tenth note

Home is where you're surrounded

by other creatures that care for you.

And I care for you.

So, this shall feel like home.

—K. E Philomena—

*

Are you ready, Kids?

Aye-aye, Captain!

I can't hear you...

Aye-aye, Captain!

Rasi baru berniat mengetuk pintu kamar Sabda yang tertutup ketika intro opening dari seruak film kartun yang sangat familier baginya terdengar samar. Cowok itu berhenti sejenak, batal menjalankan apa yang mau dia lakukan dan malah memandang ragu pada pintu. Hari ini, setelah menyelesaikan tugas kecil Sabda dan Eden untuk grup minat kampus, mereka melanjutkan acara jalan-jalan di Dufan dengan makan bersama, lalu berjalan tak tentu arah menikmati wahana hingga malam menjelang. Saat mereka makan di restoran, Rasi sempat meminjam earphone milik Sabda karena dia lupa membawa miliknya—terdengar mustahil memang, tapi karena ada Eden, jangankan meminjam earphone, mendapatkan dompet Sabda saja sepertinya mungkin saja Rasi lakukan. Cowok itu lupa mengembalikannya tadi, jadi dia bermaksud melakukannya sekarang. Butuh hampir setengah jam bagi Rasi untuk membulatkan tekad, tapi sekarang tindakannya tertahan oleh suara intro opening serial film kartun yang masih berlanjut.

Ooooohhh...

Who lives in a pineapple under the sea?

Spongebob Squarepants!

Absorbent and yellow and porous is he!

Spongebob Squarepants!

If nautical non sense be something you wish...

Spongebob Squarepants!

Then drop on the deck and flop like a fish!

Spongebob Squarepants!

Itu intro opening serial film kartun berjudul Spongebob Squarepants, cerita tentang spons laut kuning yang tinggal dalam rumah nanas di dasar laut dan bekerja di sebuah restoran burger miik juragan kepiting bernama Eugene Krabs.

Hanya intro opening film kartun biasa, buat sebagian orang, tetapi untuk Rasi yang masih ingat segala rahasia kecil terkait anggota keluarganya, dia mengerti kenapa Sabda tiba-tiba memutar intro opening Spongebob Squarepants sekarang, menjelang tengah malam, usai menghabiskan lebih dari seharian bersama... saudara-saudaranya.

Rasi sangat tahu jika Sabda membenci Spongebob Squarepants. Daripada Spongebob Squarepants, Sabda lebih suka dipaksa nonton episode tentang petualangan Dora menjadi putri sejati dalam serial Dora the Explorer sepuluh kali daripada nonton episode Spongebob Squarepants satu kali. Buat Sabda, Spongebob itu bodoh, pengganggu dan semaunya sendiri. Faktanya, masalah di dunia nyata tidak bisa diselesaikan dengan keceriaan berlebihan tanpa alasan atau kebodohan yang dianggap serupa kelebihan. Jika ada karakter yang mungkin agak Sabda sukai dalam serial film kartun itu, pastinya hanya Squidward Tentacles, yang hampir dalam setiap episode kemunculannya terkena sial akibat ulah Spongebob dan Patrick.

Sebaliknya, jika Sabda membenci Spongebob Squarepants setengah mati, Setra menyukainya sepenuh hati. Dulu, waktu mereka lebih kecil, Setra bahkan sampai mengoleksi beragam pernak-pernik bergambar karakter spons kuning bercelana kotak itu, mulai dari bantal, papan ujian, pulpen, wadah alat tulis—dan yang ekstrem adalah, Setra pernah menggambari hoodie putihnya dengan sketsa Spongebob Squarepants dalam beragam ekspresi lalu memakainya dengan bangga dalam acara kumpul-kumpul anak sekelas saat dia masih sekolah.

Gara-gara itu, saat Setra ulang tahun, Sabda (tidak peduli betapa dalamnya dia benci pada Spongebob Squarepants) dan Rasi sepakat patungan untuk menghadiahi kakak mereka sebuah kado yang punya unsur Spongebob Squarepants di dalamnya. Mereka sempat berdebat seru, tentu karena berbeda pendapat seperti biasanya. Kalau dipikir lagi, seumur hidup, masa-masa di mana Rasi dan Sabda satu suara itu bisa dihitung dengan jari. Tadinya, Rasi berpikir buat membelikan Setra sempak bergambar Spongebob Squarepants lagi nyengir, yang Sabda bilang ide tertolol sepanjang sejarah sebab sesuka-sukanya orang pada sesuatu, punya sempak dengan wajah nyengir spons kuning setengah sinting di bagian pantat tidak terdengar keren sama sekali. Mereka cekcok, nyaris marahan, sampai Mama ikut campur dan di akhir, keduanya setuju membelikan Setra phone case bergambar Spongebob Squarepants. Sebagai pemanis sekaligus tanda cinta dari mereka berdua untuk Setra, Rasi dan Sabda menambahkan tanda tangan mereka (yang lebih mirip gambar cacing kepanasan) di atas permukaan phone case menggunakan spidol permanen.

Setra jelas senang sampai-sampai cowok itu hampir menangis, kian terharu ketika Mama memberitahu bagaimana dua adiknya menyisihkan uang saku mereka untuk membeli hadiah itu. Rasi masih ingat, sesaat setelah membuka kertas pembungkus kado dan melihat benda apa yang ada di dalamnya, Setra langsung merangkulnya dan Sabda dalam sebuah pelukan besar yang bukan hanya erat, tetapi juga hangat. Dia selalu berpikir kalau kakak pertamanya itu adalah orang paling cool yang pernah ada, lalu merasa lucu sendiri karena Setra nyaris berurai air mata hanya gara-gara case bergambar spons kuning dengan senyum lebar kelewat ceria.

"Makasih ya! Aku bakal jaga ini sampai kapan pun!"

Setra bilang begitu seraya melepaskan pelukannya dari kedua adiknya ditonton Mama yang diam-diam tersenyum, namun Rasi tidak menduga kalau Setra serius dengan ucapannya—hingga hari ini.

Setra masih menggunakan phone case itu. Jenis dan tipe ponselnya tidak lagi sama seperti yang dulu, jadi jelas Setra membuat phone case baru menggunakan gambar phone case lama yang diberikan Sabda dan Rasi, hanya berbeda bentuk saja. Gambarnya sama persis, bahkan sampai ke detail tanda tangan mirip cacing kepanasan. Rasi kira, hanya dia yang melihatnya saat Setra tanpa sengaja meninggalkan ponselnya di meja restoran ketika cowok itu pergi ke toilet, tetapi kelihatannya, Sabda juga melihatnya.

Rasi tahu, meski tidak pernah mengatakan apa-apa, Setra masih peduli padanya dan Sabda.

Tetapi dia tidak mengira, Setra masih sepeduli itu.

Mengetahuinya mencipta gumpalan yang serasa menyumbat tenggorokan, membuat dadanya sesak dan napasnya tertahan, sementara di sisi yang lain, jantungnya berdegup kencang tanpa mau kompromi. Rasanya Rasi ingin bilang pada Setra bahwa dia masih menganggap Setra sebagai kakaknya, masih menyayanginya selayaknya seorang adik pada kakaknya dan masih berharap entah bagaimana, suatu hari nanti, mereka bisa kembali tinggal bersama seperti dulu meski Mama sudah tidak ada. Namun ucapannya tertelan tanpa sempat terkata, membuat pandangannya memburam sejenak ketika dia mengunyah makan siangnya.

Apakah Sabda juga merasakan sesuatu yang sama?

Rasi masih mematung di depan pintu kamar Sabda ketika pintu dibuka tanpa aba-aba. Sabda berdiri di depannya dengan mata merah saga, sembab seperti orang habis menangis. Dia jelas terkejut, tidak menyangka ada Rasi di depan pintu kamarnya. Mereka terperangah, sama-sama dikejutkan oleh kehadiran satu sama lain hingga Sabda berdeham, agak salah tingkah.

"Ngapain lo di sini?"

Rasi tergugu. "Hng... mau... balikin ini..."

Sabda mengangkat alis, lantas meraih earphone dari tangan Rasi. "Oke."

Rasi balik memandang Sabda. Ada banyak yang mau dia katakan—beragam tanya yang menyesaki kepalanya hingga nyaris meledak.

Lo habis nangis? Kenapa? Karena kangen Kak Setra? Gara-gara phone case itu? Kalau iya, gue juga sama. Menurut lo gimana kalau kita ngomong ke Kak Setra supaya dia mau balik ke rumah lagi? Atau bantuin Kak Setra damai sama Papa? Lo dan gue... gimana kalau kita juga damai aja? Mungkin lo marah ama gue, tapi ingat nggak dulu Mama pernah bilang kalau kakak-adik nggak boleh marah lama-lama, soalnya dosa. Gue takut masuk neraka. Tapi daripada takut masuk neraka... gue lebih takut gue bakal kehilangan lo dan Kak Setra untuk seterusnya... ketika kita punya kesempatan dapet ending yang berbeda. Sebab gue merasa, kita masih saling menyayangi satu sama lain seperti saudara.

Saudara nggak seharusnya kayak gini kan, Sabda?

Tapi semuanya hanya sebatas tinggal dalam kepalanya. Rasi tak menyuarakannya dan Sabda tidak punya kemampuan super untuk bisa mendengar kata hati orang yang tidak bicara.

"Gue... balik ke kamar gue dulu."

Ragu, Rasi berbalik dan masuk ke kamarnya sendiri. Sesuatu yang dia sesali, karena usai menutup pintu kamarnya, dia malah sibuk merutuki dirinya sendiri. Seharusnya dia berani, kan? Mama selalu berkata dia anak laki-laki dan dia harus berani, tapi apa? Lidahnya kebas. Dia kehilangan kata-kata dan satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah bersikap seolah-olah dia tidak punya sesuatu yang bisa dia ucapkan di depan Sabda.

Rasi menghela napas panjang, berhenti memaki tanpa suara saat ponselnya bergetar tiba-tiba. Itu notifikasi dari aplikasi LINE. Bukan berasal dari pesan baru, tapi notifikasi tawaran undangan grup. Rasi mengernyit, berpikir sejenak sebelum menerima tawaran undangan itu.

buat foto (4)

setranala joined the group.

rasi gemintang joined the group.

sabda joined the group.

eden: akhirnya lengkap sudah! \('▽')/

sabda: (-..-")

setranala: ('•_•')

rasi gemintang: chat gue ga dibales tapi bikin grup bisa ╮("╯_╰)╭

eden: chat lo nggak penting (˘- ˘ )

rasi gemintang: (-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩___-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩-̩̩̩)

sabda: sama ga pentingnya kayak eksistensi grup ini

eden: jaga ucapanmu, susilo

sabda: ganti aja terus panggilan gue

eden: ooo, jadi seneng nih dipanggil sabby? (≧∇≦)/

rasi gemintang: ohok, misi saya masih di sini Ҩ( > ̯ < )Ҩ

setranala: ...

eden: oiya lupa. maksud grup ini tuh buat share foto-foto yang tadi.

eden: sama foto lain sih, kalau nanti kita jalan bareng lagi.

rasi gemintang: bisa request jalan berdua aja ga? (¬‿¬)

eden: kak setranala sama sabby tuh, mau ga jalan bareng sama aci.

rasi gemintang: maksudnya tuh sama lo........

rasi gemintang: tapi gue maafin karena panggilan aci cute banget. suka ❤(◕‿◕)❤

sabda: numpang нªª˘°˘нªª˘°˘нªª˘°˘ aja deh

eden: gemes bat siiiii ('˘⌣˘)-c<'⌣'")

rasi gemintang: guenya ga?

eden: ga

eden: intinya, ini grup buat share foto. lagi otw bikin album buat foto-foto yang tadi. misal ada foto di hp kalian, di add aja ke albumnya ya. makasih ~(˘▾˘)~

eden: sekarang pada bobo aja. udah malem. terutama lo ya, sabby. lo baru sembuh, nanti sakit lagi kalau begadang!

sabda: bawel

rasi gemintang: guenya ga?

eden: ga

rasi gemintang: (ಥ ̯ ಥ)

eden: what a cry baby. yaudah, lo juga! tidur sana!

eden: kak setranala juga. selamat istirahat \('▽')/

rasi gemintang: (ɔ ˘⌣˘)~♡

eden: btw, stephen hillenburg meninggal ya...

sabda: ga kenal

eden: ih, itu loh... creator spongebob squarepants! masa ga tau?!!

setranala: ... iya

sabda: ...

rasi gemintang: ...

rasi gemintang: kak setra suka banget spongebob

setranala: ...

sabda: ...

eden: ...

sabda: kak

setranala: ... iya?

sabda: ... good night.

setranala: both of you too sabda, rasi gemintang

Rasi menatap layar ponselnya sejenak, membaca berkali-kali pesan yang baru saja Setra kirimkan dan seiring detik yang berlalu, kepalanya makin terasa ringan. Ada senyum lebar yang tertarik begitu saja, tanpa dia sadari. Entah kenapa, dia yakin dia akan mimpi indah malam ini.

*

Esoknya, udara masih dingin oleh sisa hujan yang turun menjelang fajar ketika hidung Sabda membaui aroma enak makanan yang tengah dioseng dalam wajan di atas kompor. Cowok itu mengernyit, mengerjap beberapa kali dan merasa seperti dilempar ke masa lalu saat menyadari betapa mirip wangi masakan itu dengan wangi nasi goreng yang kerap Mama buat sebagai menu sarapannya dan kedua kakaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah. Tetapi jelas itu bukan Mama. Sama seperti alunan piano yang dimainkan setiap kali hujan turun, meski setiap dentingnya meneriakkan segala sesuatu tentang Mama, sosoknya tidak akan pernah bisa Sabda lihat lagi selain melalui foto atau jika Sabda beruntung, lewat mimpi.

Sabda akhirnya memutuskan beranjak dari kasur. Sebetulnya, dia sudah menebak pasti Rasi yang sedang berada di dapur sekarang. Akan tetapi, ada sebagian dari dirinya yang ragu. Orang seperti Rasi, yang pernah hampir membakar seisi dapur gara-gara memasak telur rebus... sepertinya mustahil baginya untuk bisa membuat hidangan beraroma sedap. Walau begitu, Sabda tetap bersikap waspada. Dia mengendap-endap dengan gaya mirip maling, tidak ingin keberadaannya diketahui Rasi, atau mereka akan terjebak dalam situasi awkward yang Sabda benci.

Ternyata betul, sosok yang sedang beraksi di depan kompor memang Rasi. Namun dia tidak sedang memasak nasi goreng, melainkan membuat telur orak-arik. Dari bekas mangkuk besar yang digunakannya untuk mengocok telur, jelas Rasi memasukkan beberapa butir sekaligus. Penampakan belakang cowok itu kelihatan lucu. Dia menggoyang-goyang teflon dengan gerak kaku layaknya kebanyakan orang yang tidak familier dengan dapur, tapi di saat yang sama kelihatan santai dengan airpods terjejal di kedua telinga. Senandungnya terdengar, bikin Sabda harus menahan tawa saat Rasi mencoba meniru nada tinggi dari lagu yang dia dengarkan. Kemampuan Rasi bermain piano tidak perlu dipertanyakan, tapi dengan suara husky seperti itu, mustahil baginya bisa menyanyikan lagu bernada tinggi.

Rasi mematikan kompor setelah telurnya matang, menuang telur itu ke kotak bekal berbahan plastik, meraih sebotol saus dan kecap lantas membawanya menuju depan rumah. Sabda mengernyit, penasaran dan memutuskan mengikutinya—masih dengan tingkah macam anggota FBI sedang mengintai buruan. Sabda kira, Rasi memasak telur itu untuk sarapannya sendiri, namun dia salah. Rasi malah meletakkan kotak berisi telur di lantai, di dekat seekor kucing berbulu belang tiga yang jelas Sabda kenali.

Itu kucing yang sering datang ke rumah mereka beberapa tahun lalu.

Sejak masih kecil, tiga anak Mama sudah jadi penyayang binatang. Berbeda dengan Rasi yang lebih menyukai anjing karena menurutnya anjing itu setia, Sabda lebih suka pada kucing. Buatnya, anjing terlalu bodoh dan penurut pada majikan, berbeda dengan kucing yang meski sering dipandang sebagai hewan peliharaan yang hobi ngebabuin majikannya, jelas lebih cerdas daripada anjing. Setra sendiri tidak punya preferensi khusus, meski dia lebih menyukai anjing daripada kucing. Sayang, Mama alergi pada bulu binatang, jadi mereka tidak bisa punya hewan peliharaan seperti anjing atau kucing di rumah.

Suatu kali, sepulang sekolah, Rasi menemukan seekor anak kucing di pinggir jalan. Matanya belum terbuka dan tubuhnya gemetar menahan dingin gara-gara bulunya basah kuyup kena guyuran air hujan. Rasi tahu, dia tidak bisa membawa anak kucing itu ke rumah. Jenis alergi yang Mama miliki bukan berupa bersin-bersin, tapi batuk dan radang tenggorokan berkepanjangan, jadi tentu saja Rasi tidak bisa mencoba berkompromi. Papa dan kedua saudaranya bakal langsung menolak keras, sekalipun Mama tidak tega dan akan bilang tidak apa-apa kalau Rasi ingin mulai memelihara kucing.

Namun anak kucing itu mengeong dengan suara memelas yang akhirnya bikin Rasi menyerah. Dia membuka jaketnya untuk digunakan membungkus tubuh mungil si kucing—sekaligus menyembunyikannya supaya tidak ada yang tahu saat dia membawa hewan itu masuk ke rumah. Rencananya hampir berjalan mulus, sampai dia bertemu dengan Sabda yang sedang bermain leggo di ruang tengah.

"Apaan tuh?"

Rasi langsung panik tatkala sadar tatapan Sabda sedang tertuju pada buntalan jaketnya. "Ja—jaket aku."

"Iya. Aku juga tahu itu jaket. Maksudku, kenapa kamu unyel-unyel kayak gitu? Bukannya di luar habis hujan? Jalanan dingin. Kenapa jaket kamu malah digituin?"

"Ng—nggak apa-apa."

Sabda malah makin curiga, soalnya jarang-jarang bocah tidak tahu malu seperti bisa gugup saat ditanya. "Atau jangan-jangan kamu nyembunyiin sesuatu di buntelan jaket kamu ya?!"

"NGGAK!!!"

"Hm, mencurigakan." Sabda meletakkan leggonya di atas karpet, kini memandang Rasi dengan tatapan meneliti seperti Sherlock Holmes tengah mencoba memecahkan kasus. "Ngaku aja deh!"

Rasi jadi kalut. "Aku nggak bohong!!"

"Kamu pasti mampir di minimarket terus beli es krim dan nggak mau bagi-bagi—" kata-kata Sabda terputus oleh suara ngeong lirih yang tiba-tiba terdengar. Refleks, cowok itu cengo seketika, sementara wajah Rasi sudah sepucat tembok. "Rasi—"

"IYA! AKU MAMPIR DI MINIMARKET TERUS BELI ES KRIM DAN—"

"Itu bukan—"

"IYA! INI ES KRIM! AKU NGUMPETIN ES KRIM!"

"Rasi, nggak ada es krim yang bisa ngeluarin suara meong."

"Kamu salah dengar!"

"Aku mungkin lebih muda dari kamu dan kamu kakak aku." Sabda berdecak sambil melipat tangan di dada. "Tapi catat ini ya, aku nggak sebodoh kamu."

"Wah, kalau gini caranya sih—"

Sebelum Rasi bisa mendekat untuk melakukan tindakan radikal seperti melempari wajah Sabda dengan potongan leggo atau lebih parahnya, menghancurkan rakitan leggo yang sudah Sabda buat, cowok itu sudah lebih dulu berteriak keras. "MAAA! KAK SETRAA!! SI ACI PULANG BAWA ANAK KUCING MASUK KE RUMAH DISUMPUTIN DALAM JAKETNYAAAA!!!"

"SAPI—JANGAN GITU!!!"

"MAAAAAAA!!! MAAAA!!! TOLONG, AKU MAU DIBUNUH PAKE LEGGO!!!"

Rasi dan Sabda sudah nyaris terlibat dalam pergumulan seru di atas karpet ditonton oleh anak kucing yang dibalut oleh jaket ketika Mama dan Setra tergopoh-gopoh mendatangi keduanya. Sidang dadakan pun digelar. Papa belum pulang dari kantor, jadi hanya Mama dan Setra yang berperan sebagai penengah. Mama sempat kasihan dan berniat membiarkan Rasi memelihara anak kucing tersebut, namun Setra dan Sabda menentangnya kompak. Rasi juga tidak memaksa, sebab dia tahu separah apa alergi Mama. Dia kasihan pada anak kucing itu, tapi tentu saja bukan berarti Rasi merasa harus mengorbankan kesehatan Mama.

Pada akhirnya, jalan tengah diambil. Kucing itu tidak akan jadi peliharaan keluarga mereka dan akan dibiarkan tetap jadi kucing liar, namun jika hewan itu datang menyambangi rumah mereka, dia akan diberi makan dengan ketentuan, batas sucinya hanya sampai teras. Untuk sementara, sampai si anak kucing bisa mandiri, Rasi diizinkan mengurusnya. Anak kucing itu akan dibuatkan semacam rumah kecil yang ditempatkan di halaman depan.

Hari-hari awal merawat anak kucing itu boleh jadi termasuk dalam hari-hari paling membahagiakan dalam hidup Rasi. Cowok itu lupa pada sapi-sapi peliharaannya di Harvest Moon atau gebetan karakter Harvest Moonnya, Karen, yang sudah berhati merah dan siap dilamar. Rasi jadi ayah tunggal untuk anak kucing yang sengaja tak dia namai—Rasi memanggilnya 'meong' atau 'kucing', merasa tak berhak menamainya karena kucing itu tetap jadi kucing liar jalanan. Rasi menyayanginya, sangat, bahkan cowok itu menggelar upacara khusus untuk menyambut kedewasaan si kucing. Selepas bisa mandiri, Meong berkunjung ke rumah sesekali. Biasanya, Setra, Rasi dan Sabda bergantian memberinya makan atau sekedar bermain sebentar dengannya.

Ada banyak yang berubah setelah Mama tidak ada, tapi Meong tetap berkunjung meski tidak terlalu sering. Suasana rumah memburuk, namun ketiga anak Mama tetap setia menyambut kedatangan Meong dengan menyediakan makanan di teras. Lalu suatu hari, Rasi pergi. Meong mencarinya, tentu saja, dan hanya Setra yang tetap meneruskan tradisi meletakkan makanan di teras buatnya sekaligus mengajaknya bicara. Setra berusaha menjelaskan kenapa Rasi tidak lagi menyambut kedatangan Meong dan sepertinya, kucing itu mengerti. Sabda lain lagi. Setelah Rasi meninggalkan rumah untuk pindah ke luar negeri, dia membenci segala sesuatu yang mengingatkannya pada bocah itu, termasuk si Meong. Sabda menganggap Meong tidak lagi ada, menolak memberinya makan. Pernah, dia menendang si Meong kala kucing itu berjalan di dekat kakinya, yang berbuah teguran keras dari Setra.

Sabda, seperti yang sudah bisa diduga, terlalu terluka untuk peduli.

Hari demi hari berlalu. Papa jarang pulang dan keluarga yang tadinya hangat perlahan berubah jadi seperti sekumpulan orang-orang yang tidak pernah saling mengenal. Meong masih sering datang dan Setra tetap rajin meninggalkan sekaleng tuna atau semangkuk whiskas di teras rumah. Seolah-olah mengerti jika waktu berganti dan segalanya tidak lagi sama, Meong memakan apa yang ditinggalkan di teras untuknya tanpa bersuara. Sampai kemudian, Setra meninggalkan rumah pasca bertengkar dengan Papa.

Si Meong berkunjung ketika Sabda sedang melamun menatap rumput-rumput liar dalam pot bunga milik Mama yang penuh tanaman mati. Hewan itu mengeong manja setelah sempat mencari sejenak tapi gagal meneukan mangkuk atau kaleng berisi makanan untuknya. Waktu dia mendekat pada Sabda, bocah itu malah mendelik, sebelum menendangnya. Tidak keras, tapi kelihatannya cukup untuk bikin si Meong terkejut.

"Jangan pernah datang lagi!" Sabda berseru dingin. "Mereka sudah nggak ada. Mereka sudah pergi. Mereka mungkin nggak akan pernah balik lagi. Jadi jangan pernah datang lagi!"

Si Meong mengeong, terdengar pilu seperti sedang meratap.

"Aku bilang, mereka udah pergi! Dan jangan bersikap kayak kamu baru aku sakiti! Yang sakit di sini itu aku! Aku yang ditinggal sendiri! Aku yang nggak punya siapa-siapa lagi!" tangan Sabda gemetar dan dia memaksa mengepalkannya kuat-kuat hingga buku jarinya memutih, lantas cowok itu berbalik dan membanting pintu depan di belakang punggungnya. Si Meong menatap nanar, mungkin tidak mengerti atau sekalipun dia mengerti makna dari ucapan Sabda, dia tetap tidak paham mengapa Sabda merasa dia pantas diusir seperti itu. Si Meong juga mungkin tidak tahu, bahwa usai menutup pintu, Sabda langsung terduduk di lantai seraya memeluk lututnya dan menangis keras.

Sabda menyayangi si Meong, selalu, tetapi di saat yang sama, melihat kucing itu mengingatkannya pada dua saudaranya yang meninggalkannya dan dia tidak ingin mengalami sakit yang sama berkali-kali.

Sejak saat itu, si Meong tidak pernah datang lagi.

Hari ini, kucing itu kembali. Rasi masih mengenalinya, karena corak bulu belang tiganya yang khas. Si Meong tampaknya benar-benar merindukan Rasi. Dia diam saja, memakan telur buatan Rasi dalam wadah kotak dengan tenang, membiarkan Rasi mengelus leher dan punggungnya. Tatapan Rasi melembut tatkala dia memandang si Meong, hampir berkacca-kaca.

"Long time no see, Meong." Rasi bergumam, masih bisa didengar oleh Sabda yang menonton diam-diam dari ambang pintu depan. "Enak nggak? Kayaknya agak sedikit keasinan, tapi untuk sekarang, itu yang bisa aku kasih. Di rumah nggak ada tuna atau whiskas. Kamu nggak boleh makan telur mentah, nanti sakit perut."

Kucing itu mengeong pelan, seperti menjawab ucapan Rasi.

Tawa kecil Rasi pecah. "Kalau mau pake saus atau kecap bilang ya, nanti aku tambahin."

Kucing itu mengeong lagi, dengan nada yang berbeda, yang mungkin bisa diartikan kalau dia tidak doyan saus sambal ataupun kecap.

Sabda terdiam, kemudian menghela napas dalam. Kucing itu kembali, setelah sekian tahun tak menjejakkan kaki di halaman mereka. Entah dia sudah mengingat jalan pulang, atau dia sudah memaafkan perlakuan Sabda padanya hari itu, atau entah bagaimana, dia tahu bahwa orang yang dia rindukan sudah kembali.

Apa pun itu, hanya Sabda yang tahu bahwa jauh di dalam hatinya, dia berharap, orang yang satunya juga bisa ikut kembali.

Lalu mungkin saja... hanya mungkin... mereka bisa kembali ke masa-masa itu.

Masa silam, ketika mereka masih terang-terangan saling menyayangi.

*

sabda: gue otw dari kampus. tunggu aja di halte dekat kampus lo.

Eden menjawab pesan dari Sabda dengan satu kata 'ok' singkat sebelum memasang earphone ke telinganya. Di sebelahnya, Emir duduk santai sambil menatap pada jalanan kosong. Akhir-akhir ini, cowok itu lebih banyak diam, tidak sebawel seperti waktu hari-hari awal dia didapuk sebagai guardian angel sementara Eden. Sebetulnya, Eden penasaran dan ingin bertanya, namun pasca entry diary laknatnya yang terbaca oleh Emir beberapa waktu lalu, dia jadi ragu. Segalanya berubah jadi awkward dan untuk menghindari kecanggungan lebih jauh, Eden memilih diam.

Sekarang sudah menjelang sore. Semua kelas Eden hari ini sudah selesai. Begitu pula Sabda. Mereka sengaja janjian untuk pergi ke tempat pertemuan grup minat mereka bersama, yang berlangsung sekitar sejam lagi di sebuah kafe dekat kampus. Awalnya, Eden merasa grup minat itu memang super random, tapi ternyata kegiatannya cukup menyenangkan dan daripada merasa dapat tugas, Eden justru seolah-olah dapat banyak alasan untuk menghabiskan waktu luangnya melakukan sesuatu yang mengasyikkan.

Dia mengeluarkan lagi foto-foto polaroid yang rencananya akan disubmit untuk tugas pertama, sedang menatap salah satu foto ketika angin kencang bertiup mengempas foto lain yang ada di pangkuannya. Foto itu terbang tanpa arah, lalu mendarat di atas aspal jalan di depannya. Eden menghela napas kesal, beranjak dari bangku tanpa pikir panjang untuk mengambil foto tersebut. Jalanan lembab dan basah karena sisa hujan yang turun sepagian hingga siang hari ini. Untung saja, foto itu tidak jatuh di atas genangan air.

Cewek itu baru berniat menyeberangi jalan saat dia mendengar suara klakson nyaring di kejauhan, membuatnya refleks menoleh kalut dan terperangah meski hanya sepersekian detik, karena seseorang entah dari mana telah menarik tangannya dengan keras hingga tubuhnya tersentak kembali ke pinggir jalan. Napas Eden tertahan sewaktu sebuah mobil melaju kencang di depannya. Dia jelas hampir tertabrak.

"Kamu nggak apa-apa?"

Keterkejutan Eden belum habis ketika sebuah suara familier terdengar, membuatnya sontak menoleh—hanya untuk dibikin tersekat ketika mendapati sosok Setra tengah terduduk di atas trotoar tepi jalan. "Ka—kak Setra?"

"Kelihatannya kamu nggak apa-apa."

"Kak Setra kenapa?!"

"Hng... tadi abis narik kamu, saya jadi oleng sendiri." Setra tertawa kecil sembari bangkit, lalu menyingkirkan kerikil yang menempel di telapak tangannya. Beberapa dari kerikil itu menggores kulitnya, menciptakan luka tipis yang kini merembeskan segaris merah darah.

"Kak Setra luka!"

"Nggak apa-apa. Cuma luka kecil. Dan lagi, saya selalu bawa... ini!" Setra berseru girang seraya merogoh sakunya, mengeluarkan sebotol mini obat merah dan satu strip plester luka siap pakai.

"Obat merah dan plester luka?"

Setra mengangguk. "Sudah jadi kebiasaan. Dulu, dua adik saya sering banget jatuh, kebentur atau luka. Seringnya waktu mereka lagi main di luar rumah. Gara-gara itu, saya selalu bawa obat merah dan plester luka. Yah, kebiasannya masih kebawa sampai sekarang."

"Yaudah, sini aku pasangin!"

"Nggak perlu, Eden."

"Nggak!" Eden membantah. "Kak Setra jadi jatuh gara-gara aku. Jadi sini, aku pasangin!"

Setra tersenyum malu, tapi tidak membantah lebih jauh kala Eden menariknya untuk duduk di bangku halte. Cewek itu mengoleskan sedikit dari obat merah dengan hati-hati di atas luka goresnya—yang sungguh membikin Setra ingin tertawa sebab luka itu hanya luka kecil yang bisa sembuh dengan sendirinya dalam hitungan hari—dilanjutkan menutup lukanya dengan plester.

"Kamu mau pulang?"

Eden menggeleng. "Mau ada temu anggota grup minat. Lagi nunggu Sabda. Kak Setra sendiri?"

"Kebetulan lagi lewat deket-deket sini." Setra tersenyum. "Ah ya, soal yang kemarin-kemarin di Dufan... makasih ya."

"Kak Setra nggak capek bilang makasih terus?"

Setra tertawa lagi. "Saya nggak tahu apakah kamu tahu tentang gimana hubungan saya dengan dua adik saya dan kalaupun kamu tahu, entah kamu tahu dari mana, tapi kemarin itu... adalah kali pertama saya bisa jalan sama dua adik saya setelah sekian lama. Saya rasa, ucapan makasih aja mungkin nggak cukup."

Eden terdiam. "... sama-sama."

"Nah, karena kayaknya kamu sudah baik-baik aja dan kemungkinan sebentar lagi Sabda datang, kayaknya lebih baik kalau saya pergi sekarang. Hati-hati ya, Eden."

"Nggak mau nunggu Sabda aja?"

Setra menggeleng. "Saya nggak mau bikin dia merasa nggak nyaman dan lagi, dia bisa berpikir macam-macam kalau lihat saya dan kamu berdua aja di sini."

"Hng... maksud Kak Setra?"

"Nothing." Setra beranjak, sekali lagi menyunggingkan senyum manis yang menurut Eden bisa bikin setengah populasi dunia kena diabetes. "Sampai ketemu lagi, Eden."

"Hati-hati, Kak Setra."

"Pasti." Setra mengacungkan jempol sebelum berlalu pergi, membuat Eden menatap punggungnya yang menjauh ditelan jarak.

"Butuh soundtrack lagi nggak, nih?"

Eden tersentak, menoleh dan kontan menatap sinis pada Emir. "Oh, lo masih di sini?"

"Lho, kok sinis banget gitu sama gue?" Emir bertanya dengan wajah polos, jelas clueless pada sikap masam Eden yang tiba-tiba.

"Gue hampir ketabrak mobil tadi dan lo selaku guardian angel gue cuma diam aja. Gimana gue nggak kesal?!"

"Tapi pada akhirnya, lo nggak ketabrak, kan?"

"Iya sih—tapi, kan—"

"Seperti yang gue bilang, lo akan selalu aman ketika lo bersama dengan mereka bertiga." Emir tersenyum puas. "Meski begitu, peringatan gue masih berlaku. Soal lo yang sebaiknya nggak jatuh cinta."

"Mau jatuh cinta juga nggak akan ada yang berakhir bahagia." Eden mendengus, refleks melambai girang saat dia melihat Sabda di kejauhan. Cowok itu hanya mendengus dengan wajah datar, lalu meneruska langkah menghampirinya. "Seperti yang pernah gue bilang, Kak Setra kebagusan buat gue dan gue kewarasan buat Rasi atau Sabda."

"Bagus kalau lo mikir begitu."

"Ngapain lo ngomong sendiri?" Sabda langsung bertanya sejenak setelah dia tiba di dekat Eden.

"Nyanyi. Lagi dengerin lagu dari earphone." Eden beralasan.

"Oh, untung nyanyinya tadi, bukan sekarang. Bisa rusak gendang telinga gue." Sabda membalas pedas, tapi kemudian matanya tertuju pada bekas obat merah di telapak tangan Eden. Tanpa berpikir, cowok itu meraih tangan cewek di depannya, memegangnya sambil menatap pada jejak obat merah tersebut dengan mata disipitkan. "Tangan lo kenapa?"

"Oh, ini tadi—eh—tunggu—" Perhatian Eden mendadak tersita oleh sesuatu yang lain tatkala dia menatap ke sembarang arah dan matanya tertuju pada sebuah kunci yang tergeletak di dekat kaki bangku halte. Cewek itu bangkit, merunduk untuk memungut kunci bergantungan karakter Spongebob Squarepants tersebut. "Ini... apa ini punya Kak Setra dan dia nggak sengaja ngejatuhin ini ya?"

"Kak Setra?" Ekspresi wajah Sabda langsung berubah, walau hanya tampak sebentar karena cowok itu kembali berkamuflase dengan airmuka super dinginnya.

"Tadi nggak sengaja ketemu Kak Setra. Tangannya luka, jadi gue obatin dan gara-gara itu, ada bekas obat merah di tangan gue. Ah ya, ada inisial namanya. SD. Kayaknya beneran punya Kak Setra. Atau bukan ya?"

"Itu beneran punya dia."

Eden menatap Sabda dengan alis berkerut. "Lo tahu?"

Sabda berdeham. "Setranala Dirgantara. SD. Itu namanya."

"Buset, namanya ternyata sebagus tampang orangnya!" Eden berseru kagum.

"Lo nggak kepo sama nama panjang gue?"

"Udah tahu." Eden membalas. "Sabda Aksara, kan?"

"Iya."

"Nggak pantes. Lo lebih pantes dinamain Sabda Samyang. Pedes banget nggak ketulungan soalnya."

Sabda memutar bola matanya, berlagak melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan. "Kita udah mau telat. Ayo cabut."

"Tapi gimana sama kunci Kak Setra?"

"Bodo amat."

"Kalau nanti dia nggak bisa masuk rumah gara-gara nggak ada kuncinya gimana?"

"Dia bakal bisa tetap masuk rumah. Paling nggak bisa ganti baju doang."

"Tunggu, dari mana lo tahu?"

Sabda mengembuskan napas pelan. "Gue tahu di mana dia tinggal dan seperti apa situasi di tempat dia tinggal. Dan lagi, dari ukurannya, nenek-nenek juga tahu kalau itu kunci lemari, bukan kunci rumah!"

Eden mengerucutkan bibirnya, memasang wajah ngambek, tetapi Sabda mengabaikannya dan memilih berjalan lebih dulu, membuat Eden tidak punya pilihan selain mengikutinya.

*

"Break sepuluh menit." Tiberius berkata sembari bertepuk tangan setelah Rasi mengakhiri permainan pianonya. Hari sudah menjelang petang, namun mereka masih ada di kampus, mulai mengoresi, menambah sekaligus melatih permainan piano untuk lagu yang akan Rasi mainkan dalam sesi solonya nanti. Cowok itu masih seberbakat yang Tiberius ingat. Rasi selalu merendah, mengatakan kemampuannya masih di bawah kemampuan ibunya yang menjadikan bermain piano sebagai hobi, tapi Tiberius tidak pernah setuju. Bisa jadi, dia jago karena sudah terbiasa mendengar orang bermain piano sejak kecil, tapi apa yang Rasi miliki lebih pantas disebut bakat daripada keberuntungan. Tiberius sempat merekomendasikannya untuk mendaftar ke Juilliard begitu lulus, namun Rasi menolak dan lebih memilih kembali ke Indonesia. Sesuatu yang sempat sangat Tiberius sesali, sebab setahunya, musik terutama pianis belum mendapat apresiasi yang cukup di sana.

Alih-alih pergi ke luar ruangan untuk istirahat sejenak atau membeli sekaleng soda dari vending machine, Rasi malah melangkah ke pojok ruangan, membuka laptop dan memutar sebuah lagu dari direktori penyimpanan. Bunyi melodi khas ala music box mengalun, memainkan lagu yang Tiberius kenali sebagai lagu dari sebuah film animasi.

"You're still that great, bro."

"Thanks."

"Anyway, sudah setahun lebih kamu di Indonesia." Suara Tiberius berubah hati-hati. "About you and your brothers—"

"Aku tidak mau membicarakan itu."

"Oke, kalau itu maumu." Tiberius mengangkat bahu. "Kamu akan menghabiskan waktu breakmu di sini?"

"Aku butuh waktu sebentar untuk sendiri."

"Kenapa?"

"Aku butuh berpikir, Ti."

Tiberius tertawa. "Trevor pasti akan tertawa sampai bergulingan di lantai jika dia mendengar apa yang baru kamu katakan."

Rasi mengerucutkan bibirnya, membuat gelak Tiberius mengeras. "Alright. I'll leave you alone then."

"Good."

Sebetulnya, lagu yang diputar Rasi terdengar sedih dan sempat membuat Tiberius ragu meninggalkannya. Memang, Rasi terlihat sangat ceria dan easy going di depan kebanyakan orang, tapi setelah mengenalnya dan bertindak seperti figur kakak buat cowok itu selama dia tinggal di New York, Tiberius tahu jika Rasi punya sisi rapuhnya tersendiri. Dia tiba di New York sekian tahun lalu sebagai bocah canggung yang lelah dengan keadaan rumahnya di Jakarta sekaligus begitu muram pasca ditinggal sosok ibu untuk selamanya. Dua sisi berbeda dalam diri seorang Rasi adalah apa yang membuat Trevor mendekatinya lalu menjadi temannya. Rasi terlihat sangat tolol, melawak hampir sepanjang waktu di depan kelas dan berani pada guru, namun beberapa kali, di jam istirahat makan siang, cowok itu akan pergi ke toilet dan mulai menangis sendirian di sana.

Lagu yang sedang terputar dalam versi melodi music box adalah salah satu dari beberapa lagu awal yang Tiberius dengar dari Rasi.

Lagu yang mungkin punya makna super dalam baginya.

Inochi no Namae dari film animasi berjudul Spirited Away.

https://youtu.be/ImPM5IDIYPs

Rasi masih diam ketika Tiberius meninggalkan ruangan. Dia sengaja menunggu hingga pintu ditutup, lalu berpikir sejenak sebelum merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet dari sana. Rasi membukanya, langsung disambut oleh foto tiga bocah dalam bak mandi yang sedang nyengir menatap kamera dengan rambut basah dan bagian atas tubuh telanjang.

Foto masa kecilnya bersama dua saudaranya.

Rasi menelan ludah, kembali menutup dompet waktu dia merasa matanya memanas, siap menumpahkan air bah sewaktu-waktu. Cowok itu berdeham, tapi sesak dalam dadanya tetap bertahan. Dia terbatuk, terdiam sebentar sebelum meletakkan kesepuluh jemarinya di atas tuts hitam-putih piano.

Kemudian, denting musik memenuhi ruangan sekali lagi.

Dalam hidup ini tidak ada yang selamanya. Lantas apa yang terjadi diantara kita... ke mana waktu akan membawanya? Kemana segalanya bakal bermuara?

Apakah pada akhirnya semua akan baik-baik saja, atau justru kita sepakat untuk berpura-pura menganggap semua yang terjadi di masa lalu tidak pernah ada?

Rasi menggigit bibir, menekankan bahwa dia hanya punya waktu sekian menit sebelum Tiberius kembali dan dia tidak ingin terlihat muram di depan lelaki itu.

Tapi rasa ini menusuknya.

Rindu, untuk orang-orang yang mungkin tidak akan pernah tahu.

*

Temu anggota grup minat di kafe berlangsung hampir dua jam dan berakhir menjelang pukul tujuh malam. Langit sudah gelap ketika Eden dan Sabda keluar. Meski begitu, Eden tidak protes. Sesi pertemuan hari ini menyenangkan. Dikarenakan adanya instruksi baru dari pihak rektorat kampus, maka target akhir mereka mengalami perubahan. Tidak akan ada switching anggota kelompok dikarenakan waktu yang sudah menipis. Jadi setiap kelompok kecil diberi tugas membuat sebuah film pendek dengan durasi maksimal 10 menit bertema bebas. Mereka dibolehkan menggunakan aktor tambahan dari luar dan jika ada budget untuk keperluan tidak terduga, mereka bisa mengajukan proposal agar biaya berlebih tersebut dapat ditanggung oleh pihak kampus.

Untuk hari ini, selain mengumpulkan tugas kecil tentang ferris wheel dan roller coaster, mereka melakukan permainan untuk memastikan sudah ada chemistry dan kemampuan untuk saling kerja sama dalam setiap kelompok. Masing-masing anggota akan mengajukan tiga pertanyaan random yang hanya bisa dijawab jika mereka sudah cukup saling mengenal satu sama lain.

Eden salah menjawab tentang apa yang tidak disukai oleh Sabda, sedangkan Sabda, secara mengejutkan mampu menjawab benar semua pertanyaan tentang Eden.

Itu membuat Eden baru menyadari jika Sabda punya kemampuan mengamati seteliti itu.

"Sini." Mereka baru berjalan menapaki pelataran depan kafe ketika Sabda sadar tangan Eden gemetar karena dingin habis kena embusan air conditioner kafe. Refleks, dia meraih tangan Eden dan menjejalkan tangan cewek itu ke dalam saku jaketnya, seperti saat mereka berada di bus tempo hari.

"Eh?"

"Dingin, kan?"

Eden tergugu, merasakan pipinya menghangat. "I—iya."

"Sekarang hangat."

"I—iya." Eden menghela napas, bertanya-tanya apa yang tengah terjadi pada dirinya. Ini terlalu canggung untuknya, jadi dia mengalihkan pembicaraan pada sesuatu yang lain sesegera mungkin. "Eh ya, kunci Kak Setra gimana?"

"Nggak gimana-gimana."

"Tapi kalau Kak Setra nggak bisa ganti baju nanti gimana?"

"Kenapa juga lo peduli?"

"Emang lo nggak peduli?"

Sabda terdiam sebentar, lalu katanya. "Nggak."

"Kalau jawabnya masih pake mikir, berarti bohong." Eden menjulurkan lidah, mencerca Sabda dan itu berhasil bikin Sabda salah tingkah. "Tapi yaudah, kalau lo nggak mau balikin kuncinya, gue aja yang balikin. Rumahnya di mana?"

"Eden—"

"Gue nggak maksa lo ikut balikin kalau lo nggak mau, cuma nanya rumahnya aja di mana?"

Sabda menghela napas, jelas butuh waktu untuk berperang dengan dirinya sendiri sebelum akhirnya dia mengalah. "Yaudah. Ayo, gue antar."

"Beneran?!"

"Atau lo mau gue berubah pikiran?"

Eden nyengir. "Hehehe, nggak gitu! Yaudah ayo! Naik bus aja ya?"

"Nggak mau naik taksi aja?"

"Gue nggak suka naik taksi."

"Yaudahlah. Kalau itu mau lo, gue bisa apa." Sabda lagi-lagi mengalah dengan cepat. Tumben. Mungkin dia sedang tidak bernapsu mendebat Eden hari ini.

"Tapi lo tahu rumahnya dari mana, deh?"

"Emang apa yang bikin lo berpikir kalau gue nggak seharusnya tahu?"

Eden tergagap, lagi-lagi melirik pada udara kosong di depannya yang berhasil membuat Sabda mengerutkan dahi. "Nggak apa-apa. Cuma... kayaknya lo nggak seakur itu sama kakak lo. Maksud gue, kalian... kelihatan canggung aja. Susah ditebak kalau kalian betulan saudara. Apalagi Kak Setra... tinggal di rumah yang berbeda. Iya, kan?"

"Pasti Rasi yang ember ke lo ya?"

"Hng... mungkin."

"Kok mungkin?"

"Dari mana gue tahu, itu nggak penting."

"Kalau gitu, dari mana gue tahu rumah tempat—hng—Kak Setra—tinggal juga nggak penting."

"Oke. Anggap aja seri."

Sebetulnya, Sabda akan lebih suka kalau Eden bertanya lebih jauh, tetapi cewek itu malah diam dan menyerah. Agak mengherankan, menilai dari karakternya yang keras kepala dan hobi ikut campur urusan orang lain. Dan lagi, dari mana dia tahu soal hubungan berjarak antara Sabda dan kedua saudaranya juga masih misteri. Sabda tahu Rasi itu bukan jenis orang yang bisa menyimpan rahasia, namun dia tergolong tertutup dalam soal sesuatu yang menyangkut masalah pribadi. Setra apalagi.

Atau jangan-jangan sebetulnya Eden ini setengah dukun?

Sabda menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Teori tolol macam apa yang lagi gue pikirkan?

Sepanjang perjalanan menuju rumah Lucio—yang Sabda tahu berada di mana setelah beberapa bulan lalu, dia mengikuti Setra diam-diam dari kampus untuk tahu di mana selama ini kakaknya tinggal—Sabda dan Eden banyak berdebat. Mayoritas karena alasan sepele, mulai dari pendapat soal warna mobil paling seksi menurut opini masing-masing hingga perang #TimBengBengDingin dengan #TimBengBengCair.

"Ini rumahnya?" Eden bertanya saat Sabda berhenti di depan sebuah rumah mungil asri berpagar bambu setelah mereka turun dari bus dan berjalan kaki selama 10 menit.

"Iya. Sana cepet masuk terus balikin, jadi kita bisa langsung pulang!"

"Eits, nggak bisa gitu. Lo harus ikut masuk!"

"Gue nggak mau!"

"Emang siapa yang lagi minta persetujuan lo? Ini gue lagi memaksa!"

"Eden—"

"Sabda?"

Punggung Sabda menegang begitu dia mendengar seseorang menyebut namanya. Cowok itu menoleh, meski dia sudah tahu siapa yang memanggil. Itu Jo, kakak kelas Setra yang selama ini selalu Sabda salahkan karena menurutnya sudah jadi penyebab kenapa Setra nekat pergi dari rumah. Kalau bukan karena Jo, mungkin Setra tidak akan pernah bertengkar dengan Papa dan meninggalkan Sabda sendirian.

"Kamu ngapain di sini?"

Sabda menatap Jo ketus. Dia tidak pernah suka melihat Setra berteman dengan Jo. Cowok itu bukan hanya terlalu jangkung hingga kelihatan mengintimidasi, tapi juga punya tampang playboy sekaligus berandal kampus. "Balikin kunci Kak Setra. Tadi jatuh di halte. Eden, kasih kuncinya ke dia."

"Loh, kalau bisa ketemu Kak Setra, kenapa harus dititipin?"

"Setra belum pulang. Mungkin dia masih pemotretan."

"Pemotretan?" Eden malah heran.

"Lo nggak pernah belanja online ya?" Sabda menyambar. "Kak Setra jadi model salah satu mal online. Tapi itu nggak penting. Buruan kasih kuncinya karena gue udah mau pulang."

"Mungkin sebentar lagi Setan—maksud gue Setra pulang. Lucio baru masak sesuatu. Enak deh, kalian pasti suka. Apalagi sekarang mendung. Kayaknya mau hujan. Nunggu sebentar mau nggak?"

"Nggak perl—argh!"

Sebelum Sabda bisa menyelesaikan omongannya, injakan menyakitkan yang Eden beri di kakinya sudah membungkam cowok itu. "Nggak boleh kurang ajar sama yang lebih tua, Sabby! Dan tentu aja, kita mau kok, Kak! Kebetulan tadi pas di kafe makannya dikit, soalnya aku lagi nggak kepingin makan pasta-pastaan. Emang teman kakak masak apa?"

"Kamu bisa panggil saya Jo."

"Eden, Kak."

"Ah, that Eden?"

"Eh?"

Jo tertawa renyah. "Weekend kemarin, Setra banyak cerita tentang kamu."

"Jadi malu."

"Najis banget lo sok malu-malu."

"Diam kamu, amuba milennial." Eden mendelik, bertepatan dengan hujan rintik-rintik yang mulai turun. "Ya ampun, hujan!"

"Nah kan, bener apa kata gue tadi. Mending masuk dulu, yuk!"

Sabda tidak berkutik karena Eden menariknya masuk melewati pagar menuju rumah tersebut. Dia tahu di mana Setra tinggal, namun tidak pernah masuk ke sana sebelumnya. Setahunya, selain Setra, Lucio dan Jo, ada beberapa cowok lainnya yang tinggal di sana. Mereka semua pelarian dari rumah, walau dengan alasan yang berbeda-beda. Rumah itu sendiri milik Lucio, diberikan oleh ayahnya yang konglomerat ketika dia baru mulai kuliah. Ukurannya tidak terlalu besar, namun rapi dan punya banyak kamar.

Lucio sedang menonton televisi waktu Jo membawa Eden dan Sabda ke ruang tengah.

"Jo, lo udah—astaga, ada angin apa ini?"

"Adiknya Setan—maksud gue Setra dateng sama temennya, mau balikin kunci Setra yang jatuh."

"Oh, paling bentar lagi pulang."

"Sekalian mau gue ajakin join makan malam, Yo. Cukup, kan?"

"Ah, cukup kok. Tapi kita baru mulai makan kalau Etra udah balik." Lucio memandang pada Sabda dan sadar jika cowok itu jelas tidak nyaman berada di dekatnya atau Jo. "Atau kalian mau nunggu di kamar Etra aja? Habis ini yang lainnya bakal pada balik, sih. Takut kaliannya nggak nyaman aja. Apalagi hng, siapa nama kamu?"

"Eden, Kak."

"Yah, apalagi Eden cewek sendiri."

Eden menatap pada Sabda, sementara di luar, hujan menderas. "Gimana, Sabby?"

"Boleh." Sabda menjawab pendek. Buatnya, ide mengungsi ke kamar Setra bukan sesuatu yang bagus. Namun kelihatannya, Eden setuju dengan ucapan Lucio, jadi untuk kesekian kalinya hari ini, Sabda memilih mengalah. Jo menanggapi ucapannya dengan sigap, membawanya ke sebuah kamar tertutup yang berada tidak jauh dari pintu depan. Saat pintunya dibuka, aroma khas Febreze langsung tercium, membuat Sabda tersekat dan tak mampu berkata-kata selama sesaat.

Febreze adalah merek pewangi ruangan favorit Setra. Dulu, kamarnya selalu berbau seperti ini. Lalu seiring dengan tahun yang berlalu, wangi tersebut memudar dari kamar yang lama dibiarkan kosong.

"Kalian bisa tunggu di sini. Untungnya, Setan—maksud gue Setra itu cowok berbudaya, jadi seenggaknya kamarnya aman, lah. Lo nggak akan nemuin benda-benda tidak bermoral di sini."

"Nggak kayak lo ya?" Sabda membalas tanpa berpikir.

"Tepat sekali." Jo tertawa sumbang, sudah paham jika sejak dulu, Sabda punya mulut yang lebih dahsyat dari bom molotov. "Tunggu di sini ya. Biasanya sebelum jam delapan, Setra udah balik kok."

Eden mengangguk dan Jo meninggalkannya berdua saja dengan Sabda dalam kamar itu.

Kamarnya rapi, Sabda menilai. Sesuatu yang jelas sangat Setra sekali. Dari dulu, dia yang paling rajin dan hobi membantu Mama bebersih di rumah. Ukuran kamarnya lebih kecil dari kamar di rumah, dipenuhi oleh rak buku kecil di sudut ruangan juga meja panjang penuh barang-barang buatan sendiri. Satu lagi yang khas dari Setra, dia sangat hobi membuat benda-benda DIY—Do It Yourself. Setra melakukannya untuk mengisi waktu luang, membuat pot bunga, lilin beraneka bentuk, hiasan jendela, tirai dari kerang. Dia juga sering menggambari jaket, topi dan sepatunya. Selain itu, ada patung-patung abstrak di sudut ruangan, membuat kamar yang tak seberapa luas serasa seperti galeri seni.

Kemudian, tatapan Sabda jatuh tanpa sengaja pada bingkai foto di atas meja belajar.

Matanya beradu dengan wajah Mama yang sedang tersenyum. Sabda ingin buang muka, namun dia malah menatap pada lebih banyak foto. Ada foto Setra bersamanya dan Rasi. Itu hari pertama mereka bertiga berangkat sekolah bersama. Rasi tersenyum lebar, memamerkan gigi. Sabda memasang wajah ogah-ogahan. Setra merangkul kedua adiknya dalam pelukan erat.

Sabda ingat hari itu dan dia merindukannya, membuat tangannya gemetar tanpa dia sadari.

Namun Eden menyadarinya. Cewek itu diam sejenak, melirik diam-diam pada Emir yang malah mengedikkan bahu. Eden sempat berpikir sebentar, ada keraguan meliputi wajahnya, tapi pada akhirnya dia tetap melakukan apa yang terpikirkan olehnya.

Cewek itu meraih tangan Sabda, menggenggamnya hingga tangan itu tak lagi gemetar.

Sabda balik menatapnya, kelihatan ingin bicara, tetapi di saat yang sama berusaha mati-matian menjaga diri supaya tetap diam.

"Just say it."

"What?"

"If you're in pain, just say it. Jadi orang bisa tahu. Jadi diri lo sendiri pun bisa tahu. Jadi lo... bisa sembuh. Lo harus merasa dan mengakui diri lo sakit, supaya lo bisa sembuh."

Pertahanan Sabda hancur sudah. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun menyembunyikan air mata di balik sikap masam dan wajah judesnya, tangis cowok itu pecah. Dia tersedu. Air matanya mengalir deras dan bahunya berguncang. Di tengah sedu-sedan, cowok itu berujar, yang bikin Eden tersadar bahwa tidak peduli sepintar apa pun Sabda dan sekuat apa pun dia terlihat, dia tetap bocah kecil yang rindu disayangi.

"Gue kangen."

Genggaman tangan Eden pada jemari Sabda kian erat.

"Gue kangen Mama. Gue kangen kakak-kakak gue. gue kangen Papa. Gue kangen semuanya." Sabda tersedu tanpa malu. "Gue kangen rumah gue yang dulu."

Eden menggigit bibir, sengaja, karena dia tidak ingin ikut menangis.

Ada sesuatu yang hancur dalam dadanya ketika dia melihat Sabda seperti sekarang.

"Gue kangen sama apa yang nggak lagi gue punya. Dan itu sakit."

"Lo salah." Eden menggeleng. "Lo masih punya rumah. You know, home is where you're surrounded by other creatures that care for you. And I... and I... I care for you. So, I think this shall feel like home—" Lantas dengan begitu saja, Eden merengkuh Sabda dalam pelukan erat. Dia mendekap Sabda, membiarkan cowok itu menghabiskan sisa tangisnya. Tangannya menepuk-nepuk punggung Sabda, seperti berusaha menguatkannya.

Sabda tersekat, tapi kemudian, dia balik memeluk Eden.

Setelah sekian tahun memaksa diri untuk kuat sendirian, sekarang ada seseorang mendekatinya dan memberinya bahu untuk bersandar.

Sekarang, ada seseorang yang mampu mengabaikan semua sikap pedas yang dia tonjolkan untuk mendorong orang-orang menjauh dan melihat sisi terdalam dari dirinya.

Hujan masih turun di luar. Tak ada denting piano yang Sabda dengar, namun ada sejuk yang membasuh sesuatu dalam dadanya. Entah apa itu. Dia tidak tahu.

Mereka terlalu sibuk larut dalam perasaan satu sama lain, hingga tak menyadari bahwa diam-diam, di balik pintu kamar yang kini sedikit terbuka hingga menyisakan celah kecil, Setra tengah menatap keduanya dengan raut wajah tidak percaya. Cowok itu terdiam sejenak, disusul satu hela napas panjang.

Sabda tidak pernah menangis di depan Setra, sejak hari itu, di mana mereka bertengkar dan Setra berakhir nyaris menampar Sabda karena emosi.

Sekarang, dia melihatnya, sekaligus tersadar jika Sabda sesungguhnya, selalu sekuat itu pura-pura membenci mereka berdua. Setangguh itu, hingga dia percaya dia tidak lagi punya kesempatan melipat jarak yang telah terlanjur terbentang diantara mereka. Dis tidak menyadari bahwa ternyata kebenarannya berbeda.

Tetapi sekarang dia tahu.

Dan ada bagian dari dirinya yang mengatakan, dia harus melakukan sesuatu.  





bersambung ke eleventh note. 

***

Catatan dari Renita: 

halo. 

malem banget dan ngaret beberapa hari wkwk i'm so sorry tapi gue lagi stress-stressnya mikirin tugas minggu ini jadi yah. 

tapi makasih banget buat semua yang udah mau mengerti, udah mau nungguin dan udah spam comment dan vote di chapter sebelumnya. nggak perlu minta izin untuk vote dan comment. you're free to do it ;) (karena gue juga bukan orang yang nyalain notifikasi lol). 

buat yang belum berani atau tercerahkan untuk ngasih komentar dan vote, kalian harus berterimakasih sama yang rajin banget komen, karena gara-gara merekalah cerita ini gue usahakan fast update. 

you did something very well and i have to do the same in return. 

part ini mungkin agak mellow ya, haha but something dumb will happen in next chapter. 

jadi di chapter berikutnya... mereka bakal keluar kota... bareng-bareng. 

ea ngapain tuh. 

gatau sih yang jelas bukan syuting NCT Life. 

Wkwkwkwkwkw soo... we'll see. 

gue bakal mengusahakan untuk chapter berikutnya nggak akan selama chapter yang ini wkwkwk 

btw, untuk KKN, aku dapetnya di Pemalang gaes :') 

oke deh, karena udah kemaleman, mungkin sampai di sini dulu ya. sampai ketemu di chapter berikutnyaaaa.

Semarang, December 1st 2018 

22.26

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top