia salah. Setra telah mengetahuinya sejak beberapa bulan lalu dan semenjak itu, selalu diam-diam mengikuti, menontonnya dari jauh dan sesekali tertawa kecil setiap Rasi mengomel ketika dia kalah dalam sebuah permainan.

Setra sengaja membiarkan Rasi melenggang pergi lebih dulu, sekalian dia ikut memesan Jasmine Green Tea untuk dirinya sendiri. Pola tempat yang Rasi kunjungi di mal tidak pernah berubah, selalu dimulai dari Chatime, arena bermain game dan seringnya diakhiri dengan toko buku atau toko-toko lain yang menjual pernak-pernik lucu tidak biasa. Bukan berarti Rasi gemar mengoleksi benda-benda lucu. Terkadang, cowok jangkung itu mampir di gerai Strawberry hanya untuk mencoba topi pantai, flower crown atau kacamata lalu tertawa sendiri saat melihat bagaimana konyol penampilannya lewat cermin. Rasi tidak pernah membeli, tapi muka gantengnya bikin dia gampang termaafkan oleh mbak-mbak penjaga gerai Strawberry.

Seperti yang sudah-sudah, permainan pertama yang Rasi mainkan sesaat setelah dia tiba di arena bermain mal adalah basket. Serupa dengan sebelum-sebelumnya, Setra duduk agak jauh untuk menonton punggung Rasi sambil menyedot jasmine green teanya. Kurang dari setengah menit memperhatikan gaya adiknya, Setra langsung tersadar jika ada yang berbeda hari ini.

Rasi terlihat lebih emosional dari biasanya.

Cowok itu melempar bola basket ke ring dengan sadis, seakan-akan dia adalah atlet yang sedang berlaga dan hidupnya bergantung pada medali yang mesti dia bawa pulang. Gerak kalapnya memang membantunya meraih skor lebih banyak dari biasa, hingga satu bola yang dia lempar gagal masuk ring dan malah membentur papan, membuat bola itu memantul sebelum berakhir menghantam muka Rasi dengan keras hingga Setra nyaris memekik terkejut.

"Ouch!" Rasi berseru keras, membuat beberapa orang di dekatnya spontan menoleh dengan alis terangkat. "Oh my God, it hurts! Tapi nggak apa-apa. Nggak apa-apa. Gue masih ganteng."

Sama seperti orang-orang di sekitar Rasi, wajah Setra yang sempat cemas langsung berubah masam kata-kata cowok jangkung itu.

Perlahan, Setra kembali duduk, melanjutkan menonton Rasi yang kini beralih ke permainan arcade.

*

"Harus banget apa gue ke Timezone?!"

"Kecilin ngomongnya."

"Ini gue lagi bete campur kaget, masih harus diatur juga?!"

"Bebas, sih. Itu hak lo. Tapi kalau gue harus ingatkan, gue ini guardian angel pengganti dan nggak ada orang yang bisa lihat gue selain lo. Manusia normal umumnya nggak ngomong sendiri, kecuali dia rada nggak waras." Emir mulai menjelaskan dengan wajah datar sok polosnya yang bikin Eden justru makin kesal. "Yah, kalau lo mau dianggap nggak waras sih nggak apa-apa. Soalnya dari tadi lo ngomongnya gede banget, speaker information center mal aja kalah."

Eden sebal mendengar kata-kata Emir, namun dia tahu apa yang dibilang Emir itu benar, jadi dia tak bisa membantah dan hanya mampu mengerucutkan bibir.

Setidaknya, cewek itu bisa merasa lega sedikit sebab pada jam-jam segini, Timezone masih sepi pengunjung, terutama dari populasi berusia lima tahun ke bawah. Sejujurnya, dari semua tempat yang bisa ditemukan di sebuah mal, Timezone bukan tempat favoritnya. Eden sudah ketuaan buat masuk wahana mandi bola dan dia nggak suka-suka amat permainan arcade. Oh ya, dia juga anti main ke Timezone di hari Minggu, terutama pada jam-jam sore menjelang malam. Pasti bakal banyak anak kecil yang hobi merengek, berebutan pasir glitter warna-warni untuk lembar menggambar mereka hingga sibuk menangis gara-gara es krim yang tumpah.

Eden benci suara berisik, juga tidak suka anak kecil dan pastinya, suara berisik dari anak kecil adalah jenis keributan terakhir yang ingin dia dengar di dunia ini.

"Gue bukan penggemar Timezone. Gue jadi bingung kudu ngapain. Ada instruksi khusus?"

Emir mengecek kartu instruksi—yang sengaja dia pegang, soalnya Eden sudah kelewat lelah untuk menyaksikan adegan bon-bon lama dan tajos karatan berjatuhan diputar berulang kali—di tangannya. "Nggak ada. Tapi sebagai malaikat pelindung yang baik, gue saranin lo main Dance Dance Revolution aja."

"Gue lagi malas keringetan."

"Deh, udah kayak apa aja malas keringetan." Emir memutar bola matanya. "Sekedar saran aja, soalnya lemak lo kayaknya udah ngumpul tuh. Lagian, berdasarkan catatan history lo, udah cukup lama juga sejak terakhir kali lo main Dance Dance Revolution."

"Buset, pake ada catatan history segala, berasa jadi Google Chrome gue!"

"Main aja dulu, sekalian nunggu instruksi selanjutnya."

"Yaudah deh."

Eden sadar segalanya akan lebih gampang jika dia mendengarkan Emir tanpa membantah. Cowok itu memang masih guardian angel pemula, namun setelah menghabiskan beberapa hari bersamanya, Eden tahu Emir bisa sangat menyeramkan saat ngomel atau saat ngambek. Walau kemampuannya agak tidak meyakinkan, lebih baik punya guardian angel daripada tidak punya sama sekali.

Wahana Dance Dance Revolution tidak sedang digunakan orang lain ketika Eden mendekat, jadi dia bisa langsung bermain. Cewek itu meletakkan tasnya di bangku yang berada tepat di sebelah permainan tersebut, lalu menggesekkan kartu Timezonenya pada slot yang tersedia. Eden memilih lagu berdasarkan tingkat kesulitan dan intronya terdengar tidak lama setelah dia menghentak opsi confirm dengan kakinya. Eden boleh jadi tidak terlalu suka menghabiskan waktunya di Timezone, tapi dia tergolong jago dalam permainan itu.

Hanya butuh waktu singkat untuk mengundang banyak orang mendekat dan ekspresi mereka kebanyakan seragam, mereka dibikin takjub oleh keahlian Eden.

Eden mulai berpikir jika ide Emir menyuruhnya main Dance Dance Revolution tidak terlalu buruk, sampai kemudian, dia mendengar suara yang tidak asing...

"Wow, very very jago banget!"

Eden mendengus sambil masih tetap bergantian menginjak bagian lantai dance sesuai petunjuk yang tertampil di layar, memerintahkan diri sendiri supaya tidak mulai berhalusinasi. Tidak mungkin kan suara yang barusan dia dengar itu milik Rasi? Probabilitas mereka bertemu secara tidak sengaja di kampus boleh jadi tinggi, tapi dari sekian banyak mal di Jakarta, bagaimana bisa mereka tiba-tiba bertemu di mal yang sama?

"I actually love the song!" seruan itu terdengar lagi, cukup untuk bikin Eden langsung tahu kalau suara itu memang benar-benar ada, bukan hanya terdengar dalam khayalnya semata. Seperti ingin mengejeknya, Rasi berjalan mendekat, tepat di sebelahnya dan mulai menggerakkan badan seperti cacing kepanasan. "SHAKE YOUR BODY, MAN—LOH, HEAVEN?!"

Konsentrasi Eden buyar seketika. Dia gagal menjaga tempo gerakannya dan buruknya, dia bahkan nyaris jatuh di atas lantai dance. Cepat-cepat, cewek itu berpegangan pada tiang besi di belakangnya. Matanya melotot ketika dia menatap Rasi yang kini nyengir sok tak berdosa.

"Lo lagi?!"

Permainan Eden tidak lagi menarik, jadi orang-orang pun bubar dengan sendirinya.

"Halo, Heaven. Seneng deh, ketemu lo di sini!"

Eden menatap Emir dengan sorot mata super mematikan, tetapi yang ditatap malah pura-pura buang muka sambil mengangkat bahu.

"Lama-lama gue nggak bisa ngebedain, apakah gue lagi menghindari kesialan atau justru berjalan mendekati kesialan itu sendiri." Eden mulai ngomel sembari turun dari lantai dance dan kembali memakai sepatunya yang sempat dia biarkan teronggok di lantai. "Lo juga kenapa bisa ada di sini? Lo ngikutin gue ya?!"

"Haram hukumnya orang ganteng kayak gue jadi stalker, Girly." Rasi tersenyum kalem. "Tapi kebetulan nih, gue lagi kesepian, dari tadi jalan sendirian terus. Lo suka baca komik, nggak? Lihat-lihat komik bareng yuk!"

"Gue nggak—"

"Instruksi baru." Emir memotong sebelum Eden sempat menyelesaikan ucapannya. "Sesuai instruksi sebelumnya, lo nggak boleh meninggalkan mal ini sebelum petang. Jadi amannya, sekitar jam tujuh-an gitu deh lo baru bisa pulang. Instruksi tambahan, sangat disarankan bepergian dalam kelompok berisi minimal tiga orang. Kalau nggak berkelompok, gue nggak bisa menjamin lo bakal baik-baik aja sampai jam tujuh nanti."

Eden hampir tersedak. "Kenapa harus tiga orang?!" bisiknya keras, namun cukup buat bisa didengar Rasi dan itu membuat keningnya berlipat-lipat heran.

"Nggak tahu. Tapi katanya sih pihak berwenang sukanya yang ganjil-ganjil."

"Apa gue telepon Yasmine ya biar dia kesini?"

"Coba aja."

"Kalau dia nggak mau gimana, hayo?" Eden memberengut. "Masa ginian aja kudu nelepon Yasmine? Bisa-bisa dia anggap gue gila."

"Terserah. Gue bakal no comment kalau lo tertimpa kesialan purna."

"Duh, bentar. Lo diem di situ dulu! Jangan kemana-mana!" Eden berpaling pada Rasi yang balik menatapnya dengan wajah tidak mengerti, lantas cewek itu masuk ke photobox kosong supaya bisa bicara dengan Emir secara lebih leluasa. "Kesialan segede apa?"

"Ibarat kata lo kepeleset tadi pagi tuh kesialan level satu, maka yang ini berpotensi berada di level 12."

"Anjir, kesialan macam apa tuh?! Apa gue bakal ngeguling dari eskalator?!"

"Bisa jadi."

"Sebenarnya kesialan tuh ada berapa level, sih?!"

"Untuk manusia biasa, level maksimalnya adalah 20. Tapi buat lo, kayaknya sih nggak terhingga."

"Huf." Eden meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya dengan kesal. "Gue telepon Yasmine dulu, deh."

"Gue bakal sangat mendukung itu, namun sepertinya ada instruksi tambahan—" jeda sejenak yang terasa seperti seabad buat Eden. "Lo hanya punya waktu dua menit untuk menemukan dua orang lainnya."

"HAH, LO GILA APA YA?!"

"Excuse me, Heaven, gue nggak tahu lo lagi rada korslet atau diam-diam lagi benerin tali BH lo atau gimana, tapi tolong jangan begini. Semua orang di luar bisa dengar suara lo dan kayaknya, sekali lagi lo teriak, bakal ada yang berinisiatif mendatangkan security mal ke sini..." Rasi berujar tiba-tiba dari luar pintu ruang photobox yang tertutup.

"Bos lo tuh emang hobi bermain-main ya sama nasib orang?!" Eden bertanya sewot dengan suara rendah pada Emir yang refleks meringis.

"Namanya juga bos. Mau di dunia manusia kek, mau di dunia permalaikat pelindungan kek, ya sama aja. Sama-sama berkuasa ngalah-ngalahin raja."

"Kayaknya gue kudu pasrah." Eden menyahut lemas sambil menyandang tasnya di bahu, kemudian beranjak keluar dari photobox. Rasi berdiri di luar pintu, terlihat prihatin sekaligus penasaran. Eden menghela napas panjang, berpikir bahwa setidaknya dua lebih mendekati tiga daripada satu ketika matanya memandang pada satu arah secara tidak terencana. Cewek itu kontan tersekat tatkala dia mengenali seraut wajah milik sesosok cowok yang kini balik memandangnya, kelihatan sama terkejut dengan dirinya.

"Ka—kakak ganteng?!"

Jika mempertimbangkan akal sehat, gengsi dan rasa malu, tentu Eden bakal memilih menarik Rasi menjauh dari sana dan pura-pura tidak melihat kehadiran sosok kakak ganteng yang bikin Yasmine bertingkah kayak perawan haus cogan yang minta disiram kuah mi instan ketika mereka nongkrong di warteg tempo hari. Namun sejak kehadiran Emir dalam hidupnya ditambah fakta bahwa dia punya tingkat kerentanan kesialan hampir sama dengan manusia tersial sepanjang sejarah, Eden rasa akal sehat, gengsi dan rasa malu bukan lagi sesuatu yang bisa dia temukan dalam kepalanya.

Sempat ragu sejenak, akhirnya cewek itu nekat menghampiri Setra yang duduk melongo di bangkunya sambil memegang segelas besar es teh yang isinya tinggal setengah.

"Kakak ganteng?!"

Rasi mengekori arah yang dituju Eden dan langsung kehilangan kata-kata sesaat setelahnya.

"Aku tahu kakak mungkin nggak kenal aku tapi..." wajah Eden terasa luar biasa panas ketika dia mulai bicara dengan terbata-bata seraya meremas tangannya yang tiba-tiba saja berkeringat lebih banyak dari biasanya. Dia mulai mempertanyakan eksistensinya sendiri dan kenapa dia bisa punya ide setolol ini. Tapi ya sudahlah. Sudah kepalang basah, mending lompat dan nyebur saja sekalian. "Kakak mungkin bakal anggap aku sinting, gila, miring dan semacamnya, tapi kita... kita itu sekampus. Kakak pernah minum es teh di burjo Mang Encup, kan?"

Hening sejenak, Setra hanya diam memandang Eden, membuat gerak tubuh cewek itu makin kaku.

"Kakak pasti berpikir aku aneh dan..."

"Saya tahu kamu." Setra memotong dengan suara halus yang Eden yakini, bisa membuat lutut cewek manapun jadi selembek jelly. "Kamu nonton pertandingan olahraga waktu itu sama... Rasi. Dan sekarang... kamu juga... jalan sama Rasi."

Rasi yang dilirik langsung bersiul, pura-pura buang muka walau kentara sekali dia salah tingkah.

"Ah, iya!" Eden berseru, seperti bisa membaca situasi yang tiba-tiba berubah jadi dua kali lipat lebih awkward. "Hng... gini... kakak mungkin bakal anggap aku percaya takhayul atau gimana... tapi hari ini bukan hari keberuntunganku dan kata mala—hng... maksudku kata ramalan zodiak, aku harus jalan bertiga kalau nggak mau kena sial. Aneh, memang. Aku tahu. Sekiranya kakak nggak mau juga—"

"Heaven—"

Eden melotot galak pada Rasi. "Lo diam di sana dan jangan pergi kemana-mana!"

Rasi langsung kicep. "Oke. Oke. Gue nggak akan pergi kemana-mana. I'm here for you. Always. Jadi jangan pelototin gue kayak gitu. So scary. Gue takut."

Eden mengembuskan napas, beralih pada Setra dan tatapan galaknya langsung lenyap, terganti oleh sorot malu-malu yang terkesan sok imut. "Kakak nggak ngerti ya aku ngomong apa? Aduh, gimana ya ngejelasinnya—"

"Saya nggak ngerti, tapi saya rasa saya paham niat kamu."

"Ini gara-gara alasan yang nggak bisa aku jelasin... jadi—intinya gini—kakak lagi jalan sendirian aja nggak? Atau sama teman? Jalan bareng aku sama bule sinting ini mau nggak? Biar jumlah minimal tiga orangnya terpenuhi dan biar aku nggak mesti berduaan aja ama dia."

"Heaven—"

Setra memandang Rasi dan Eden bergantian, lalu matanya jatuh pada Rasi. "Boleh?"

Rasi membuang napas pelan, menatap pada Eden dan akhirnya berujar, "Depends on Heaven."

Eden nyaris menjerit kegirangan seperti ninja Konoha yang baru saja dinyatakan lulus ujian Chuunin. Cewek itu kontan menolehkan kepala pada Emir diikuti tanya hampir tanpa suara. "Jadi gimana lagi?"

"Pastikan lo terus berada dalam kelompok tiga orang sampai matahari betul-betul terbenam. Setelahnya suka-suka lo aja."

Eden mengacungkan jempol diam-diam pada Emir.

"Sekarang kita ngapain?" Rasi bertanya, menyentak perhatian Eden.

"Hng... ngapain ya..." Eden memutar otak hingga sebuah gagasan yang menurutnya bagus melintas di kepalanya. "Ah ya! Nonton! Sekarang lagi ada film horor hits banget yang diputar. Kita nonton aja, yuk?! Gimana?"

Seruan Eden berujung pada Rasi dan Setra yang kompak saling berpandangan tanpa direncanakan, lalu keduanya menghela napas di saat yang bersamaan.

"Oke." 





bersambung ke fourth note 

***

Catatan dari Renita 

halo. akhirnya kita ketemu lagi di chapter selanjutnya dari Guardiationship. 

well, gue tahu cerita ini memang terkesan emosional banget haha bahkan ada yang bilang begitu masuk langsung konflik... hahaha... maybe? gue nggak tahu, sih, tapi gue sangat-sangat menikmati menulis cerita ini, jadi gue harap yang membacanya pun merasakan yang sama. 

sori karena gue lama nggak nongol di wattpad (berapa hari mungkin ya) dikarenakan kesibukan dunia nyata dan gue harus memikirkan tugas akhir gue. bagaimanapun juga, gue masih punya kesibukan dan kewajiban lain selain wattpad, jadi thanks untuk kalian semua yang sudah mengerti. 

ah ya, gue menerima banyak pertanyaan untuk beberapa cerita lain, seperti misalnya Noir 3, SLS 2 dan seterusnya. 

gue nggak akan membuat keduanya, atau sekalipun gue ingin membuatnya, nggak akan dalam waktu dekat. gue mudah bosan, apalagi kalau ketemu karakter yang sama lagi dan sama lagi. 

untuk noceur sendiri, sebetulnya book pertamanya kan sudah selesai, tinggal dilanjut ke book dua dannnnn... gue belum menemukan mood atau gregetnya untuk melanjutkan. 

oceanite probably weekend. 

daripada mendesak atau bertanya kapan update, sebenarnya gue lebih suka kalau lo menunjukkan apresiasi lo lewat vote dan comment, karena yang memberi gue mood lebih adalah itu, bukan ketika gue live instagram atau update instastory ditanya kapan lanjut blablabla. 

jadi mungkin, ketika sebuah cerita lama nggak dilanjut, gue lagi belum menemukan mood. penyebabnya kenapa? gue rasa kalian bisa menebak. 

gue nggak akan pake target vote atau comment atau apa pun kok, semuanya akan dilanjut pada waktunya, cuma ya, ketika melihat jumlah silent readersnya terlalu banyak, gue merasa gue punya 'hak' untuk lebih berkonsentrasi dulu ke urusan dunia nyata gue, sama kayak mereka yang baca pun punya 'hak' untuk nggak meninggalkan vote atau comment. 

gitu deh. sekian, karena gue juga udah telat banget ngepostnya haha 

makasih dan sampai ketemu di chapter berikutnya. 

Semarang, November 1st 2018 

19.51

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top