sixth note
My heart fluttered so much
Felt like you'll notice,
I kept stepping backwards
—Red Velvet—
*
"Jadi lo nggak bisa nemenin gue ke Gramedia habis ini?"
Eden meringis pada tanya bernada kecewa yang Yasmine alamatkan padanya seraya menarik risleting tasnya hingga menutup. Kelas terakhir hari ini super membosankan, diisi oleh dosen yang lebih sering membaca teks dalam file presentasi di laptopnya daripada memandang pada kelas yang disesaki mahasiswa. Eden menguap sampai lima kali dalam waktu dua jam, sampai Yasmine berinisiatif mengajaknya ngobrol lewat robekan kertas paling belakang buku catatannya. Cewek itu lalu meminta ditemani ke toko buku terdekat buat membeli set cat air baru (Yasmine memang anak sastra, tapi dia lebih rajin memegang pena gambar dan kuas lukis daripada buku atau pulpen biasa).
Eden mau-mau saja, namun untuk hari ini, dia tidak bisa.
"Nggak bisa."
"Mau ngapain emang?" Yasmine masih tidak puas dengan jawaban Eden meski telah diiberitahu jika Eden punya urusan lain. "Atau jangan-jangan lo udah punya gebetan dan habis ini mau jalan ama dia ya? Jujur aja, deh!"
"Kayaknya hidup dalam khayalan otak lo lebih seru daripada hidup dalam kehidupan gue yang sebenarnya." Eden menyahut sambil menyandang tasnya ke bahu, melirik Emir yang sedang menatap lembar kartu instruksi di tangannya. Seiring dengan hari-hari yang terlewati, Emir tidak lagi sekaku seperti ketika mereka baru pertama bertemu. Setidaknya, sekarang Eden tak harus dibikin empet setiap kali benda-benda tidak jelas macam tajos penuh karat dan bon lecek berjatuhan dari saku Emir yang mirip kantung Doraemon.
"Terus mau kemana lo sampai nggak bisa nemenin gue?"
"Ada janji. Gue harus ke kantin Tekkim setelah ini." Eden melirik arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Tekkim yang dia maksud adalah singkatan untuk teknik kimia. "Penting banget, karena ini soal grup penggemar fotografi yang baru gue masuki."
"Ah, grup itu. Grup baru, kan? Seru nggak sih?"
"Biasa aja. Anak-anaknya kayaknya pendiam. Gue punya partner satu kelompok kecil yang nyebelin. Si anak Tekkim. Sisanya apa ya... gitu, deh. Masih seru juga makrab angkatan kita bulan-bulan kemarin."
"Kalau gitu, kenapa lo join?" Yasmine malah heran.
"Hng... itu..." Eden melirik pada Emir, lantas meringis salah tingkah. "Hng... soalnya diantara klub minat yang lain, kayaknya itu yang paling mending, walau rada-rada gaje."
"Emang gaje. Nama grup aja nggak ada. Mana ada klub minat kampus yang menyebut dirinya sendiri dengan nama sepanjang grup-penggemar-fotografi-dan-film?"
"Namanya juga masih baru." Eden nyengir. "Sori banget, ya. Atau kalau lo nggak mau ke Gramedia sendiri, gimana kalau besok-besok aja? Besok sih kayaknya gue bisa nemenin."
Yasmine menggeleng. "Nggak usah. Nggak apa-apa, gue sendiri aja."
Mereka meninggalkan kelas yang sudah hampir kosong bersama-sama, lalu berpisah menuju arah yang berbeda. Tidak jauh berbeda dengan hari-hari kemarin, langit padat oleh mendung. Mungkin memang sudah masuk musim hujan. Eden memeluk dirinya sendiri secara refleks begitu dia berjalan melintasi halaman berlapis paving block lembab dan angin dingin bertiup. Sepertinya, dia mulai harus sering membawa jaket ke kampus sekarang.
Eden sudah terlambat hampir sepuluh menit ketika dia tiba di kantin Tekkim. Beberapa mahasiswa yang tidak mengenalnya melirik, membuat cewek itu merasa tidak nyaman. Yah, dia tidak punya pilihan selain menunggu Sabda muncul—yang sebetulnya agak mengherankan, karena dari tingkah lakunya, dia nggak terlihat seperti orang yang bakal telat datang, terutama saat dia sendiri yang membuat janji itu. Eden bersabar hingga hampir sepuluh menit berlalu, di mana kemudian dengan jengkel, cewek itu mengeluarkan ponsel.
Sabda tidak bertukar nomor dengannya waktu mereka ketemu kemarin, tetapi untungnya, Eden cukup visioner dan berinisiatif melihat kontak Sabda dari lembar formulir pendaftaran yang dikumpulkan di Kak Tisya. Emir masih tak bilang apa-apa, menonton Eden menempelkan ponsel ke telinganya sambil menunggu nada tunggu berakhir.
"Halo. Lo di mana?"
"Lo siapa?" suara Sabda bindeng, seolah-olah dia tengah bicara dengan hidung yang dipencet jari.
"Scarlett Johanson."
"Oh, cewek pe'a yang segrup ama gue. Sori banget, lupa ngabarin, untuk siang ini pertemuan kita batal. Gue nggak ke kampus hari ini."
Tangan Eden spontan terkepal kuat diikuti wajahnya yang berubah geram seperti beruang hibernasi yang tidur musim dinginnya baru saja diinterupsi. Emir yang melihat perubahan airmukanya diam-diam melipir menjauh, menyelamatkan diri dari amarah yang tampaknya bakal meledak sekeras bom atom jika saja Eden tidak sedang berada di tempat umum sekarang.
"Lo kok seenaknya gitu, sih?!"
"Sori, lupa. Lagian gue juga udah minta maaf, sesuatu yang biasanya nggak segampang itu buat gue lakukan."
"Gue nggak peduli. Lo salah, jelas lo harus minta maaf. Lo kira lo anak raja dari mane, bisa sok-sok-an gengsi nggak mau minta maaf? Dan lupa lo itu... hadeh, gue beneran—"
"Oke. Maaf. Gue lupa ngasih tahu. Tapi sangat nggak mungkin buat gue dateng ke kampus sekarang karena—hatsyi!!" kata-kata Sabda terputus oleh bersinnya sendiri, cukup buat Eden untuk bisa menarik kesimpulan bahwa kemungkinan besar, cowok itu nggak ke kampus hari ini gara-gara sakit.
"Lo sakit ya?"
"Nggak."
"Mana ada orang sehat yang suaranya sejelek kodok sawah sekarat kayak gitu."
Sabda mendengus, batuk-batuk lagi, lalu menjawab ketus, "Bukan urusan lo."
"Emang bukan urusan gue, dan gue juga ogah peduli sebenarnya. Yaudah, kalau emang nggak bisa. Lain kali, kalau ngasih tahu tuh jangan dadakan gini. Gue sampai ngebatalin acara pribadi gue cuma buat ketemu lo dan dikerjain kayak gini."
"Acara pribadi apa, sih? Jalan ama gebetan? Deileh, sok laku bener. Gue aja ragu kalau cewek kayak lo bisa punya gebetan."
"Heh, jaga ya mulut lo atau gue akan—" Eden tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena Sabda mulai kembali batuk-batuk. Kali ini, batuknya diselingi oleh bersin heboh dan tarikan napas dengan deru yang amat berat. Rasanya, Eden seperti mendengarkan suara bengek tokoh sinetron Adzab yang lagi sekarat. Cewek itu melirik sekitarnya, mulai panik dan kecemasannya kian menjadi tatkala sambungan telepon terputus tiba-tiba, tepat di tengah orkestra batuk-batuk Sabda yang tidak ada merdu-merdunya.
"—Sabda?! Oy! Sabda?!"
"Udah mati teleponnya. Lo mau disangka orang gila dengan teriak-teriak ke layar HP kayak gitu?"
Eden berpaling pada Emir, menatap ganas seperti buaya kelaparan. "Kalau gitu kasih solusinya, dong! Jangan cuma banyak ba..." Eden melirik sekeliling, sadar kalau suaranya terlalu keras, sukses membuat tatapan heran bercampur bingung orang-orang di kantin Tekkim terarah padanya. "... cot."
"Gue kudu kasih solusi apa? Gue kan guardian angel, bukan Pegadaian yang bisa membantu menyelesaikan masalah tanpa masalah!"
"Justru karena lo guardian angel, lo harusnya lebih sakti dari Pegadaian!" Eden berbisik jengkel. "Tadi ni orang batuk-batuknya heboh banget. Gue bukan dokter, tapi di sinetron atau FTV, kalau orang batuknya udah kayak gitu, biasanya dia tinggal selangkah menuju ajal!"
"Ini dunia nyata, Kisa. Bukan sinetron."
"Sinetron terinspirasi dari dunia nyata dan apa yang ada di dunia nyata seringkali lebih sinetron dari apa yang ada di sinetron!" Eden masih ngotot. "Apa gue pura-pura nggak tahu terus pulang aja? Tapi kalau dia kenapa-napa gimana? Bukan berarti gue peduli, tapi pasti nomor gue ada di daftar panggilan terakhir HP-nya! Nanti kalau gue jadi tertuduh gimana? Gue nggak siap disalahin orang tuanya atau lebih parahnya, sampai harus di bawa ke kantor polisi!"
Ini anak kebanyakan nonton sinetron, Emir membatin, tidak berani menyuarakannya keras-keras sebab Eden pasti akan murka.
"Kok diam aja, sih?!" Eden menyentak, membuat Emir terperanjat. "Gue harus gimana?! Nggak ada instruksi khusus atau apa kek gitu?"
Emir mengedikkan bahu usai mengecek kartu instruksinya. "Nggak ada. Lo bebas bertindak. Semuanya terserah lo."
"Kenapa lo mengatur gue ketika gue kepingin bebas dan membebaskan gue ketika gue lagi ingin diatur?" Eden membalas putus asa, menggigit bibir seraya berpikir keras sampai dia memilih mendial nomor ponsel Sabda sekali lagi. Boro-boro menunggu diangkat, Eden malah disambut pemberitahuan operator kalau nomor yang dia hubungi sedang tidak aktif. "HP-nya mati!"
"Atau lo mau coba cek ke rumahnya?"
"Duh, males banget." Eden merengek, wajahnya jadi lur biasa lucu karena ekspresinya berganti-ganti dengan cepat, mulai dari kesal, bingung, geram lalu cemas. Jika tidak ingat kalau Eden bisa begitu galak, Emir mungkin sudah tertawa terbahak-bahak. "Tapi gue nggak punya pilihan lain nggak sih? Gue jadi orang yang terakhir kali nelepon dia. Seandainya ada apa-apa... pasti gue juga yang bakal kena masalah."
"Yaudah, cek ke rumahnya."
"Itu masalahnya! Gue nggak tahu di mana rumahnya! Ini gue dapet nomor HP-nya aja kudu pake minta ke Kak Tisya."
"Minta ke Kak Tisya mungkin bisa? Ada kolom alamat dalam formulir pendaftaran, kan?"
"Emir Novawira, you're a genius."
"Nope, I'm your guardian angel."
"Genius guardian angel." Eden terkekeh, buru-buru mengetikkan pesan untuk Kak Tisya dan mengirimnya. Balasannya datang tidak sampai semenit kemudian.
"Gimana?"
"Nggak jauh-jauh banget dari rumah gue, ternyata. Meski nggak searah. Sebenarnya gue bukan jenis orang yang demen nengokin orang sakit, tapi berhubung khawatir ada apa-apa dan gitu-gitu juga dia partner gue untuk sebulan ke depan, jadi gue rasa, kita harus tetap ke rumahnya."
"Oke."
"Nggak ada instruksi khusus atau apa kek gitu?"
"Maksud lo, instruksi yang kayak gimana?" Emir justru balik bertanya.
"Kayak, gue nggak boleh naik kendaraan tertentu macam angkot atau bus. Atau gue nggak boleh mampir di mana-mana dan kudu langsung ke rumahnya karena kalau gue mampir, gue bakal kena sial."
Emir menggeleng. "Sejauh ini, nggak ada prediksi kesialan yang mengancam. Semuanya aman-aman aja."
"Oke, kalau gitu kita mampir sebentar di supermarket."
"Hah, mau ngapain emangnya?"
"Gue bukan jenis orang yang demen nengokin orang sakit, tapi gue pantang datang ke rumah orang sakit tanpa bawa apa-apa. Seenggaknya, kita butuh beberapa jenis obat dasar, buah dan sesuatu yang diperlukan sekiranya keadaannya parah."
"Seandainya dia kenapa-napa dan kita malah telat nyampe ke rumahnya gimana?"
"Maka udah takdirnya kenapa-napa. Lagian, hari ini cukup bikin gue stress dan akhir-akhir ini sering banget hujan."
"Apa hubungannya antara stress sama hujan yang sering turun minggu ini?"
"Gue stress dan kedinginan. Masih harus ditanya?"
Emir mengernyit, memiringkan wajahnya. "Maksudnya?"
"Gue mau makan suki ala-ala nanti malam. Itu artinya, gue harus belanja. Udah, lo jangan banyak tanya dan ikuti gue aja. Tapi kalau ada potensi kesialan atau apa, tolong kasih gue instruksi secepatnya. Oke?"
"Oke, Kanjeng Ratu."
*
Kesan pertama Emir waktu dia pertama kali bertemu Kisa di tahun pertamanya sebagai siswa SMP adalah, Eden itu anak aneh yang bukan hanya payah dalam pelajaran, tapi juga tidak jago berolahraga dan punya kemampuan minus dalam bidang seni. Dia tidak punya banyak teman, paling hanya satu atau dua orang dan itu pun gara-gara bangku mereka berdekatan atau kebetulan, mereka ditempatkan dalam kelompok yang sama untuk menyelesaikan tugas pemberian guru. Di jam olahraga, berbeda dengan Emir yang jago bermain badminton, Eden hanya akan duduk di pinggir lapangan, ternaungi rentang dahan pohon mangga dan memainkan sedotan susu kotak di tangannya. Pada jam pelajaran matematika, Eden bakal sibuk menunduk, menghindari tatapan mata guru yang mengajar supaya tidak disuruh mengerjakan soal di papan tulis.
Mereka berada pada kelompok sosial sekolah yang berbeda. Emir baik hati, punya tampang cakep yang terkesan cute, jenis orang yang supel dan mudah bergaul, mudah baginya punya banyak teman. Eden yang aneh, tidak punya kelebihan apa-apa, lebih sering duduk sendirian dan pernah beberapa kali tertangkap basah sedang mengobrol dengan ikan-ikan koi peliharaan penjaga sekolah, cuma dikenal oleh satu-dua orang dari seluruh siswa dalam angkatan.
Emir ingat, suatu kali, Eden pernah sesial itu dan disuruh oleh guru mereka buat mengerjakan soal matematika di depan kelas. Cewek itu mati kutu, jelas gugup dan tidak bisa berhenti memuntir ujung baju seragamnya, tapi nggak punya pilihan selain menurut. Sesuai dugaan Emir, dia hanya bisa mematung dengan spidol di tangan, sementara punggungnya panas diterjang pandangan anak-anak sekelas. Mereka terjebak dalam keheningan awkward hingga pada suatu momen, Eden menoleh padanya yang memang duduk di depan kelas, melempar tatapan memohon bantuan.
Seharusnya, seperti teman yang baik, Emir bangkit dan membantunya.
Tetapi tidak, Emir justru pura-pura tidak melihat, sibuk membolak-balik lembar buku cetaknya dan membiarkan Eden berdiri di sana hingga guru mereka kehilangan kesabaran, lalu mulai mengomel.
Hari itu, Emir mempertanyakan bagaimana bisa Eden mampu hidup dengan nyaman ketika dia tidak pandai dalam apa pun.
Emir tidak pernah melupakan hari itu, bukan hanya karena hari itu adalah kali pertama mereka berkomunikasi secara langsung meski hanya lewat tatapan mata, tetapi juga karena apa yang Eden lakukan, mengambil sesuatu, sekaligus meninggalkan sesuatu dalam diri Emir.
Emir selalu berpikir jika Eden menjalani hidupnya hanya untuk hidup, berhenti pada sebatas itu. Dia tidak jago dalam bidang apa pun. Dia tidak punya banyak teman. Dia aneh, hobi mengobrol dengan binatang—dan itu sinting, sebab Emir yakin 100% jika Eden tidak punya kemampuan Nabi Sulaiman atau titisan Putri Disney yang memang kebanyakan mahir bicara dengan hewan. Namun sekarang, melihat Eden berjongkok dengan antusias di depan deretan rak bumbu dan terampil memilih sayuran mana yang menurutnya paling baik, Emir tahu, ada beberapa hal yang bisa membuat Eden antusias.
"Orang sakit biasanya cocok dibawain pisang, tapi kalau dikasih pisang doang, bisa-bisa Sabda ngira gue menganggap dia setengah kera. Jadi mending gue mix aja sama buah naga atau semangka. Eh, ngomong-ngomong semangka, dulu lo suka banget kan sama buah itu?"
Emir mengerjap. "Hah?"
"Semangka." Eden menepuk sebutir semangka besar di depannya. "Lo suka banget sama semangka, kan? Dulu, pas istirahat gue suka lihat kalau lo buka bekal, pasti selalu ada semangka. Bahkan kotak pensil lo aja berbau kayak semangka."
"Lo... tau?"
"Gue ini pengamat yang baik." Eden nyengir. "Sayang banget, sekarang lo udah nggak bisa makan semangka lagi."
"Iya. Sayang banget." Emir manggut-manggut, lalu beralih pada troli di depan Eden. "Lo... belanja apa aja, sih? Perasaan nggak kelar-kelar dari tadi."
"Crab stick, beberapa jenis bakso ikan, fish tofu, tempura yang tinggal digoreng, sawi manis, cabe rawit, bawang putih, bumbu kuah bakso. Sama buah-buahan untuk Sabda. Udah sih, ini doang. Tinggal dibayar di kasir."
"Crab... stick?"
"Iya. Nanti begitu sampe rumah, gue mau bikin suki ala-ala gue. Kayak sup gitu, tapi ini praktis banget karena tinggal rebus-rebus doang."
"Gue nggak tahu kalau lo jago masak."
"Nggak jago." Eden nyengir lagi, kali ini terlihat malu-malu. "Cuma gue sering ditinggal sama nyokap gue. Dulu sih ada Mbak Astri yang nemenin gue di rumah, tapi kemudian Mama mikir gue udah cukup gede dan bisa mandiri. Jadi mau nggak mau, gue harus belajar masak menu-menu dasar sendirian. Kadang kan capek juga delivery fast food melulu. Suki ala-ala ini hasil eksperimen gue sendiri, biasa gue bikin pas gue lagi capek, lagi sedih atau lagi kesepian."
"Ah, sejenis comfort food?"
Comfort food itu adalah makanan yang bisa memberi kenyamanan, memunculkan kenangan atau memiliki arti khusus bagi mereka yang memakannya. Bentuk yang paling umum adalah cokelat, es krim atau masakan rumah. Jelas, semua orang punya jenis comfort food mereka masing-masing.
Eden mengangguk. "Mama dan Papa nggak bilang apa-apa, sih, tapi gue punya firasat, mereka bakal pulang malam lagi hari ini. Udah biasa. Malah gue rasa, mereka justru makin nyaman pulang malam karena merasa gue sudah gede, bisa diandalkan dan bisa ngapa-ngapain sendiri."
Emir diam, membiarkan Kisa memasukkan setengah bagian semangka yang sudah ditimbang dan dilabeli harga ke dalam troli, kemudian mendorong troli tersebut menuju kasir sekaligus berjalan menjauhinya. Eden bisa saja mengucapkan kata-kata itu dengan ringan, tanpa sedih atau muram membayangi wajahnya, tetapi dari suaranya, Emir tahu cewek itu sedang menutupi kecewa dan kesepian. Beberapa lama dia habiskan untuk terus berada di samping Eden sebagai malaikat pelindungnya, Emir tahu pasti, Eden lebih sering sendirian.
Dia menatap kartu instruksi di tangannya, tiba-tiba kembali disengat rasa bersalah atas apa yang dia lakukan pada Eden di jam pelajaran matematika sekian tahun lalu.
*
"Heh, jaga ya mulut lo atau gue akan—" Eden masih mengomel lewat telepon ketika tiba-tiba suaranya terputus, membuat Sabda mengernyit dan menurunkan ponselnya dari telinga, hanya untuk mengembuskan napas lega karena ternyata ponselnya mati dan itu yang jadi sebab kenapa cerocos penuh emosi Eden terpotong begitu saja. Ponselnya kehabisan batre. Sabda lupa mengisi ulang dayanya dan dia sudah menghabiskan sepanjang hari ini hanya untuk berbaring di atas kasur. Beberapa kali, dia membuka lembar buku komiknya, atau memandang langit-langit dan memperkirakan luas total bidang persegi itu menilik dari estimasi ukuran panjang-lebar kamar tidurnya.
Sekarang sudah masuk musim hujan dan Sabda tidak pernah suka musim hujan. Sebabnya sederhana, dia orang yang gampang pilek dan demam saat kedinginan. Sejak dulu sudah begitu, makanya Mama melarangnya mandi dalam kolam tiup keseringan—itu juga yang sempat membuatnya cemburu luar biasa pada Rasi yang kelihatannya sudah kebal dengan segala sesuatu bernama pilek, batuk dan flu. Sabda bahkan berani bertaruh, Rasi bisa ditinggal hanya dengan berkaus dalam di kutub utara selama seminggu dan dia masih akan baik-baik saja.
Oke, itu mungkin berlebihan, tetapi Rasi jelas masih lebih tahan dingin daripada dia.
Lah, kenapa sekarang dia jadi membicarakan cowok itu? Tidak-tidak. Mereka hanya makan mi instan bersama kemarin, bukan melakukan sesuatu yang spektakuler hingga Sabda bisa mengizinkan dirinya sendiri buat peduli pada Rasi.
Sabda sudah pusing sejak semalam, sebetulnya, dan pagi ini, kondisinya kian parah. Hidungnya mampet, kepalanya berat dan batuknya tidak mau berhenti. Rasi sudah pergi pagi-pagi sekali karena ada kelas di kampus hingga menjelang sore nanti. Papa juga belum muncul di rumah sejak kemarin-kemarin. Entahlah, Sabda tidak mau coba-coba mencari tahu, sebab terakhir kali dia terlalu peduli, dia malah dibikin sakit hati. Tadinya, Sabda ingin memaksakan diri pergi ke kampus karena dia ingat pada janjinya bertemu Eden sore ini, namun batal karena sakit di kepalanya terlalu mengganggu. Berita buruk tambahan, dia belum makan apa pun sejak pagi. Perutnya lapar, itu sudah pasti. Tapi persediaan mi instan-nya habis dan tidak ada menu dalam daftar restoran Go-Food yang menggugah seleranya.
Jadilah, seperti sengaja cari penyakit, Sabda hanya berbaring, membiarkan waktu terbuang dalam keheningan yang terasa sia-sia.
Sabda bersin lagi, mengeluh pelan lalu menarik sehelai tisu dari kotak di atas nakas sisi tempat tidurnya untuk membersihkan ingus.
Waktu terus berlalu, malah terasa sangat cepat saat dia tidak melakukan apa-apa. Sabda telentang di atas ranjang, sesekali meniup sejumput rambut yang jatuh di keningnya, atau memperkirakan luas bidang bola lampu yang menyala. Apa pun itu, asal tidak mengingat Mama dan apa yang biasa perempuan itu lakukan padanya setiap kali dia jatuh sakit.
Apa yang biasa Mama lakukan saat Sabda sakit?
Oh well, Sabda tidak ingin berpikir lebih jauh tentang itu, karena segalanya hanya akan berujung luka, tapi kali ini, dia tidak bisa mengontrol otaknya sendiri.
Setiap Sabda sakit, tindakan pertama yang Mama lakukan adalah mengomeli Sabda karena tidak mau mendengarkan perintahnya untuk tidak mandi di kolam tiup lama-lama atau minum es terlalu banyak. Lalu Sabda bakal cemberut, bilang bahwa dia sakit karena salah virus penyebab batuk-pilek, bukan karena kolam tiup atau makan es krim terlalu banyak. Mereka akan berdebat sebentar, hingga Mama mengalah dan membuatkan Sabda sup ayam lengkap dengan susu cokelat hangat. Kemudian, Mama akan menemani Sabda beristirahat, seringkali mengajaknya adu cepat menyusun rubik warna atau membacakan buku cerita.
Mama akan jadi mama paling penyayang sedunia ketika Sabda sakit, yang sering berakhir pada kecemburuan dua kakak laki-laki Sabda yang lain sebab merasa kalah dimanja.
Sekarang, semuanya berbeda karena Mama sudah tidak ada.
Sabda tak lagi dimarahi, tak lagi diajak berdebat, tak lagi dibikinkan sup ayam dengan susu cokelat, tak lagi diajak berlomba menyusun rubik warna atau dibacakan cerita dan tak lagi dicemburui dua abangnya.
Dia ditinggal sendirian, tanpa kasih yang tersisa.
Dunia membuangnya, dunia mengurungnya dalam sepi, jadi bukankah seharusnya wajar jika dia balas membenci dunia?
Dunia tidak pernah mau memahaminya, jadi kenapa dia harus mau repot-repot belajar memahami dunia?
Lamunan Sabda pecah berantakan oleh suara bel pintu depan yang tiba-tiba terdengar. Kening cowok itu kontan berkerut heran. Rasi tidak akan menekan bel pintu depan. Dia punya kuncinya sendiri dan biasa masuk tanpa suara hingga terkadang, Sabda tidak sadar kakaknya sudah pulang.
Sabda diam, sengaja tidak beranjak dari kasur karena merasa perlu memastikan jika suara bel itu nyata, bukan halusinasinya dan ketika sesaat kemudian bel kembali berbunyi, cowok itu tak bisa menahan diri untuk tak mendengus. Kepalanya pusing, tetapi dia memaksa diri untuk bangkit, lalu berjalan menuruni tangga menuju pintu depan.
"Oh, ternyata beneran rumah lo di sini."
Sabda melotot tatkala seraut wajah milik Eden menyambutnya begitu pintu dibuka. "Lo—dari mana lo tahu rumah gue?!"
"Nanya ke Kak Tisya. Untung lo buka pintunya. Gue hampir panik dan nelepon ambulans, tau? Tapi buset, kayaknya lo sakit beneran ya? Muka lo jelek banget, kayak zombie baru keluar dari peti mati."
"Ngapain lo ke sini?"
"Mastiin kalau lo belum koit."
"Nggak usah sok peduli."
Eden bermuka masam. "Gue nggak sok peduli. Faktanya, gue nggak peduli. Mau lo nyemplung sumur atau hanyut sekalian di Samudra Hindia, gue nggak bakal ngelarang. Tapi masalahnya, kalau lo kenapa-napa, gue adalah orang terakhir yang nelepon lo. Nanti bisa-bisa jadi masalah buat gue."
"Gue baik-baik aja, jadi sekarang pulang sana!"
"Oh, jadi ini cara orang jenius memperlakukan tamu yang datang ke rumahnya?"
"Lo bukan—hatsyi!" Sabda bersin lagi, cukup keras dan kali ini, pusing di kepalanya menguat, membuatnya terhuyung kehilangan keseimbangan dan perlu berpegangan pada kusen pintu. Eden mengangkat alis, memandang Sabda sementara cowok itu berusaha menormalkan frekuensi napasnya yang mendadak terengah. Dia tidak suka terlihat lemah, apalagi di depan orang lain.
"Bilangnya baik-baik aja, tapi hampir semaput gini." Eden meletakkan kantung plastik besar di tangannya ke lantai, lalu meraih pergelangan tangan Sabda hanya untuk dibikin tersentak sebentar kemudian. "Ya ampun! Badan lo panas! Lo beneran sakit?"
"Nggak!"
"Lo sakit."
"Nggak!"
"Udah minum obat?" Eden seperti tidak peduli pada seruan Sabda.
"Udah."
"Tadi katanya nggak sakit?"
Sabda mati kutu. "Maksud gue—"
"Udah makan?"
"Udah!"
Tubuh Sabda menolak berkoordinasi dengan jawabannya, karena belum lagi Eden sempat balik menyahut, perut Sabda sudah bersuara.
"Bohong banget. Perut lo tuh protes minta diisi."
"Tau apa lo soal perut gue?!"
"Deile, galak banget." Eden malah mesem-mesem. "Gue belum kenalan sih sama perut lo, tapi sepengetahuan gue, kalau perut bunyi tuh tandanya dia keroncongan dan lama nggak diisi makanan. Jadi, lo beneran belum makan?"
"Bukan urusan lo."
"Nyokap lo tahu nggak sih kalau anaknya yang galak ini sakit, hampir semaput di depan gue tapi belum makan dan mukanya pucat banget kayak orang anemia?"
"Nyokap gue nggak ada."
"Kerja?"
"Udah meninggal."
Dari ekspresi wajahnya, amat kentara jika untuk sejenak, Eden bingung harus bilang apa.
"Sekarang, mending lo pulang!"
"Oke, gue bakal pulang, tapi dengan satu syarat. Lo harus makan dulu!"
Sabda menukas pedas. "Gue dan makanan gue nggak ada urusannya sama lo."
"Ada. Gue udah jauh-jauh ke sini, udah repot-repot juga beliin lo pisang sama semangka. Ini tuh belinya pake duit, bukan pake daun dan ngebawa kesininya pake tenaga, bukan pake siluman naga Indosiar. Jadi seenggaknya, lo harus menghargai gue yang mau berlelah-lelah kemari hanya untuk memastikan lo baik-baik aja."
"Gue bakal makan nanti."
"Sekarang."
"Kenapa lo jadi sok peduli gini, sih? Lo bukan nyokap gue!"
"Yah, anggap aja gue lagi mewakili nyokap lo karena kalau dia ada di sini sekarang, gue yakin dia bakal bereaksi sama kayak gue."
Eden mendengus sebal, lalu meraih kantung plastik belanjaannya dari lantai sebelum melenggang masuk ke dalam rumah, melewati Sabda seolah-olah rumah itu adalah rumahnya sendiri. Sabda melotot kesal, mencoba menahan langkah Eden tapi tidak berhasil. Cewek itu sudah keburu masuk ke ruang tengah, meletakkan kantung belanjaannya di dekat meja makan dan beralih menuju dapur. Dia membuka kulkas, hanya untuk berdecak sesaat setelahnya.
"Es krim, jus, teh kemasan kotak dan telur. Nice. Gue punya firasat lo nggak punya—" Eden ganti mendekati rice cooker di sudut lain ruangan, membukanya dan disambut oleh wadah rice cooker berisi nasi yang sudah berkerak saking terlalu lama dibiarkan dalam mode penghangat. "—nasi. Dugaan gue benar lagi. Pantesan lo belum makan."
"Gue bisa delivery makanan nanti. Mending lo pulang sekarang."
"Lo harus makan, Sabda. Lo sakit."
"Iya. Gue bakal makan. Gue janji. Sekarang, lo pulang."
Eden menyipitkan matanya pada Sabda, memandang jengkel tapi cowok itu malah buang muka dengan keras kepala, membuat Eden pada akhirnya hanya mampu mengembuskan napas pelan. Kelihatannya, memang tidak ada gunanya memaksa Sabda. Cewek itu sudah berniat kembali meraih kantung plastik berisi belanjaannya yang teronggok di lantai ketika ide lain terlintas mendadak dalam pikirannya.
"Ah, lupakan soal nyuruh gue pulang, gue punya ide yang lebih bagus."
"Gue nggak sep—"
"Gue barusan belanja dan berniat untuk bikin suki ala gue begitu gue nyampe rumah nanti, tapi dipikir lagi, masakan kayak gini cukup cocok buat orang yang lagi sakit kayak lo dan membuatnya di sini bakal bikin gue punya teman makan bareng, jadi kenapa gue harus bikin sukinya di rumah yang mana gue bakal makan masakan gue sendirian seperti biasanya?"
"Lo ngomong apa sih?"
"Duduk manis di ruang tamu. Gue bakal membuatkan lo sesuatu yang enak."
"Gue nggak cukup percaya sama lo buat—"
"Duduk. Manis. Di. Ruang. Tamu."
Sabda menelan ludah saat Eden menarik keluar sebilah pisau dapur dari salah satu laci meja konter, membuatnya otomatis batal membantah.
*
Membuatnya di sini bakal bikin gue punya teman makan bareng, jadi kenapa gue harus bikin sukinya di rumah yang mana gue bakal makan masakan gue sendirian seperti biasanya?
Semua orang tahu jika Sabda itu bukan orang yang gampang mengalah, terutama saat sedang berdebat. Tetapi kali ini, dia memilih untuk mengikuti instruksi Eden dan duduk manis di ruang tengah tanpa membantah lebih jauh. Bukan hanya karena Eden sudah memegang pisau (dan Sabda khawatir, salah bicara sedikit saja bisa bikin pisau itu berakhir di lehernya) tapi juga karena apa yang cewek itu bilang tentang sendirian.
Apakah... Eden sama sepertinya?
Apa cewek itu juga selalu sendiri dan merasa kesepian?
Well, Sabda bisa bilang dia sudah terbiasa dengan sepi setelah sekian tahun ditinggal sendiri, tapi dia tidak bisa bilang jika dia menyukai itu. Sepi adalah pembuka dari kematian, bersama dengan rasa sakit dan depresi. Jika Sabda disuruh menjawab pertanyaan tentang apa yang paling ditakutinya di dunia ini, jawabannya adalah sepi. Ironis, karena kedua saudaranya tahu benar soal itu dan malah meninggalkannya tanpa berpikir dua kali. Sekarang, mereka kembali tanpa permisi.
Bagaimana bisa Sabda bersabar jika dia terus dipermainkan seperti itu?
Setra tidak pernah mau mendengar alasan kenapa dia memutuskan pergi dan menginap dalam tenda di lapangan futsal sekolah selama dua hari.
Rasi tak pernah mencoba paham kenapa dia sangat marah ketika mendengar kakak keduanya memilih pergi tanpa sekalipun bertanya apakah dia ingin ikut serta atau tidak.
Kemudian mereka kembali, bersikap seolah dia yang jadi alasan kenapa hubungan saudara diantara mereka bertiga tidak pernah sama lagi.
Sabda membenci mereka karena mereka tidak ada untuk mengomelinya ketika dia sakit.
Sabda membenci mereka karena mereka tidak ada untuk mengomelinya ketika dia dapat nilai jelek karena asal mengisi soal ulangan hariannya.
Sabda membenci mereka, karena bagaimanapun dia mencoba membenci keduanya, dia tidak pernah betul-betul berhasil melakukannya.
Honestly, truly I miss you.
But now I'll erase you.
Cause even that hurts less than trying to blame you.
"Kalau gini caranya, gue jadi susah percaya lo tuh jenius beneran."
Mata Sabda yang tertutup refleks terbuka begitu dia mendengar suara Eden, diikuti oleh sosok cewek itu yang kini berlutut di depan sofa tempatnya berbaring. Tanpa canggung, Eden menyingkirkan helai rambut yang berada di keningnya, lalu menempelkan plester kompres demam instan di sana. Sabda mengernyit, bisa mencium bau bawang merah dari jari-jari Eden dan itu, secara mengejutkan, membuatnya teringat pada Mama sekaligus membuatnya merasa... nyaman.
"Lo dapet ini dari mana?"
"Tadi beli di supermarket. Badan lo hitungannya segini udah demam, meski belum parah-parah banget. Kalau gini, rasanya kayak ngurusin bayi besar." Eden berdecak, kemudian merogoh saku bajunya dan mengeluarkan ponsel. "Gue baru kelar motong bumbu dan lagi rebus air. Lo tunggu di sini. By the way, mungkin agak sedikit lama karena gue mau bikin bubur sekalian buat lo. Jadi biar nggak sepi-sepi banget, lo sambil dengerin lagu aja."
"Gue nggak suka dengerin lag—" kata-kata Sabda tidak terteruskan karena dia sudah keburu dibikin ternganga oleh lagu yang Eden putar.
Satu-satu, aku sayang Ibu
Dua-dua, juga sayang Ayah
Tiga-tiga, sayang adik-kakak
Satu-dua-tiga, sayang semuanya...
"Ini..."
"Lagu anak-anak. Nggak ada yang nggak tahu lagu ini. Lo mungkin ngerasa ini lucu, tapi gue selalu muter lagu ini setiap gue sakit. Makanya gue nyimpan lagunya di HP gue. Biasanya tuh, gue langsung mendingan atau sembuh. Konyol dan kayak nggak masuk akal, tapi siapa tahu lo sama juga kayak gue."
Sabda memberengut. "Gue nggak suk—"
"Ada dua orang yang paling gue nggak suka di dunia ini. Orang pertama adalah orang yang nge-sok, mau itu sok kegantengan atau sok kepinteran. Orang kedua adalah orang yang keras kepala, padahal dia nggak lagi ada dalam posisi yang menguntungkan buat keras kepala dan kalau gue harus kasih tahu, lo termasuk ke dalam dua kategori itu sekarang." Eden berkacak pinggang, lagi-lagi membuat Sabda teringat pada gaya Mama tiap mau mengomelinya, Setra atau Rasi. "Sekarang, diam di situ dan jangan membantah! Gue udah mau repot-repot lama-lama di sini dan masakin makanan buat lo, jadi seenggaknya tahu diri sedikit, oke?"
"O... ke."
"Bagus. Sekarang, balik tiduran lagi."
"Tapi—"
"Tiduran."
"O... ke..." Sabda tidak punya pilihan selain kembali merebahkan badan di atas sofa. Eden menatapnya sekali lagi, lantas berbalik dan kembali ke dapur, meninggalkan Sabda yang memejamkan mata sambil memegang dahinya yang kini tertempeli plester kompres demam sementara lagu masih terus mengalun berulang-ulang, seperti kaset rusak yang tak lelah diputar.
Satu-satu, aku sayang Ibu
Dua-dua, juga sayang Ayah
Tiga-tiga, sayang adik-kakak
Satu-dua-tiga, sayang semuanya...
"Lo... masih sehat, kan?"
Belum sepuluh menit sejak Sabda kembali berbaring ketika suara berat Rasi terdengar mendadak, bertepatan dengan Eden masuk kembali ke ruang tengah.
"Sori, lo nyimpan wadah garamnya di man—"
Sabda mengerjap, sementara Rasi tersekat, lalu melotot dengan mata super membulat hingga terlihat seolah-olah bola matanya siap loncat dari rongganya sewaktu-watu. "HAH, HEAVEN?!"
Eden tidak kalah terperanjat. "LO?!"
Sabda pun tak kalah terkejut. "KALIAN BERDUA SALING KENAL?!"
*
Rasi baru turun dari taksi online yang dia tumpangi ketika perhatiannya tersita oleh keberadaan sesosok bocah kecil bersepeda yang sedang nongkrong tidak jauh dari pagar depan rumahnya. Bocah itu sedang main sendirian, memegang mainan truk pemadam kebakaran di tangannya sambil berceloteh untuk menciptakan suara sirene yang terdengar lucu. Rasi menatapnya sejenak, lalu ide jahilnya muncul tiba-tiba.
Iseng, dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebatang permen lolipop yang sempat dibelinya sebelum meninggalkan kampus tadi. Cowok itu membuka bungkusnya cepat, lalu berjalan mendekati si bocah yang refleks mengerjap sembari menatapnya heran, mungkin bertanya-tanya, dari mana datangnya manusia jangkung-menjulang yang tahu-tahu berjongkok di depannya.
"Mau nggak?"
Bocah itu berhenti memaju-mundurkan mainan truk pemadam kebakarannya, lalu memandang polos pada permen di tangan Rasi sebelum menyahut samar dalam suara yang terkesan cadel khas anak baru belajar bicara. "Mau!"
"Aaaaaa... keretanya mau masuk..."
Si bocah langsung menciptakan terowongan dengan membuka mulutnya lebar-lebar. Rasi memainkan permen lolipop di tangannya, mengarahkan ujung permen itu ke mulut bocah di depannya, tetapi tepat sesaat sebelum permen itu benar-benar bisa masuk ke mulut bocah kecil tersebut, Rasi melakukan manuver yang membuat permen lolipop di tangannya berbalik arah, sebelum berakhir masuk ke mulutnya sendiri.
"WUAHAHAHAHAHAHA..." Rasi tertawa sampai sakit perut saat bocah kecil di depannya mengerjap beberapa kali, kelihatan syok dengan apa yang baru saja terjadi. Segalanya masih lucu buat Rasi, hingga bocah itu mulai menangis keras dan bikin Rasi jadi panik. Insting pengamanan dirinya seketika teraktivasi, membuatnya beranjak dari jongkoknya dan ngibrit melewati pagar untuk selanjutnya menghilang masuk ke dalam rumah.
Saat dia berhasil tiba di dalam rumah dengan selamat, barulah dia merasa lega, meski tidak lama karena rasa lega itu terganti oleh tanya tatkala suara lagu anak-anak yang familier mampir di telinganya.
Satu-satu, aku sayang Ibu
Dua-dua, juga sayang Ayah
Tiga-tiga, sayang adik-kakak
Satu-dua-tiga, sayang semuanya...
Sabda tengah terbaring di sofa ruang tengah dengan salah satu tangan melekat di dahi. Rambutnya berantakan dan dia jauh lebih pucat dari biasanya. Rasi mengernyit, memandangnya sekali lagi dan sadar ada plester kompres demam tertempel di kening adik bungsunya.
"Lo... masih sehat, kan?"
Tanya Rasi belum terjawab ketika sosok lain yang tidak terduga muncul dari arah dapur. "Sori, lo nyimpan wadah garamnya di man—"
Mata Rasi langsung melotot hingga bukaan maksimal. "HAH, HEAVEN?!"
"LO?!"
Sabda bangkit, sama-sama tersekat. "KALIAN BERDUA SALING KENAL?!"
Tidak ada yang menjawab. Mereka semua sama-sama melongo, menatap bergantian pada satu sama lain seperti baru saja menyaksikan trik sulap terhebat abad ini. Sabda jelas terkejut, sementara Rasi kini menutup mulutnya dengan tangan, bersikap sedramatis aktor sinetron amatiran. Kesunyian itu baru terpecah setengah menit kemudian, ketika Eden tersentak lebih dulu sebelum kembali berlari menuju dapur.
"Ini..."
Sabda menoleh padanya. "Lo kenal dia?!"
"Lo kenal dia?!"
"Gue nanya duluan!"
"Aduh, gue jadi pusing!" Rasi berseru sambil masih mengemut lolipop. Dia tidak menjawab pertanyaan Sabda, malah bergerak menuju dapur di mana dia menemui Eden sedang memasukkan bahan makanan yang sudah dipotong-potong dari talenan ke dalam panci berisi air mendidih. "Heaven!"
"Diam! Gue lagi masak!"
"Ah, baunya enak. Masak apa nih?"
"Bukan buat lo."
Rasi cemberut, membuatnya malah tampak cute gara-gara lolipop yang setia bersarang dalam mulutnya. "Lo kenal sama Sabda?"
Eden berpaling usai menambahkan sejumput garam—yang akhirnya dia temukan pada salah satu deret rak gantung di atas meja konter. "Kenapa juga lo ada di sini?"
"Ini rumah gue."
"Rumah ap—ah, oke. Kita bahas itu lebih lanjut nanti karena gue malah makin pusing dan tadi nyaris aja masukkin gula, bukannya garam. Gue nggak mau suki ala gue gagal karena itu artinya bakal buang-buang waktu dan bahan makanan. Jadi itu bisa menunggu, tapi gimana kalau lo bantuin gue sekarang?"
Rasi menarik keluar lolipop dari mulutnya, memandang kepo pada panci di atas kompor. "Emangnya lo lagi ngapain, sih?"
"Sabda sakit, tapi belum makan. Nggak ada bahan makanan dan seringnya orang sakit nggak nafsu makan. Jadi gue mau bikin sesuatu aja, karena kebetulan, sebelum ke sini gue udah belanja. Tadinya mau bikin suki ala-ala di rumah, tapi daripada makan sendirian, mending makan ada temennya."
"Lo... sedekat itu sama Sabda?"
"Ceritanya panjang dan seperti kata gue tadi, itu bisa menunggu." Tanpa Rasi sadari, Eden melirik pada Emir yang berada di sudut dapur, di mana malaikat pelindung itu manggut-manggut setuju. "Mending lo bantuin gue."
"Okay!" Rasi berseru antusias, kemudian meletakkan tasnya di sembarang tempat, disusul menggulung lengan bajunya sampai siku. Eden terperangah sejenak ketika matanya jatuh pada lengan Rasi. Cowok itu bisa saja punya tingkah laku yang bikin frustrasi dan hobi merengek seperti anak TK, tapi tangannya adalah jenis tangan yang kelihatan nyaman digenggam. Belum lagi arloji dan cincin-cincin perak yang melingkar di beberapa jemarinya. Jika saja kelakuannya tidak sebobrok itu, mungkin Eden sudah naksir senaksir-naksirnya sama Rasi.
"Sawinya belum dipotong, tapi udah dicuci. Lo tolong potongin ya, gue mau ngecek buburnya dulu."
"Kenapa nggak dimasukkin barengan sama bahan yang lain?"
"Karena kalau dimasukkin sekarang, sayurannya keburu layu, Rasi."
Rasi manggut-manggut, mengambil alih pisau dan mulai memotong dengan gaya kaku khas orang yang jarang masuk dapur. Eden sesekali melirik padanya, lalu fokus sepenuhnya pada panci bubur saat dia merasa, Rasi cukup bisa dipercaya untuk urusan potong-memotong sayuran.
Atau dipercaya... selama beberapa saat, sebab tidak lama kemudian, cowok itu berseru keras dan berhenti memotong sayuran. "Argh!"
Kontan, Eden menoleh dengan wajah panik. "Kenapa?!"
Rasi malah cengengesan dengan wajah bangga. "Hehehe, khawatir ya? Takut gue luka ya? Be careful, Heaven. Bisa jadi tanda-tanda naksir tuh—argh! Ih, yang ini sakit beneran tahu! Lo keseringan nendang gue di situ. Sakit. Kemarin aja, gue nggak bisa tidur semaleman gara-gara kaki gue sakit habis lo tendang!"
Kata-kata Rasi sukses membuat Eden merasa bersalah. "Sori. Apa sesakit itu? Maaf. Tapi lo-nya juga nyebelin, sih! Gue kan panik beneran!"
"Of course it hurts! You have to do something to make it up to me!"
Eden menghela napas panjang. "Apa?"
Rasi membungkuk sedikit, mencondongkan badannya ke arah Eden hingga Eden bisa menghirup bau sabun mandi yang nyaman di hidung, berbaur dengan wangi warm spice dan hint powdery yang terkesan innocent, seperti aroma bayi. Eden mati-matian mengingatkan dirinya sendiri untuk menahan napas dan merasakan wajahnya mulai terbakar. Tapi sepertinya, Rasi tidak menyadari itu. Dia malah mengetuk pipinya sendiri. "A kiss?"
Eden menoleh dan melayangkan death glarenya. "Do you want me to kick you harder?"
Rasi cemberut, memajukan bibirnya seperti anak kecil sedang merajuk. "Ampun."
"Sekarang diam dan lanjut potong sayurnya!"
"Iyaaaaa..."
Mereka kembali fokus pada pekerjaan masing-masing. Suasana hening, setidaknya selama lima menit. Dipikir lagi, sebetulnya itu sudah tergolong prestasi karena Eden tidak menduga jika orang yang lagaknya serupa cacing kepanasan seperti Rasi bisa diam dan bertingkah manis selama itu.
"Main tebak-tebakan, yuk. Sepi tahu diem-dieman kayak gini."
"Ogah."
Rasi mengabaikan penolakan Eden. "Heaven, kalau gajah menghasilkan gading, buaya menghasilkan kulit dan sapi menghasilkan daging, lebah menghasilkan apa?"
Eden tidak tahu kenapa dia menjawab tanpa pikir panjang. "Madu?"
"Dalam bahasa Inggris?"
"Honey?"
"Yes, Dear?"
Eden melotot kesal, sadar jika pipinya mulai memerah lagi sekarang. "BODO AMAT!"
Rasi malah tertawa terbahak-bahak dengan suara yang mengganggu, bikin Eden makin empet. Tapi cewek itu tidak berkata apa-apa, berusaha keras menyibukkan diri dengan masakannya. Untungnya, Rasi juga tidak menggodanya lebih jauh. Dalam lima belas menit, masakan yang Eden niat untuk siapkan pun selesai. Sesaat sebelum menyajikannya ke dalam piring dan mangkuk, cewek itu meraih sendok kecil, menuangnya ke telapak tangan dan mencoba rasanya.
"Hm... enak. Sini, lo coba juga, biar lebih objektif," Eden berkata sambil mengambil sesendok kuah dari panci, meniupnya sebentar dan menyodorkannya ke arah Rasi—yang harus membungkuk karena dia jelas jauh lebih tinggi dari Eden.
"Delicious!" Rasi berseru seraya mengangkat jempol. "Tapi dipikir lagi, kita kayak gini tuh udah kayak Papa sama Mama ya? Hehehe, jangan baper, Heaven. Gue masih kuliah dan lo masih kuliah. Ah ya, satu lagi, gue belum niat pacaran."
"Gue nggak baper!"
"Tapi muka lo merah!"
"Karena kepanasan!"
"BODO AMAT!" Eden menghentakkan kakinya ke lantai, langsung berbalik untuk menyembunyikan wajahnya yang kini sudah semerah kepiting rebus. Rasi lagi-lagi hanya nyengir, tidak merasa harus bertanggung jawab pada kondisi airmuka Eden yang amat memprihatinkan. Dia bahkan meninggalkan Eden di dapur untuk membawa mangkuk dan piring masakan ke ruang tengah. Eden meliriknya, berusaha mewanti-wanti pada dirinya sendiri supaya tidak terbawa perasaan dan berinisiatif membuatkan susu hangat buat Sabda.
Saat Eden masuk ke ruang tengah, Sabda sudah menukar posisi berbaring dengan duduk dan menatap bergantian padanya dan Rasi.
"Kalian kelihatan akrab." Sabda berkata penuh rasa curiga.
"Kalian juga." Rasi menimpali, tidak mau kalah.
"Seharusnya kata-kata itu milik gue." Eden menatap tegas, membuat Sabda dan Rasi berpandangan sebelum keduanya sama-sama buang muka ke arah yang berbeda.
"Sesuai yang gue bilang tadi, penjelasan bisa menunggu. Sekarang saatnya. Beritahu gue, kenapa kalian bisa saling kenal dan kenapa lo bisa sebebas itu mengizinkan Kingkong Wakanda yang satu ini, keluar-masuk rumah lo?"
bersambung ke seventh note
***
Catatan dari Renita:
selamat malam dan maap kemalaman wkwk
sooo, gue tahu ada beberapa pembaca yang mungkin salty, karena ketika gue update ini, malah nanyain update story lain, entah itu di instagram atau wattpad.
gue jujur aja ya (mungkin sebagian besar juga udah pada tahu) gue lagi di tingkat akhir sekarang dan dalam dua minggu ke depan, bakal sibuk beresin semua tugas. gue menyempatkan waktu ngetik, tapi nggak bisa untuk semuanya. nah, kalau udah gitu, mana yang bakal gue prioritasin? tentu yang respon pembacanya paling banyak.
karena nggak semua orang berani dan punya waktu untuk meninggalkan vote dan komentar, jadi gue merasa harus mengapresiasi mereka yang meninggalkan vote dan komentar.
jujur aja, readers guards nggak pernah meneror gue di instagram atau wattpad minta dilanjut. mereka merespon ceritanya dan responnya pun bukan minta lanjut.
jadi, gue sangat mengerti kalau ada yang kangen sama cerita ini dan itu, tapi sampai awal desember, gue bakal sibuk dan cuma sempet ngetik satu-dua chapter dalam seminggu.
gue nggak pernah memasang target tertentu, hanya saja, mereka yang mau meluangkan waktu untuk vote dan berkomentar perlu diberi reward daripada mereka yang nggak.
dan jujur aja, gue selalu meng-compare jumlah silent readers dari setiap update yang gue lakukan.
gue nggak akan memaksa pembaca memberi respon. semua cerita akan dilanjut, even secret love song aja gue selesaikan (probs nanti ada extra chapters) jadi begitulah.
karena semakin ditanya, semakin malas gue melanjutkan.
terutama untuk noceur ya. bab terakhir yang gue post, kalau lo mau tau, silent readersnya banyak banget.
gitu deh.
i'm so sorry, tapi gue lagi gak punya cukup waktu untuk semuanya minggu-minggu ini.
begitulah.
anyway, makasih untuk semua apresiasi kalian di semua chapter guardiationship.
i'll see you next chapter and ciao!
Semarang, November 13th 2018
22.18
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top